Jumat, 31 Oktober 2008

Segelas Fanta

Konon suatu hari, Om William yang saat itu usahanya belumlah seraksasa Astra saat ini, datang ke kantor pada pagi hari dan segera disambut oleh seorang Office Boy yang meletakkan segelas minuman di meja kerja Om William. "Selamat pagi Tuan" demikian sapa sang Office Boy dengan sopan yang disambut dengan anggukan dan sambil meletakkan koran di meja, Om William pun balas menyapa "Kamu masih baru ya? sudah berapa lama kamu kerja disini?" "Kira-kira satu bulan Tuan" jawabnya.

OW: "Bagaimana? Kamu suka kerja disini?"
OB: "Ya Tuan, saya suka bekerja disini"
OW: "Baiklah kalau begitu"
OB: "Maaf Tuan, apakah saya boleh menyampaikan sesuatu?"
OW: "Apa itu?"
OB: "Saya mau minta dibelikan selusin gelas untuk para tamu di kantor ini Tuan"
Di zaman itu Coca Cola, Fanta & Sprite adalah trend yang dipandang praktis sebagai minuman yang disuguhkan kepada tetamu yang datang ke kantor Om William.
OB: "Tuan, seringkali sebotol minuman yang kita suguhkan tidak dihabiskan, kalau saya menggunakan gelas yang saya isi es batu maka sebotol bisa untuk dua orang"
Dahi Om William pun sempat berkerut namun kemudian mengangguk tanda setuju dan memberikan sejumlah uang kepada si Office Boy itu untuk membeli gelas.
Sebulan berlalu dan dalam sebuah kesempatan si Office Boy menyapa Om William kembali untuk menyampaikan isi hatinya.
OW: "Ya, ada apa?"
OB: "Maaf Tuan, apakah saya boleh minta uang untuk beli gelas lagi?"
OW: "Memangnya kenapa dengan gelas yang dulu kamu beli?"
OB: "Gelas itu terlalu besar Tuan, dan sebagian tamu yang datang tidak menghabiskan minumannya, saya ingin membeli gelas yang lebih kecil"
Om William pun setuju dan kembali memberikan sejumlah uang untuk membeli gelas kecil, dan si Office Boy itu pergi membeli selusin gelas kecil yang saat itu lazim disebut gelas belimbing"
Sekian waktu berlalu, dan kali ini si Office Boy mengetuk pintu ruang kerja Om William, "Ya, masuklah"
Si Office Boy pun masuk dan belum sempat berkata-kata, Om William langsung berkata "kali ini
kamu jangan lagi minta uang untuk beli gelas ukuran 'sloki' ya!"
Si Office Boy nampak gelisah dan berusaha menjelaskan "Maaf Tuan, saya tidak bermaksud minta uang untuk beli gelas lagi, saya hanya ingin minta ijin agar diperbolehkan menanyakan kepada para tamu itu, apa jenis minuman yang sebenarnya mereka suka"
Om William yang penasaran masih belum berkata-kata dan si Office Boy melanjutkan perkataanya "Karena ada beberapa gelas yang tidak diminum sama sekali dan mungkin itu karena mereka tidak suka, itulah sebabnya saya perlu menanyakannya".
Om William pun tertegun sejenak sambil mengangguk-angguk tanda setuju.
"Pastikan apapun perbuatan dan hasil hari ini lebih baik dari hari-hari sebelumnya"


Oleh : Haryo Ardito










Baca selengkapnya...

Makna Pekerjaan Anda . . .

Beberapa waktu yang lalu saya memberikan pelatihan mengenai sikap kerja disebuah hotel berbintang lima di Singapura. Salah satu peserta pelatihan adalah Pak Lim, seorang pria berusia 60 tahunan yang bekerja di hotel tersebut. Bagi saya pekerjaan sehari-hari Pak Lim sangatlah monoton dan membosankan. Setiap hari, dengan membawa sebuah daftar, dia mengecek engsel pintu setiap kamar hotel.

Saya akan menceritakan sedikit bagaimana tugas Pak Lim sebenarnya. Pak Lim memulai rangkaian tugasnya dengan mengecek engsel pintu pintu kamar 1001 dan memastikan bahwa engsel dan fungsi kunci pintu berfungsi dengan baik. Pengecekan yang dilakukannya bukanlah pengecekan "seadanya", namun pengecekan yang saksama di setiap engsel dan memastikan bahwa setiap pintu bisa dibuka-tutup tanpa masalah.

Untuk mengecek satu pintu saja, Pak Lim berulang kali membukan dan menutup pintu tersebut hanya untuk memastikan bahwa semuanya berfungsi dengan baik. Barulah setelah puas, dia memberi paraf pada daftar yang dibawanya dan mengecek pintu kamar berikutnya, kamar 1002, dia melakukan hal yang sama, begitu seterusnya. Dalam sehari, Pak Lim bisa mengecek pintu 30 kamar.

Anda tentu bertanya, berapa hari waktu yang dibutuhkan Pak Lim untuk mengecek pintu semua kamar di hotel itu. kurang lebih sebulan! Tidak mengejutkan sebenarnya karena hotel berbintang lima ini memiliki sekitar 600 kamar.

Tugas pengecekan Pak Lim dapat diibaratkan sebagai lingkaran. Setelahpintu kamar terakhir selesai dicek, Pak Lim akan kembali lagi ke kamar pertama, kamar 1001. Rangkaian tugas ini terus berjalan seperti itu, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun demi tahun. Pekerjaan semacam ini jelas merupakan pekerjaan monoton, tanpa variasi dan membosankan! Saya sendiri tidak habis pikir, bagaimana mungkin Pak Lim masih bisa cermat dan teliti mengecek setiap engsel pintu dalam menjalani tugas yang membosankan ini. saya membayangkan, seandainya saya sendiri yang diminta melakukan hal semacam ini, mungkin saya akan memeriksa setiap engsel sekedarnya saja.

Karena sangat penasaran, suatu hari saya bertanya kepada Pak Lim apa yang sebenarnya membuatnya begitu tekun menjalani pekerjaan rutin itu. Jawabannya sungguh diluar dugaan saya. Dia mengatakan," James, dari pertanyaan Anda, saya bisa menyimpulkan bahwa Anda tidak mengerti pekerjaan saya. Pekerjaan saya bukan sekedar memeriksa engsel, tetapi lebih dari itu. Begini. Tamu-tamu kami di hotel berbintang lima ini jelas bukan orang sembarangan. mereka biasanya adalah Kepala Keluarga, CEO sebuah perusahaan, Direktur atau Manajer Senior. Dan saya tahu mereka semua jelas bertanggung jawab atas kehidupan keluarga mereka, dan juga banyak karyawan dibawahnya yang jumlahnya mungkin 20 orang, 100 atau bahkan ribuan orang.

"Nah, kalau sesuatu yang buruk terjadi di hotel ini, misalnya saja kebakaran dan pintu tidak bisa dibuka karena engselnya rusak, mereka bisa meninggal didalam kamar. akibatnya bisa Anda bayangkan, pasti sangat mengerikan, bukan hanya untuk reputasi hotel ini, tetapi juga bagi keluarga mereka, karyawan yang berada dibawah tanggungan mereka. Keluarga mereka akan kehilangan sosok Kepala Keluarga yang menafkahi mereka dan karyawan mereka akan kehilangan sorang pimpinan senior yang bisa jadi mengganggu kelancaran perusahaan. Sekarang Anda mungkin dapat mengerti bahwa tugas saya bukan sekedar memeriksa engsel, tapi menyelamatkan Kepala Keluarga dan Pimpinan unit bisnis sebuah perusahaan. Jadi, jangan meremehkan tugas saya."

Saya benar-benar terperangah mendengar penjelasan panjang lebar Pak Lim. Dari situlah saya mengerti bahwa jika seseorang tahu benar makna dibalik pekerjaannya, dia akan melakukan pekerjaannya dengan bangga, dengan senang hati, dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, seandainya saja Pak Lim tidak mengerti makna pekerjaannya, dia akan mengatakan bahwa tugasnya hanya sebagai tukang periksa engsel.

Sekarang, coba tanyakan pada diri sendiri. Apakah anda tahu benar makna dibalik pekerjaan Anda? Katakanlah Anda adalah seorang Staff, Kepala Bagian, Manajer unit bisnis, Kadiv, apakah Anda tahu makna dibalik pekerjaan anda sebagai seorang Staff, Kepala Bagian , Manajer atau Kadiv ?

Ingatlah bahwa jika seorang tahu makna pekerjaannya, dia pasti akan melakukan pekerjaan dengan rasa bangga, dan yang terpenting, dia akan membuat pekerjaannya penuh arti, bagi dirinya, dan bagi keluarganya.


By: James Gwee












Baca selengkapnya...

Menjadi Orang Yang Berpikir Positif

Jerry adalah seorang manager restoran di Amerika. Dia selalu dalam semangat yang baik dan selalu punya hal positif untuk dikatakan. Jika seseorang bertanya kepadanya tentang apa yang sedang dia kerjakan, dia akan selalu menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar!" Banyak pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja, sehingga mereka dapat tetap mengikutinya dari satu restoran ke restoran yang lain. Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut keluar mengikuti Jerry adalah karena sikapnya. Jerry adalah seorang motivator alami jika karyawannya sedang mengalami hari yang buruk, dia selalu ada di sana, memberitahu karyawan tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialamai.

