Sabtu, 24 Oktober 2009

Kesuksesan Perlu Bekerja Sama

Banyak individu dan organisasi yang sudah sukses menulis tentang kehebatan diri dan organisasinya. Mereka cenderung merasa bahwa I did it my way. Maka, jangan heran jika banyak bermunculan buku yang judulnya analog dengan "my way". Sekedar beberapa contoh, lihatlah judul-judul buku seperti The McKinsey Way, The Honda Way, The Cisco Way, The Toyota Way, The Apple Way, dan The Google Way.

Buku-buku semacam itu laris bak kacang goreng dikarenakan sejumlah faktor:
(1) rasa ingin tahu (curiosity) publik yang begitu besar atas kisah sukses yang inspiratif dan bahkan dramatis;
(2) keinginan mencari benchmark praktik bisnis prima;
(3) hasrat menemukan formula sukses 'siap pakai' yang bisa diadopsi, diadaptasi atau direplikasi; serta
(4) harapan dan impian mengikuti jejak sukses perusahaan bersangkutan.
Di samping itu, tampaknya kisah sukses cenderung lebih atraktif dibandingkan kisah gagal. Meskipun belum tentu kalah dalam hal oplah penjualan, buku-buku yang mengulas kegagalan bisnis (seperti Blunders in International Business, Marketing Mistakes, The World's Stupidest Inventions, Business Blunders, Brilliant Strategies and Fatal Blunders, When Giants Stumble, dan Brand Failures) cenderung kalah gaungnya dibandingkan buku-buku rahasia keberhasilan sebuah perusahaan.

Pengalaman
Salah satu perusahaan yang banyak dikupas dalam buku-buku kisah sukses beberapa tahun terakhir adalah Apple, Inc. Perusahaan global ini dipandang mampu mencatat prestasi fenomenal yang mengundang decak kagum di kalangan pengamat bisnis. Sejumlah buku telah dipublikasikan mengenai sepak terjang perusahaan sukses ini, di antaranya: Macintosh: The Naked Truth, The Macintosh Way, Infinite Loop, The Little Kingdom, dan The Apple Way.
Banyak yang menjuluki perusahaan Apple sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di dunia. Bayangkan saja, di kala banyak perusahaan lain mengalami kesulitan, Apple justru mencatat kinerja fantastis, misalnya harga saham melonjak 250% dalam kurun waktu hanya satu tahun dan pendapatan neto juga meningkat 530%. Selain itu, Apple mampu melakukan turnaround dari kegagalan peluncuran Lisa (Local Integrated Software Architecture) di tahun 1983 hingga suksesnya iPod dalam beberapa tahun terakhir. Apple tidak hanya mampu bangkit dari keterpurukan, namun juga telah melakukan perubahan revolusioner dalam industri komputer secara keseluruhan.
Buku The Apple Way, misalnya, menceritakan bagaimana Apple belajar dari pengalaman pahit sebelumnya untuk kembali membenahi diri hingga akhirnya sanggup menjadi salah satu perusahaan paling inovatif di dunia yang disegani dan dikagumi. Apple pernah gagal dalam proyek Lisa yang sempat dijagokan sebagai produk unggulan pengganti Apple II. Dilengkapi dengan sejumlah fitur menawan yang sekaligus adalah konsep terobosan di awal dekade tahun 1980-an (di antaranya, graphical user interface dan monitor berkemampuan 'what you see is what you get'), tidak pelak lagi Lisa merupakan komputer paling keren di zamannya.
Lantas, apa yang salah dengan Lisa? Ternyata komputer canggih tersebut tidak didukung perangkat lunak pelengkap. Lisa juga tidak kompatibel dengan komputer-komputer lainnya, sehingga para pemakainya seolah-olah terisolir dalam dunia Apple semata. Floppy drive dan prosesor Lisa ternyata terbukti tidak andal, sementara harganya amat mahal. Semula Steve Jobs, pemimpin Apple, menargetkan harganya berkisar USD2,000. Namun, seiring dengan menggelembungnya biaya, harganya melonjak hingga USD9,995. Situasi ini diperparah dengan beredarnya rumor bahwa Apple bakal meluncurkan komputer baru yang harganya hanya separuh harga Lisa. Walaupun Apple membantah keras isu tersebut, konsumen cenderung menghindari pembelian Lisa.
Sudah begitu, IBM PC dan MS-DOS ternyata mampu berkembang menjadi standar industri. Bisa dibayangkan betapa terpukulnya penjualan Lisa. Pada bulan April 1985, Apple menarik Lisa dari peredaran. Ironisnya, ada sebuah foto yang beredar di kalangan penggila komputer yang menunjukkan sebuah buldozer mengubur 2.700 unit Lisa yang tidak laku terjual di Logan, Utah, pada tahun 1989.
Akan tetapi, bukan Apple namanya jika tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Pada tanggal 21 Oktober 2001, misalnya, Apple mereinventasi pasar musik lewat produknya iPod. Pada mulanya banyak kalangan yang pesimis kalau iPod bakal mampu menyaingi Walkman. Saat itu iPod ditawarkan dengan harga USD400, sementara Walkman hanya berkisar puluhan dolar. Mereka yang pesimis dengan masa depan iPod bahkan secara sinis memelesetkan nama iPod sebagai akronim dari "Idiots price our devices" dan "I'd prefer owning discs". Sejarah kemudian membuktikan bahwa iPod justru bisa menjadi mesin uang Apple lewat sejumlah daya tariknya, seperti fungsionalitas canggih, desain elegan, kompatibilitas dengan PC, keterkaitan dengan produk/jasa lain, dan sorotan publik yang luar biasa.
Pengalaman pahit kegagalan Lisa memberi pelajaran berharga bagi Apple bahwa betapapun kuatnya sebuah perusahaan, tidak akan mampu mengembangkan pasar sendiri. Dinamika pasar dan teknologi teramat berat dihadapi oleh hanya sebuah perusahaan. Sejak saat itu, Apple berubah dan mulai bekerja sama dengan beberapa perusahaan lain, di antaranya pernah dengan Hewlett-Packard dan Motorola.

