Senin, 31 Agustus 2009

Perekonomian Multi-Faktor

Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,4% pada triwulan I-2009 dan kemudian turun menjadi 4% pada triwulan II-2009 merupakan fakta yang justru mengharuskan kita untuk kembali menengok makna penting aspek multi-faktor penggerak dinamika perekonomian. Bagaimana pun, proses menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kontribusi faktor Sumber Daya Manusia (SDM), modal, kewirausahaan dan peran kondusif jejaring birokrasi pemerintahan. Faktor-faktor tersebut niscaya untuk hadir sebagai pilar penentu pertumbuhan sektor per sektor dalam perekonomian. Tanpa adanya kejelasan peran akan faktor-faktor ini, maka sulit membayangkan adanya pertumbuhan ekonomi dalam konteks sektor per sektor.

Mengacu pada kategorisasi BPS, maka terdapat sembilan sektor dalam perekonomian nasional. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) Pertambangan dan penggalian, (3) Industri pengolahan, (4) Listrik dan air bersih, (5) Konstruksi, (6) Perdagangan, hotel dan restoran, (7) Pengangkutan dan komunikasi, (8) Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, serta (9) Jasa-jasa. Dengan memerhatikan kategori sektoral ini, penurunan pertumbuhan ekonomi antara triwulan I-2009 dan triwulan II-2009 mencuatkan pertanyaan krusial: faktor apa sesungguhnya yang lemah sehingga pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan?
Data BPS menunjukkan, pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian turun dari 9,07% pada triwulan I-2009 menjadi 8,80% pada triwulan II-2009. Pada periode yang sama, pertumbuhan industri pengolahan turun dari 27,29% menjadi 26,57%, pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran turun dari 13,38% menjadi 13,31%, pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi turun dari 6,47% menjadi 6,37%, sedangkan pertumbuhan sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan turun dari 7,59% menjadi 7,29%. Dengan demikian, dari sembilan kategori sektoral, sebagian besar sektor-sektor dalam perekonomian nasional selama triwulan II-2009 dihantam oleh penurunan tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan perkembangan selama kurun waktu triwulan I-2009.
Sektor-sektor yang tidak mengalami penurunan dalam dua momentum waktu tersebut adalah: (1) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) sektor listrik dan air bersih, (3) sektor konstruksi, dan (4) sektor jasa-jasa.

Soliditas Per Sektor
Namun sebuah catatan yang mendesak untuk dengan segera dikemukakan terkait erat tidak sederhananya proses menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi. Soliditas setiap sektor merupakan penentu kualitas pertumbuhan ekonomi. Misalnya sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang digambarkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 15,63% pada triwulan I-2009 menjadi 15,64% pada triwulan II-2009, sesungguhnya tidaklah mengambarkan adanya soliditas pada tingkat sektoral. Sebagaimana ditujukkan oleh data tahun 2006, sektor ini adalah yang terbanyak menyerap tenaga kerja. Dari total tenaga kerja yang mencapai 95.456.935 orang, 42,05% bekerja di sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan.
Dengan fakta ini, tampak sepintas lalu bahwa pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan sektor yang mampu menyanggah daya tahan perekonomian nasional. Hanya saja, sektor ini tidak memiliki tingkat keunggulan kompetitif memadai. Dengan kemampuan menyerap jumlah tenaga kerja hingga 42,05% dari total tenaga kerja nasional, kontribusi sektor ini terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata berada pada peringkat ke-8, yaitu hanya 3,36%. Dengan memperbandingkan kecilnya kontribusi terhadap PDB dan besarnya daya serap terhadap tenaga kerja, maka dapat disimpulkan bahwa Produktivitas Relatif (PR) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan berada pada tataran memprihatinkan, yaitu hanya 0,08%. Dengan demikian berarti, sektor ini merupakan pilar yang rapuh untuk bisa mendukung daya saing perekonomian nasional. Dengan kata lain, pertumbuhan sektor ini bukanlah refleksi dari adanya soliditas sektoral dalam maknanya yang kongkret.
Secara skematik, PR sama dengan PDB sektoral dibagi Tenaga Kerja (TK) sektoral (PDB : TK = PR). Rendahnya PR sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang sedemikian rupa itu bahkan merupakan kecenderungan yang telah berjalan sejak lama. Pada tahun 2004, misalnya, PR sektor ini mencapai 0,07%. Sedangkan pada tahun 2005, PR sektor ini mencapai 0,06%. Pertanyannya, apa makna kenyataan ini manakala disimak berdasarkan perspektif sosiologis? Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja pada satu pihak, ternyata bukanlah basis yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang lebih menyeluruh seperti pengentasan kemiskinan pada lain pihak.
Sangat bisa dimengerti kemudian, mengapa dari tahun ke tahun cenderung muncul persoalan displacement pada kegiatan usaha pertanian. Tenaga-tenaga produktif bidang pertanian cenderung berburu pekerjaan dan peruntungan di wilayah-wilayah urban, sehingga memperbesar tekanan urbanisasi. Atau, mereka memilih menjadi pekerja migran di mancanegara.

Multi-Faktor
Dalam situasi belum beresnya upaya mewujudkan soliditas sektoral itu, perekonomian nasional Indonesia juga diperhadapkan dengan persoalan inkoherensi antar-faktor. Baik faktor SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah tidak berada dalam spektrum yang sinergis satu sama lain. Catatan tentang sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di atas justru membawa kita pada kesimpulan terlampau besarnya beban sektor tersebut untuk hanya menjadi bamper bagi ledakan tenaga kerja. Tragisnya, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tidak cukup mendapatkan perhatian untuk meraih dukungan faktor modal, kewirausahaan dan dukungan dari faktor pemerintah.
Ke depan, sangatlah tidak memadai manakala hanya menyimak angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahkan, penurunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara statistikal menjadi kehilangan makna jika dengan parade pertumbuhan itu tidak ada penjelasan secara saksama perekonomian multi-faktor.
Dalam kaitan konteks dengan pertumbuhan ekonomi, fokus kita dari sejak sekarang bukan saja menakar kapasitas sektoral dalam memberikan kontribusi pada pembentukan PDB. Di atas segalanya, haruslah ada telaah secara mendalam terhadap bekerjanya faktor SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah terhadap perkembangan seluruh sektoral dalam perekonomian nasional.
Sebagai faktor fundamental penentu perkembangan sektoral, maka SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah harus memasuki fase reka ulang, yaitu agar sepenuhnya berkualitas. Sebagaimana terjadi sejak era Orde Baru, perekonomian bangsa ini menuntut adanya input factor berkualitas. Namun hingga Orde Baru "turun panggung", perekonomian bangsa ini tidak sepenuhnya didukung oleh kehadiran input factor berkualitas. Bukan saja, kualitas SDM kita tergolong rendah saat diharapkan mampu mendukung perkembangan sektoral untuk mencapai kemajuan secara signifikan, penanaman modal asing didistorsi oleh transfer negatif kekayaan nasional, kewirausahaan berpijak pada kapitalisme semu dan jejaring birokrasi pemerintahan menjadi lahan subur tumbuhnya nepotisme, kolusi dan korupsi.
Pada akhirnya kita harus kembali mempertimbangkan hakikat dan logika kepemimpinan nasional. Bahwa tidaklah cukup dan tidaklah memadai manakala kepemimpinan nasional semata memandang penting pertumbuhan ekonomi dengan hanya menyimak aspek makro kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDB. Sudah saatnya kepemimpinan nasional bekerja menyelesaikan seluruh masalah yang berkerumuk dalam faktor SDM, modal, kewirausahaan dan jejaring birokrasi pemerintahan. Kalau kepemimpinan nasional kini dan di masa depan yang dekat gagal penyelesaian masalah-masalah ini, apa lalu bedanya dengan kepemimpinan nasional era Orde Baru. Apa bedanya?


Businessnews

Baca selengkapnya...

In Simplicity We Trust

Have you ever filled out an application form that was so long and complicated as to be almost unintelligible? Or one that asked for your date of birth in one place and your age in another, and then required you to sign your name over and over again (and also print it out each time)?

If you're a car dealer in the "cash for clunkers" program, you've seen something similar recently in the ten-page application for reimbursement. In fact, many dealers dropped out of the program prematurely because the paperwork was so onerous that it caused a huge backlog in reimbursements, which caused the dealerships to "front" the money for the government.

Why do managers (and government officials) perpetuate these complex, time-consuming, and downright annoying processes? And would it make a difference if they were changed? Here's a quick example of what can happen when managers don't accept complexity.

When Paul van de Geijn was the CEO of Zurich's Global Life Insurance business, he brought his European country managers together for a conference in Barcelona. At the meeting he gave each of them five minutes to fill out the application form for the simplest type of life insurance for his or her country. When nobody was able to fill out the form in the allotted time, van de Geijn convinced his team to start a simplification program that they called "Make Life EaZy". In this program, the Zurich managers looked at every aspect of their business from the perspective of how to make it easier for the customer to understand, purchase, and renew life insurance. The results: In the first year, in the participating countries, sales increased by 7%, re-investment rates (buying new products when old ones mature) went up by 24%, and far fewer customers cancelled policies (all astounding numbers in a low-growth, mature business).

Why did simplicity make such a substantial difference for Zurich? Besides making it easier to do business, simplicity also changed the underlying relationship between the company and its customers. When you ask redundant questions, one of the subtle messages to customers is that we don't trust your answers — we need to ask you the same thing several times in different ways so that we can make sure you're being truthful. Similarly, when you create complicated explanations of products, services, and contracts, customers often feel that you aren't being truthful about what's being offered — otherwise the material would be straightforward and easy to understand. In other words, complexity does more than just waste your customers' time — it potentially undermines the relationship.

But herein lies the opportunity. If complexity causes distrust, then simplicity can foster the opposite — a relationship in which customers want to do business not only because it's easy but also because they trust you. So take a fresh look at your customer contact mechanisms. Do they not only make it easy for the customer to do business with you, but do they make the customer want to do business with you? The answer can make all the difference.

What customer contact mechanisms do you employ to achieve simplicity — and foster trust?


by Ron Ashkenas

Baca selengkapnya...

Tips Agar Uang THR Tak Ludes

Kebutuhan yang meningkat terkadang membuat anda tak sadar tiba-tiba THR langsung lenyap.
Saat menjelang Lebaran, tentunya anda tak sabar menunggu Tunjangan Hari Raya (THR) masuk ke rekening. Kebutuhan meningkat menjelang Lebaran terkadang membuat anda tak sadar tiba-tiba THR langsung lenyap.

Bahkan setelah liburan berakhir, tiba-tiba anda merasa menjadi bangkrut? Apakah kebutuhan sehari-hari yang tiba-tiba sulit anda penuhi?

Parahnya lagi, mungkin anda justru terpaksa berutang pada saudara atau teman setelah bulan sebelumnya anda mendapatkan THR. Lalu kemana larinya uang banyak yang kita peroleh sebelum libur hari raya ini?

Bila kita tidak ingin bangkrut setelah lebaran, caranya adalah menyisihkan atau menabung sebagian dari THR. Tapi mungkinkah THR ditabung? Jawabannya sangat mungkin!