Melihat gaya tersebut benar-benar membuat aku penasaran, jadi suatu hari aku temui Jerry dan bertanya padanya, "Aku tidak mengerti! Tidak mungkin seseorang menjadi orang yang berpikiran positif sepanjang waktu. Bagaimana kamu dapat melakukannya?" Jerry menjawab, "Tiap pagi aku bangun dan berkata pada diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat memilih untuk ada di dalam suasana yang baik atau memilih dalam suasana yang jelek. Aku selalu memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu terjadi, aku dapat memilih untuk menjadi korban atau aku belajar dari kejadian itu. Aku selalu memilih belajar dari hal itu. Setiap ada sesorang menyampaikan keluhan, aku dapat memilih untuk menerima keluhan mereka atau aku dapat mengambil sisi positifnya. Aku selalu memilih sisi positifnya.

"Tetapi tidak selalu semudah itu," protesku. "Ya, memang begitu," kata Jerry, "Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu membuang seluruh masalah, setiap keadaan adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana bereaksi terhadap semua keadaan. Kamu memilih bagaimana orang-orang disekelilingmu terpengaruh oleh keadaanmu. Kamu memilih untuk ada dalam keadaan yang baik atau buruk. Itu adalah pilihanmu, bagaimana kamu hidup."

Beberapa tahun kemudian, aku dengar Jerry mengalami musibah yang tak pernah terpikirkan terjadi dalam bisnis restoran : membiarkan pintu belakang tidak terkunci pada suatu pagi dan dirampok oleh tiga orang bersenjata. Saat mencoba membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah memutar nomor kombinasi. Para perampok panik dan menembaknya.

Untungnya, Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit. Setelah menjalani operasi selama 18 jam dan seminggu perawatan intensif, Jerry dapat meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian peluru masih berada di dalam tubuhnya. Aku melihat Jerry enam bulan setelah musibah tersebut. Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat bekas luka-lukaku?" Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan. "Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus mengunci pintu belakang," jawab Jerry. "Kemudian setelah mereka menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk hidup". "Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, "Para ahli medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan". "Apa yang kamu lakukan?" tanya saya. "Disana ada suster gemuk yang bertanya padaku," kata Jerry. "Dia bertanya apakah aku punya alergi. 'Ya' jawabku. Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' Ditengah tertawa mereka aku katakan, 'Aku memilih untuk hidup. Tolong aku dioperasi sebagai orang hidup, bukan orang mati'.

"Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena sikapnya hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau membencinya. Satu hal yang benar-benar milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain adalah sikap hidupmu, sehingga jika kamu bisa mengendalikannya dan segala hal dalam hidup akan jadi lebih mudah.












Baca selengkapnya...

Sesuatu Tidak Selalu Kelihatan Sebagaimana Adanya

Dua orang malaikat berkunjung ke rumah sebuah keluarga kaya. Keluarga itu sangat kasar dan tidak mengijinkan kedua malaikat itu bermalam di ruang tamu yang ada di rumahnya. Malaikat tersebut ditempatkan pada sebuah kamar berukuran kecil yang ada di basement. Ketika malaikat itu hendak tidur, malaikat yg lebih tua melihat bahwa dinding basement itu retak. Kemudian malaikat itu memperbaikinya sehingga retak pada dinding basement itu lenyap. Ketika malaikat yg lebih muda bertanya mengapa ia melakukan hal itu, malaikat yg lebih tua menjawab, "Sesuatu tidak selalu kelihatan sebagaimana adanya".

Malam berikutnya, kedua malaikat itu beristirahat di rumah seorang petani dan istrinya yang miskin tetapi sangat ramah. Setelah membagi sedikit makanan yang ia punyai, petani itu mempersilahkan kedua malaikat untuk tidur di atas tempat tidurnya.

Ketika matahari terbit keesokan harinya, malaikat menemukan bahwa petani itu dan istrinya sedang menangis sedih karena sapi mereka yang merupakan sumber pendapatan satu-satunya bagi mereka terbaring mati.

Malaikat yg lebih muda merasa geram. Ia bertanya kepada malaikat yg lebih tua, "Mengapa kau membiarkan hal ini terjadi? Keluarga yg pertama memiliki segalanya, tapi engkau menolong menambalkan dindingnya yg retak. Keluarga ini hanya memiliki sedikit tetapi walaupun demikian mereka bersedia membaginya dengan kita. Mengapa engkau membiarkan sapinya mati ?" Malaikat yg lebih tua menjawab, "Sesuatu tidak selalu kelihatan sebagaimana adanya."

"Ketika kita bermalam di basement, aku melihat ada emas tersimpan di lubang dlm dinding itu. Karena pemilik rumah sangat tamak dan tidak bersedia membagi hartanya, aku menutup dinding itu agar ia tidak menemukan emas itu."

"Tadi malam ketika kita tidur di ranjang petani ini, malaikat maut datang untuk mengambil nyawa istrinya. Aku memberikan sapinya agar malaikat maut tidak jadi mengambil istrinya. Sesuatu tidak selalu kelihatan sebagaimana adanya."

Kadang2 itulah yang kita rasakan ketika kita berpikir bahwa sesuatu tidak seharusnya terjadi. Jika kita punya iman, kita hanya perlu percaya sepenuhnya bahwa semua hal yang terjadi adalah demi kebaikan kita. Kita mungkin tidak menyadari hal itu sampai saatnya tiba.











Baca selengkapnya...

Pada Akhirnya Hanya Keindahan

Setiap perjalanan (termasuk perjalanan hidup) sering diganggu oleh pertanyaan nakal sekaligus usil : di mana dan bagaimana akhirnya ?

Disebut nakal dan usil karena pertanyaan ini juga yang membuat manusia buru-buru, tidak sabar, mudah memberi judul gagal. Untuk kemudian, membiarkan hampir setiap pengalaman keseharian kehilangan keindahannya. Seperti berjalan ke Bandung lewat Puncak misalnya.

Karena tidak sabar dan buru-buru maka keindahan pemandangan berupa hijaunya daun teh, hamparan pemandangan yang berujung pada kota Jakarta sampai dengan hawa dingin, segar dan sejuk, hilang begitu saja tanpa sempat dinikmati.

Hal yang serupa juga terjadi dengan kehidupan. Setiap langkah yang buru-buru dan tidak sabar mau segera sampai di tujuan, membuat terlalu banyak keindahan yang hilang. Seperti memakan sebatang pisang. Ketika buru-buru tidak saja hadir kemungkinan lidah tergigit, tetapi juga banyak keindahan yang hilang. Memakan pisang (demikian juga hidup) tujuannya bukanlah menghabiskan pisangnya secepat dan sesingkat mungkin. Melainkan menikmati setiap gigitan dan kunyahan. Setiap gerakan mulut sebenarnya menghadirkan keindahan.

Dalam hidup juga tersedia terlalu banyak sahabat yang buru-buru.

Ketika lulus sekolah, buru-buru mau bekerja. Setelah bekerja, buru- buru mau jadi direktur. Setelah jadi direktur buru-buru mau jadi presiden direktur. Setelah jadi presiden direktur, baru terasa kalau banyak sekali yang hilang. Tawa canda sahabat ketika masih di bawah dulu. Ketulusan dan kejujuran orang lain ketika masih jadi orang bisasa. Teman-teman sekeliling yang datang hanya untuk berteman, tanpa motif yang kotor-kotor. Pelukan dan ciuman anak istri yang dulu sering hadir karena waktu bersama yang melimpah. Dan setelah menoleh seperti ini, baru sadar kalau dalam langkah-langkah hidup yang buru-buru, banyak sekali yang hilang di belakang. Dan diganti oleh kekinian dan masa depan yang kering, gersang dan penuh ketakutan.

Disinari oleh kesadaran seperti inilah, mulai banyak pejalan kaki di dunia kejernihan berhenti buru-buru. Bukannya berhenti berusaha, sekali lagi bukan. Melainkan berhenti buru-buru dan berhenti diganggu oleh pertanyaan usil dan nakal : di mana dan bagaimana akhirnya ? Kemudian bersahabat serta berpelukan mesra dengan kekinian yang suci. Berjalan tetap berjalan, melangkah ke tujuan juga masih, cuman tidak ada keindahan dalam kekinian yang dibiarkan berlalu tanpa rasa syukur.

Seperti Anda yang sedang membaca tulisan pendek ini. Kesimpulan akhirnya memang belum ketahuan. Rangkaian makna yang bisa mengendap ke dalam juga belum tahu. Apa lagi derajat perubahan yang ditimbulkan karena membaca tulisan ini, masih jauh. Cuman ada suara tarikan nafas masuk dan hembusan nafas keluar yang berbunyi dan bertutur tentang sesuatu. Ada kekayaan badan sehat yang perlu disyukuri. Ada kursi empuk yang menyangga dengan setianya. Dan masih banyak lagi yang lain.

Bagi sahabat-sahabat yang sudah belajar berpelukan mesra dengan masa kini yang suci, kemudian ada kekuatan yang mendidik untuk memasuki wilayah surrender (ikhlas). Berbeda dengan pikiran yang serakah memilih sukses di atas gagal, benar di atas salah, baik di atas buruk, keikhlasan ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya satu : semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna ! Salah seorang sahabat yang sudah sampai di sini bernama Eckart Tolle.

