Kamis, 12 Februari 2009

Hati-Hati Terhadap Hasil Statistik

Dalam melakukan aktivitas marketing, kita harus berhati-hati terhadap hasil statistik (riset). Pada waktu kuliah, saya pernah mengikuti lomba karya tulis ilmiah dan mampu menjadi juara tingkat nasional sehingga saya mempunyai metodologi penelitian dan teknologi sampel yang bisa diandalkan (tentu saja setelah melewati berbagai pengujian yang dilakukan oleh para pakar di bidangnya).

Oleh karena itu, saya tahu persis kelemahan statistik. Salah satunya sering terjadi bahwa angka statistiknya naik, tapi keuntungan secara konkret tidak naik. Apabila ini yang terjadi, hasil statistik tersebut percuma saja. Darrel Huff pernah mengungkapkan bahwa kebohongan itu terdiri atas tiga tingkatan dan statistik merupakan kebohongan tingkat tertinggi. Adapun kebohongan tingkat pertama dapat dicontohkan sebagai berikut.

Jika seseorang akan menjual sebuah mobil, orang bisa mengatakan, "Mobil saya ini baru, lho (padahal sebenarnya pada petunjuk kilometernya, misalnya, sudah mencapai 100.000 km)." Namun, orang tersebut tidak memberikan polesan apa pun pada mobil tersebut, dia hanya mengatakan bahwa itu adalah mobil baru. Itu disebut sebagai kebohongan karena dia tidak melakukan tindakan untuk menutupi kebohongannya.
Adapun kebohongan tingkat kedua adalah menipu. Penjualan mobil dikatakan menipu apabila ia mengatakan seperti ini, "Mobil saya ini baru," kemudian ia melakukan berbagai usaha, di antaranya menurunkan angka kilometer, bodi mobil dicat ulang,mesin dibersihkan, bannya diganti baru. Karena dimake-up seperti baru lagi, penjual itu mengatakan mobilnya baru. Dengan tindakannya itu orang (pembeli) menjadi tertipu. Dia telah menipu karena semuanya itu ditambahkan atau diubah agar tampak baru untuk menutupi kebohongannya tersebut.
Dan kebohongan yang paling "kejam" adalah kebohongan dengan kebenaran statistik. Contohnya, sebuah mobil yang kilometernya sudah mencapai 100.000 tersebut bisa dia anggap baru, misalnya dengan mengadakan survei kepada 2.000 orang dengan hasil bahwa mobil dengan kilometer 100.000 adalah termasuk mobil baru.
Caranya dengan mengajukan pertanyaan seperti ini (karena survei dan jawaban tergantung pertanyaan), "Kalau dibandingkan dengan mobil yang telah mencapai kilometer ke-200.000, apakah mobil dengan kilometer 100.000 termasuk baru?" Pastilah 2.000 orang yang mendapatkan pertanyaan seperti itu akan menjawab bahwa mobil dengan kilometer 100.000 tersebut termasuk baru. Contoh lain adalah ketika salah satu majalah nasional melakukan survei dan hasil surveinya menyatakan bahwa "dua di antara tiga lelaki di Jakarta berselingkuh".
Jika hasil tersebut kita terima secara mentah-mentah, dampak yang timbul menjadi kurang baik karena kita tidak mengetahui dengan lebih pasti hasil survei tersebut, sampling-nya dilakukan di mana, siapa respondennya, dan kira-kira jam berapa meskipun mereka mengatakan bahwa metode yang digunakan adalah multiple purpose random sampling.
Sebab, jika mereka mengadakan surveinya di kafe-kafe pada jam dua pagi, ya pantas saja jika hasil yang didapatkan adalah bahwa dua di antara tiga lelaki berselingkuh. Saya pernah bertemu seorang ahli riset dan saya memberikan tantangan seperti ini, "Bapak boleh menggunakan strategi riset apa pun, hanya ada satu hal yang akan saya sembunyikan, yang tidak pernah diungkap dan saya akan menjamin hasilnya akan sangat kecil atau boleh dikata nol. Bahwa tidak seorang lelaki pun yang telah menikah itu berselingkuh, dengan menggunakan metodologi apa pun, atau di mana pun, dan jam berapa pun surveinya dilakukan."Saya hanya memberi satu syarat survei dan syaratnya sebenarnya mudah, yaitu pada saat survei dilakukan, istrinya harus berada di sebelahnya. Apakah dengan survei seperti itu kira-kira akan ada hasil bahwa laki-laki berselingkuh? Bahkan bisa jadi hasilnya nol.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan hal ini saya benar-benar menekankan agar kita harus mulai sadar untuk berhati-hati menanggapi hasil angket atau survei tertentu. Begitu pula halnya dengan angket atau survei yang berkaitan dengan program pemasaran yang akan kita lakukan.

Tung Desem Waringin

Baca selengkapnya...

Rabu, 11 Februari 2009

4 Skenario

Skenario 1
Andaikan kita sedang naik di dalam sebuah kereta ekonomi. Karena tidak mendapatkan tempat duduk, kita berdiri di dalam gerbong tersebut. Suasana cukup ramai meskipun masih ada tempat bagi kita untuk menggoyang-goyangkan kaki. Kita tidak menyadari handphone kita terjatuh.

Ada orang yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya kepada kita. "Pak, handphone bapak barusan jatuh nih," kata orang tersebut seraya memberikan handphone milik kita.

Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut? Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja.

Skenario 2
Sekarang kita beralih kepada skenario kedua. Handphone kita terjatuh dan ada orang yang melihatnya dan memungutnya. Orang itu tahu handphone itu milik kita tetapi tidak langsung memberikannya kepada kita. Hingga tiba saatnya kita akan turun dari kereta, kita baru menyadari handphone kita hilang.

Sesaat sebelum kita turun dari kereta, orang itu ngembalikan handphone kita sambil berkata, "Pak, handphone bapak barusan jatuh nih. "Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?

Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih juga kepada orang tersebut. Rasa terima kasih yang kita berikan akan lebih besar daripada rasa terima kasih yang kita berikan pada orang di skenario pertama (orang yang langsung memberikan handphone itu kepada kita). Setelah itu mungkin kita akan langsung turun dari kereta.

Skenario 3
Marilah kita beralih kepada skenario ketiga. Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, hingga kita menyadari handphone kita tidak ada di kantong kita saat kita sudah turun dari kereta. Kita pun panik dan segera menelepon ke nomor handphone kita, berharap ada orang baik yang menemukan handphone kita dan bersedia mengembalikannya kepada kita.