Hal itu dikarenakan pemasukan bersifat terbatas sedangkan kebutuhan dan keinginan bersifat tidak terbatas. Salah satu hal yang menyebabkan seseorang sulit menabung adalah karena kita tidak mempunyai tujuan keuangan.

Tanpa tujuan keuangan yang spesifik, maka tidak ada dorongan atau motivasi untuk mencapai apa yang diidamkan selama ini.

Berikut ini tips dari Citibank agar uang THR anda tidak mudah habis:

Pertama, berusaha menjadi lebih bertanggung jawab. Setiap orang sebenarnya bisa mengatur keuangan pribadi atau keluarganya. Baik anda yang memang sudah pintar menabung, atau anda yang masih punya kebiasaan boros. Sebenarnya bisa menabung, syaratnya mau berusaha.

Kedua, menjadikan menabung sebagai prioritas sebelum berbelanja. Menabung lah sebelum berbelanja keperluan hari raya. Sisihkanlah paling tidak 10 persen dari THR anda.

Ketiga, mempunyai kontrol diri yang ketat. Hindari pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Kalau kita ingin bisa menabung dengan baik, kita harus bisa hemat.

Keempat, memisahkan rekening tabungan dari rekening penerimaan gaji dan kebutuhan harian. Karena bila anda menyatukan tabungan untuk kebutuhan harian dan tabungan untuk tujuan masa datang dalam rekening, maka bisa jadi anda menemui kesulitan untuk menyisihkan sebagaian dari tabungan tersebut.


VIVAnews

Baca selengkapnya...

Minggu, 30 Agustus 2009

Ilmuwan Bisa Ubah Jenis Kelamin Ayam

Peneliti di Murdoch Childrens Research Institute Universitas Melbourne dan CSIRO menemukan kunci genetika yang menjadi penentu jenis kelamin burung. Penelitian seperti itu telah diusahakan ilmuwan selama berdekade.

Dengan memanipulasi embrio ayam dan mengurangi tingkat gen dari DMRT1, para ilmuwan telah dapat mengubah testis menjadi ovarium dan membuat pembalikan jenis kelamin jantan dan wanita.

Dengan 80% genetik sama antara burung dengan manusia, teknologi itu juga dapat digunakan untuk mengeksplorasi gen penyakit manusia.

Peneliti Dr. Craig Smith mengatakan DMRT diperkirakan memainkan peranan kecil pada jenis kelamin manusia, tetapi penelitian mungkin mungkin membantu untuk mengetahui penyebab cacat kelamin.

“Ini merupakan kemajuan dalam memahami determinasi jenis kelamin pada burung dan menyediakan petunjuk bagaimana proses itu berhubungan dari burung dan mamalia” kata Dr. Craig.


Hari YD

Baca selengkapnya...

Perekonomian Dunia Berangsur Keluar dari Resesi Terburuk

Kelesuan ekonomi dunia yang telah dirasakan sejak kuartal terakhir 2008, kini mulai menunjukkan tanda-tanda harapan akan berakhir, tidak hanya di negara-negara kawasan Asia Pasifik, namun juga di kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Negara-negara di kawasan Asia Pasifik dalam pemulihan ekonomi tampak berjalan lebih cepat dari kawasan lainnya di dunia, terutama berkat adanya paket kebijakan stimulus miliaran dolar AS dan permintaan pasar yang tetap kuat dari China.

Negara-negara Asia, seperti China, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Vietnam selama resesi ekonomi dunia tetap mampu menjaga pertumbuhan positifnya, meski ada perlambatan.

Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia mulai keluar dari resesi di kuartal kedua tahun ini berkat paket stimulus dan kebijakan moneter sangat longgarnya.

Jika pada kuartal keempat 2008 dan kuartal pertama 2009, perekonomian negeri sakura masing mencatat negatif 3,5 persen dan negatif 3,1 persen, pada kuartal kedua mulai positif 0,9 persen, yang menandakan masa resesi susah memudar.

"Selama ini peran AS sangat penting terhadap pertumbuhan Asia, namun untuk periode ini menjadi kurang penting. Adalah kemampuan negara kawasan Asia menggunakan instrumen kebijakan domestik dan mengambil keuntungan adanya pasar regional yang terus tumbuh telah membantu pemulihan lebih cepat, daripada AS dan Eropa," kata Subir Gokarn, Kepala Ekonom Standard and Poor`s wilayah Asia Pasifik.

Namun demikian ada beberapa negara Asia yang masih terseok-seok merangkak untuk mencapai pertumbuhan positif di antaranya Singapura, Malaysia dan Thailand. Di tiga negara itu masih terlilit kondisi resesi, walau indikator ekonomi menujukkan tren perbaikan untuk kembali ke jalur pertumbuhan.

Singapura diyakini membaik karena produksi manufaktur telah pulih, dengan naik 12,4 persen hingga Juli tahun ini, yang merupakan kenaikan tertinggi selama 12 bulan terakhir.

Perekonomian Malaysia masih dalam kondisi resesi teknikal setelah pada kuartal kedua pada kondisi merosot 3,9 persen, walau lebih baik dari kuartal pertama tercatat penyusutan 6,2 persen, yang merupakan kemerosotan ekonomi pertamakali dalam hampir delapan tahun terakhir.

Hampir sama juga dialami perekonomian Thailand yang pada kuartal kedua masih kontraksi walau sudah berkurang dengan minus 4,9 persen, dibanding kuartal pertama minus 7,1 persen.

Subir Gokarn menilai peran China yang memiliki populasi terbesar di dunia dan mampu menjaga pertumbuhan sekitar delapan persen menjadi lokomotif kawasan Asia dengan permintaan pasar yang besar telah menolong pergerakan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya, termasuk negara Asia yang sebelumnya sangat bergantung pada ekspor ke negara Barat.

Eropa membaik

Di Barat sendiri, beberapa negara utama di Eropa yang mengalami resesi mulai menunjukkan perbaikan ekonomi. Berdasarkan data kantor statistik Eurostat, perekonomian Prancis dan Jerman untuk kuartal kedua 2009 telah tumbuh sama masing-masing 0,3 persen, dari kuartal pertama sebelumnya masing-masing negatif 1,3 persen dan negatif 3,5 persen.

Pertumbuhan positif dua negara besar di wilayah yang menggunakan mata uang euro (eurozone) merupakan sinyal positif, walau aktivitas ekonomi di seluruh eurozone yang terdiri atas 16 negara anggota itu masih menunjukkan resesi.

Pertumbuhan di eurozone di kuartal kedua itu masih negatif 0,1 persen, walau angka itu lebih baik daripada kuartal pertama tahun ini yang tercatat pertumbuhan negatif 2,5 persen.

Perusahaan informasi keuangan Markit dalam survei terakhirnya menyebutkan, lepas kuartal kedua ini aktivitas bisnis di eurozone untuk Agustus -- yang ditunjukkan dengan indeks gabungan pembelian dari para manajers -- mengalami perbaikan. Indeks itu telah naik tiga poin menjadi 50, yang berarti pada posisi tengah antara ekspansi dan kontraksi.

Di luar eurozone, masih di Eropa, negeri Ratu Elizabeth untuk kuartal kedua juga masih menunjukkan kondisi resesi ekonomi. Data kantor Eurostat menyebutkan Inggris pada kuartal kedua masih mencatat pertumbuhan negatif 0,8 persen, yang merupakan kontraksi kelima kalinya secara berturt-turut.

Namun angka itu lebih kecil dibandingkan kuartal pertama 2009 yang mencatat negatif 2,4 persen, yang menandakan adanya sinyal pemulihan yang berangsur.

Pada level professional di Inggris sendiri, menurut survei the Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), ada optimisme bahwa resesi negerinya saat ini "pada posisi berakhir".

Melalui pengukuran dengan indeks keyakinan bisnis di Inggris, ternyata ada lonjakan pencapaian dari minus 28,2 persen menjadi positif 4,8 persen, yang merupakan perbaikan kuartalan terbesar sejak survei mulai dilakukan pada 2003.

"Dari indeks tersebut menunjukkan resesi di Inggris Raya `pada tahap berakhir`. Tidak diragukan lagi perekonomian Inggris Raya pada jalur pemulihan, meski kami tidak meremehkan adanya tantangan ke depan untuk bisnis," kata Direktur Pelaksana ICAEW Michael Izaa.

Untuk AS, yang merupakan biang krisis keuangan global terburuk setelah depresi besar 1930-an, menunjukkan prospek kembali pada pertumbuhan dalam waktu dekat.

Untuk kuartal kedua 2009 perekonomian AS masih negatif 1,0 persen, namun sudah lebih baik dari puncak resesi pada kuartal pertama 2009 yang tercatat negatif 6,4 persen.

Ketua bank sentral AS, the Federal Reserve, Ben Bernanke di hadapan para bankir di Jackson Hole, negara bagian Wyoming akhir pekan lalu menyatakan bahwa aktivitas ekonomi AS saat ini mendatar setelah mengalami kontraksi selama setahun sebelumnya.

Kabar positif juga keluar dari para pialang properti di AS yang tergabung dalam National Association of Realtors bahwa penjualan perumahan AS naik 7,2 persen pada Juli. Angka ini merupakan kenaikan bulanan terbesar dalam satu dekade terakhir.

Selama ini kelesuan pasar perumahan dan problem kesulitan pemilik rumah untuk membayar kredit perumahan adalah faktor pemicu krisis ekonomi AS dan kelesuan global yang mengikutinya.

"Pemulihan ekonomi akan berlangsung lambat pada awalnya, dan akan terjadi penurunan tingkat pengangguran secara bertahap dari level tertingginya," kata Bernanke.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi perekonomian AS akan tumbuh 0,75 persen pada tahun depan, setelah merevisi prediksi sebelumnya bahwa di AS tidak ada pertumbuhan.

Tak diragukan lagi, perekonomian dunia pada paruh kedua tahun ini mulai menggeliat dan satu per satu negara-negara yang terkena resesi mulai menancapkan kakinya keluar dari resesi ekonomi global terburuk ini.(*)


Zaenal Abidin - ANTARA

Baca selengkapnya...

Marie Curie

Ini kisah tentang sosok seorang ilmuwan wanita, Marie Curie, si penemu Radium. Terlahir di Warsawa, Polandia sebagai Marja Sklodowska pada 7 November 1867 (142 tahun lalu), ia menghabiskan masa kecilnya sebagai seorang siswi yang menonjol dalam hal kecerdasannya. Pada 1883, dalam usia 15 tahun Marja berhasil menamatkan sekolah menengahnya dengan mengantungi medali emas sebagai penghargaan atas kecemerlangannya di sekolah.

Masa depan baginya semula sangat suram karena saat itu pemerintah Polandia yang kolot tidak menginjinkan kaum wanita untuk menempuh jenjang pendidikan di universitas. Marja sempat bergabung dengan apa yang disebut sebagai "Universitas Bawah Tanah", sebuah sebutan yang agak aneh untuk kegiatan sekelompok pemuda yang dengan keberaniannya bertekad untuk mempelajari apa saja yang sebenarnya terlarang bagi mereka. Pada masa inilah Marja beserta kakaknya, Bronja memutuskan untuk pergi ke negara lain untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka memilih Paris sebagai tempat menimba ilmu. Bronja berangkat terlebih dahulu, sementara Marja bekerja sebagai pengasuh anak untuk membiayai studi kakaknya. Mereka sudah bersepakat, apabila kelak Bronja sudah menyelesaikan studi dan hidup cukup mapan di Paris, maka Marja dapat menyusul, dan giliran Bronja untuk membiayai kuliah adiknya itu.