Dalam karyanya yang berjudul Stillness Speaks ia menulis : sometimes surrender means giving up trying to understand and becoming comfortable with not knowing . Ikhlas bisa berarti berhenti berusaha untuk mengerti. Bahkan ketika tidak tahupun masih merasa aman dan nyaman.

Terus terang, kesimpulan ini agak menghentak. Terutama pada zaman di mana manusia baru merasa aman dan nyaman ketika tahu, tiba-tiba ada yang mengatakan belajar aman dan nyaman ketika tidak tahu. Dan ternyata ada benarnya. Tidak semua segi hidup bisa diketahui. Tiga pertanyaan penting kehidupan (dari mana saya datang sebelum lahir, kenapa ada di sini, kemana pergi setelah mati) menyimpan bagian- bagian gelap yang tidak bisa diketahui. Ilmu pengetahuan sudah berjalan demikian jauh, teknologi sudah bekerja demikian keras, tetapi toh jawaban terhadap ketiga pertanyaan tadi belum bisa disepakati sepenuhnya.

Indahnya, begitu manusia terbiasa aman dan nyaman dalam ketidaktahuan, pintu-pintu keindahan seperti terbuka si sana-sini.

Jangankan ketika makan enak, menarik dan menghembuskan nafaspun ada yang indah. Jangankan ketika berlimpah rezeki, tanpa ada limpahan rezekipun masih ada yang bersyukur di dalam sini. Jangankan ketika sehat, tatkala sakitpun masih bisa melihat makna. Jangankan ketika naik pangkat, tatkala pensiunpun tersisa berlimpah keindahan.

Salah seorang sahabat yang pernah sampai di sini bernama James Redfield. Dalam sebuah karyanya yang menawan yang berjudul The Secret of Shambala , ia menulis : focus on the beauty, and begin to breath in the energy within. Ketika manusia terfokus pada keindahan, dan menarik energi di dalam melalui nafas, di mana-mana hanya tersisa keindahan, keindahan dan hanya keindahan.

Dalam lapisan-lapisan keindahan yang lebih dalam, Hazrat Inayat Khan pernah mengemukakan, bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan ? Ketika topeng keindahan dibuka, bukankah yang tersiasa hanya kesucian ?

Tatkala semuanya hanya keindahan, bukankah ada yang terlahir kembali?


Sumber: Pada Akhirnya Hanya Keindahan oleh Gede Prama












Baca selengkapnya...

Bisa Mati Kapan Saja

Seorang pria mendatangi Sang Guru, "Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apa pun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati saja.

"Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit." "Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, Sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu dinamakan Alergi Hidup."

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa, dan menderita.

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku," kata Sang Guru. "Tidak Guru, tidak! Saya sudah betul-betul bosan. Saya tidak ingin hidup," pria itu menolak tawaran sang guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya, memang saya sudah bosan hidup." "Baiklah, kalau begitu maumu. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok petang. Besok malam kau akan mati dengan tenang."

Giliran pria itu jadi bingung. Setiap guru yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat hidup. Yang satu ini aneh. Ia malah menawarkan racun. Tetapi karena ia memang sudah betul-betul jemu, ia menerimanya dengan senang hati. Sesampai di rumah, ia langsung menenggak setengah botol "obat" dari Sang Guru. Dan... ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya... Begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu." Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya dan ia tergerak untuk melakukan jalan pagi. Pulang ke rumah setengah jam kemudian, ia melihat istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istri pun merasa aneh sekali. Selama ini, mungkin aku salah, "Maafkan aku, sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Boss kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap perbedaan pendapat. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang ke rumah petang itu, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Pa, maafkan kami semua. Selama ini Papa selalu stress karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Seketika hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum? Ia mendatangi Sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, Sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh! Jika kau hidup dalam kekinian, jika kau hidup dengan kesadaran bahwa engkau bisa mati kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Hilangkan egomu, keangkuhanmu. Jadilah lembut, selembut air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah jalan menuju ketenangan. Itulah kunci kebahagiaan."

Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu pulang untuk mengulangi pengalaman sehari terakhirnya. Ia terus mengalir. Kini ia selalu hidup dengan kesadaran bahwa ia bisa mati kapan saja. Itulah sebabnya, ia selalu tenang, selalu bahagia!

Tunggu. Kita semua SUDAH TAHU bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA. Tapi masalahnya: apakah kita SELALU SADAR bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA? Nah!









Baca selengkapnya...

Poor Me, Lucky Them

Dari buku "Opening the Door of Your Heart" Ajahn Brahm

Kehidupan bhikkhu junior di Thailand rasanya tidaklah adil. Bhikkhu senior mendapatkan makanan terbaik, duduk di tempat paling empuk dan tidak perlu kerja mengangkut-angkut apapun. Makanan hari ini (bhikkhu hutan hanya makan sekali sehari) tidak mengundang selera; saya harus duduk berjam-jam dalam sebuah acara di semen yang keras (dan juga tidak rata, karena penduduk tidak begitu pandai dalam menyemen); dan kadang-kadang saya harus bekerja keras. Malangnya saya; beruntungnya mereka.

Saya menghabiskan waktu yang lama dan tidak menyenangkan untuk memikirkan keluhan saya. Bhikkhu senior mungkin sudah tercerahkan, jadi makanan enak merupakan kesia-siaan, seharusnya sayalah yang mendapatkan makanan terbaik. Bhikkhu senior sudah terbiasa duduk bersila di lantai yang keras selama bertahun-tahun, karena itu sayalah yang seharusnya duduk di tempat yang empuk. Lagipula, bhikkhu senior gemuk-gemuk karena makan makanan yang enak-enak, jadi sudah memiliki bantalan alam? sendiri. Bhikkhu senior hanya ngomong bhikkhu junior harus kerja, tapi tak pernah kerja sendiri, jadi bagaimana mereka bisa mengerti betapa panas dan melelahkannya mendorong kereta dorong itu? Proyek itu adalah ide mereka, jadi seharusnya merekalah yang bekerja! Malangnya saya; beruntungnya mereka.

Ketika saya sudah menjadi bhikkhu senior, saya makan makanan terbaik, duduk di tempat yang empuk dan hanya sedikit bekerja fisik. Namun, ternyata saya malah iri kepada bhikkhu junior. Mereka tidak perlu memberikan ceramah, tidak perlu mendengarkan keluhan umat, problem sehari-hari mereka dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam untuk urusan administrasi. Mereka tidak perlu bertanggung-jawab dan mereka memiliki begitu banyak waktu luang. Saya jadi berpikir, malangnya saya; beruntungnya mereka!?

Segera saya tersadar. Bhikkhu junior memiliki penderitaan bhikkhu junior? Bhikkhu senior memiliki penderitaan bhikkhu senior? Sewaktu saya menjadi bhikkhu senior, saya hanyalah mengganti satu bentuk penderitaan ke bentuk lain.

Seperti itu jugalah berlaku pada orang-orang yang masih single (baca: jomblo) yang iri kepada mereka yang sudah menikah, dan mereka yang sudah menikah iri kepada yang masih single. Dari sini kita mengerti, sewaktu kita menikah, kita hanyalah mengganti penderitaan orang single? dengan penderitaan orang menikah? Sewaktu kita bercerai, kita hanyalah mengganti penderitaan orang menikah? dengan penderitaan orang single? Malangnya saya; beruntungnya mereka.

Sewaktu kita miskin, kita iri kepada mereka yang kaya. Namun, banyak orang kaya yang iri kepada persahabatan tulus dan waktu luang yang dimiliki oleh mereka yang miskin. Menjadi kaya hanyalah mengganti penderitaan orang miskin? dengan penderitaan orang kaya? Pensiun dan penurunan penghasilan hanyalah mengganti penderitaan orang kaya? dengan penderitaan orang miskin? Begitu seterusnya? Malangnya saya; beruntungnya mereka.

Dengan berpikir anda akan bahagia kalau sudah menjadi sesuatu yang lain hanyalah khayalan. Menjadi sesuatu yang lain hanyalah mengganti satu bentuk penderitaan dengan bentuk yang lain. Tapi saat anda puas dan berdamai terhadap apapun adanya anda, junior ataupun senior, menikah ataupun jomblo, kaya ataupun miskin, maka anda bebas dari penderitaan. Beruntungnya saya; malangnya mereka . . .













Baca selengkapnya...

The Balance of Life

“Ketika kita telah mencapai suatu keseimbangan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan bisnis dengan menggunakan kemampuan maksimal yang telah membawakan keuntungan dalam segi fisik, kejiwaan, dan rohani, kita adalah orang yang berhasil."
~Zig Ziglar~

Dapat memiliki keberhasilan spiritual, mental dan material adalah lambang dari kesuksesan yang berimbang, tentunya semua orang ingin hidup bahagia melalui pencapaian kesuksesannya. Namun banyak yang tidak tahu caranya menjadi bahagia atau belum menemukan caranya. Lalu apa itu bahagia, sebenarnya?