Orang yang sejak tadi menemukan handphone kita (namun tidak memberikannya kepada kita) menjawab telepon kita. "Halo, selamat siang, Pak. Saya pemilik handphone yang ada pada bapak sekarang," kita mencoba bicara kepada orang yang sangat kita harapkan berbaik hati mengembalikan handphone itu kembali kepada kita. Orang yang menemukan handphone kita berkata, "Oh, ini handphone Bapak ya. Oke deh, nanti saya akan turun di stasiun berikut. Biar bapak ambil di sana nanti ya."

Dengan sedikit rasa lega dan penuh harapan, kita pun pergi ke stasiun berikut dan menemui "orang baik" tersebut. Orang itu pun memberikan handphone kita yang telah hilang. Apa yang akan kita lakukan pada orang tersebut?

Satu hal yang pasti, kita akan mengucapkan terima kasih, dan sepertinya akan lebih besar daripada rasa terima kasih kita pada skenario kedua bukan? Bukan tidak mungkin kali ini kita akan memberikan hadiah kecil kepada orang yang menemukan handphone kita tersebut.

Skenario 4
Terakhir, mari kita perhatikan skenario keempat. Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, kita turun dari kereta dan menyadari bahwa handphone kita telah hilang, kita mencoba menelepon tetapi tidak ada yang mengangkat. Sampai akhirnya kita tiba di rumah.

Malam harinya, kita mencoba mengirimkan SMS : "Bapak / Ibu yang budiman. Saya adalah pemilik handphone yang ada pada bapak / ibu sekarang. Saya sangat mengharapkan kebaikan hati bapak / ibu untuk dapat mengembalikan handphone itu kepada saya. Saya akan memberikan imbalan sepantasnya". SMS pun dikirim dan tidak ada balasan. Kita sudah putus asa.

Kita kembali mengingat betapa banyaknya data penting yang ada di dalam handphone kita. Ada begitu banyak nomor telepon teman kita yang ikut hilang bersamanya. Hingga akhirnya beberapa hari kemudian, orang yang menemukan handphone kita menjawab SMS kita, dan mengajak ketemuan untuk mengembalikan handphone tersebut.

Bagaimana kira-kira perasaan kita? Tentunya kita akan sangat senang dan segera pergi ke tempat yang diberikan oleh orang itu. Kita pun sampai di sana dan orang itu mengembalikan handphone kita. Apa yang akan kita berikan kepada orang tersebut? Kita pasti akan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepadanya, dan mungkin kita akan memberikannya hadiah (yang kemungkinan besar lebih berharga dibandingkan hadiah yang mungkin kita berikan di skenario ketiga).

Moral of the story Apa yang kita dapatkan dari empat skenario cerita di atas?

Pada keempat skenario tersebut, kita sama-sama kehilangan handphone, dan ada orang yang menemukannya.

Orang pertama menemukannya dan langsung mengembalikannya kepada kita. Kita berikan dia ucapan terima kasih.

Orang kedua menemukannya dan memberikan kepada kita sesaat sebelum kita turun dari kereta. Kita berikan dia ucapan terima kasih yang lebih besar.

Orang ketiga menemukannya dan memberikan kepada kita setelah kita turun dari kereta. Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah dengan sedikit hadiah.

Orang keempat menemukannya, menyimpannya selama beberapa hari, setelah itu baru mengembalikannya kepada kita. Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah hadiah yang lebih besar.

Ada sebuah hal yang aneh di sini. Cobalah pikirkan, di antara keempat orang di atas, siapakah yang paling baik? Tentunya orang yang menemukannya dan langsung memberikannya kepada kita, bukan? Dia adalah orang pada skenario pertama.

Namun ironisnya, dialah yang mendapatkan reward paling sedikit di antara empat orang di atas.

Manakah orang yang paling tidak baik? Tentunya orang pada skenario keempat, karena dia telah membuat kita menunggu beberapa hari dan mungkin saja memanfaatkan handphone kita tersebut selama itu.

Namun, ternyata dia adalah orang yang akan kita berikan reward paling besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Kita memberikan reward kepada keempat orang tersebut secara tulus, tetapi orang yang seharusnya lebih baik dan lebih pantas mendapatkan banyak, kita berikan lebih sedikit.

OK, kenapa bisa begitu?

Ini karena rasa kehilangan yang kita alami semakin bertambah di setiap skenario.

Pada skenario pertama, kita belum berasa kehilangan karena kita belum sadar handphone kita jatuh, dan kita telah mendapatkannya kembali.

Pada skenario kedua, kita juga sudah mulai merasakan kehilangan karena saat itu kita baru sadar, dan kita sudah membayangkan rasa kehilangan yang mungkin akan kita alami seandainya saat itu kita sudah turun dari kereta.

Pada skenario ketiga, kita sempat merasakan kehilangan, namun tidak lama kita mendapatkan kelegaan dan harapan kita akan mendapatkan handphone kita kembali.

Pada skenario keempat, kita sangat merasakan kehilangan itu.

Kita mungkin berpikir untuk memberikan sesuatu yang besar kepada orang yang menemukan handphone kita, asalkan handphone itu bisa kembali kepada kita.

Rasa kehilangan yang bertambah menyebabkan kita semakin menghargai handphone yang kita miliki.

Kesimpulan
Saat ini, adakah sesuatu yang kurang kita syukuri?

Apakah itu berupa rumah, handphone, teman-teman, kesempatan berkuliah, kesempatan bekerja, atau suatu hal lain.

Namun, apakah yang akan terjadi apabila segalanya hilang dari genggaman kita. Kita pasti akan merasakan kehilangan yang luar biasa.

Saat itulah, kita baru dapat mensyukuri segala sesuatu yang telah hilang tersebut.

Namun, apakah kita perlu merasakan kehilangan itu agar kita dapat bersyukur? Sebaiknya tidak.

Syukurilah segala yang kita miliki, termasuk hidup kita, selagi itu masih ada. Jangan sampai kita menyesali karena tidak bersyukur ketika itu telah lenyap dari diri kita.

Jangan pernah mengeluh dengan segala hal yang belum diperoleh. Bahagialah dengan segala hal yang telah diperoleh.

Sesungguhnya, hidup ini berisikan banyak kebahagiaan. Bila kita mampu memandang dari sudut yang benar.

Baca selengkapnya...

Selasa, 10 Februari 2009

Cara Mengajar Terbaik

Hiduplah seorang guru yang bijaksana, guru tersebut memiliki beberapa orang murid, salah satu di antara muridnya ada yang gagu. Suatu hari sang guru menyuruh muridnya yang gagu untuk turun gunung.