Pada 1891, dalam usianya yang 23 tahun, Marja menyusul kakaknya berangkat ke Paris. Ia berhasil memperoleh gelarnya yang pertama dalam bidang Fisika di universitas Sorbonne pada 1893. Setahun kemudian, ia menyabet gelar keduanya dalam bidang Matematika. Pada 26 Juli 1895, dalam usia 27 tahun, Marja menikah dengan Piere Curie, seorang ilmuwan terkemuka yang juga menjabat kepala laboratorium akademi Fisika dan Kimia di kota Paris. Piere bertemu Marja setahun sebelumnya, ketika usianya 35 tahun. Setelah menikah, Marja lantas lebih dikenal sebagai Marie Curie. Sementara itu, ilmu Fisika berkembang dengan pesat. Pada 8 November 1895, Wilhelm Rontgen, seorang ahli Fisika berkebangsaan Jerman berhasil menemukan Sinar-X. Berikutnya, pada 28 Februari 1896, Henri Becquerel, seorang Fisikawan Prancis menemukan bukti bahwa mineral uranium memancarkan sejenis sinar yang tidak kasat mata namun dapat membekas pada pelat fotografi.

Pada 1897, setelah melahirkan anaknya yang pertama, Irine, Marie memutuskan untuk memulai penelitian tentang sinar tak kasat mata yang ditemukan Becquerel sebagai subjek untuk memperoleh gelar doktornya. Dengan melakukan penelitian ini saja, ia sebenarnya sudah mencatatkan sejarah mengingat hingga saat itu di Eropa belum ada seorang wanitapun yang berhasil meraih gelar doktor. Marie melakukan penelitiannya pada sebuah ruangan kecil yang sebagiannya dipakai sebagai gudang di Akademi Fisika dan Kimia kota Paris. Ruangan itu sebenarnya kurang memenuhi syarat sebagai sebuah laboratorium. Hawa didalamnya sangat dingin, lembab dan sangat tidak nyaman. Udara yang dingin juga membuat beberapa perangkat sensor tidak dapat bekerja dengan akurasi yang semestinya.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah menemukan cara untuk mengukur sinar misterius tersebut melalui kuat arus listrik yang ditimbulkannya di udara. Untuk itu, ia dibantu oleh sebuah alat yang diciptakan oleh Piere beserta saudaranya, Jacques. Alat yang disebut elektrometer itu bekerja dengan mengukur arus listrik di udara, seberapapun kecilnya. Becquerel telah membuktikan bahwa sinar yang dipancarkan uranium menimbulkan arus listrik di udara. Dengan memanfaatkan elektrometer, Marie dapat mengetahui intensitas sinar dengan mengukur kuat arus listrik di udara. Marie segera mengumpulkan sampel aneka mineral dan kemudian mengujinya satu demi satu. Dalam beberapa hari ia segera memperoleh hasilnya yang
pertama. Ia segera mengetahui bahwa intensitas sinar misterius tersebut bergantung pada banyaknya kandungan uranium dalam sampel: makin banyak kandungan uranium, maka intensitas sinar makin kuat. Kekuatan sinar juga tidak tergantung pada bentuk maupun kondisi sampel (apakah dalam keadaan basah, kering, panas, dingin, dalam bentuk bongkahan atau serbuk).

Marie kini tahu bahwa memang uraniumlah yang memancarkan sinar tersebut. Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah: apakah ada mineral-mineral lain yang memancarkan sinar yang sama? Setelah meneliti berbagai sampel, ia kemudian menemukan bahwa mineral yang disebut thorium juga memancarkan sinar sejenis. Jelas orang tidak dapat menyebut sinar misterius ini sebagai "sinar uranium". Oleh karena itu, maka Marie menggunakan istilah "radioaktifitas", suatu sebutan yang masih dipakai hingga kini. Penelitian lebih jauh pada sejenis mineral yang bernama pitchblende menunjukkan tingkat radioaktifitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan uranium dan thorium. Namun hingga saat itu, unsur yang bertanggung jawab terhadap radioaktifitas masih berupa tanda tanya.

Pada 1898, Piere yang telah menyaksikan segala upaya yang dilakukan isterinya memutuskan untuk ikut terjun membantu penelitiannya. Bersama mereka memisahkan berbagai unsur yang membentuk material pitchblende untuk menemukan unsur yang dicari. Pada 6 Juni 1898, mereka berhasil menemukan sebuah unsur yang kemudian mereka beri nama "Polonium", sebagai penghargaan terhadap Polandia, tanah air Marie. Akan tetapi, bukti-bukti menunjukkan bahwa masih ada unsur lain yang tersembunyi. Unsur yang belum diketemukan itu mereka sebut sebagai Radium.

Mengekstraksi radium dari batuan pitchblende menjadi pekerjaan yang sangat melelahkan. Pekerjaan yang mereka mulai sejak 1898 itu baru menampakkan hasil pada 1902. Saat itu, 4 tahun setelah ia pertama kali mengumumkan bahwa radium mungkin ada, Marie akhirnya memenangkan pertempuran dengan keberhasilannya mengekstraksi sepersepuluh gram radium dari batuan pitchblende. Saat itulah, untuk pertama kalinya dunia dapat melihat sumber sinar misterius yang telah dicari selama bertahun-tahun itu. Hasil ini akhirnya membawa Marie untuk memperoleh gelar doktornya pada 1903. Berikutnya, bersama dengan Becquerel, pasangan Piere-Marie Curie memperoleh hadiah Nobel dalam bidang Fisika atas penemuannya mengenai prinsip- prinsip radioaktifitas.

Sayang, penelitian terhadap radioaktifitas ini akhirnya menggerogoti kesehatan Marie. Pengetahuan yang masih minim tentang radiasi membuat Marie tidak menyadari bahaya yang mengintainya. Gas radioaktif berkeliaran dengan bebas didalam laboratoriumnya. Sementara itu, radiasi sinar Gamma berpengaruh buruk terhadap jaringan sumsum tulang dan memicu serangan kanker. Bahkan hingga kini, 100 tahun kemudian, buku-buku catatan penelitian Marie masih sangat radioatif sehingga harus dilindungi oleh lempengan timbal. Setelah melahirkan anak keduanya, Eve, pada 1904, kesehatan Marie terus menurun. Kesedihan juga menimpanya ketika pada 19 April 1906, suaminya Piere meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Di lain pihak, kariernya sebagai ilmuwan terus bersinar. Pada 1906, ia tercatat sebagai wanita pertama yang memberikan kuliah di Sorbonne. Pada 23 Januari 1911, Marie dianugerahi Nobel dalam bidang Kimia (Ia orang pertama yang pernah mendapat hadiah nobel hingga dua kali). Pada 1912, Marie ditunjuk sebagai direktur pada institut radium di Paris. Selama Perang Dunia I (1914-1918) Marie mengatur pengadaan unit-unit sinar-X untuk menangani korban perang, dan mendidik 150 orang operator. Sementara itu, pemahaman terhadap radioaktifitas berkembang dengan pesat, ketika puterinya, Irene, beserta suaminya Frederic Joliot, ilmuwan Fisika berkebangsaan Prancis berhasil menemukan radioaktifitas buatan.

Pada 4 Juni 1934, Marie Curie akhirnya meninggal dunia setelah bertahun-tahun mengidap penyakit akibat terus menerus terpapar radiasi. Setahun kemudian, putrinya, Irene beserta Frederic mengikuti jejak ibunya dengan meraih nobel dalam bidang Fisika. Kelak, sekitar dua puluh tahun kemudian, pasangan suami-isteri ini menyusul Marie ke alam baka, juga karena penyakit akibat paparan radiasi. Radioaktifias terus berkembang, dan digunakan untuk berbagai keperluan. Kita memanfaatkannya untuk terapi radiasi bagi penderita kanker, juga untuk memodifikasi gen tanaman untuk menghasilkan varietas baru yang lebih unggul. Buah karyanya juga membuka jalan bagi penemuan tentang struktur dan pengembangan daya nuklir. Sejarah kelak mencatat bahwa nuklir selain dapat digunakan sebagai sumber energi yang efisien, juga dapat dikembangkan sebagai senjata pemusnah massal yang mengerikan dalam masa perang.

Walaupun dikenal sebagai ilmuwan besar, pasangan Piere-Marie Curie hidup dalam kesederhanaan. Sebenarnya mereka bisa saja menjadi kaya-raya apabila mematenkan proses ekstraksi radium temuannya. Tetapi betapapun miskin, mereka tetap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari temuan mereka. Tidak ada sedikitpun yang mereka rahasiakan bagi dunia untuk kepentingan kemanusiaan.


Kompas forum

Baca selengkapnya...

Jumat, 28 Agustus 2009

Renungan Indah

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak
sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"....."


W.S. Rendra

Baca selengkapnya...

Kamis, 27 Agustus 2009

What to Do When You're Out of Control

"Ladies and gentleman, this is your Captain speaking. We have a situation." And with those words, the saga of my aborted flight from New York to Dallas began. The captain told us we had an "equipment problem" that required we make an emergency landing at Washington Dulles, the nearest airport. But, he continued, the plane was too heavy to land safely; we had to shed fuel. So we would fly around in a circle for 45 minutes and land as soon as we were light enough.
I was sitting at the front of the plane and made eye contact with the flight attendant.

"What's the problem?" I mouthed.
"I don't know," she responded with the hint of a shrug, "they won't tell us."
"If we're going to fly for 45 minutes, can't he fly toward Dallas instead of in circles?" I asked. She smiled and looked down.
So we circled. If you had taken a picture of us before the announcement and another one after, you would have had difficulty telling the difference. People were reading, listening to music, talking softly.

But in fact, everything had changed. Our level of anxiety had skyrocketed. We were on a plane that was stuck in the air, unable to land but apparently unsafe to fly for a reason none of us but the pilot knew, and there was nothing we could do about it.

It occurred to me how psychologically similar this circumstance was to so many others we experience. We were stuck in a situation in which we are not in control and cannot immediately escape. Like the economy. Or at times, our company or our team.
This plane was a lab and we were the rats. How do we respond when we are stuck, vulnerable, nervous, and have no positional power?
Unfortunately there was nothing to observe. What I needed was a stimulus. Something to bring people's reactions to the surface. Something like ... a screaming baby.
The baby in the seat behind me generously accommodated. He let out a sharp cry, followed by waves of wailing. His mother tried to soothe him — shushing, gently tapping on his back — but the screeching only got louder.
Let the games begin.
Sitting across the aisle from the mother was a woman, probably in her 60's who became increasingly annoyed. She glared. Sighed loudly. And finally, in a "whisper" to her seatmate that was clearly meant to be heard said, "Can't that woman control her baby?" Her seatmate smiled awkwardly without looking up from her magazine.
"I think I've figured out what's wrong." The man sitting next to me who had been staring out the window now turned to face me. "It's a problem with the wheels. They just let the gear down and we're way higher than 1,000 feet. Must be a problem with the landing gear." He proceeded to talk to me about the mechanics of an airplane and what would happen in a crash landing with inoperative wheels.
I turned to look down the aisle just in time to see one woman cry out, say something about the baby, and beat her magazine on the back of the seat in front of her. Unfortunately for the man sitting there, she hit him on the head. When he turned in utter surprise, she started babbling out an apology. I kid you not.
There were, of course, many others — most people on the plane — who didn't have any observable reaction.
Then the woman sitting next to the mother offered to hold the baby for a few moments, to provide the mother a little relief. I turned in time to see the mother smile — it didn't appear that they knew each other — pass the baby, thank her profusely, and shut her eyes. The baby continued to cry, but everyone else settled down a bit.
In a few short minutes I'd observed many of the common reactions to frustration during stress. While each of the responses might be psychologically useful, one came out the clear winner. What would life be like if more of us offered to hold the baby?