Kata bahagia itu relatif bagi setiap orang dan tidak berwujud, jadi sulit mengartikannya. Namun, sebelumnya saya akan jelaskan arti kata tidak bahagia (unhappy) sebagai perbandingan dengan kata happiness seperti yang pernah diutarakan oleh Mr. Joger, "unhappy" atau "rasa tidak bahagia" adalah sebuah perasaan yang biasanya muncul di saat kenyataan yang terjadi atau yang tidak terjadi, ternyata tidak sesuai dengan keinginan kita. Rasa tidak bahagia adalah rasa yang tidak enak atau tidak nyaman, yang muncul karena kita merasa telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Rasa tidak bahagia adalah perasaan bersalah, karena kita telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan hak kita. Rasa tidak bahagia adalah perasaan berdosa yang muncul karena kita telah melanggar perintah Tuhan, atau melanggar suara hati nurani kita yang terdalam.
Sebaliknya rasa bahagia adalah perasaan jika kita sudah mau dan bisa menyukuri kenyataan, tidak peduli apakah kenyataan itu sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan kita semula. Seseorang bisa mengalami kebahagiaan, hanyalah jika orang tersebut memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa sebagai manusia kita memang boleh mempunyai berbagai keinginan tapi untuk memutuskan apakah keinginan itu pantas dan boleh terwujud, hanyalah Tuhan Maha Kuasa yang berhak menentukannya.

Tentunya kita sendiri punya gambaran mengenai arti kebahagiaan, akan lebih bijaksana jika kita bisa mengartikan sendiri apa itu kebahagiaan. Menurut saya bila kita dapat mencapai keberhasilan spiritual, mental dan material yang berimbang dan dapat mesyukurinya dengan tulus, maka kebahagiaan telah kita dapatkan.
"Lebih baik sedikit yang cukup, daripada banyak yang kurang!" Banyak orang ketika masih belum punya uang banyak malah hidupnya tenang dan bahagia, tapi anehnya, justru ketika sudah punya uang banyak, mereka malah merasa takut kekurangan dan tetap saja serakah main sikut sana sini? Marilah kita jaga keseimbangan! Jangan sampai terlalu banyak uang, tapi juga jangan sampai terlalu kurang uang!
~Joger~

Keseimbangan hidup adalah suatu pencapaian keberhasilan yang berimbang antara keberhasilan lahiriah dan keberhasilan batiniah, lazimnya kita menyebutnya keberhasilan spiritual dan keberhasilan material. Namun, saya menambahkan satu unsur penting dalam pencapaian keberhasilan tersebut, yaitu keberhasilan mental, karena keberhasilan mental sangat berpengaruh dalam menjembatani antara keberhasilan spiritual dan keberhasilan material.

Tiga unsur penting ini adalah merupakan suatu pondasi kesuksesan yang harus kita miliki jika kita ingin membangun suatu kesuksesan yang langgeng.Kesalahan terbesar yang pernah kita lakukan adalah membangun kesuksesan tanpa memikirkan adanya pondasi yang benar. Justru letak kekuatan pondasi sangat berperan dalam pembangunan kesuksesan. Jika hal ini diabaikan maka kita akan lebih mudah terjerumus dalam kehausan akan harta lahiriah semata yang berdampak pada kekeringan batiniah. Seperti yang dikatakan oleh Mr. Jogger sesungguhnya kebahagiaan ada di tangan kita, tapi tidak semua orang mampu mengartikannya dengan benar. Marilah kita mulai memikirkan pembangunan kehidupan kita di atas pondasi yang benar, kokoh dan yang dapat menjamin hidup kita kelak.
Hidup yang bahagia ada di tangan Anda.Seperti yang pernah ditulis oleh Dale Carnegie, "Ingatlah, kebahagiaan tidak bergantung pada siapa Anda atau pada apa yang Anda miliki. Kebahagiaan tergantung sepenuhnya pada apa yang Anda pikirkan. Oleh sebab itu, mulailah setiap hari dengan memikirkan hal-hal yang dapat kita syukuri. Masa depan Anda akan sangat bergantung pada pikiran-pikiran Anda hari ini. Pikirkanlah hal-hal yang memberikan pengharapan, keyakinan, kasih dan keberhasilan." Kebahagiaan Anda ada di tangan Anda, pertanyaannya apakah Anda bersedia menggapainya atau Anda akan tetap berdiam diri? Pilihan ada di tangan Anda. Salam sukses selalu.

Yance Chan - Wealth Motivator











Baca selengkapnya...

Selasa, 28 Oktober 2008

Lampu Merah

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju. Prit !

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"

"Hai, Jack." Tanpa senyum. "Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."

"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."

"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.

"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.

Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu."

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.

Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya. Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah, Bob”

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.



Penulis tanpa nama.














Baca selengkapnya...

Kekuatan Tanpa Kekerasan

Oleh: Dr. Arun Gandhi
Dari: The Power Of Nonviolence

Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K. Gandhi untuk Tanpa-Kekerasan.

Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama di orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?"

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu."

Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu.

Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."

Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah.

Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saja tidak pernah akan berbohong lagi.

Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi.

Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.










Baca selengkapnya...

Prinsip Kehidupan Tertinggi Pada Kondisi Tersulit

Penulis : Gao Xingyu

David kuliah di fakultas perdagangan Arlington – USA. Kehidupan kampusnya, terutama mengandalkan kiriman dana bulanan secukupnya dari orang tuanya.

Entah bagaimana, sudah 2 bulan ini rumah tidak mengirimi uang ke David lagi. Di kantong David hanya tersisa 1 keping dollar saja. David dengan perut keroncongan berjalan ke bilik telepon umum, memasukkan seluruh dananya yaitu satu keping uang logam itu ke dalam telepon.

”Halo, apa kabar,” telpon telah tersambung, ibu David yang berada ribuan km jauhnya berbicara.

”David dengan nada agak terisak berkata: “Mama, saya tidak punya uang lagi, sekarang lagi bingung karena kelaparan.”

”Ibu David berkata: “Anak tersayang, mama tahu.”

Sudah tahu kenapa masih tidak mengirim uang? David baru saja hendak melontarkan dengan penuh kekesalan pertanyaan tersebut kepada sang ibu, mendadak merasakan perkataan ibunya mengandung sebuah kesedihan yang mendalam. Firasat David mengatakan ada yang tidak beres, ia cepat-cepat bertanya: “Mama, apa yang telah terjadi di rumah?”

Ibu David berkata: “Anakku, papamu terkena penyakit berat, sudah lima bulan ini, tidak saja telah meludeskan seluruh tabungan, bahkan karena sakit telah kehilangan tempat kerjanya, sumber penghasilan satu-satunya di rumah telah terputus. Oleh karena itu, sudah 2 bulan ini tidak mengirimimu uang lagi.” Mama sebenarnya tidak ingin mengatakannya kepadamu, tetapi kamu sudah dewasa, sudah saatnya mencari nafkah sendiri.”

Ibu David berbicara sampai disitu, tiba-tiba menangis tersedu sedan.

Di ujung telepon lainnya, air mata David juga “tes”, “tes” tak hentinya menetes, dan ia berpikir: Kelihatannya saya harus drop out dan pulang kampung.

David berkata kepada ibunya: “Mama, kamu jangan bersedih, saya sekarang juga akan mencari pekerjaan, pasti akan menghidupi kalian.”

Kenyataan yang pahit telah membuat David terpukul hingga pusing tujuh keliling. Masih 1 bulan lagi, semester kali ini akan selesai, jikalau memiliki uang, barang 8 atau 10 dollar saja, maka David mampu bertahan hingga liburan tiba, kemudian menggunakan 2 bulan masa liburan untuk bekerja menghasilkan uang.。Akan tetapi sekarang 1 sen pun tak punya, mau tak mau harus drop out. Pada detik ketika David mengatakan “Sampai jumpa” kepada ibunya dan meletakkan gagang telpon itu sungguh luar biasa menyakitkan, karena prestasi kuliahnya sangat bagus, selain itu ia juga menyukai kehidupan di kampus fakultas perdagangan Arlington tersebut. Sesudah meletakkan gagang telpon, pesawat telpon umum tersebut mengeluarkan bunyi gaduh, David dengan terkejut dan terbelalak menyaksikan banyak keping dollar menggerojok keluar dari alat itu. David berjingkrak kegirangan, segera menjulurkan tangannya menerima uang-uang tersebut.

Sekarang, terhadap uang-uang itu, bagaimana menyikapinya? Hati David masih merasa sangsi, diambil untuk diri sendiri, 100% boleh, satu: Karena tidak ada yang tahu, dua: Diri sendiri betul-betul sedang membutuhkan. Namun bolak-balik dipertimbangkan, David merasa tidak patut memilikinya。 Setelah melalui sebuah pertarungan konflik batin hebat, David memasukkan salah satu keping dolar itu ke dalam telepon dan menghubungi bagian pelayanan umum perusahaan telepon.

Mendengar penuturan David, nona pelayanan umum berkata: “Uang itu milik perusahaan telepon, maka itu harus segera dikembalikan (ke dalam mesin telepon)”

Setelah menutup telepon, David hendak memasukkan kembali keping logam uang itu, tetapi sekali demi sekali uang dimasukkan, pesawat otomat itu terus menerus memuntahkannya kembali.

”Sekali lagi David menelepon pelayanan umum yang berkata: "Saya juga tak tahu harus bagaimana, sebaiknya saya sekarang minta petunjuk atasan.“

Nada bicara David yang sendirian dan tiada yang menolong memancarkan getaran kesepian dan kuyu, nona pelayanan umum sangat dapat merasakannya, menilik perkataan dari ujung telepon dia merasakan seorang asing yang bermoral baik sedang perlu dibantu.

Tak lama kemudian, nona pelayanan umum menelepon ulang pesawat otomat yang sedang bermasalah itu. ” Dia berkata kepada David: “Saya telah memperoleh ijin dari atasan yang berkata uang tersebut untuk anda, karena perusahaan kami saat ini tidak punya cukup tenaga, tak ingin demi beberapa dollar kusus mengirim petugas ke sana.”