Sang guru berkata, "Besok, turun gununglah dan sebarkanlah ajaran Kebenaran yang telah kubabarkan kepada semua orang."

Muridnya yang gagu itu merasa rendah diri dan segera menulis di atas kertas, "Maafkan saya Guru, bagaimana mungkin saya dapat menyebarkan ajaran Guru, saya ini kan gagu. Mengapa Guru tidak menyuruh murid lain saja yang tentu mampu membabarkan ajaran Guru dengan lebih baik?"

Sang Guru tersenyum dan meminta muridnya merasakan sebiji anggur yang diberikan olehnya. "Anggur ini manis sekali," tulis muridnya.

Sang Guru kembali memberikan sebiji anggur yang lain. "Anggur ini masam sekali," tulis muridnya.

Kemudian Gurunya melakukan hal yang sama pada seekor burung beo. Biarpun diberi anggur yang manis maupun masam beo itu tetap saja mengoceh, "Masam... masam...."

Sang Guru menjelaskan pada muridnya,

"Kebenaran bukanlah untuk dihafal, bukan pula cuma untuk dipelajari, tapi yang terutama adalah untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cacat tubuh yang kita miliki janganlah menjadi rintangan dalam mengembangkan batin kita. Kita jangan seperti sebuah sendok yang penuh dengan madu, tapi tidak pernah mengetahui manisnya madu itu. Kita jangan seperti beo yang pintar mengoceh, tapi tidak mengerti apa yang diocehkannya.

Engkau memang tidak mampu berbicara dengan baik, tapi bukankah engkau bisa menyebarkan Kebenaran dengan cara-cara lain, misalnya menulis buku? Dan yang lebih penting, bukankah perilaku kamu yang sesuai dengan Kebenaran akan menjadi panutan bagi yang lain?"

Itulah cara mengajar yang terbaik: teladankan Kebenaran dalam perilakumu, bukan cuma dalam omonganmu....

Be Happy!


Sumber : Ehipassiko Foundation

Baca selengkapnya...

Senin, 09 Februari 2009

Sukses Yang Membebaskan

Bila ada yang mengatakan, kesuksesan adalah sebentuk kutukan, mungkin banyak orang akan mengerutkan alis sebagai tanda tidak percaya. Terutama karena terlalu lama manusia telah bius bahwa kesuksesan adalah sebentuk garis finish kehidupan yang harus dicapai. Kerja keras, belajar keras, mencintai yang keras, semuanya yang serba keras ini dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Jumlah saldo di bank yang menggunung, penampilan yang aduhai, nama yang dikenal banyak orang, rumah mewah yang mentereng hanyalah sebagian atribut-atribut kesuksesan yang paling dicari
Banyak sudah yang dihasilkan oleh pandangan hidup seperti ini. Dari hal-hal mikro seperti keluarga sejahtera, sampai tumbuhnya ekonomi negara seperti Cina yang demikian mencengangkan. Sukses ternyata tidak saja menjadi energi pribadi, tetapi juga menjadi mesin perekonomian yang bisa menarik gerbong-gerbong perekonomian dalam jumlah banyak. Banyak sudah acungan jempol yang ditujukan pada konsep hidup seperti ini.

Namun, sebagaimana wajah kehidupan yang lainnya, sukses juga berwajah ganda. Di satu sisi ia membantu, di lain sisi ia membelenggu. Soal wajah sukses yang membantu, tentu telah banyak diulas dan dibicarakan. Namun soal wajah sukses yang membelenggu, ini yang mulai banyak mengganggu. Perceraian, perselingkuhan, penyakit akibat bekerja terlalu keras, bahkan permusuhan serta peperangan bisa menjadi akibat dari sukses yang membelenggu.

Sebut saja, kesombongan sebagai buah sukses. Terlalu banyak orang sukses kemudian diperangkap kesombongan. Dan mudah ditebak apa yang diperoleh manusia setelah diperangkap kesombongan. Kesuksesan telah membuat manusia berbaju ego tebal, menganggap diri paling tinggi serta menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih rendah.

Penyakit kelelahan adalah contoh lain. Ada seorang sahabat kaya raya yang memperoleh kekayaannya dengan jalan kerja keras. Namun ketika usia menginjak tua, kemudian sakit-sakitan, seluruh kekayaan habis untuk ongkos berobat di Singapura. Bahkan, ketika kekayaan habis pun, penyakit belum kunjung pergi. Ada juga cerita tentang pria setia yang demikian setianya sama keluarga sampai-sampai harus pulang malam terus dari tempat kerja. Namun begitu jadi orang kaya, kesetiaannya entah pergi ke mana. Kesuksesan harus dia bayar dengan perceraian.
Inilah sekelumit wajah kesuksesan yang memenjara. Sukses (terutama materi) yang dikejar dengan tidak sedikit biaya, dari sekolah yang keras, belajar yang keras, sampai dengan kerja yang keras, bahkan tidak sedikit yang membayarnya dengan harga lebih besar lagi berupa perceraian dan berantakannya rumah tangga, ternyata tidak membebaskan. Sebaliknya malah menjadi penjara-penjara yang menyengsarakan.

Tentu tidak disarankan kalau dari sini, banyak sahabat yang takut akan kesuksesan. Tidak disarankan juga menggunakan argumen dalam tulisan ini untuk menghakimi banyak orang sukses. Yang memerlukan perenungan mendalam dalam hal ini, bagaimana membuat sukses yang menelan biaya demikian besar ini bukannya memenjara, sebaliknya malah membuat hidup semakin terbebaskan?

Rute menuju ke sebuah tempat memang tidak pernah satu. Salah satu rute yang layak direnungkan dalam mencapai sukses yang membebaskan adalah dengan mencermati pikiran. Benar pendapat seorang guru bahwa mind is a good servant but a bad master. Sebagai pembantu, pikiran memang pembantu yang amat mengagumkan. Namun sebagai penguasa, pikiran juga penguasa yang demikian memenjara. Secara lebih khusus lewat sifat pikiran yang hanya mengerti melalui dualitas. Tidak saja penyakit yang memenjara, sehat juga memenjara. Terutama kalau sehat kemudian berharap selamanya sehat walafiat. Tidak saja derita memerangkap, bahagia juga memerangkap karena kebahagiaan menghadirkan keserakahan untuk tidak mau berganti situasi.

Sukses sebagai hasil olahan pikiran juga serupa. Tidak saja gagal memenjara, sukses juga memerangkap. Terutama karena kesuksesan diikuti oleh keterikatan agar sukses abadi. Akibatnya, kesuksesan disertai banyak ketakutan. Inilah salah satu awal dari sukses yang memenjara.