Someone on your team is consistently unprepared at meetings. You're not the leader so you can't declare it unacceptable. What do you do? You could complain to others or roll your eyes or try to ignore it. Or you could hold the baby: partner with him on a project, offer to prepare with him, or share ideas before the next meeting.
One of your colleagues is overworked, stressed, seemingly unproductive, and making your team look bad. On top of that, she's constantly complaining about how much harder her job is than yours. Annoying right? You'd be justified in gossiping about her or simply letting her fail. But what if you offered to help? Maybe even stayed late one night working with her?
Your company comes out with a new technology initiative that seems to make everyone's lives more complicated. Yet they say it's necessary. It's so easy to complain about it. Or to nod along with others when they complain about it. But what if you learned enough about it to help the people who were struggling with it?
In situations in which we may have no positional authority — we're not the leader, we don't have all the information, we can't make the decisions, we aren't in control — we still have power: the power to influence our own experience and, sometimes, the experiences of others. Holding the baby gives us something useful to do. It makes us and others feel good. It might even help solve the problem. What's important is to remember that it's always a choice.
35 minutes after his first announcement, the Captain told us we had been cleared to land. I looked out the window and saw the flashing lights of ambulances and fire trucks lining the runway. The man next to me, having already described all the possible ways we might die, gave me a see, I told you it was bad look. I tightened my seat belt.
The wheels touched the ground. Nobody moved. Would the plane stop? The engines roared and the plane slowed. Everyone burst into applause. We had landed gently and easily.
Our saga, and my experiment, was over.
Then the airline representative explained the procedures for getting rebooked on another flight, and people started jockeying for a place on line and speaking loudly on cell phones to their travel agents. One woman started to plead for a spot on the next flight. People around her started to roll their eyes.
Let the games begin.


Peter Bregman

Baca selengkapnya...

Cara Berpikir

Dalam ujian Fisika di Universitas Copenhagen, penguji bertanya kepada seorang mahasiswa, "Jelaskan bagaimana menetapkan tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer." Salah seorang mahasiswa menjawab: "Ikatlah suatu tali panjang pada leher barometer, lalu turunkan barometer dari atap pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit."

Jawaban yang luar biasa orisinilnya ini membuat pemeriksa ujiannya begitu geram sehingga akibatnya sang mahasiswa langsung tidak diluluskan. Si mahasiswa naik banding atas dasar bahwa jawabannya tidak bisa disangkal kebenarannya, sehingga universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasusnya.

Arbiter menyatakan bahwa jawabannya memang betul-betul benar, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika. Untuk mengatasi permasalahannya, disepakati bahwa sang mahasiswa akan dipanggil, serta akan diberikan waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan paling tidak sedikit latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip2 dasar ilmu fisika.

Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, sampai dahinya terlihat berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah sangat terbatas, yang mana sang mahasiswa menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai.

Saat diingatkan hakim untuk ber-buru2, sang mahasiswa menjawab sebagai berikut:
"Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan melewati pinggir atap, dan ukurlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = 0.5g x t pangkat 2. Tetapi ya sayang barometernya menjadi rusak."

"Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan diatas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya."

"Tapi kalau anda betul-betul ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seolah pendulum, pertama di permukaan tanah kemudian saat diatas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 pi akar dari (l/g)."

"Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat yang eksternal, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit."

"Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan."

"Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: 'Bila anda menginginkan barometer baru yang cantik, saya akan memberikannya pada anda jika anda memberitahukan ketinggian pencakar langit ini."

Sang Arbiter termangut-mangut mendengarkan penjelasan si Mahasiswa yang berapi-api.

Mahasiswa tersebut adalah Niels Bohr. Dia dikenal sebagai satu- satunya warga Denmark yang memenangkan hadiah Nobel untuk Fisika.

Lihat, tidak perlu berpikir rumit bukan?


Sumber : Kompas forum

Baca selengkapnya...

Geser Dikit !

Ada seorang bapak yang sedang berkunjung ke rumah anaknya yang baru saja menempati rumah baru. Pagi itu sang bapak menikmati terbitnya matahari pagi. Ternyata ada pohon yang cukup besar menghalangi pandangannya. Sang bapak memanggil anaknya dan mengatakan, 'nak tolong tebang saja pohon ini sebab menghalangiku menikmati indah sinar matahari pagi.'

'Bapak, kenapa harus dipotong ? Bukankah bapak cukup menggeser tempat duduk saja,' kata anaknya.

Sang bapak menggeser tempat duduknya dan terlihat matahari pagi, 'Oh ya..kamu benar nak,' jawabnya.

Begitulah kita seringkali beranggapan masalahnya ada diluar tanpa berani mengatakan sebenarnya masalahnya ada di dalam diri kita sendiri yaitu cara berpikir kita.

Cara kita memandang masalah sebenarnya sumber dari masalah. Menggeser sedikit cara pandang kita berarti menyelesaikan masalah.

Seperti cerita diatas, sang bapak tidak perlu menebang pohon, akan butuh berapa banyak biaya yang dikeluarkan sementara hanya dengan menggeser tempat duduk masalahnya menjadi selesai.

Itulah sebabnya cara pandang seseorang merupakan cerminan dari kehidupan yang dijalaninya.
cara pandang yang sehat, maka akan membuat perkataan kita menjadi sehat.

Melalui perkataan yang sehat dan baik, maka akan timbul tindakan yang baik dan sehat.
Melalui tindakan yang baik akan tercipta kebiasaan yang baik dan sehat.
Dan melalui kebiasaan yang baik inilah akan menentukan hidup sehat dalam diri kita.

Jadi menjaga pikiran agar senantiasa berprasangka baik kepada orang lain, bersyukur pada malam hari ketika menjelang tidur, tidak lupa pula mendoakan untuk semua orang maka kebahagiaan akan melimpah di dalam hati kita dan membuat tubuh kita menjadi bugar dan sehat dipagi hari.


Oleh : Agussyafii

Baca selengkapnya...

Rabu, 26 Agustus 2009

A good Story

The man slowly looked up. This was a woman clearly accustomed to the finer things of life. Her coat was new. She looked like she had never missed a meal in her life. His first thought was that she wanted to make fun of him, like so many others had done before. "Go away. Leave me alone," he growled. To his amazement, the woman stayed standing. She was smiling -- her even white teeth displayed in dazzling rows.

"Are you hungry?" she asked.

Suddenly the man felt a gentle hand under his arm. "What are you doing, lady?" the man asked angrily. "I said to leave me alone."

Just then a policeman came up. "Is there any problem, ma'am?" he asked.

"No problem here, officer," the woman answered.

"I'm just trying to get this man to his feet. Will you help me?"

The officer scratched his head. "That's old Jack. He's been a fixture around here for a couple of years. What do you want with him?"

"See that cafeteria over there?" she asked.

"I'm going to get him something to eat and get him out of the cold for a while."

"Are you crazy, lady?" the homeless man resisted. "I don't want to go in there!" Then he felt strong hands grab his other arm and lift him up. "Let me go, officer. I didn't do anything."

"This is a good deal for you, Jack," the officer answered. "Don't blow it."

Finally, and with some difficulty, the woman and the police officer got Jack into the cafeteria and sat him at a table in a remote corner. It was the middle of the morning, so most of the breakfast crowd had already left and the lunch bunch had not yet arrived.

The manager strode across the cafeteria and stood by his table. "What's go! ! ing on h ere, officer?" he asked. "What is all this, is this man in trouble?"

"This lady brought this man in here to be fed," the policeman answered.

"Not in here!" the manager replied angrily. "Having a person like that here is bad for business."

Old Jack smiled a toothless grin. "See, lady. I told you so. Now, if you'll let me go. I didn't want to come here in the first place."

The woman turned to the cafeteria manager and smiled. "Sir, are you familiar with Eddy and Associates, the banking firm down the street?"

"Of course I am," the manager answered impatiently. "They hold their weekly meetings in one of my banquet rooms."

"And do you make a goodly amount of money providing food at these weekly meetings?"

"What business is that of yours?"

"I, sir, am Penelope Eddy, president and CEO of the company."

"Oh." said the manager.

The woman smiled again. "I thought that might make a difference."

She glanced at the cop who was busy stifling a laugh. "Would you like to join us in a cup of coffee and a meal, officer?"

"No thanks, ma'am," the officer replied. "I'm on duty."

"Then, perhaps, a cup of coffee to go?"

"Yes, ma'am. That would be very nice." The cafeteria manager turned on his heel. "I'll get your coffee for you right away, officer."

The officer watched him walk away. "You certainly put him in his place," he said.

"That was not my intent. Believe it or not, I have a reason for all this."

She sat down at the table across from her amazed dinner guest. She stared at him intently. "Jack, do you remember me?"

Old Jack searched her face with his old, rheumy eyes.

"I think so. I mean you do look familiar."

"I'm! a ! lit tle o lder perhaps," she said.

"Maybe I've even filled out more than in my younger days when you worked here, and I came through that very door, cold and hungry."

"Ma'am?" the officer said questioningly. He couldn't believe that such a magnificently turned out woman could ever have been hungry.

"I was just out of college," the woman began. "I had come to the city looking for a job, but I couldn't find anything.
Finally I was down to my last few cents and had been kicked out of my apartment. I walked the streets for days. It was February and I was cold and nearly starving. I saw this place and walked in on the off chance that I could get something to eat."

Jack lit up with a smile. "Now I remember," he said. "I was behind the serving counter. You came up and asked me if you could work for something to eat. I said that it was against company
policy."

"I know," the woman continued. "Then you made me the biggest roast beef sandwich that I had ever seen, gave me a cup of coffee, and told me to go over to a corner table and enjoy it. I was afraid that you would get into trouble. Then, when I looked over and saw you put the price of my food in the cash register, I knew then everything would be all right."

"So you started your own business?" Old Jack said.

"I got a job that very afternoon. I worked my way up. Eventually I started my own business that, with the help of God, prospered."

She opened her purse and pulled out a business card. "When you are finished here, I want you to pay a visit to a Mr. Lyons. He's the personnel director of my company. I'll go talk to him now and I'm certain he'll find something for you to do around the office." She smiled. "I think he might even find the funds to give you a little advance so that you can bu! y some! clothes and get a place to live until you get on your feet. If you ever need anything, my door is always open to you."

There were tears in the old man's eyes. "How can I ever thank you?" he asked.

"Don't thank me," the woman answered. "To God goes the glory. He led me to you."