”Hore!” David meloncat saking gembiranya. Sekarang, uang logam itu secara sah dan gamblang menjadi miliknya. David membungkukkan badannya dan dengan seksama menghitungnya, total berjumlah 9 dollar 50 sen. Uang sejumlah ini cukup buat David bertahan hingga bekerja memperoleh upah pertamanya pada saat liburan nanti.

Dalam perjalanan ke kampus, David tersenyum terus sepanjang jalan. Ia memutuskan membeli makanan dengan menggunakan uang itu lantas mencari pekerjaan.

Dalam sekejap liburan telah tiba, David telah memperoleh pekerjaan sebagai pengelola gudang supermarket. Pada hari tersebut, David menjumpai boss perusahaan supermarket, menceritakan kepadanya tentang kejadian di telepon umum dan keinginannya untuk mencari pekerjaan. Si boss supermarket memberitahu David boleh datang bekerja setiap saat, tidak hanya pada liburan saja, sewaktu kuliah dan tidak terlalu sibuk juga boleh bergabung, karena boss supermarket merasa David adalah orang yang tulus dan jujur, terutama adalah orang yang seksama, membenahi gudang mutlak bisa dipercaya.

David bekerja dengan sangat giat, boss sangat mengapresiasinya dan juga merasa kasihan. Si boss memberinya upah dobel.

Sesudah menerima gaji, David mengirimkan keseluruhan gajinya kepada sang ibu, karena pada saat itu David sudah mendapatkan info bahwa ia berhasil memperoleh bea siswa untuk satu semester berikutnya.

Sesudah 1 bulan, uang dikirim balik ke David. Sang ibu menulis di dalam suratnya: “Penyakit ayahmu sudah agak sembuh, saya juga telah mendapatkan pekerjaan, bisa mempertahankan hidup.” Kamu harus belajar dengan baik, jangan sampai kelaparan."

Sesudah membaca surat itu, David menangis lagi. David tahu, meski orang tuanya menahan lapar, juga tidak bakal meminta uang kepada David yang sedang perlu dibantu.

Setiap kali memikirkan hal ini, David berlinang bersimbah air mata, sulit menenangkan gejolak hatinya.

Setahun kemudian, David dengan lancar menyelesaikan kuliahnya. Setelah lulus, David membuka sebuah perusahaan, tahun pertama, David sudah mengantongi laba US $ 100.000. Ia senantiasa tak bisa melupakan kejadian di telepon umum. Ia menulis surat kepada perusahaan telepon tersebut: “Hal yang tak bisa saya lupakan untuk selamanya ialah, perusahaan anda secara tak terduga telah membantu dana US $ 9,50 kepada saya. Perbuatan amal ini, telah membuat saya batal menjadi pemuda drop out dan menuju kondisi miskin, bersamaan itu juga telah memberi saya energi tak terhingga, mendorong saya setiap saat tidak melupakan untuk berjuang. ”Kini saya mempunyai uang, saya ingin menyumbang balik sebanyak US $ 10.000 kepada perusahaan anda, sebagai rasa terima kasih saya.”

Boss perusahaan telpon bernama Bill membalasnya dengan surat dipenuhi antusiasme: “Selamat atas kesuksesan kuliah anda dan usaha yang telah berkembang. Kami kira, uang tersebut adalah uang yang paling patut kami keluarkan. Ini bukannya merujuk pada $9,50 yang dikembalikan dengan $ 10.000, melainkan uang itu telah membuat seseorang memahami sebuah petuah tentang prinsip tertinggi kehidupan: Di saat paling sulit, satu: Jangan melupakan harapan sudah ada di depan mata; dua: Jangan melupakan menjaga moralitas.”

20 tahun telah berlalu, bagaimana dengan David sekarang? Di kota Chicago – Amerika, terdapat sebuah gedung mewah, yang tampak luarnya menyerupai sebuah bilik telepon umum, itu adalah gedung perusahaan ADDC. Pendiri perusahaan ADDC, presiden direktur saat ini, ialah David. David, selain itu juga adalah salah satu penyumbang terbesar untuk badan amal.














Baca selengkapnya...

Tenzing Norgay

Tenzing Norgay?.....apaan sih.....atau...siapa sih....

Tenzing Norgay adalah nama orang, mungkin buat kebanyakan dari kita akan mengatakan nama yang aneh.....dari negara mana nama tersebut berasal?.....

Mungkin Anda pernah membaca atau mendengar namanya...mungkin juga belum...bagaimana kalau saya sebutkan nama Sir Edmund Hillary...ya kalau yang ini sih saya sering dengar atau pernah baca biografinya atau pernah mendapatkan kisah hidupnya dalam sebuah artikel atau sewaktu mengikuti seminar. Ya, Sir Edmund Hillary adalah orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dunia Puncak Gunung Everest. Tetapi saat ini bukan Sir Edmund Hillary yang akan kita bahas, tetapi Tenzing Norgay.

Tenzing Norgay seorang penduduk asli Nepal yang bertugas sebagai pemandu bagi para pendaki gunung yang berniat untuk mendaki gunung Everest. Tenzing Norgay menjadi pemandu (orang nepal menyebutnya Sherpa) bagi Sir Edmund Hillary. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30, Tenzing Norgay bersama dengan Sir Edmund Hillary berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi Everest pada ketinggian 29,028 kaki diatas permukaan laut dan menjadi orang pertama didunia yang kemudian menjadi inspirasi dan penyemangat bagi ratusan pendaki berikutnya untuk mengikuti prestasi mereka. Pada rentang waktu tahun 1920 sampai dengan tahun 1952, tujuh tim ekspedisi yang berusaha menaklukkan Everest mengalami kegagalan.

Keberhasilan Sir Edmund Hillary pada saat itu sangat fenomenal mengingat baru berakhirnya Perang Dunia II dan menjadi semacam inspirator untuk mengembalikan kepercayaan diri bagi seluruh bangsa di dunia. Karena keberhasilannya, Sir Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris yang baru saja dilantik saat itu Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang paling dikenal di seluruh dunia.

Tetapi dibalik keberhasilan itu Tenzing Norgay memiliki peran yang sangat besar, mengapa Tenzing Norgay tidak menjadi terkenal dan mendapatkan semua yang didapatkan oleh Sir Edmund Hillary padahal ia adalah sang pemandu yang membantu dan mengantarkannya mencapai Puncuk Mount Everest? Seharusnya bisa saja ia lah orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Mount Everest bukan Sir Edmund Hillary.

Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cuplikannya :

Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?

Tenzing Norgay : Sangat senang sekali

Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest?

Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia....

Reporter : Mengapa Anda lakukan itu???

Tenzing Norgay : Karena itulah IMPIAN Edmund Hillary, bukan impian saya.....impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih IMPIAN nya.

Ya, itulah sekelumit kisah tentang seorang pemandu pendaki bernama Tenzing Norgay. Ia tidak menjadi serakah, ataupun iri dengan keberhasilan, nama besar dan semua penghargaan yang diperoleh Sir Edmund Hillary. Ia cukup bangga dapat membantu orang lain mencapai & mewujudkan IMPIAN nya.

Dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia kerja kita secara pribadi terbiasa atau terkondisikan untuk fokus kepada diri kita sendiri, siapa yang mendapat nama, apa yang kita dapatkan, bonus, penghargaan, insentif dan sebagainya. Sebagai renungan "Bisakah kita menjadi seperti Tenzing Norgay?" .....sebenarnya bukan Bisa atau Tidak...tapi MAU atau TIDAK!

Bagaimana menurut Anda ?



















Baca selengkapnya...

Suatu Saat Di Dalam Taxi . . .

”Jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah semuanya seperti kita melakukan untuk Tuhan”.

Hari-hari terakhir pekerjaan kantor sangat melelahkan. Tidak ada waktu untuk ‘memanjakan’ diri sendiri. Bahkan saat akan beristirahat pun, segala masalah dan tugas dalam pekerjaan selalu menghantui pikiran.

Pagi ini, hari Senin, aku datang ke kantor dengan semangat yang sedikit lebih baik, setelah pada akhir pekan aku sempat untuk beristirahat. Saat kumasuki ruangan kerjaku, telpon berdering. Aku angkat dan terdengar teriak dari ujung telpon. “Ke ruangan saya sekarang”. Wah ada apa ini ?

Pagi-pagi boss sudah marah-marah. “Bagaimana ini? Kerja ngak pernah beres. Saya harus presentasi hari ini, bahan yang kamu sediakan sama sekali tidak berguna. Buang-buang waktu saya saja.” Aku hanya terdiam, dalam hati aku sangat muak dan sebal mendengarnya. Minggu yang lalu, aku sudah ingatkan. Bahwa bahan presentasi yang beliau minta tidak akan mungkin dapat di selesaikan. Waktunya terlalu singkat. Sedangkan materinya sangat banyak. Saya usulkan untuk menggunakan presentasi yang sudah ada, dengan pembaharuan sedikit.”

Tapi bossku tetap memaksa untuk membuat bahan presentasi yang baru. Dengan bijaksana dia berargumen. “Ya sudah kamu persiapkan semampu kamu. Nanti saya akan bantu”. Sebenarnya saya sudah tahu, ini lagu lama, nanti pada akhirnya dia tidak akan membantu sama sekali dan ujung-ujung dia akan marah-marah, seperti saat ini.