Seorang guru yang memahami hal ini pernah memberikan saran sederhana tetapi mengagumkan, Try not too attach to any thought that arise in your mind! Rupanya, keterikatan berlebihan terhadap apa saja yang muncul di pikiran bisa memenjara. Sehingga, apa pun gambar yang muncul di pikiran, lebih disarankan untuk berjarak seperlunya. Tidak saja dengan kegagalan, dengan kesuksesan juga perlu berjarak. Ketika manusia berhasil berjarak terhadap seluruh dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, benar-salah, bahagia-sedih, dll.) inilah tanda-tanda terbukanya pintu gerbang kebebasan.

Tidak mudah tentunya, terutama karena manusia telah lama dipenjara pikiran. Diperlukan langkah-langkah pendisiplinan pikiran yang panjang. Dan meditasi adalah salah satu kendaraan penting dalam hal ini. Tugas meditator dalam hal ini, apa saja yang muncul di pikiran (baik-buruk, sukses-gagal, bahagia-derita) disarankan hanya dilihat. Persis seperti melihat gambar-gambar sinetron di televisi. Semuanya berganti terus-menerus. Dan yang melihat bisa berjarak terus tanpa perlu terpengaruh berlebihan. Seorang guru pernah berbisik, Just seeing is your true nature. Siapa saja yang tekun terus-menerus melihat, akan datang waktunya bisa memahami apa yang disebut sebagai sukses yang membebaskan.


Oleh : Gede Prama

Baca selengkapnya...

Minggu, 08 Februari 2009

Pembeli Istimewa

Pada suatu hari, ketika Jepang belum semakmur sekarang, datanglah seorang peminta-minta ke sebuah toko kue yang mewah dan bergengsi untuk membeli manju (kue Jepang yang terbuat dari kacang hijau dan berisi selai).

Bukan main terkejutnya si pelayan melihat pelanggan yang begitu jauh sederhana di tokonya yang mewah dan bergengsi itu.

Karena itu dengan terburu-buru ia membungkus manju itu. Tapi belum lagi ia sempat menyerahkan manju itu kepada si pengemis, muncullah si pemilik toko berseru, "Tunggu, biarkan saya yang menyerahkannya".

Seraya berkata begitu, diserahkannya bungkusan itu kepada si pengemis. Si pengemis memberikan pembayarannya. Sembari menerima pembayaran dari tangan si pengemis, ia membungkuk hormat dan berkata, "Terima kasih atas kunjungan anda".

Setelah si pengemis berlalu, si pelayan bertanya pada si pemilik toko, "Mengapa harus anda sendiri yang menyerahkan kue itu? Anda sendiri belum pernah melakukan hal itu pada pelanggan mana pun. Selama ini saya dan kasirlah yang melayani pembeli".

Si pemilik toko itu berkata, "Saya mengerti mengapa kau heran. Semestinya kita bergembira dan bersyukur atas kedatangan pelanggan istimewa tadi. Aku ingin langsung menyatakan terima kasih. Bukankah yang selalu datang adalah pelanggan biasa, namun kali ini lain."

"Mengapa lain," tanya pelayan.

"Hampir semua dari pelanggan kita adalah orang kaya. Bagi mereka, membeli kue di tempat kita sudah merupakan hal biasa. Tapi orang tadi pasti sudah begitu merindukan manju kita sehingga mungkin ia sudah berkorban demi mendapatkan manju itu. Saya tahu, kue manju itu sangat penting baginya. Karena itu saya memutuskan ia layak dilayani oleh pemilik toko sendiri. Itulah mengapa aku melayaninya", demikian penjelasan sang pemilik toko.

Konosuke Matsushita, sekarang ini adalah pemilik perusahaan Matsushita Electric yang terkemuka itu, menutup cerita tadi dengan renungan bahwa setiap pelanggan berhak mendapatkan penghargaan yang sama. Nilai seorang pelanggan bukanlah ditentukan oleh prestise pribadinya atau besarnya pesanan yang dilakukan. Seorang usahawan sejati mendapatkan sukacita dan di sinilah ia harus meletakkan nilainya.



Dikutip dari artikel, Konosuke Matsushita, Food For Thought, dari buku Etos Bisnis dan Etika Manajemen

Baca selengkapnya...

Sabtu, 07 Februari 2009

Mengubah Pola Pikir

Sekelompok wisatawan tertahan di suatu tempat asing di luar kota. Mereka hanya menemukan bahan makanan yang kedaluwarsa. Karena lapar, mereka terpaksa menyantapnya, meskipun sebelumnya dicobakan dulu kepada seekor anjing yang ternyata menikmatinya dan tak terlihat efek sampingnya.

Keesokan harinya, ketika mendengar anjing itu mati, semua orang menjadi cemas. Banyak yang mulai muntah dan mengeluh badannya panas atau terserang diare. Seorang dokter dipanggil untuk merawat para penderita keracunan makanan. Kemudian sang dokter mulai mencari sebab-musabab kematian si anjing yang dijadikan hewan percobaan tersebut. Ketika dilacak, eh ternyata anjing itu sudah mati karena terlindas mobil.

Apa yang menarik dari cerita di atas? Ternyata kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan, bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri. We see the world as we are, not as it is. Akar segala sesuatu adalah cara kita melihat. Cara kita melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Ini disebut sebagai model See-Do-Get.

Perubahan yang mendasar baru akan terjadi ketika ada perubahan cara melihat. Ada cerita menarik mengenai sepasang suami-istri yang telah bercerai. Suatu hari, Astri, nama wanita ini, datang ke kantor Roy, mantan suaminya. Saat itu Roy sedang melayani seorang pelanggan. Melihat Astri menunggu dengan gelisah, pimpinan kantor menghampirinya dan mengajaknya berbincang-bincang. Si Bos berkata, "Saya begitu senang, suami Anda bekerja untuk saya. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami, begitu penuh perhatian dan baik budinya." Astri terperangah mendengar pujian si bos, tapi ia tak berkomentar apa-apa.

Roy ternyata mendengar komentar si bos. Setelah Astri pergi, ia menjelaskan, "Kami tak hidup bersama lagi sejak 6 bulan lalu, dan sekarang dia hanya datang menemui saya bila ia membutuhkan tambahan uang untuk putra kami."

Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Roy. Ia mengangkatnya dan berkata, "Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu bersama setelah jam kerja." Setelah itu ia menghampiri bosnya dan berkata, "Astri dan saya telah memutuskan memulai lagi perkawinan kami. Dia mulai melihat saya secara berbeda tak lama setelah Bapak berbicara padanya tempo hari."