Outside the cafeteria, the officer and the woman paused at the entrance before going their separate ways.

"Thank you for all your help, officer," she said.

"On the contrary, Ms. Eddy," he answered.

"Thank you. I saw a miracle today, something I'll never forget. And thank you for the coffee."

"Have a Wonderful Day. May God bless you always, and don't forget that when you 'cast your bread upon the waters,' you never know how it will be returned to you."

God is so big He can cover the whole world with his Love and so small He can curl up inside your heart. When God leads you to the edge of the cliff, trust Him fully and let go. Only 1 of 2 things will happen: either He'll catch you when you fall, or He'll teach you how to fly!

The power of one sentence: God is going to shift things around for you today and let things work in your favor. God closes doors no man can open & God opens doors no man can close. Have a blessed day and remember to be a blessing.

Baca selengkapnya...

Facebookmania: Buah dari Impian Besar

Barack Obama meniti ke gedung putih dengan cara yang sangat meyakinkan. Menang mutlak atas rivalnya Mc Cain. Apa kunci suksesnya dari kemenangan besar ini? Banyak pihak yang menilai Obama sangat cerdas dalam melakukan komunikasi dengan para pendukungnya. Dan sekarang sudah mulai terkuak bahwa Obama menggunakan facebook untuk berkomunikasi dengan calon pemilih. Tidak hanya itu memang, berbagai channel dia lakukan, termasuk melalui blog, namun penggunaan facebook dinilai yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
Demam facebook merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas, karena di saat krisis global seperti sekarang ini, di mana penjualan pada turun, laba perusahaan anjlok drastis, daya serap tenaga kerja juga menukik habis, pengguna facebook justru naik melejit luar biasa. Fortune melaporkan bahwa pengguna facebook saat ini terus bertambah sekitar 5 juta orang per minggu. Jumlah pengguna facebook saat ini, Februari 2009, sudah mencapai 175 juta. Angka yang fantastis.
Facebook yang diperkenalkan pada tahun 2004, pada awal Januari tahun ini telah mencapai pengguna 150 juta. Hanya dalam waktu 5 tahun! Bandingkan dengan teknologi lain. Menurut Portio Research, yang dikutip Fortune, untuk mencapai jumlah pengguna yang sama (150 juta), pesawat telepon memerlukan waktu 89 tahun, televisi 38 tahun, handphone 14 tahun, ipod 7 tahun.
Penggunaan facebook memang relatif mudah di mana kita bisa mengirim dan menerima berita semudah sms, chating, bertukar foto, dan video. Facebook juga berfungsi seperti buku telepon digital, siapapun yang kita cari di dunia ini, tinggal ketik namanya dan selanjutnya urusan facebook untuk mencarinya. Facebook seperti kampung besar di dunia maya, di mana kita saling kenal dan saling dikenalkan. Karena kepraktisannya dan jangkauannya yang tepat sasaran ini, maka facebook tidak saja digunakan oleh perorangan, tetapi juga oleh organisasi, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa. Kantor Akuntan Publik kelas dunia Ernst & Young menggunakan facebook untuk rekruitmen. Demikian pula Dell, perusahaan komputer raksasa di Amerika. Partai Demokrat di Amerika juga menggunakan facebook untuk mengatur pertemuan.
Bermula dari Mimpi Besar
Seperti sukses Bill Gates dengan microsoftnya, Zuckerberg, CEO dan pencetus facebook, juga memliki impian luar biasa. Saat membangun microsoft dari sebuah garasi, Bill Gates sudah mencanangkan impian yang luar biasa, yaitu pada suatu saat nanti siapapun di dunia ini yang menggunakan komputer personal, mereka tidak akan bisa lepas dari microsoft. Impian itu terwujud! Hampir semua pengguna komputer personal d dunia ini menggunakan produk microsoft, terutama microsoft windows.
Zuckerberg tidak kalah gila. Dari sebuah kamar di asrama mahasiswa Harvard, dia ingin menjadikan facebook menjadi standar komunikasi di planet ini, yang digunakan di mana-mana, dapat digunakan semudah menggunakan telepon, namun lebih interaktif dan multidimensi, sehingga sangat diperlukan oleh semua orang. Zuckerberg ingin ‘tidak ada manusia di planet ini yang bisa meninggalkan facebook!”. Mimpi gila memang. Tapi mimpi besar itulah yang menempatkan dia sekarang sebagai anak termuda di jagad ini yang menjadi orang terkaya karena jerih payahnya sendiri. Forbess ditahun 2008 menobatkan Zuckerberg yang kelahiran tahun 1984 ini sebagai “[the] youngest billionaire on earth and possibly the youngest self-made billionaire ever,” dengan kekayaan sebesar $1.5 billion USD. Majalah Time menobatkan Zuckerberg sebagai salah satu The World’s Most Influential People of 2008.
Memang ada yang mencoba menanyakan siapa yang lebih cerdas, Bill Gates atau Mark Zuckerberg (lihat tulisan John Markoff di The New York Times 28 Mei 2008). Sama-sama cerdaskah mereka? Atau sama-sama tidak cerdas? Nampaknya pertanyaan tersebut tak ada artinya sama sekali buat keduanya. Mereka tidak mempedulikannya. Keduanya memang sekolah di Harvard, sekolahnya orang-orang cerdas, namun sama sama tidak lulus alias dropout. Bill Gates terpaksa dropout karena sibuk mengembangkan microsoft. Dia tidak mau kuliah mengganggunya mewujudkan impiannya. Dibangunnya microsoft dari bisnis kelas garasi, sampai akhirnya sekarang menjadi kelas dunia. Mark juga demikian. Dia lebih memilih fokus pada impiannya, mulai dari kecil, yaitu mulai dari membuat social network untuk anak-anak kampus, sampai sekarang seperti ini, world class juga.
Keberhasilan Bill maupun Mark sama-sama menghadapi tudingan miring bahwa mereka mencuri ide temannya. Tapi itu tidak penting buat mereka, karena apapun kata orang, mereka bisa mentransformasi ide menjadi sesuatu. Mereka berhasil mentransformasi “think” menjadi “thing”.
Lesson Learned
Fenomena facebookmania ini memberi pelajaran kepada kita semua bahwa untuk menjadi besar kita harus berani bermimpi besar. Tapi bukan sekedar mimpi. Kita harus mewujudkannya, walau harus memulai dari langkah yang paling kecil. Kalau kita punya ide, jangan dibiarkan saja. Ide adalah bahan baku yang harus diolah menjadi barang jadi. Wujudkan apa yang ada dalam pemikiran kita. Think harus menjadi thing!


Oleh : Agung Praktapa

Baca selengkapnya...

Selasa, 25 Agustus 2009

Memanfaatkan Rasa Jenuh

Dikisahkan Agus, seorang manager pemasaran berusia 35 tahun bekerja di suatu perusahaan berskala internasional, yang tengah merasa gundah gulana. Sebagai eksekutif muda yang tengah menapaki karir, Agus merasakan pekerjaan-pekerjaan yang ia hadapi semakin hari semakin membebani dirinya. Pada awal bekerja, ia sangat bersemangat dalam menjawab setiap tantangan pekerjaannya. Apabila dahulu, menghadapi calon pelanggan yang sulit atau mengejar target pemasaran yang tinggi adalah sesuatu yang membangkitkan gairahnya bekerja, namun pada saat ini, Agus justru memilih untuk menghindarinya. Masuk kantor menjadi kegiatan untuk menghabiskan waktu demi menunggu gaji akhir bulan. Rasa heran muncul di benaknya, “Sampai kapan aku akan menghabiskan waktu begini?”

Di tempat lain, Herman, seorang pegawai swasta juga bapak dua putra yang bertempat tinggal di kawasan elit Ibukota juga tengah merasa gundah gulana. Apabila hampir semua kenalannya memuji semua prestasi telah berhasil ia capai, Herman justru merasa ia semakin kehilangan tujuan hidupnya. Herman selalu berusaha profesional dalam bekerja. Meskipun demikian, dari hari ke hari, ia menyadari bahwa gairah terhadap pekerjaannya semakin menurun. Semangat kerja berkurang. Apabila ada tantangan baru di pekerjaannya, Herman memilih menghindar dan memusatkan dirinya pada hal-hal yang bersifat rutin. Seringkali ia bertanya pada dirinya, “apakah yang tengah terjadi pada diri saya?”

Kondisi-kondisi yang tengah dialami oleh Agus dan Herman adalah gejala dari perasaan jenuh terhadap pekerjaannya yang semakin lama terasa semakin membosankan. Perasaan tersebut sebenarnya wajar terjadi. Merasa jenuh terhadap pekerjaan merupakan hal yang lumrah terjadi bilamana seseorang sudah bekerja sekian waktu. Bahkan bila ada survey untuk melihat apakah seorang pernah merasa jenuh dalam pekerjaannya, maka hampir dapat dipastikan 99% berkata pernah. Merasa jenuh bukanlah suatu hal yang keliru. Bila dipandang secara positif, masa-masa jenuh justru merupakan peluang terbaik bagi seseorang untuk melakukan restropeksi terhadap tujuan hidupnya.

Mengapa tujuan hidup? Bukankah masalah yang tengah dialami oleh sahabat Agus dan Herman adalah bosan terhadap pekerjaannya dan bukan pada kehidupan mereka?

Sebuah pertanyaan yang tepat bila kita memandang hidup sama dengan bekerja, meskipun dapat dipastikan semua orang (atau setidaknya hampir semua orang) tidak setuju dengan pandangan tersebut.

Apabila kita memandang hidup hanya untuk pekerjaan kita, maka segenap tindakan kita akan terbatas pada uraian tugas dan tanggung jawab pada pekerjaan tersebut. Potensi diri seperti kecerdasan dan semangat kerja hanya untuk menjawab tuntutan-tuntutan kerja. Alhasil ketika usia bertambah, kemampuan semakin menurun namun tuntutan kerja tidak berkesudahan akan menumpuk beban di pemikiran dan hati. Bila beruntung memperoleh tawaran pekerjaan lain, maka beban dapat terbebaskan setidaknya sebelum kemudian muncul kembali di masa mendatang. Bila tidak beruntung, akan terperangkap dalam rutinitas dan meratapi hari-harinya yang terasa semakin membosankan.

Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan, adalah memandang bekerja sebagai bagian dari hidup, yang kemudian diikuti oleh sebuah pertanyaan “Apakah tujuan hidup kita?”, atau “Apakah yang benar-benar kita inginkan dalam hidup kita?” Bila berhasil menjawab pertanyaan tersebut, maka bekerja tidak menjadi sebuah rutinitas, melainkan sebuah bagian dari rencana besar pada skenario kisah kehidupan yang kita ciptakan. Keberhasilan bekerja merupakan keberhasilan menapaki tangga kehidupan yang luas yang tidak terbatas pada sekadar menapaki tangga di karir perusahaan. Naik turunnya situasi kerja akan dipandang menjadi naik turunnya roda kehidupan, bukan beban kehidupan yang semakin bertambah dari waktu ke waktu sehingga memudahkan kita memalingkan muka kepada pekerjaan lain. Rasa jenuh yang pasti selalu ada akan dipandang sebagai momentum untuk pengembangan diri, dan tidak membiarkan diri menjadi berlarut-larut dalam lautan gundah gulana dan putus asa yang tak berkesudahan.