Wawasan Manajerial
Membedah kasus kesuksesan Apple tentu saja tidak semudah mengupas buah apel. Tidak mudah mengidentifikasi strategi dan faktor keberhasilan kunci (key success factors) yang mampu menjelaskan bagaimana perusahaan raksasa ini meraih kesuksesannya. Walaupun begitu, sejumlah publikasi secara konsisten mengungkap beberapa kunci sukses berikut yang didapat dari pengalaman Apple, Inc.:
(1) kemampuan dan kemauan belajar dari pengalaman sukses maupun gagal;
(2) selalu berinovasi dan pantang cepat puas diri;
(3) berkolaborasi dengan perusahaan lain dalam mengembangkan pasar; serta
(4) fokus pada kebutuhan dan keinginan pelanggan dalam proses pengembangan produk, salah satunya lewat pembentukan brand community.
Selain itu, pengalaman Apple, Inc. juga memberikan sejumlah pelajaran berharga, di antaranya:
(1) gagasan terbaik tidak selalu mendapat sambutan hangat pada awalnya;
(2) kepeloporan pasar tanpa dibarengi efisiensi biaya tidak bakal sukses;
(3) jika produk kita tampak 'menakutkan' bagi konsumen, kita wajib semampu mungkin membuatnya user-friendly;
(4) jika kita tahu apa yang dibutuhkan konsumen, berikan itu dan jangan pedulikan orang-orang yang skeptis;
(5) para pengguna fanatik bukan saja menjadi konsumen setia produk, namun mereka juga berperan aktif sebagai 'pewarta' dan bahkan berpotensi menjadi pembela perusahaan di masa-masa sulit;
(6) pengembangan wiraniaga setidaknya sama pentingnya dengan pengembangan produk (prinsip Apple adalah "the more special your product, the more likely you'll have to sell it yourself");
(7) timing adalah segalanya dalam sektor high-tech; dan
(8) keunggulan kompetitif bakal memudar seiring perjalanan waktu.