Bayangkan, perubahan drastis terjadi semata-mata karena perubahan dalam cara melihat. Awalnya, Astri mungkin melihat suaminya sebagai seorang yang menyebalkan, tapi ternyata di mata orang lain Roy sungguh menyenangkan. Astrilah yang mengajak rujuk, dan mereka kembali menikmati rumah tangga yang jauh lebih indah dari sebelumnya.

Segala sesuatu yang kita lakukan berakar dari cara kita melihat masalah. Karena itu, bila ingin mengubah nasib secara drastis, kita perlu melakukan revolusi cara berpikir. Stephen Covey pernah mengatakan: "Kalau Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda, tapi bila Anda menginginkan perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma Anda."

Covey benar, perubahan tidak selalu dimulai dari cara kita melihat (See). Ia bisa juga dimulai dari perilaku kita (Do). Namun, efeknya sangat berbeda. Ini contoh sederhana. Seorang anak bernama Alisa yang berusia empat tahun selalu menolak kalau diberi minyak ikan. Padahal, itu diperlukan untuk meningkatkan perkembangan otak dan daya tahan tubuhnya. Betapapun dibujuk, ia tetap menolak. Dengan maksud baik, kadang-kadang ia dipaksa menelan minyak ikan. Ia menangis dan meronta-ronta. Usaha tersebut memang berhasil memaksanya, tapi ini bukan sesuatu yang win-win. Si Orang tua menang, ia kalah. Ini pendekatan yang dimulai dengan Do.

Maka ditemukanlah cara lain yaitu dengan mengubah paradigma Alisa. Si Orang tua tahu Alisa sangat suka sirup, karena itu minyak ikan tersebut di aduk dengan air dalam gelas. Ternyata, ia sangat gembira dan menikmati "sirup" minyak ikan itu. Bahkan, sekarang ia tak mau mandi sebelum minum "sirup" tersebut.

Contoh sederhana ini menggambarkan proses perubahan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar). Perubahan ini bersifat sukarela dan datang dari Alisa sendiri. Jadi, tidak ada keterpaksaan. Inilah perubahan yang diawali dengan See. Perubahan yang dimulai dengan Do, bersifat sebaliknya, yaitu outside-in. Perubahan seperti ini sering disertai penolakan. Jangankan dengan bawahan, dengan anak kecil seperti Alisa saja, hal ini sudah bermasalah.

Pendekatan hukum bersifat outside-in dan dimulai dengan Do. Orang tidak korupsi karena takut akan hukumannya, bukan karena kesadaran. Pada dasarnya orang tersebut belum berubah, karena itu ia masih mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkannya. Pendekatan SDM berusaha mengubah cara berpikir orang. Akar korupsi sebenarnya adalah pada cara orang melihat. Selama jabatan dilihat sebagai kesempatan menumpuk kekayaan, bukannya sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, selama itu pula korupsi tak akan pernah hilang. Inilah pendekatan inside-out. Memang jauh lebih sulit, tetapi efek yang dihasilkannya jauh lebih mendasar.

Cara kita melihat masalah sesungguhnya adalah masalah itu sendiri. Karena itu, untuk mengubah nasib, yang perlu Anda lakukan cuma satu: Ubahlah cara Anda melihat masalah. Mulailah melihat atasan yang otoriter, bawahan yang tak kooperatif, pelanggan yang cerewet dan pasangan yang mau menang sendiri sebagai tantangan dan rahmat yang terselubung. Orang-orang ini sangat berjasa bagi Anda karena dapat membuat Anda lebih kompeten, lebih profesional, lebih arif dan lebih sabar. Saya menyukai apa yang dikatakan John Gray, pengarang buku Men Are From Mars and Women Are From Venus. Gray melihat masalah dan kesulitan dengan cara yang berbeda. Ujarnya, "Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh."

Baca selengkapnya...

Jumat, 06 Februari 2009

Dimana Letak Kebahagiaan

Ada dua ekor anjing yang bersahabat. Anjing yang besar dan anjing yang kecil. Anjing yang kecil selalu mengeluh tentang penderitaan hidupnya dan selalu berharap kapan kiranya dewa keberuntungan akan datang untuk menolongnya agar terlepas dari penderitaan dunia.

Anjing yang tua selalu menasehati anjing yang kecil dan berkata: "Meskipun tak punya rumah tetapi kita bisa tinggal dimanapun. Hidup di dunia ini asal tidak mengalami kelaparan dan kedinginan sudah cukup. Jika dipelihara oleh manusia dan menjadi seekor anjing yang meminta belas kasihan majikan, maka akan kehilangan kebebasan dan kehormatan".

Anjing kecil tersebut tidak mau mendengar nasehat anjing tua, selalu bermimpi bahwa dirinya - dari anjing yang bebas mengembara – menjadi anjing yang dipelihara manusia.
Pada suatu hari, anjing kecil tersebut pergi ke tempat peramal dan bertanya: "Dimanakah kebahagiaan itu berada?"

"Kebahagiaan itu berada pada ekor kamu!"

Setelah mendengar kata-kata tersebut, anjing kecil tersebut mati-matian berputar ingin menggigit ekornya untuk menangkap kebahagiaan. Dia lari sekuat-kuatnya ingá berkeringat, tetapi tetap tidak dapat menggigit ekornya. Akhirnya dengan letih dia berkata kepada anjing tua: "Menurut ramalan, kebahagiaan saya berada pada ekor saya. Tetapi saya tidak dapat menangkap kebahagiaan. Tolong beritahu, bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan kebahagiaan?"

Anjing tua dengan tersenyum berkata: "Saya mencari kebahagiaan dengan berjalan menuju ke depan. Tidak pernah berkeluh kesah tentang masa lampau, tidak pernah kuatir dan takut tentang keadaan sekarang dan juga tidak pernah kuatir tentang masa yang akan datang. Asalkan kaki saya melangkah ke depan maka kebahagiaan yang berada di ekor saya pasti mengikuti saya".

Dimanakah sesungguhnya kebahagiaan berada?. Rasa curiga sering membuat kita jauh dari pandangan kebahagiaan. Keragu-raguan sering membuat kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan. Demikian pula rasa iri hati membuat pandangan kita kabur terhadap kebahagiaan, dan melamun membuat kita lepas dari pelukan kebahagiaan.

Jangan mencari kebahagiaan di luar diri, jangan mengemis kepada siapapun. Kebahagiaan berada di dalam batin kita sendiri***

Baca selengkapnya...