Sebenarnya kalau mau jujur. Saya bisa saja menyelesaikan presentasi tersebut kalau mau mencurahkan lebih banyak waktu untuk mengerjakannya. Tapi, terus terang saya sudah malas dengan segala keinginan boss-ku. Nyaris setiap hari aku pulang larut malam. Pergi pagi pulang malam. Dari Senin sampai Sabtu. Dan segala pekerjaanku tidak pernah di hargai olehnya. Jadi aku pikir “masa bodoh dengan segala pekerjaan kantor. Aku sudah cape. Terserah deh, nanti jadinya apa. Gua kaga peduli”. Jadi Sabtu kemarin aku habis kan waktu dengan tidur seharian. Membaca buku, menonton televisi, dengar kaset. Laptop yang tegeletak di atas meja tidak aku sentuh sedikit pun. “Masa bodoh” pikirku. Boss ku masih saja mengoceh di depanku. Aku berpura-pura tertunduk dan menyesali segala kesalahanku. Padahal dalam hati, aku masa bodoh, setiap perkataannya tidak ada satu pun yang hinggap di dalam pikiran. Masuk kiri keluar kanan. Setelah 15 menit akhirnya keluar juga perkataan yang aku tunggu-tunggu. “Ya sudah. Keluar kamu.”

Aku kembali keruangan. Duduk. Kunyalakan komputer, seolah-olah hari ini tidak ada apa-apa. Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah jam 12. Saatnya makan siang. Langsung saja ku buka bekal yang aku bawa dari rumah. Dengan tergesa-gesa kusantap setiap sandok makan siangku. Hari ini aku harus jalan lagi keluar kantor. Menemui kantor yang mengeluh atas jasa layanan yang perusahaan kami berikan. Sambil makan aku mulai berpikir “Wah cape kerja di sini mah. Bossnya ngak punya otak. Emang gua apaan, robot? superman ? Masa bodo ah, sekarang sih gua kerjain yang gua mau aja. Masa bodo dengan boss. Mau ini kek mau itu kek, itu sih urusan dia sendiri. Gua kagak mau peduli.”

Sendok terakhir telah masuk ke dalam perut. Wah, kenyang juga. Kubenahi segala dokumen yang di butuhkan dan segera keluar kantor mencari taxi.

Sudah 5 menit aku menunggu, akhirnya taxi yang kutunggu datang juga. “Daerah kota pak” Seruku pada supir taxi. “Kotanya di mana pak?”, dia menimpali. “Wah, namanya apa yah ?” aku sendiri tidak begitu ingat. “Nanti saya tunjukkan jalannya kalau sudah sampai di sana” “Baik Pak”. Suasana hening

Tidak beberapa lama pak supir berkata, “Tadi orang yang pakai taxi ini sebelum Bapak, naik dari Taman Anggrek”. Dekat amat pikirku. Kantorku ada di daerah Citraland. “Kok mau sih pak?” ucapku. “Wah tidak baik menolak rejeki. Kalau Tuhan sudah kasih berkat, masa kita tolak”, ujarnya dengan logat Batak yang masih terasa. “Kalo supir lain sih pasti nolak. Kalau saya, ngak masalah, dekat atau jauh toh berkat dari Tuhan.”, “Wah, berfilsafat dia.”, pikirku. “Tapi sebenarnya untung juga sih kalau nariknya deket. Tadi saja saya di kasih uang Rp. 10.000,-padahal argonya ngak sampe 5 rebu. Saya senang juga. Tapi sebenarnya saya ngak tega kalo mesti nolak. Dia kan pasti mau buru-buru. Bagaimana rasanya, sesudah duduk, eh malah saya tolak. Sakit hati kan”. “Iya juga yah”, pikirku. Suasana hening kembali.

Kuperhatikan wajahnya dari kaca mobil. Kelihatannya ceria, tidak seperti sopir-sopir taxi yang lain yang rata-rata wajahnya cemberut. “Bapak sudah lama jadi sopir taxi”, tanyaku memecah keheningan. “Baru empat tahun Pak.”
“Sebelumnya kerja di mana ?”

“Dulu saya kerja di perhotelan.”

“Kerja di bagian apa Pak ?”

“Manager Operasional”. Hah ? Tidak salah dengar ? Manager ? ngak mungkin ah.

“Anak buahnya banyak pak ?”, tanyaku sedikit menyelidik.

“Ada sekitar 100 orang”.

“Terus, koq sekarang malah jadi sopir taxi”

“Wah, panjang ceritanya Pak.”

“Oh.”, gumanku dan tidak bertanya lebih lanjut, kelihatannya ada kenangan pahit yang dia alami. “Biasalah Pak, korban kena sikut”, ujarnya meneruskan, “Padahal dia teman baik saya. Tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu. “Tapi buat saya itu ngak masalah. Saya percaya Tuhan pasti akan tetap pelihara saya. Buktinya saya langsung bisa dapat pekerjaan lagi. Walaupun tidak sehebat seperti dahulu. Yah, sudah cukup lah, untuk kebutuhan sehari-hari”.

“Kenapa Bapak tidak mencoba melamar di hotel lain ?”

“Nama saya sudah rusak Pak.”

“Pasti karena di fitnah oleh teman baiknya itu”, pikir ku.

Kuperhatikan lagi wajahnya. Tetap ceria seperti tadi. Tidak nampak terbeban. “Lebih enak jadi sopir atau kerja seperti dulu Pak ?”, tanyaku.

“Wah, enak atau enggak tergantung hati kita Pak. Pokoknya kita mesti sadar, bahwa apa yang kita punya saat ini, Tuhan yang memberi. Mengucap syukur senantiasa. Sukacita bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita. Jadi kalau di tanya lebih enak mana, dulu atau sekarang, jawabannya yah: dua-duanya. Mau jadi apa aja ngak masalah, yang penting ada rasa syukur, pasti sukacita itu datang dengan sendirinya.”

Wah, jadi malu aku. Aku yang sejak kecil di didik dalam keluarga percaya, masih mengeluh kan pekerjaan yang saya terima. Padalah kalau dibandingkan dengan sopir taxi, pekerjaan saya jauh lebih enak. Dengan penghasilan yang lebih tinggi tentunya. Tapi, dasar ! Nggak ada ucapan syukurnya. Aku jadi teringat akan nasehat yang mengatakan “Jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukan untuk Tuhan”. Hmmm, hari ini aku di sadarkan kan oleh seorang supir taxi. Hari ini aku di kuatkan kembali untuk selalu bersyukur dalam segala hal.


Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)














Baca selengkapnya...

Kata-Kata Positif

Oleh: Joshua W. Utomo

Setiap pagi Stasiun Kereta Api Selatan (South Station) di kota Boston itu dipenuhi oleh ribuan manusia yang datang dari pelbagai wilayah di sekitar Metropolitan Boston.

Ribuan manusia dengan ribuan kepala dan ribuan ekspresi diri dan mimik muka tampak mewarnai Stasiun Kereta Api Selatan yang bila malam hari tampak lengang itu, kecuali pada saat badai salju dan hawa dingin menyerbu kota Boston, maka ratusan orang-orang gelandangan pun mencari perlindungan dan kehangatan di sana.

Kamis pagi ini pun tak jauh berbeda dengan pagi-pagi lainnya. Ribuan wajah menampilkan ribuan mimik muka yang menyimpan ribuan cerita dan suka dukanya masing-masing. Bila kita tidak sibuk memikirkan problem yang kita miliki, kita bisa melihat berbagai ekspresi wajah-wajah yang berlalu-lalang atau yang sedang duduk menanti kereta di Stasiun Selatan itu.

Wajah gembira dengan senyum dan tawanya ada di sana. Wajah kusut dalam kelelahan kerja ada di sana. Raut wajah duka dalam beban masalah rumah tangga ada di sana. Wajah putus asa dan tergesa ada di sana. Wajah berekspresi biasa atau bahkan tanpa ekspresi pun ada di sana. Anda pernah ke restoran dengan menu buffet kan? Nah, Stasiun Kereta Api Selatan di Boston ini mungkin tak jauh berbeda, hanya menu buffet-nya dalam skala yang jauh lebih besar--lha pilihannya ribuan, sih! Tahu maksudku, kan?! Sebab kalau sampek salah ngerti, bisa-bisa aku ini dianggap mempromosikan pola perilakunya si Sumanto yang kanibal itu. Kan bisa berabe nih!?

Temperatur Kamis pagi ini kembali jatuh hingga mencapai angka minus dalam derajat Celcius. Membuat sebagian dari ribuan wajah manusia di Stasiun Kereta Api Selatan Boston itu tak bisa kulihat dengan jelas. Karena sebagian besar telah menutup wajah-wajah mereka dengan kain-kain wool atau scarf demi melawan kerasnya angin dingin. Wajahku sendiri pun tampak tak begitu jelas, terkerudungi oleh scarf mbulak yang selalu setia menemaniku di saat hawa dingin datang mendera.

Hawa dingin membuat badanku yang sedikit letih ini semakin terasa lemah-lunglai saja. Kuayunkan langkah kakiku sedikit bergegas mencoba menerobos mencari jalan di antara ribuan manusia lainnya yang juga mulai tak tahan melawan angin dingin pagi ini. Sedikit sekali orang yang teribat dalam percakapan pagi ini. Masing-masing sibuk dengan diri mereka sendiri. Aku pun cukup sibuk dengan perjuangan melawan hawa dingin dan juga keletihan yang menyerang tubuhku pagi ini.