Business News

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Oktober 2009

Retorika Penyelamatan Bumi

Badai debu yang menyelimuti Sydney, Australia, pada 23 September 2009, merupakan fakta yang dengan gamblang memperlihatkan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global (global warming). Badai debu itu terjadi akibat terjangan angin kencang dari arah negara bagian Queensland dan New South Wales. Tidak tanggung-tanggung, angin yang bertiup dari dua negara bagian tersebut menerbangkan berton-ton lapisan permukaan tanah hingga sejauh ratusan kilometer. Sehari sebelum mencapai Sydney, badai debu di siang hari membuat gelap kota Broken Hill, di pedalaman New South Wales. Debu-debu yang berterbangan melayang hingga mencapai 1.167 kilometer ke arah timur Australia. Sulit mengelak dari kesimpulan, bahwa badai ini adalah dampak tidak terperikan dari pemanasan global.
Disimak berdasarkan perspektif jangka panjang pemanasan global, badai debu yang menyelimuti kota Sydney itu merupakan sinyal peringatan. Bahwa sesungguhnya sudah tidak ada lagi waktu mundur (time of no return) bagi setiap rezim kekuasaan di berbagai negara di dunia untuk menemukan jalan keluar dari kemelut pemanasan global. Berdasarkan skala cakupan wilayahnya, badai debu di Sydney hanyalah suatu bentuk bencana yang bersifat lokal. Badai debu itu merupakan resultante dari pemanasan global terhadap lingkungan pada tingkat lokal. Rezim kekuasaan di negara-negara lain boleh tidak peduli terhadap kenyataan ini. Namun demikian, pemanasan global memiliki kemampuan yang luar biasa hebatnya untuk mencetuskan bencana di seluruh semesta bumi, yakni bencana yang bersifat lintas negara (trans-border).

Momen Buruk
Dalam konteks membesarnya amplitudo, pemanasan global justru membuat siang hari semakin panas dan malam hari menjadi semakin dingin. Panas yang ekstrem di siang hari serta merta ditimpali oleh dingin yang ekstrem di malam hari. Dengan demikian berarti, hanya dalam rentang waktu teramat pendek, panas berganti dingin dan begitu juga sebaliknya. Kenyataan ini menimbulkan dampak serius terhadap manusia dan terhadap makhluk hidup pada umumnya. Daya tahan tubuh manusia di berbagai penjuru bumi terancam mengalami penurunan. Dan tatkala daya tahan tubuh benar-benar mengalami penurunan, maka dengan sendirinya, manusia begitu rentan terserang berbagai macam penyakit.
Perubahan musim yang berlangsung secara ekstrem memungkinkan berjangkitnya berbagai macam penyakit. Ketika pergantian musim berjalan normal, maka, di kawasan tropis, cacar air dapat diprediksikan muncul pada sekitar September dan Oktober. Begitu pun ketika musim penghujan datang secara normal, maka lebih mudah memprediksi munculnya jamur dan virus. Persoalannya, pemanasan global menggulirkan terjadinya pergeseran musim secara ekstrem. Musim datang silih berganti, tanpa kejelasan jadwal. Akibatnya, berbagai macam penyakit muncul di sepanjang tahun. Ketika daya tahan tubuh benar-benar mengalami penurunan, dengan sendirinya berbagai macam penyakit mengancam kehidupan manusia.
Tidak pelak lagi, pemanasan global merupakan momen buruk bagi kehidupan semesta di Planet Bumi.
Pertama, sebelum dilanda pemanasan global bumi sendiri sudah berada dalam situasi rumit oleh ledakan demografi, kelangkaan sumber daya, konsumsi secara besar-besaran energi fosil, dan emisi karbon dioksida. Pemanasan global benar-benar memperumit situasi yang sudah sangat pelik itu.
Kedua, pemanasan global berdampak langsung terhadap peningkatan suhu udara, kian tingginya uap air, mencairnya es di Benua Antartika serta perubahan arah angin muson. Di samping mengancam kehidupan manusia, dua momen buruk itu juga mencetuskan ancaman permanen terhadap kemampuan produksi pangan.