Kamis, 05 Februari 2009

Berbagi Senyum

Senyum. Sebuah kata yang kini terasa amat mahal di kancah kehidupan Jakarta! Saya terkesan dengan salah satu ajakan yang pernah diluncurkan sebuah perusahaan milik negara melalui iklan televisi: “Sudahkah Anda Senyum Hari Ini?” Iklan layanan masyarakat yang menampilkan soft power perusahaan tersebut ditutup dengan ungkapan bijak “Senyum Mengawali Perubahan”.

Seorang pemimpin puncak sebuah bank swasta yang dibebani tugas memasyarakatkan senyum di kalangan karyawan, khususnya teller, resepsionis dan petugas keamanan, sempat heran: “Tersenyum kok sukar banget!”

Untuk menebar dan berbagi senyum, yang diperlukan hanyalah niat dan tekad nan tulus. Makna dan nilai kemaslahatannya sudah teruji. Baik dari segi kesehatan jasmani -- urat dan otot sekitar wajah langsung terenggangkan -- maupun dari aspek insani. Senyum menyejukkan hati bagi pemberi dan penerimanya, serta membuka titik awal komunikasi dua arah yang menyejukkan, bahkan mencerahkan. Senyum juga berpotensi menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah pribadi. Smile is inspiring.

Pokoknya, senyum itu membahagiakan kita dan sesama. Bunda Teresa berpetuah, “Smile at each other, smile at your wife, smile at your husband, smile at your children -- it does not matter who it is -- and that will help you to grow up in greater love for each other.” Senyum hendaknya tulus -- demi kebahagiaan orang lain -- dan jujur, tanpa rasa terpaksa, agar melahirkan rasa damai dan nyaman. Alangkah indahnya hidup ini bila dengan berbagi senyum kita akan “... grow up in greater love for each other”.


#######


Indah nian hidup bila setiap orang rela berbagi senyum. Dengan senyum, kita akan makin dewasa merawat cinta kasih dalam diri pribadi untuk kemudian saling bebagi dengan sesama. Jack Canfield & Mark Victor Hansen dalam Chicken Soup for the Soul menulis: “Spread love everywhere you go: first of all in your own house. Give love to your children, to your wife or husband, to a next door neighbor ... Let no one ever come to you without leaving better and happier. Be the living expression of God's kindness; kindness in your face, kindness in your eyes, kindness in your smile, kindness in your warm greeting.” Dengan membagi kasih sayang kepada sesama, hidup terasa indah.

Yes, life is beautiful. Robert Benigni, sutradara dan aktor film La Vita `e Bella (Life is Beatiful) bertutur, “Just open your eyes. And see that life is beautiful.” Tataplah dunia ini dengan hati, Pak Truno menguatkan. Mengutip Ronggowarsito ia menatap hidup masa kini: “Kali ilang kedunge. Pasar ilang kumandange. Wong lanang-wadon ilang wirang.” Sungai hilang kedalamannya. Pasar hilang riuh rendahnya. Kaum lelaki dan perempuan tidak lagi menghiraukan martabatnya.

Olah batin memperkaya wawasan akan makna hidup. Senyum dan cinta kasih memaknainya. Sisi lain yang memberi warna hidup adalah tertawa. Menurut Sean O'Casey, “Laughter is wine for the soul. Once we can laugh, we can live. It is the hilarious declaration made by man that life is worth-living.” Tertawa itu bak anggur bagi sang jiwa. Bila senyum, cinta kasih dan tawa terpadu dalam niat untuk saling berbagi dengan sesama. Hidup ini, Saudara, memang sungguh indah dan nyaman.***


Oleh : HB. Supiyo

Baca selengkapnya...

Rabu, 04 Februari 2009

Mengukir Prestasi, Meredam Frustrasi

Recession is when your neighbor loses his job. Depression is when you lose your job(Ronald Reagan,1980). Krisis ekonomi selalu disertai depresi psikologis yang hebat. Bukti paling nyata adalah kasus bunuh diri yang dilakukan manajer investasi asal Prancis (Thierry de la Villehuchet), konglomerat asal Jerman (Adolf Merckle), dan juru lelang properti di Chicago (Steven Good).

Hal serupa juga terjadi saat terjadi Depresi Besar 1929-1933. Banyak orang frustrasi karena standar hidup pada 1933 lebih rendah dari apa yang sudah mereka nikmati pada 1922. Pada situasi yang sangat gawat bagi kelangsungan sistem ekonomi kapitalisme itu, sejarah mencatat surat yang dikirim John Maynard Keynes kepada Presiden Roosevelt, yang isinya meminta agar pemerintah Amerika Serikat segera mencairkan anggaran belanja secara besar-besaran untuk proyek-proyek yang banyak menyerap tenaga kerja.