Meskipun demikian, menjawab pertanyaan “apakah yang benar-benar kita inginkan dalam hidup kita?” bukanlah suatu hal yang sederhana. Salah-salah menjawab pada akhirnya terpancing pada mimpi-mimpi ideal yang tidak akan pernah tercapai atau terbentur pada tuntutan-tuntutan material kehidupan yang menuntut pemenuhan dengan segera. Seringkali jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tentang hidup tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses berpikir dan berupaya yang berkelanjutan. Menjawab pertanyaan “apakah tujuan hidup kita?” membutuhkan perenungan, kejelian dalam melihat peluang dan kreativitas dalam mengelola situasi. Peta kehidupan seseorang tidak pernah terbentang lebar namun terbuka perlahan seiring dengan bergulirnya waktu dan pengalaman hidup.

Artinya, meluangkan waktu sejenak dan memanfaatkan potensi-potensi diri untuk lebih menghayati makna hidup merupakan langkah bijak bagi mereka yang ingin hidupnya menjadi lebih berharga bagi dirinya dan orang-orang yang ia cintai.

Pertanyaannya adalah “sudah seberapa seringkah kita memanfaatkan rasa jenuh kita?”


Aria Siregar

Baca selengkapnya...

Minggu, 23 Agustus 2009

Memahami Aritmatika Tidak Cukup Dengan Menghafal Rumus

Mengajar siswa agar paham aritmatika tidak cukup hanya dengan memberikan hafalan rumus-rumus, karena metode seperti itu hanya akan menghilangkan kesempatan mereka untuk berlatih berpikir.

"Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar berpikir," kata Hans. L, seorang guru di sekolah dasar (SD) negeri Apo II, kelurahan Bhayangkara kepada ANTARA di Jayapura, Rabu.

Menurut ia, tanpa meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran aritmatika yang berkualitas dengan menuntun siswa mau berpikir, akan sangat sulit untuk mencapai kemampuan berpikir demi menghasilkan sebuah prestasi belajar matematika yang baik.

Hal itu berkaitan erat dengan karakteristik matematika sebagai suatu ilmu, dimana aritmatika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis dengan menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat.

"Jadi intinya proses pembelajaran matematika tidak cukup hanya memberikan hafalan rumus-rumus pada anak didik, tapi harus lebih dari itu, yakni dengan memberikan soal-soal yang mampu membuat siswa berpikir secara logis," ujarnya.

Ia mengatakan, secara umum ada beberapa alasan yang berkaitan dengan pentingnya kehadiran proses berpikir dalam proses pembelajaran aritmatika, yang dapat menjadi pedoman dalam memunculkan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi siswa.

Menurutnya, agar siswa mempunyai kemampuan berpikir yang kritis dan kreatif bisa dilakukan dengan cara menambah kurikulum yang dapat memicu daya nalar siswa. Dengan begitu mereka mampu menjawab permasalahan yang dihadapinya.

Selain itu, pentingnya kehadiran proses berpikir juga dilatarbelakangi perubahan pandangan mengenai tujuan pendidikan, dimana kemampuan berpikir harus menjadi tujuan yang penting dan utama dalam proses pembelajaran.

Begitu juga fakta yang memaparkan bahwa pembelajaran yang monoton dengan cara tradisional tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara optimal.

"Dewasa ini terdapat pandangan bahwa proses berpikir yang baik akan mengantarkan seseorang pada pemahaman yang lebih mendalam di berbagai disiplin ilmu. Inilah mengapa aritmatika sangat penting karena melibatkan proses berpikir," tambahnya.


Sumber : Antara

Baca selengkapnya...

Bungkus Palsu

Jessica Chandra adalah anggota baru di sanggar tari. Wanita mungil itu selalu terlihat lincah dan riang. Gayanya luwes. Senyumnya ramah. Tidak banyak yang mengetahui usianya sudah berkepala tiga. Sepintas gayanya lebih mirip mahasiswi daripada seorang Ibu beranak satu.

Minggu lalu Jessica terlambat. Dia tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Setelah sepeda motor bututnya diparkirkan, dengan langkah tergesa-gesa Jessica langsung menuju meja resepsionis. Masih seperti biasa, senyum lebar selalu menyungging di bibirnya. Lalu dia menyodorkan kartu
keanggotaan untuk diabsensi.

Jessica baru menyadari air botol minum di kantong samping ranselnya kosong. Ternyata dia lupa mengisi ulang botol minumnya karena tergesa-gesa. Jessica mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mencari air dispenser. Dalam benaknya, disanggar tari sebesar itu pasti ada air dispenser yang disediakan untuk para member.

Dengan rasa sungkan dan ragu, Jessica bertanya kepada resepsionis apakah ia boleh meminta botol air minumnya diisi kembali. “Oh, boleh” jawab resepsionis. Dipanggillah seorang pelayan dapur

“Maaf, mbak. Saya lupa mengisi air minum, boleh tolong diisikan ?” tanya Jessica

Jessica lalu memberikan botol minum berukuran 500 cc itu kepada pelayan dapur. Pelayan dapur agak ragu menerima botol minum tersebut. Dengan gelisah ia masih berdiri di sana, seakan-akan menunggu persetujuan dari seseorang. Jessica sedikit heran. Keengganan itu terlihat begitu jelas.

Kemudian datanglah seorang wanita paruh baya. Entah siapa dia, tapi Jessica sering melihatnya di kafe lantai bawah. Mungkin pemilik sanggar tebaknya. Jessica merasa tidak enak dengan tatapan tajam dari mata wanita itu. Pelayan dapur agak gugup menjelaskan maksudku kepada wanita tersebut.

“Mbak ini minta air minum,” kata pelayan kepada wanita tua. Wanita tua dengan sorot tidak bersahabat berkata : “Kenapa tidak beli saja air mineral, dek ? Kami ada menjualnya di sini.”

Jessica menangkap pesan penolakan. Dia tahu wanita itu enggan mengisikan air minumnya.

“Oh, gak boleh ya. Kalo gitu gak apa-apa kok.”

Senyum Jessica sedikit agak dipaksa. Dia mengambil kembali botol minumnya dari tangan pelayan dapur dan segera bergegas melangkah ke lantai dua. Meski sedikit kecewa, Jessica menghibur diri bahwa dia tidak akan mati dehidrasi saat latihan.

Sementara di lantai bawah, masih terdengar debat kecil antara wanita tua itu dengan resepsionis. Jessica tidak lagi memperdulikan. Dia hanya ingin latihan hari itu segera usai.

***
Hari berikutnya, Jessica masih rutin mengikuti latihan seperti biasanya. Meski ada rasa tidak enak, Jessica tetap santun menundukkan kepalanya sambil tersenyum kepada wanita tua itu ketika menyapanya. Jessica sama sekali tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun. Yang pasti sejak itu, Jessica sangat memperhatikan botol air minumnya.

***
Suatu sore, Jessica tidak mengendarai sepeda motor bututnya. Suaminya berjanji akan menjemputnya. Hujan mengguyur deras sekali. Usai latihan, Jessica segera turun. Dia melihat hidangan mie goreng dan nasi goreng di meja. Malam itu adalah perayaan tahun pertama berdirinya sanggar tari. Wanita tua itu terlihat sibuk melayani para member lainnya.
Mengajak mereka makan. Banyak yang menolak halus, mungkin takut gemuk, mungkin juga ingin segera pulang. Jessica pun menolak halus ketika ditawarkan. Makan terburu-buru bukan kebiasaannya. Lagipula, dia tidak ingin suaminya menunggu lama.

Jessica mengecek HPnya. Ternyata sms dari suaminya mengabari terlambat menjemput. Jessica masih berdiri di luar dan menunggu di sana. Tiba-tiba wanita tua itu telah di sampingnya.

“Kamu lagi menunggu seseorang ?”

“Iya. Suamiku”
“Suami ? Saya pikir kamu masih mahasiswi.”
Jessica tertawa. “Aku sudah 35 tahun.”
“Menikah muda ya ?”
“28”.

Jessica tidak tau pasti apakah umur segitu termasuk menikah muda.

“Bukankah kamu yang biasanya mengendarai sepeda motor ?” tanya lagi
wanita itu.

Tentu saja mudah dikenali. Karena Jessica satu-satunya wanita yang mengendarai sepeda motor ke sanggar. Kebanyakan member yang lain mengendarai mobil, sebagian lagi didrop oleh supir.

“Iya. Hari ini dijemput suami, jadi aku gak bawa motor.”

“Oh, itu dia jemputanku” Jessica menunjuk pada sebuah mobil Mercedes hitam mengkilap seri terbaru yang berhenti pas di tempatnya menunggu.

“Bukankah Itu mobil Bapak Ardiansyah ?” tanya wanita tua penuh rasa penasaran.

“Yah, Ardiansyah adalah suamiku.”

Wanita itu terkejut. Tatapannya masih tidak percaya ketika melihat Jessica melambaikan tangan dan menembus hujan masuk ke dalam mobil.

Mobil itu telah lama berlalu, tapi wanita tua masih berdiri sana, melongo. Ketika memori membawanya kembali pada kejadian air minum itu, rasa malu menghantam keras hatinya. Tiba-tiba dunia terasa gelap. Ardiansyah ! Dia adalah sponsor utama yang selalu mendukung kegiatan sanggar tarinya. “Oh, tidak …”

***
Sahabat, Kita sering menganggap diri kita adalah orang baik. Tapi ketika kita dihadapkan pada bungkus luar dari apa yang mereka pakai, dari kendaraan yang digunakan, begitu gampangnya sikap hati kita berubah.

Bila ‘bungkus luar’ itu bagus, kita cenderung ‘mengangkat tinggi-tinggi’ orang tersebut. Sebaliknya bila ‘bungkus luar’ jelek, kita lalu menjengkalnya, menyepelekan mereka. Senyum kita jadi palsu. Kebaikan hati kita jadi basa-basi.

Hendaknya di dalam pelayanan, kita juga tidak memandang 'bungkus luar' dari tiap-tiap orang.

Baca selengkapnya...

Sabtu, 22 Agustus 2009

Mengapa Pengebom Bunuh Diri Disebut "Pengantin"

Selain Noordin M Top, gembong teroris yang paling dicari oleh aparat kepolisian adalah Saefudin Jaelani. Pedagang obat-obat herbal dan ahli pengobatan bekam ini ternyata orang yang bertugas merekrut calon pelaku bom bunuh diri.

Danni Dwi Permana, 18 tahun, bomber Hotel JW Marriott, adalah hasil rekrutan Jaelani. Polisi menduga keras ustadz asal Cirebon, Jawa Barat, itu juga merekrut 14 pemuda lain untuk dijadikan "pengantin". Pengantin adalah istilah yang digunakan oleh kelompok teroris bagi calon pengebom bunuh diri.

Mengapa pengebom bunuh diri disebut pengantin?

David Brooks menulis mengenai "The Culture of Martyrdom" (Majalah Atlantic edisi Juni 2002) dan mencoba mengkaitkan dengan sejarah pengebom bunuh diri di kalangan pejuang Palestina yang menentang pendudukan Israel.