Menuju Kopenhagen
Bertitik tolak dari segenap persoalan yang dikemukakan di atas, dibutuhkan adanya vibrasi baru penyelamatan bumi. "Vibrasi baru" dimaksud ialah adanya komitmen dan tindakan nyata rezim-rezim kekuasaan di berbagai negara di dunia. Rezim-rezim kekuasaan tidak boleh lagi berhenti sekadar melontarkan retorika dalam hubungannya dengan penyelamatan bumi. Persis sebagaimana tercermin pada pengingkaran terhadap Protokol Kyoto, rezim kekuasaan di negara-negara industri maju banyak yang menegaskan ketentuan Annex I, yaitu pengurangan emisi karbon dioksida dalam jumlah tertentu. Padahal, ketentuan Annex I yang termaktub ke dalam Protokol Kyoto itu merupakan dasar penyelesaian masalah pemanasan global.
Terhitung sejak paruh pertama dekade tahun 1970-an, telah muncul ke permukaan isu penyelamatan bumi dari kehancuran. Melalui Deklarasi Stockholm tahun 1972, mulai muncul semacam the rule of conduct penyelamatan bumi. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1992, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil, menelorkan apa yang disebut Deklarasi Rio. Inilah deklarasi yang dengan tegas meniscayakan setiap negara untuk melindungi yurisdiksi mereka dari berbagai proses menuju kerusakan lingkungan. Pada tahun 1992 juga muncul dua hal yang sangat penting ke arah penyelamatan bumi, yaitu:
(i) Convention on Biological Diversity,
(ii) The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Seluruh perkembangan inilah yang kemudian mendorong lahirnya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Milan, Italia, 1-12 Desember 2003, diumumkan bahwa 119 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. Sehingga dengan demikian, timbul harapan bakal terjadinya pengurangan emisi karbon dioksida selama kurun waktu tahun 2008-2012. Terbit harapan, bahwa Planet Bumi dapat diselamatkan dari kehancuran.
Tetapi pada 27 Januari 2004, Menteri Energi Spanyol José Folgado berbicara tentang "ketidaksukaan pemerintah Spanyol" terhadap limitasi emisi karbon dioksida berdasarkan kerangka kerja Protokol Kyoto. Pada Februari 2004, Menteri Perindustrian Finlandia Mauri Pekkarinen memandang penting renegosiasi target pengurangan emisi karbon dioksida pada level nasional negara per negara. Dengan ini tidak berlebihan manakala dikatakan, bahwa tidak membutuhkan waktu lama untuk menafikan Protokol Kyoto.
Pada 14 April 2004, para petinggi Rusia melontarkan sebuah komunike, bahwa pelaksanaan Protokol Kyoto bakal mereduksi prospek pertumbuhan ekonomi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa pada 18 Mei 2004 Akademi Sains Rusia merekomendasikan agar pemerintah Rusia melakukan perlawanan terhadap keharusan untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Penolakan paling dramatis terhadap Protokol Kyoto dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush. Alasannya, pengurangan emisi karbon dioksida bakal meluluh-lantakkan perekonomian AS. George W. Bush, dengan demikian, menganulir keputusan pendahulunya, Presiden Bill Clinton.
Pada tanggal 7 hingga 18 Desember 2009 mendatang, para Kepala Negara di dunia direncanakan menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (KPI) di Kopenhagen, Denmark. Di bawah pengorganisasian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), KPI diharapkan mampu melahirkan konsensus lintas negara demi masa depan Planet Bumi. Di samping kembali membicarakan pengurangan emisi karbon dioksida, KPI juga mencanangkan agar kenaikan rata-rata suhu di permukaan bumi pada tahun 2050 tidak lebih dari dua derajat di atas temperatur sebelum era industrial abad XVIII.
KPI lagi-lagi, disergap kekhawatiran mendalam, karena pembicaraan para Kepala Negara hanyalah retorika. Target penurunan negara per negara hingga 40% emisi karbon dioksida pada tahun 2020 hanyalah menjadi hiasan bibir belaka dalam konferensi Kopenhagen. Negara-negara industri utama terus mempertahankan establishment perekonomian yang celakanya bertumpu pada emisi karbon dioksida dalam jumlah besar.