Bagi Keynes, mempertahankan anggaran berimbang dalam kondisi resesi adalah kebodohan. Solusi untuk mengatasi resesi adalah menaikkan permintaan agregat. Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen kunci dari permintaan agregat tersebut. Itu sebabnya pengeluaran rumah tangga harus didorong naik.
Jika pendapatan meningkat, belanja rumah tangga juga akan meningkat. Kecenderungan untuk konsumsi (marginal propensity to consume) ini akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect). Diktumnya yang terkenal,"the higher the degree of consumption, the higher the multiplier".
Resep Keynes yang amat manjur pada saat itu mampu menjauhkan ilmu ekonomi dari tudingan Thomas Carlyle (1849) yang menyebut ilmu ekonomi sebagai "the dismal science" (?ilmu yang murung'). Bagi para pengikut Keynes, ekonomi mirip sebuah mobil yang memiliki pedal gas dan pedal rem.
Pedal gas adalah pengeluaran pemerintah yang lebih besar dan pajak yang lebih rendah. Pedal ini yang harus ditekan pada masa resesi. Bagi para pemikir moneteris yang sering dianggap lawan dari kubu Keynesian, ekonomi memang memiliki pedal gas dan pedal rem, tetapi dalam pandangan mereka yang disebut pedal rem adalah jumlah uang beredar yang lebih besar (higher money supply).
Penelitian Milton Friedman, tokoh besar kubu moneteris, menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat cen-derung stabil, dan hanya berubah apabila ada harapan terhadap perubahan pendapatan secara permanen (permanent income hypothesis). Depresi 1929-1933 menjadi parah karena jumlah uang beredar turun sepertiganya.
Dengan demikian, bila Keynesian melihat kebijakan fiskal lebih efektif untuk menjinakkan ancaman resesi, kaum moneteris melihat tingkat suku bunga dan laju kredit lebih memberi harapan. Jadi, pernyataan Presiden Nixon (1971) bahwa "We are all Keynesians now", atau pengakuan Franco Modigliani (1977) bahwa "We are all monetarists now", tidak bisa kita terima begitu saja.
Keduanya harus digunakan secara cerdas dan tepat. Ilustrasi ini mungkin tepat untuk menggambarkan pilihan kebijakan pada masa ekonomi sulit. Seorang pebisnis yang sukses suatu hari mengunjungi mantan dosennya. Pada saat masuk ruang kerja sang dosen, dia terkejut karena membaca soal tes yang persis sama dengan soal yang diajukan kepadanya sekitar lima belas tahun lalu.
Tak bisa menahan keheranannya, pebisnis tersebut bertanya, apakah sang dosen tidak takut apabila para murid mencari jawaban dari pekerjaan para murid di masa lalu? Dengan tenang sang dosen menjawab," No, that's okay. I do keep the same questions. It's the answers I change each year".
Keynes sendiri pernah dikritik karena sering dinilai tidak konsisten mempertahankan argumen teoretisnya. Terhadap kritik yang demikian, Keynes hanya menjawab, "When my information changes, I alter my conclusions. What do you do, Sir?"
Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi resesi tampak merupakan upaya untuk menggabungkan potensi pendekatan Keynesian dan moneteris. Ini terlihat dari keberanian pemerintah untuk mengusulkan defisit anggaran yang lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, bersamaan dengan upaya Bank Indonesia untuk terus menekan suku bunga primer.
Meski demikian, efektivitas stimulus fiskal masih menjadi persoalan besar mengingat pola pengeluaran anggaran yang masih cenderung menumpuk di akhir tahun. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menarik, karena di tengah upaya pemerintah pusat menggerakkan ekonomi nasional, ternyata banyak dana pembangunan yang diendapkan oleh pemerintah daerah, yang jumlahnya per Juni 2008 mencapai Rp 94,4 triliun, atau meningkat empat kali lipat dibanding tahun 2003.
Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak memiliki dampak berarti terhadap penurunan harga-harga kebutuhan pokok juga harus segera dicermati. Apakah penurunan tersebut jauh dari ekspektasi masyarakat yang sudah berhitung harga seharusnya turun lebih besar, sehingga upaya tidak menurunkan harga merupakan strategi tepat untuk menekan pemerintah agar harga BBM kembali diturunkan?
Apakah potensi penurunan biaya produksi akibat penurunan harga BBM termakan oleh kenaikan biaya akibat penurunan kurs rupiah? Dalam beberapa bulan ke depan, akurasi, efisiensi, dan efektivitas kebijakan pemerintah dalam meredam dampak krisis ekonomi akan diuji. Kita mengharapkan indeks prestasi yang lebih baik, bukan indeks frustrasi yang semakin meluas.


Prof . Hendrawan Supratikno PhD Penulis, Guru Besar FE UKSW, Salatiga.
Dosen pascasarjana di sejumlah universitas.

Baca selengkapnya...

Selasa, 03 Februari 2009

Menjadi Manusia Bebas

Krisis dahsyat menghantam muka Bumi, dan konon, puncaknya akan terjadi di sekitar pertengahan tahun yang baru ini. Disadari atau tidak, kekhawatiran dan ketakutan melanda umat manusia. Ketakutan kehilangan pekerjaan, nasib usaha, yang semuanya bermuara pada ketidakpastian dan ketidakamanan. Kegalauan melanda jiwa-jiwa yang tanpa disadari mengganggu produktivitas kerja dan fungsi hidup keseharian.

Namun, krisis itu tidak bisa dihadapi dan dijalani hanya dengan rasa takut dan khawatir. Itu adalah sikap mental pecundang (loser mentality).... Krisis dahsyat itu hanya bisa dihadapi dan ditaklukkan dengan sikap mental sebaliknya (winner mentality).

Ada dua esensi sikap mental pemenang yang diperlukan: Pertama, menjadi ”penyapu jalan terbaik”! Martin Luther King Jr pernah mengatakan, ... Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Beethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya. Ia seharusnya menyapu sedemikian baiknya sehingga segenap penghuni surga maupun Bumi berhenti sejenak untuk berkata: ”Di sini telah hidup seorang penyapu jalan yang begitu hebat, yang melakukan pekerjaannya dengan demikian baik.”

Maka, profesi dan pekerjaan apa pun yang dijalani sekarang, lebih dulu perlu diterima dengan rasa syukur. Masih banyak saudara lain yang kehilangan pekerjaan, belum bekerja, tak tahu harus berbuat apa. Krisis tak berhak mengganggu dan menggugat yang ada di tangan kita sekarang. Dari rasa syukur akan timbul kesadaran baru bahwa apa yang masih ada itu adalah karunia, sekaligus amanah. Harus dijalankan sebaik-baiknya dan yang terbaik.

Itulah bentuk mental syukur terpenting dalam kondisi serba krisis dan menakutkan seperti sekarang. Menjalankan sebaik-baiknya apa yang ada di tangan adalah ”ibadah” paling bernilai (bentuk rasa syukur paling konkret), yang bukan hanya berguna bagi kita, tetapi juga bagi manusia lain yang terkait dengan kita. Menjalankan segala sesuatunya dibarengi dengan kekhawatiran dan ketakutan akan dahsyatnya krisis, apa adanya, seadanya (yang penting masih ada yang dikerjakan) sama sekali tak berguna bagi siapa pun dan hanya membuat penghuni surga dan Bumi mencibir serta menangis.

Manusia Budak atau Bebas

Kedua, menjadi ”manusia bebas”! Esensi sikap mental pertama tersebut hanya bisa dibentuk melalui esensi mental kedua, yakni menjadi ”manusia bebas”, seperti dimaksudkan Lao Tzu: ”... Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang budak. Namun jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia bebas.”

Kalimat bijak itu sungguh menyiratkan esensi makna yang indah sekaligus dahsyat. Jika kita hanya bekerja dan menjalankan tugas kewajiban sebatas yang diharapkan, di- standarkan, diminta, maka sesungguhnya kita masih dibatasi dan dikurung oleh batasan-batasan eksternal.

Misalnya, karyawan yang bekerja tentu mempunyai target-target atau KPI (key performance indicator). Target atau KPI ini tentunya ditetapkan oleh pihak eksternal (manajemen, atasan, atau perusahaan). Maka, karyawan yang bekerja hanya ”sebatas” memenuhi target dan KPI-nya, secara hakiki, ia dibatasi dan dikendalikan oleh pihak eksternal. Itulah yang dimaksud ”budak”. Apalagi jika ia bekerja kurang atau di bawah KPI-nya.