Brooks mengutip laporan wartawan Pakistan Nasra Hassan yang mewawancarai 250 orang yang merekrut dan melatih para calon pelaku bom bunuh diri di Palestina selama kurun waktu dari tahun 1996 sampai 1999.

Kesimpulannya, pengebom bunuh diri umumnya sangat loyal kepada kelompoknya. Mereka melalui proses indoktrinasi dan cuci otak persis seperti yang dilakukan oleh Jim Jones pemimpin Sekte Matahari kepada para jemaahnya menjelang bunuh diri masal tahun 1977.

Calon pengebom dikelompokkan ke dalam sel-sel kecil dan diberikan ceramah agama serta melakukan ritual ibadah yang intensif. Mereka diajak untuk melakukan jihad (meski pemahaman akan jihadnya menyesatkan), dibakar kebenciannya terhadap musuh (biasanya simbol-simbol Barat dan pendukung Israel) dan diyakinkan akan masuk surga sebagai balasan tindakannya.

"Pengebom bunuh diri dicekoki bahwa surga terbentang dibalik detonator pemantik bom dan ajal kematian akan dirasakan tidak lebih dari sekedar cubitan (yang sama sekali tidak menyakitkan)," tulis Brooks.

Bahkan perekrut kadang meminta calon pengebom bunuh diri untuk terlentang di lubang kubur kosong, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana tentramnya kematian yang akan tiba. Sebaliknya kepada mereka diingatkan secara terus menerus bahwa hidup di dunia itu fana, sementara, banyak penderitaan, cobaan dan penghianatan.

Yang abadi adalah di surga dimana ada 72 bidadari yang menunggu dengan penuh cinta.

Mungkin karena akan bertemu dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai "perkawinan", yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari.

Tulis surat wasiat

Jika calon pengebom bunuh diri itu telah tamat dicuci otaknya dan siap menjalankan misinya, mereka diminta menulis surat wasiat dan menyampaikan pesan-pesan terakhirnya dalam rekaman video.

Salah satu pesan dari seorang pelaku bom bunuh diri yang dikutip dari laporan Nasra Hassan adalah "Aku akan membalas dendam atas anak-anak monyet dan babi, yaitu orang kafir, Yahudi, dan musuh-musuh manusia. Aku akan segera bertemu dengan saudaraku para syuhada yang lebih dulu masuk surga".

Ketika calon pengebom bunuh diri sudah membuat wasiat dan merekam pesan terakhirnya di rekaman video, maka tidak ada kata untuk mundur lagi. Membatalkan misi bunuh diri sangat memalukan. Ia tinggal mensucikan diri, berdoa dan membawa bom untuk diledakkan di tempat yang diperintahkan kepadanya: bisa di pasar, diskotik, bus, atau markas tentara.

Achyar Hanif, seorang ustadz dan alumnus dari New York University, Amerika Serikat, yang mengamati perilaku pengebom bunuh diri menyatakan anak-anak muda yang direkrut menjadi pengantin umumnya tidak tahu apa-apa. Anak-anak remaja itu dicekoki, diindoktrinasi, diprovokasi untuk membenci dengan dalih-dalih agama yang sesungguhnya menyesatkan.

Sebab, katanya, dalam ajaran Islam, bunuh diri itu dilarang, apalagi membunuh orang lain.(Quran 4: 29-30). Dalam Islam, mengambil nyawa orang itu hanya bisa dilakukan dalam kaitan dengan penegakan hukum, seperti hukuman mati untuk pembunuh. Tapi, dalam Quran 17:33 ditegaskan bahwa memaafkan (si pembunuh) itu lebih baik.

Bahkan pada saat dalam keadaan perang pun, menyakiti orang-orang tak berdosa dilarang oleh nabi Muhammad SAW. Masuk dalam kategori "noncombatant", ini adalah wanita, anak-anak, dan orang-orang uzur dan tua. Selain itu, dalam perang sekalipun tidak diperbolehkan untuk menghancurkan tanaman dan bahan pangan.

"Hal itu karena Tuhan itu maha pengasih dan maha penyayang. Islam adalah perdamaian," kata Achyar Hanif.

Orang tanpa harapan

Mengenai semakin banyaknya anak-anak muda yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Indonesia, Achyar menekankan pentingnya semua pihak mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan persoalan sosial.

"Para teroris mengincar remaja yang putus sekolah, pemuda yang tidak punya pekerjaan, orang-orang yang punya pendapatan tapi sangat rendah. Orang-orang tanpa harapan inilah yang direkrut, dibina, dicuci otaknya untuk menjadi teroris," tegasnya.

Hasil penelitian Dr Yusef Yadgari menyebutkan bahwa sebagian pengebom bunuh diri dilandasi oleh keputusasaan dan mereka umumnya datang dari kelompok masyarakat yang miskin dan marjinal.

Di Afghanistan, menurut Yadgari, statistik menyebutkan bahwa 80 persen pelaku serangan bunuh diri memiliki cacat fisik dan persoalan mental.

Sebanyak 110 kasus serangan bunuh diri di Afghanistan pada tahun 2007 dilakukan oleh pelaku yang memiliki masalah kesehatan seperti kanker, lepra, atau penyakit akut lainnya.

Sebagian lagi tercatat memiliki persoalan kejiwaan seperti anti-sosial, trauma, penyimpangan perilaku, paranoid, kebencian yang berlebihan, kemarahan yang tak terkendali dan narsistis.

Profil penyerang bunuh diri di Timur Tengah menurut studi terakhir adalah 83 persen belum menikah, 64 persen berusia antara 18-23, dan 29 persen setidaknya lulus SMA.

Jika dilihat siapa yang melakukan pengeboman bunuh diri di Indonesia, angka statistik di Timur Tengah tersebut tidaklah jauh berbeda. Danni Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriott berumur 18 tahun. Ia baru saja lulus SMA Yadika 7 Bogor. Pekerjaannya adalah marbot atau penjaga masjid. Sementara Zulkifli Aroni, ayah Danni, sedang menjalankan pidananya di penjara. Tini Larantika, ibunya, bekerja di Kalimantan sehingga Danni harus hidup dan menghidupinya sendirian.

Sebagaimana pengakuan Tini, puteranya itu telah menjadi korban teroris yang merekrutnya dengan penerapan konsep jihad yang salah. Memang kepada Tini, Danni pernah mengatakan ingin berjihad. Namun, jihad yang ia katakan adalah berdakwah dari mesjid ke mesjid. Tini sangat terpukul jihad anaknya itu berubah menjadi jihad yang menyakiti orang.

Tini tetap yakin bahwa Danni itu bukan teroris, melainkan hanya korban. Berjihad itu, katanya, bukan dengan menjadi teroris. Tapi apa lacur, kelompok teroris telah merekrutnya dan telah mencuci otaknya. Dengan kenaifannya, Danni pun bersedia menjadi pengantin.

Oh, Danni yang malang.


Sumber : Akhmad Kusaeni - Antara

Baca selengkapnya...

Jumat, 21 Agustus 2009

Why Few Executives Are Skillful Managers

I work with senior executives from all over the world with remarkably diverse industries, backgrounds, and cultures, yet it's always a surprise to realise that their development needs are very similar. How can it be that a French CFO of a luxury goods company has the same management problems as a Kuwaiti operations manager? Or that a Japanese quality assurance manager has to deal with the same people issues as a German investment banker?

The answer is partly due to the fact that there is a fundamental human psychology and partly because globalisation has narrowed the gulf between cultures. But there is another underlying truth: despite the billions of dollars, euros, and yen invested in coaching and management development, remarkably few executives can be regarded as skillful managers. It's my guess that the majority of managers with responsibility for large teams and significant businesses either do not possess the requisite skills of a manager — or they just don't put them into practice. Why?
There are three main reasons. First, lack of time and pressure to deliver results make it almost impossible for executives to reflect, consider, and apply their new skills. Second, budget constraints can result in a lack of support and follow-through on the best intentions. Finally, behavioural change is difficult — it's all too easy for a development plan to slip to the bottom of the to-do list.
With these thoughts in mind, I offer my clients a short and simple management development plan to get them going. After they have mastered these fundamental skills, we can move on to what I call the "higher order" skills that will transition them to leadership roles. There are three rules and five key development areas:
Rules:
1. Commit to the plan for six months. Be prepared to check in with your coach or line manager on any changes you notice and any suggestions for tailoring your plan.
2. Trust that the plan will make your life easier and less complicated in the long run
3. Be open to experimenting — and have fun learning about yourself and others

Development Areas:
1. Delegation
It is your job to delegate as much as you possibly can: your ultimate goal should be to delegate everything, find a successor and move on to a bigger job. If you are having trouble letting go or trusting others, try to remember how it felt when you were given the first big challenge of your career. Did you relish the challenge? How did you approach it? Did you succeed? What did you learn about the job and yourself? How did it help you to move forward in your career?
Remember that however talented you are, your career is likely to have stalled had your boss not trusted you with a challenging piece of work. He took the risk and delegated: now it's your turn to do the same. No excuses, just follow the rules.
2. Managing distance
One of the biggest mistakes you can make as a manager is to spend too much time either in your team or away from it. If you are too close, you risk becoming a micromanager, you can lose perspective on the business, you can become too friendly and lose authority within the team, and your team can become over-dependent on you. Being too distant, on the other hand, can result in a directionless team, potential crises, lack of control, and you being perceived as too remote or political. Also, maintaining social distance is an important discipline for managers that should not be overlooked.

3. Visibility
Visibility and personal profile are important for your career as well as your team, so make sure you are being seen and heard in the right places. If you don't manage your reputation and profile, someone else will do it for you — and they may not have your best interests at heart. Take time to network, share your successes, and ask to be included on steering committees or cross-functional initiatives to create opportunities to showcase your talents and your team's achievements.
4. Work-life balance
It's incredible that this point still needs to be reinforced. Remember that you are a human being, not a machine. You may pride yourself on being able to work long hours, never taking a holiday and putting your company before your own health and well-being (and that of your family). But be very clear that you cannot do this forever. Sooner or later your health will give up and you will no longer be in control. Burnout is a one-way ticket, so be sensible. It's smart to look after yourself. Work reasonable hours, keep the weekends sacred, leave early one evening a week and build in an exercise schedule. Not only will this help you keep effective, it will make you easier to be around and probably prolong your career.

5. Continuous learning and reflection
Adaptability and being able to flex your style as your company or situation changes are critical. Seeking feedback, identifying your development needs, and monitoring your own progress are all vital if you are to develop as a leader and a person. Lasting behavioural change requires time, patience, dedication, and support, so don't expect it to happen overnight. One of the best things you can do to support yourself is to give yourself time and space to reflect: try to schedule a meeting with yourself for an hour each week for reflection.
These are my suggestions — but what do you think? Have you focused on any key areas that ensure you are more effective as a manager? If so, what difference has it made in your career? And what lessons have you learned from other managers?


Gill Corkindale

Baca selengkapnya...