Sekitar sepuluh meter dari gerbong kereta api warna ungu, tiba-tiba aku dan ribuan manusia lainnya dikejutkan oleh suara merdu seorang laki-laki yang amat familiar menyapaku (dan tentu saja semua manusia lainnya pada pagi ini). Suara yang mirip suara penyiar radio terkenal atau pembaca berita di TV itu tidak hanya merdu sehingga enak didengar, tapi lebih daripada itu setiap kata dan ungkapan yang digunakan oleh si pemilik suara itu sangat menyegarkan dan seringkali terdengar kocak sekali. Setiap kali mendengar suara tak berwajah itu, aku hanya bisa tersenyum geli. Bahkan kadang aku tertawa terbahak (nggak keras-keras banget kok, bisa dianggap linglung nanti:) sendiri saat pemilik suara itu melemparkan humor-humor segarnya.

Wajah-wajah membisu dan membeku pun seketika mencair dan mulai menampakkan senyumnya. Suara merdu dan kata-kata penyiar radio lokal di Stasiun Kereta Api Selatan Boston yang positif, ringan dan menggelitik itu mengingatkanku pada betapa ampuhnya kata-kata itu. Kata-kata yang bernada positif mampu menguatkan kita pada saat lemah, dan menyegarkan pikiran kita kala kusut. Seperti yang dilakukan oleh suara penyiar radio lokal di stasiun kereta api selatan itu.

Dalam bukunya yang berjudul "Secrets From the Mountain" Pat Williams menceritakan sebuah percobaan yang dilakukan terhadap sekelompok pelajar. Percobaan itu adalah sebagai berikut:
“sekelompok pelajar itu diberitahu bahwa menurut hasil penelitian para ahli ilmu pengetahuan telah diketemukan bahwa anak-anak yang bermata coklat itu lebih pandai daripada anak-anak yang bermata biru.”

Tak seberapa lama kemudian, prestasi belajar anak-anak bermata coklat pun meningkat dengan drastisnya.

Beberapa Minggu kemudian, dikatakan lagi pada anak-anak pelajar itu bahwa ternyata hasil penelitian para ahli ilmu pengetahuan tersebut salah. Yang benar ternyata adalah bahwa anak-anak yang bermata birulah yang lebih pandai daripada anak-anak yang bermata coklat.

Alhasil, dalam waktu singkat berubah sudah prestasi anak-anak itu. Prestasi anak-anak yang bermata biru pun melesat dengan cepatnya, meninggalkan anak-anak yang bermata coklat.

Dari percobaan tersebut diketemukan bahwa kata-kata itu memang memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi perilaku dan sikap kita--baik ataupun buruk. Kata-kata itu tak hanya bisa mempengaruhi perilaku dan sikap anak-anak tapi juga perilaku dan sikap orang dewasa. Tidak percaya silahkan dicoba!

Nasihat untuk saling meneguhkan yang satu dengan yang lainnya dengan kata-kata jujur yang positif dan menghibur merupakan sebuah nasihat yang tak hanya praktis tapi juga sungguh mulia dan sangat mendalam maknanya dalam hidup kita ini.

Semoga kita dimampukan untuk bisa saling menguatkan dan meneguhkan sesama kita dengan menggunakan kata-kata yang positif (booster words) dan sikap yang tulus agar senyum pun bisa mengembang dimana-mana. Kalaupun ada air mata yang berlinang, semoga itu adalah air mata bahagia (bukan air mata duka apalagi air mata buaya!).


















Baca selengkapnya...

Catatan Harian Seorang Pramugari

Saya adalah seorang pramugari biasa dari China Airline, karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton.

Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.

Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.

Diantara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya, pada saat itu saya yang berdiri dipintu pesawat menyambut penumpang kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.

Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman, ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.

Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakan karung tua diatas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.

Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah dipesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang didalam pesawat.

Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet, pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang disebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh dimeja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan dipinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan dipinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.

Setelah kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.

Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah ditingkat tiga di Peking. anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal dikota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking, anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya.

Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan dibandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut ditempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh ditempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.

Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? dan meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.

Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa dimata seorang desa menjadi begitu berharga.

Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh didalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri, perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja dilapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya, perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya dimasa datang yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.











Baca selengkapnya...

Bisnis : Antara Uang dan Spiritualitas

Oleh : Arvan Pradiansyah

Suatu ketika, penyair George Bernard Shaw bercakap-cakap dengan seorang perempuan cantik. “Maukah kamu tidur denganku kalau kubayar sejuta pound?” tanya Shaw. “Tentu saja, aku mau,” jawab si wanita. “Kalau begitu,” sambung Shaw, “ini lima pound.” Si wanita terkejut, “Lima pound!? Memangnya kau pikir aku ini apa?” Namun, Shaw menanggapi keterkejutan wanita ini dengan tenang, “Lho, kan tadi kita sudah sepakat. Sekarang, ayo kita tawar-menawar harga.”

Para pembaca yang budiman, cobalah Anda perhatikan dialog di atas. Bukankah Shaw benar? Setelah prinsip disingkirkan, sisanya tinggal masalah tawar-menawar.

Bisnis juga demikian. Dalam bisnis, keputusan hanya dibuat sekali, dan setelah itu tinggal masalah teknis. Ketika keputusan dibuat itulah terjadi peperangan yang sengit antara kejahatan dan kebaikan, antara setia pada yang benar dan yang menguntungkan, antara spiritualitas dan uang.

Ke arah mana sebenarnya bisnis harus berpihak? Mengapa banyak orang lebih berpihak pada uang ketimbang spiritualitas? Ada empat hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena keyakinan. Kita tidak percaya bahwa keberpihakan pada kebenaran akan membuat kita kaya, sukses dan bahagia. Bukankah uang lebih konkret dan lebih menjanjikan? Orang yang korupsi tidak percaya bahwa kebaikan, kebenaran dan kejujuran akan menghasilkan keuntungan. Mereka tidak percaya pada janji Tuhan yang akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik kepada orang-orang yang melakukan kebenaran dan kebaikan. Padahal, bukankah sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang memihak pada kebenaran selalu mendapatkan kebaikan dari Tuhan?

Kedua, masih banyak orang yang menganggap bisnis semata-mata sebagai usaha untuk menghasilkan uang. “Kalau bukan untuk uang, lantas untuk apa?” demikian mungkin kata Anda. Lagi pula, apa hubungannya bisnis dengan spiritualitas?

Padahal, bisnis adalah kegiatan spiritualitas. Dalam berbisnis, terbuka berbagai pintu ke arah surga. Bukankah dasar dan hakikat bisnis adalah melayani orang lain? Bukankah bisnis berarti memberikan tenaga, waktu, pikiran dan jiwa Anda bagi orang lain? Bukankah kita hanya bisa menang kalau kita memenangkan, menguntungkan, membesarkan dan memuliakan orang lain?

Bisnis yang berfokus pada uang adalah bisnis yang berjangka pendek. Paradigmanya adalah, “Saya mencari uang. Karena itu, saya melayani.” Bandingkan dengan paradigma pebisnis yang mengutamakan spiritualitas yang mengatakan, “Tujuan saya adalah melayani orang lain. Dan karena itulah, saya mendapatkan uang.” Para pebisnis biasa mengatakan, “Saya memberi karena saya mendapatkan.” Sementara para spiritualis mengatakan, “Saya mendapatkan karena saya memberi.”

Semakin Anda merenungkan paragraf di atas, Anda akan semakin yakin bahwa kita perlu mengubah paradigma kita dalam berbisnis. Ketika berfokus pada uang, kita akan menomorduakan pelayanan, tetapi ketika berfokus pada keuntungan pelanggan, kita akan mendapatkan keuntungan sebagai konsekuensinya. Bukankah orang yang senantiasa menguntungkan orang lain selalu dicari orang? Inilah yang saya sebut dengan bisnis sebagai ibadah. Bisnis sebenarnya adalah pengejawantahan pengabdian kita kepada Tuhan dengan cara melayani orang lain dengan sepenuh hati.

Ketiga, banyak orang yang belum melihat bahwa sebuah bisnis yang benar pasti akan membuat pelakunya menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kita juga dapat mengatakan bahwa bila seseorang tidak menjadi lebih spiritual setelah menjalankan bisnisnya bertahun-tahun, berarti ia tidak menjalankan bisnisnya dengan benar.

Mengapa? Lihatlah bagaimana sebuah persaingan bisnis terjadi. Bukankah persaingan yang hakiki dalam bisnis adalah persaingan untuk menjadi yang lebih baik dalam melayani, menguntungkan dan memuliakan orang lain? Bukankah hakikat persaingan dalam bisnis adalah memperbaiki diri sendiri agar menjadi lebih dipercaya dan dapat diandalkan. Bukankah Stephen Covey dalam The Speed of Trust mengatakan, “Nothing is as fast as the speed of trust”?

Karena itu, dalam upaya memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada pelanggan, bukankah kita akan terus-menerus dipacu untuk menjadi lebih baik, lebih dapat dipercaya, lebih mementingkan orang lain, lebih memberikan apa pun yang kita miliki untuk orang lain? Sekarang, cobalah perhatikan bahasa yang kita gunakan. Bukankah semua ini adalah bahasa kemuliaan, bahasa spiritualitas? Maka, bisnis yang benar selalu merupakan penggerak yang kuat kepada para pelakunya untuk menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Hanya bisnis yang serakah dan mementingkan uanglah yang akan menggerus kemampuan menghasilkan serta memunculkan keluhan dan kecaman pelanggan.