Bagaimana menjadi manusia bebas? Ya, jika seseorang (sesuai profesinya masing-masing), mau memberi dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan, lebih dari target dan KPI-nya. Artinya, ia telah berani, bersedia, dan mampu menetapkan sendiri batasan- batasan kerja dan hidupnya (tidak lagi oleh pihak eksternal). Karyawan ”budak” hanya bekerja sebatas KPI-nya. Karyawan ”bebas” bekerja melebihi KPI-nya tanpa diminta.

Sikap mental menjadi ”manusia bebas” inilah yang sangat diperlukan di negeri ini. Makna kemerdekaan bukan hanya sekadar lepas dari para penjajah bangsa asing. Bukan jadi ”bangsa budak”, melainkan bangsa pemenang yang mampu mengatasi krisis global sehebat apa pun.


oleh Herry Tjahjono

Baca selengkapnya...

Senin, 02 Februari 2009

Iklim Kejujuran

Tidak jauh dari tempat saya tinggal ada sebuah jalan yang cukup panjang, sebuah jalan pedesaan yang rimbun berjajar rapi di sebelah kanan kirinya pohon rindang. Sejauh mata memandang di kiri dan kanan adalah sawah subur membentang.Setiap kali saya lewat jalan itu, saya lebih suka memacu mobil saya perlahan, mematikan AC dan membuka kaca jendela lebar-lebar sambil sesekali menarik nafas panjang menikmati segarnya udara.

Tapi, setiap lima tahun sekali, saya atau mungkin siapa pun yang lewat jalan itu, harus bisa berlapang dada. Manakala saat ini di sepanjang jalan itu tiba-tiba saja berubah begitu ramai oleh gambar caleg partai yang begitu lebat memenuhi kanan kiri tepi jalanan. Saya tidak tahu persis apakah cara kampanye seperti ini cukup efektif, yang jelas cara inilah yang saat ini banyak dilakukan. Yang kemudian sebagai orang yang harus bisa berbagi, maka kita harus bersabar untuk membiarkan itu terjadi sampai musim kampanye usai.

Beberapa hari lalu, ada sebuah kejadian yang cukup lucu. Dimana seseorang di jalan itu, hampir saja dikeroyok beramai-ramai gara-gara kedapatan mengambili dan merobek-robek beberapa gambar caleg. Untunglah polisi segera mengamankannya. Dan selidik punya selidik, ternyata dia adalah seseorang yang terganggu jiwanya. Sudah beberapa tahun terakhir ini dia mengalami depresi berat sehingga terkadang dia melakukan sesuatu diluar kendali akal sehatnya.

Hal yang lucu adalah, kabarnya ketika ditanya polisi, apa motivasi-nya mengambili gambar caleg itu, dia dengan ringan dan cengengesan menjawab, bahwa gambar-gambar itu merusak pemandangan. Nah..!

Walaupun dia bisa dikelompokkan sebagai orang yang tidak sehat mentalnya, tapi kita harus mau jujur bahwa dia adalah orang yang jujur, dan berani dengan kejujurannya. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa terkadang kita justru marah terhadap orang yang jujur kepada kita.

Saya pikir, tidak mudah untuk membangun sebuah iklim kejujuran terhadap orang-orang di sekitar kita, atas apa yang ada dan terjadi, dan segala yang kita lakukan. Dan semua ini justru tergantung kepada pilihan-pilihan sikap kita terhadap orang-orang yang justru memberi kita informasi apa adanya terhadap kita. Sehingga pilihan kita tadi akan membentuk sebuah iklim dimana kemudian orang cenderung untuk selalu jujur kepada kita, atau justru berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya di hadapan kita.

Karena orang yang jujur di sekitar kita, tak ubahnya sebuah cermin. Ketika suatu saat kita buruk muka kemudian memilih untuk membelah cermin, maka bisa dipastikan bahwa lambat laun cermin-cermin itu memilih untuk tidak mendekat kepada kita. Atau kalaupun mereka mendekat, mereka memilih merubah diri mereka menjadi gambar-gambar yang indah tinimbang menjadi sebuah cermin.

Perilaku orang-orang yang spontan mengeroyok orang dalam cerita saya di atas, mungkin salah satu contoh tipikal kita yang justru cenderung menjadi marah bila ada orang lain yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan atau dikatakan (perilaku jujur), tapi tidak sesuai dengan harapan kita terhadap perilakunya.

Sehingga bila suatu saat anda mendapati seseorang berkata bohong kepada anda, mungkin ada baiknya anda justru bertanya kepada diri anda sendiri sampai seberapa jauh anda selama ini membangun iklim kejujuran terhadap orang-orang di sekitar anda..


Oleh : Pitoyo Amrih

Baca selengkapnya...

Minggu, 01 Februari 2009

Badri

Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang baru.

Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil.

Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-tahun lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia ke luar masuk kawasan Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-potong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, sejak tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan nafkahnya dengan merusak hutan.

Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun 1979.
Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jum’at. Sejak pagi ia terus saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti dikutip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.
”Hanya setetes,” katanya, ”tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hilang.”

Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu datang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok yang baru ditebangnya. ”Saya terkejut,” kata Badri. ”Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu.”

Sejak hari itu—ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober 1979—ia gundah. Ia kembali masuk ke luar hutan, tapi kali ini tidak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa pohon-pohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. “Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon”, tuturnya. Bahkan ia bersumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya.

Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat lobang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi kulit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik sakit.

Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang pencuri kini jadi sang pemberi. Isterinya marah. Hidupnya sendiri tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas keamanan villa-villa di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk menanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja – yang tak jarang kepunyaan orang tapi dibiarkan terlantar atau sedang dibidik untuk diperjual-belikan.

Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kesetiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah “kejadian”.

Kata “jadi” -- sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak mudah diterjemahkan -- menggambarkan perubahan yang-potensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah. “Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terkadang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat itu karena semuanya berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak lazim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipacu oleh kepentingan-diri.
Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya terguncang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979 itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa.
Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya kaum atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hutan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk manusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.
Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak berpikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh dan menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa “sesama” tak pernah “sama”, kecuali sebagai angka statistik.
Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang pohon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang-pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan. Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu?

Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang bernama lengkap Badri Ismaya (dan “Ismaya” adalah Semar dalam wayang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang.

Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi tetes air dan keajaiban.


Goenawan Mohamad

Baca selengkapnya...