To Get More Done, Slow Down

On a Friday afternoon almost twenty years ago, soon after I had started working at a New York consulting firm, I was working on an important presentation with Andy Geller, who ran the office. We'd promised to deliver it Monday morning, and we were running behind.
At 2 o'clock, Andy told me he had to leave.
"But we're not done," I stammered. Andy was not one to let work go unfinished and neither was I.
"I know," he said, looking at his watch, "But it's Shabbat in a few hours and I need to get home. I'll come back Saturday night. If you can make it too, we'll continue to work together then. Otherwise, do what you can the rest of today and I'll pick up where you left off tomorrow night." I decided to leave with him and we met again at 8 p.m. Saturday night. Refreshed and energetic we finished our work together in record time.
A little back-story: Shabbat is the Jewish Sabbath and it starts at sundown on Friday and ends when it's dark Saturday night. The exact time changes depending on sundown — earlier in the winter, later in the summer. For observant Jews it's a rest day. No work, no travel, no computers or phones or TV. The way I heard it once, the idea is that for six days we exert our energy to change the world. On the seventh day the objective is simply to notice and enjoy the world exactly as it is without changing a thing.
Observant Jews spend Shabbat praying, eating, walking, and spending time with family and friends.
They're onto something.
This life is a marathon, not a sprint. Most of us don't go to work for 20 minutes a day, run as fast as we can, and then rest until the next race. We go to work early in the morning, run as fast as we can for 8, 10, 12 hours a day, then come home and run hard again with personal obligations and sometimes more work, before getting some sleep and doing it all over again.
That's why I'm such a fanatic about doing work you love. But even if you love it, that kind of schedule is deeply draining. Not an athlete in the world could sustain that schedule without rest. Most athletes have off-seasons.
So if we're running a daily marathon, it might help to learn something from people who train for marathons.
Like my friend Amanda, who recently told me she was training to run the New York City Marathon. She's never run anything before. I asked her how she planned to tackle this herculean feat with no experience.
"I'm just going to follow the plan," she said and later emailed it to me. Here's what I learned: if you want to run a marathon successfully without getting injured, spend four days a week doing short runs, one day a week running long and hard, and two days a week not running at all.
Now that seems like a pretty smart schedule to me if you want to do anything challenging and sustain it over a long period of time. A few moderate days, one hard day, and a day or two of complete rest.
But how many of us work nonstop, day after day, without a break? It might feel like we're making progress, but that schedule will lead to injury for sure.
And when we do take the time to rest, we discover all sorts of things that help us perform better when we're working. Inevitably my best ideas come to me when I get away from my computer and go for a walk or run or simply engage in a casual conversation with a friend.
There is a down side to rest days though, and it's serious enough that I believe it's the unconscious reason many of us resist taking them. They give you time to think. My friend Hillary recently broke her foot and was confined to bed rest for several weeks. "The cast gave me a timeout card which I never would have taken on my own," she told me, "and when I did slow down, I felt a deep sadness. I had nothing to distract me from the feeling that I had been living a life in which my needs were never a priority."
But while it was hard for her, it also gave her renewed energy to refocus on her priorities. When we rest, we emerge stronger. There's a method of long distance running that's becoming popular called the Run-Walk method; every few minutes of running is followed by a minute of walking. What's interesting is that people aren't just using this method to train, they're using it to race. And what's even more interesting is that they're beating their old run-the-entire-distance times.
Because slowing down, even for a few minutes here and there and even in the middle of a race, enables you to run faster and with better form. And, as a side benefit reported by Run-Walkers, it's a lot more fun.
Faster, better, more fun? The only downside is time to think? You don't have to believe in God to realize that a day of rest is a good idea. But you do have to be religious about it.


Peter Bregman

Baca selengkapnya...

10 Tantangan Ekonomi RI di 2010

Meskipun fase krisis ekonomi global sudah mulai terlewati, namun pemerintah memperkirakan perekonomian Indonesia di 2010 masih diliputi oleh ketidakpastian.

Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani mengatakan ketidakpastian perekonomian di 2010 adalah seberapa cepat dan kuat pemulihan ekonomi akan terjadi.

"Pembangunan ekonomi nasional 2010 menghadapi berbagai tantangan dari global dan domestik yang harus kita jawab dengan langkah-langkah tepat, terukur, nyata dan komprehensif," ujarnya dalam pidato di Sidang Paripurna membahas RAPBN 2010 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/8/2009).

Dikatakannya ada 10 tantangan yang masih meliputi perekonomian Indonesia di 2010. Pertama pemulihan ekonomi dunia 2010 masih rapuh dan gejolak pasar uang, pasar modal, dan harga komoditas masih akan menyertai. "Oleh karena itu kita perlu memelihara stabilitas ekonomi nasional dengan merancang APBN 2010 yang memasukkan faktor risiko di dalamnya," tandas Sri Mulyani.

Kedua , belajar dari krisis 1998 di Indonesia dan krisis ekonomi dunia saat ini, maka perekonomian Indonesia harus dibangun dengan bertumpu pada sumber pertumbuhan domestik dan berbasis kewilayahan.

Ketiga , Indonesia masih perlu menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan dengan meneruskan program-program pro rakyat.

Keempat , menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan meningkatkan upaya penegakan hukum, harmonisasi UU kebijakan penanaman modal, mengatasi kemacetan pada masalah pertahanan dan tata ruang, dan perbaikan birokrasi yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Kelima meningkatkan ketersediaan dan pemerataan infrastruktur yang memadai dan berkualitas sebagai prasyarat untuk dapat mencapai kemakmuran dan menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Keenam , meningkatkan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam proses pembangunan. "Peran sektor swasta, perguruan tinggi, dan LSM harus ditingkatgkan sehingga ketergantungan pembiayaan pembangunan dari luar negeri dapat terus dikurangi," imbuh Sri Mulyani.

Ketujuh , prioritas untuk menjaga ketahanan pangan dan energi harus terus dijaga dan ditingkatkan. Kedelapan revitalisasi industri pengolahan baik di hilir maupun di hulu juga perlu dilakukan untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.

Kesembilan makin pentingnya masalah lingkungan dan perubahan iklim global akan menentukan tingkat keberlanjutan kehidupan di bumi ini, maka pembangunan Indonesia harus memasukkan faktor-faktor tersebut dalam pilihan strategi dan kebijakannya.

Kesepuluh otonomi daerah dan desentralisasi memberikan kesempatan dan tantangan bagi kita dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berkualitas, rata, dan adil.


Herdaru Purnomo - detikFinance

Baca selengkapnya...

Bahagia Menjadi Seorang Guru

“Happiness comes of the capacity to feel deeply, to enjoy simply, to think freely, to risk life, to be needed. – Kebahagiaan berasal dari kapasitas untuk merasakan, menikmati, berpikir bebas, menghadapi resiko hidup, dan menjadi dibutuhkan.”
Storm Jameson


Kebahagiaan adalah ide yang sangat abstrak dan bersifat sangat subyektif. Kebahagiaan dapat terkait dengan tercapainya suatu keinginan atau kebutuhan kita. Tetapi kebahagiaan seorang guru menurut saya sangat terkait dengan tanggung jawabnya mendidik dan mengajarkan nilai-nilai penting dan inspiratif terhadap para siswanya. Ketika seorang guru dapat melakukan beberapa hal berikut ini kemungkinan besar ia dapat memiliki semua sumber kebahagiaan bahkan lebih dari semua yang dipaparkan oleh Storm Jameson tersebut.
Seorang guru bahagia karena ia mencintai profesi sebagai pendidik. Ia mendapatkan kepuasan tersendiri ketika dapat mendidik para murid, walaupun mungkin kehidupan pribadi mereka sederhana dan jauh dari kemewahan. Seorang guru akan jauh lebih bahagia, jika apa yang telah mereka lakukan tak hanya membuat para murid pintar melainkan menginspirasi bahkan menggerakkan para murid untuk mengubah diri mereka menjadi lebih baik.
Mencintai proses pembelajaran dengan memperluas wawasan ilmu pengetahuan melalui berbagai macam buku, seminar, kaset, radio dan lain sebagainya adalah sumber kebahagiaan seorang guru. Karena tanggung jawab seorang guru bukanlah sekedar menjelaskan subyek atau materi pelajaran, melainkan memberikan contoh sikap bahwa kemauan untuk terus belajar dapat meningkatkan kreatifitas dan memaksimalkan potensi diri. Seorang guru akan semakin bahagia jika mampu menginspirasi para siswa belajar lebih giat.
Rasa syukur yang besar terhadap Tuhan YME mendatangkan keindahan dan kebahagiaan. Rasa syukur membuat guru lebih bahagia, karena rasa syukur itu membuatnya dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada para muridnya dengan bahasa yang positif pula. Ia akan lebih bahagia jika sikap yang positif serta ilmu pengetahuan yang ia sampaikan menginspirasi para muridnya untuk lebih kreatif dan positif dalam menggunakan ilmu pengetahuan tersebut.
Seorang guru akan bahagia jika tidak membebani hidupnya dengan orientasi mendapatkan imbalan. Ia bahagia karena tidak pernah mengharap balas jasa dari murid atas semua yang diberikannya. Ia sudah cukup senang dapat mengabdikan diri untuk membentuk para tunas bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Guru akan bahagia jika berhasil membangkitkan semangat para murid yang nyaris terpuruk karena kehilangan jati diri. Untuk semua itu ia akan rela melakukan apapun, walaupun harus menghadapi banyak kesulitan. Mendampingi dan membentuk anak-anak didik menjadi tegar dan optimis, baginya jauh lebih menyenangkan dibandingkan apapun juga.
Seorang guru bahagia, jika ia menjadi diri sendiri dan tidak membandingkan dengan orang lain. Ia bebas berekspresi sebagai diri sendiri dalam menyampaikan ilmu pengetahuan agar terserap dan bermanfaat bagi anak didiknya. Ia akan berbahagia jika etika yang ia tunjukkan itu dapat menumbuhkan keberanian para murid untuk menjalani kehidupan dengan jujur dan menghargai diri sendiri.
Guru bahagia karena ia mencintai murid-muridnya, bagaimanapun keadaan mereka. Ia menikmati saat bersama-sama berjuang melawan keterbatasan diri dengan ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Sebagaimana M. Scott Peck mengatakan, “When we love something it is of value to us, and when something is of value to us we spend time with it, time enjoying it and time taking care of it. – Ketika kita mencintai sesuatu maka itu akan berarti bagi kita. Ketika sesuatu berarti bagi kita, maka kita akan senang menghabiskan waktu untuknya, menikmatinya, dan memeliharanya”.
Guru yang bahagia adalah guru yang terus memperkaya ilmu pengetahuannya. Dengan demikian ia dapat mengkreasikan metode mengajar, sehingga para murid dapat dengan mudah menyerap ilmu pengetahuan yang ia sampaikan. Semakin luas ilmu yang ia miliki, semakin mudah baginya mengubah kesulitan hidup menjadi anugrah yang membahagiakan.
Seorang guru bahagia, karena kehidupannya berjalan seimbang. Keseimbangan tersebut dikarenakan ia mampu memanajemen waktu. Ia dapat menggunakan waktu secara efektif dan proprosional untuk diri sendiri, keluarga, profesi, kegiatan sosial, belajar dan beribadah.
Sumber kebahagiaan seorang guru berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia bahagia ketika mampu menginspirasikan harapan, kebahagiaan, kekuatan sekaligus nilai-nilai moralitas kepada generasi masa depan. Ia akan lebih bahagia jika para anak didik itu mampu melakukan hal serupa dengan dirinya.


Andrew Ho

Baca selengkapnya...