Keempat, banyak orang yang melupakan rumus terpenting dalam hidup bahwa segala sesuatu haruslah dicapai dengan kerja keras. Tak ada makan siang gratis. Dalam kaitannya dengan uang, hal ini memunculkan dua jenis orang. Orang jenis pertama adalah yang bekerja keras, memberikan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain dan menghasilkan kebahagiaan dan uang. Orang-orang ini telah membayar kenikmatan mereka di muka, karena itu mereka dapat menikmatinya dengan tenang. Namun, banyak orang yang tak percaya pada hukum alam ini. Mereka berfokus pada uang dan ingin mendapatkannya tanpa kerja keras. Mereka menyangka bisa luput dari kerja keras. Padahal, hukum alam tetap berlaku, jika Anda tidak mau membayar di muka, Anda tetap harus membayarnya di belakang, bahkan dengan cara-cara yang jauh lebih keras. Anda harus bekerja keras untuk menjustifikasi bahwa Anda memang layak mendapatkan harta tersebut. Inilah yang terjadi pada para koruptor. Ini pula yang menyebabkan mereka tak pernah merasa bahagia.











Baca selengkapnya...

Minggu, 26 Oktober 2008

The Power of Smile

Hanya dengan sekali tersenyum ringan, 800-an otot manusia disekitar wajah, telah berkontraksi dan itu merupakan excersice yang efektif bagi kesehatan otot kita. Jadi, dengan tersenyum kita juga berolah raga dan tentunya menyehatkan.

Smile, an everlasting smile.
A smile can bring you near to me
(Judul lagu: Word, oleh BeeGess)

Bukan tanpa alasan, bila grup band BeeGess, menggunakan kata “senyum” (smile) untuk mengawali lagu ciptaannya, dalam judul lagu Word. Lagu yang sempat menjadi top hits dunia di tahun 70-an tersebut, memang dibuka dengan menunjukkan betapa senyuman bisa mengubah dunia. BeeGess tahu persis bahwa senyuman mempunyai suatu kekuatan tersembunyi yang berdaya lekat begitu besar. Bahkan, masih menurut BeeGess, senyuman bisa membawa seseorang yang dikasihi menjadi lebih dekat dan semakin dekat, tidak hanya dalam arti fisik, tetapi lebih-lebih secara emosi dan perasaan.

Mengapa BeeGess ikut-ikutan mengkampanyekan tersenyum untuk mempersatukan umat manusia yang sudah terlanjur terceraiberai ini? Banyak diantara kita kurang paham mengenai betapa berartinya tersenyum dalam konteks hubungan antar manusia. Bahkan ada pepatah bahasa Inggris, yang menyarankan agar kita selalu menggunakan senyuman untuk menyatakan sesuatu. Say it with smile. Bukan hanya bisa digunakan untuk menyatakan saja, senyuman juga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. Sesuatu yang mempunyai konotasi menegangkan, biasanya bisa di kendurkan dengan senyuman. Sesuatu yang rumit, menjadi sederhana dan yang kacau-balau menjadi terurai.

Celakanya, jarang orang yang sadar mengenai hal ini. Penjaga gerbang tol, pramugari, polisi lalu lintas, guru dikelas, manager di kantor dan masih banyak fungsi pelayanan lainnya akan semakin gampang mengerjakan tugasnya bila disertai dengan tersenyum. Tidak hanya itu, dalam hubu ngan kerja, seperti atasan menghadapi bawahan, tersenyum merupakan kunci sukses untuk melakukan komunikasi antar manusia yang efektif. Pernah terjadi, seorang atasan yang bingung tujuh keliling, karena sangat sulit menyampaikan suatu perintah kepada anak buahnya, teratasi hanya dengan kunci tersenyum. Begitu ia tersenyum, si anak buah langsung mengetahui apa yang dimaksud sang atasan hanya dengan kalimat perintah sederhana yang kemudian menjadi lebih rileks.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah klinik syaraf di Illinois, Amerika Serikat membuktikan bahwa aktivitas tersenyum identik dengan olah raga. Hanya dengan sekali tersenyum ringan, 800-an otot manusia disekitar wajah, telah berkontraksi dan itu merupakan excersice yang efektif bagi kesehatan otot kita. Jadi, dengan tersenyum kita juga berolah raga dan tentunya menyehatkan. Lalu mengapa kita masih enggan tersenyum bila berrelasi dengan sesama manusia? Tersenyum adalah hal kecil yang bisa menimbulkan efek yang luar biasa. Senyum bukan hanya menggerakkan otot-otot wajah, tetapi juga menggerakkan hati dan jiwa. Penelitian ini diperkuat oleh hasil riset yang dilakukan Dr Patch Adam, seorang dokter ahli kejiwaan di West Virginia, Amerika yang dibantu oleh 1.000 dokter dan perawat dan telah membuktikan bahwa pasien bisa sembuh dengan sendirinya melalui senyuman.

Saat tersenyum, otak mengeluarkan seretonin yang bisa menambah kekebalan tubuh. Nah, kembali terbukti bahwa senyum juga menyehatkan. Tidak hanya bagi raga, tetapi lebih-lebih untuk jiwa. Siapa bilang bahwa senyuman bukan hal yang penting? Senyuman ternyata juga bisa menjadi misteri. Ingat lukisan Monalisa dengan senyumannya yang tak terpecahkan hingga kini? Lukisan karya Leonardo Da Vinci yang digambar pada tahun 1503 itu tersohor bukan karena kecantikannya. Kecantikan Monalisa tidak istimewa, tetapi senyumannya membuat jutaan orang menjadi selalu bertanya-tanya, ada apa dengan si Monalisa saat ia dilukis. Sekelompok ilmuwan pernah melakukan penelitian mengenai apa yang terkandung dalam perasaan Mona lisa. Penelitian menggunakan software pengukur emosi yang disimulasi ke lukisan itu. Meski senyuman Monalisa dinilai tidak penuh dan terkesan setengah-setengah, ternyata hasil penelitian mengungkapkan bahwa senyum Monalisa menyiratkan kebahagiaan. 83 persen perasaan Monalisa diduga berbahagia ketika dia tersenyum, 9 persen jijik, 6 persen cemas, dan hanya 2 persen dinilai mangandung kemarahan.

Penelitian tersebut memang tidak pernah mengungkapkan reliability nya, hanya saja ini membuktikan bahwa senyum seseoran seperti Monalisa yang dinilai misterius hingga kini, merupakan obyek penelitian yang laku dipasaran. Nah, seandainya saja anda bisa membuat senyuman yang spesifik bagi sesama anda atau lebih khusus lagi bagi teman kerja anda, maka implikasi yang tak terkirakan mungkin akan terjadi bagi kepentingan relasi kerja anda. Sebuah Bank nasional bahkan sudah membuktikan bahwa dengan mengkampanyekan senyuman di kalangan petugas customer services, maka produktivitas dan kepuasan pelanggan menjadi naik. Program yang diluncurkan sangat sederhana dan diimplementasikan dalam waktu yang cukup singkat. Tersenyum merupakan kewajiban yang harus disuguhkan petugas teller dan pin dengan tulisan SMILE dipasang di dada kiri seluruh pekerja bank tersebut. Herannya, tidak hanya petugas yang terus menjadi murah senyum, tetapi para nasabahpun ditandai juga ikut-ikut gampang tersenyum.

Bukankah program yang murah-meriah ini membawa kemaslahatan bagi semua pihak? Rasa-rasanya, program kampanye senyum yang berhasil ini patut ditularkan ke bidang industri dan usaha yang lain. Perusahaan yang tidak mempunyai pelanggan langsung pun tidak ada ruginya untuk berkampanye menggalakkan senyuman di lingkungan kerjanya. Sesama pekerja, antara atasan dan bawahan bahkan antara pekerja dan stake holder lainnya. Hanya saja, untuk bisa tersenyum dengan lepas perlu syarat yang ternyata tidak gampang. Bukan hal yang berlebihan kalau pakar kepribadian dan kecantikan Martha Tilaar pernyah mengatakan bahwa senyuman tak akan berarti jika tidak disertai dengan ketulusan hati dan kepura-puraan.

Senyuman yang tulus dan ikhlas merupakan cerminan hati yang bahagia dan dapat menambah semangat bagi sekelilingnya. Bila anda tak mampu bersedekah dengan harta, bersedekahlah dengan senyuman. Ada jurus untuk menghadirkan senyum walau hati sedang kisruh. Ambil nafas dalam-dalam, tahan selama lima sampai sepuluh detik, lalu hembuslah kembali. Aktivitas pernafasan ini bisa melancarkan peredaran darah dan mengurangi beban pikiran. Setelah suasana terkendali, lantas tersenyumlah. Have you smiled today?


Sumber : portalhr.com, No. 33. Desember 2006








Baca selengkapnya...

Jumat, 24 Oktober 2008

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi

Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan" secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba: Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya. Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat. Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka. Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya. Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi? Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres? Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan. Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi. Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan'' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia. Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup. Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah? Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian. Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata .

Begini ceritanya:
Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama). Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun. Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage. Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu. Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin. Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas. Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers? Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba. Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank. Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah. Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras. Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank? Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu. Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.
Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun. Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran. Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya. Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu. Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu. Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok. Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung. (*)

Baca selengkapnya...