Business News

Baca selengkapnya...

Kamis, 22 Oktober 2009

Prospek Perekonomian Asia Semakin Menguat

Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai Asia mungkin bisa memimpin pemulihan ekonomi dunia, tetapi prospek pertumbuhannya masih rapuh akibat suramnya situasi ekonomi global.
Pertanyaannya adalah apakah pemulihan akan dapat dipertahankan pada tahun 2010 dan seterusnya. Outlook masih tetap belum pasti, terutama dari risiko pelemahan yang mungkin akan menunda pemulihan penuh di Asia.
ADB telah mengeluarkan proyeksi “sangat optimistis” bagi Asia untuk tingkat pertumbuhan pada tahun 2010. Namun, pemulihan Asia bisa sirna oleh lemahnya pemulihan global, terutama di negara-negara industri. Kondisi ini bisa diperparah oleh masih prematurnya “exit strategy” yang dikeluarkan negara-negara Asia.
Lembaga peminjam yang bermarkas di Manila telah mengumumkan China dan India akan menjadi pemimpin dengan pertumbuhan. Asia diprediksi tumbuh rata-rata 6,4% pada tahun 2010 dan 3,9% tahun 2009. Ini angka yang besar jika dibandingkan rata-rata global, tetapi masih di bawah China dan India.
Jadi, meskipun Asia sekarang memimpin pemulihan, tidak ada ruang untuk berpuas diri karena pemulihan global dalam jangka pendek berjalan sangat lemah. Harus diakui, Asia telah membuktikan diri sebagai wilayah yang lebih tahan menghadapi terpaan resesi global terburuk selama 100 tahun dibandingkan daerah lain.
Kekuatan utama Asia adalah memiliki industri berorientasi ekspor yang kuat. Sistem keuangan yang sehat, stimulus fiskal moneter yang efektif, dan kinerja yang kuat di China dan negara dengan perekonomian besar di Asia lainnya menjadi penahan Asia dari terpaan dampak negatif resesi global.
Sebenarnya, analisis ADB di atas tidaklah benar sepenuhnya, karena jika melihat Indonesia sebagai salah satu kasus, maka rendahnya tingkat kebergantungan perekonomian Indonesia terhadap ekspor yang justru menyelamatkan perekonomiannya.
Untuk diketahui, tingkat kebergantungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ekspor hanya 29,7%. Jauh lebih rendah dibandingkan Singapura dan Hong Kong yang masing-masing di atas 200%. Jadi, ketika permintaan dunia terhadap barang-barang ekspor, perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif, sementara Singapura dan Hong Kong babak belur dan mengalami kontraksi cukup dalam.
Yang unik adalah Jepang. Tercatat tingkat kebergantungan ekonomi negara ini terhadap ekspor hanya berkisar 19% saja. Namun jangan salah duga, ternyata sebagian besar unit-unit ekonomi berorientasi ekspor di Jepang sudah direlokasikan ke negara-negara lain dengan pertimbangan biaya tenaga kerja yang murah dan ketersediaan bahan baku. Banyak pabrik manufaktur Jepang berlokasi di luar Jepang, sebut saja di Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Myanmar.
Analisis ADB juga salah kalau dikatakan bahwa daya tahan ekonomi Asia dalam menghadapi krisis keuangan global karena ditopang oleh industri keuangan yang sehat dan kuat. Mari ambil contoh kasus di Indonesia. Justru karena industri keuangan di negara berpenduduk 230 juta jiwa yang masih tradisional atau konvensional inilah yang menyelamatkan sektor keuangan di Indonesia tidak berguguran seperti di AS, Eropa, Hong Kong, Singapura dan Jepang. Negara-negara maju ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi terkait dengan struktur industri keuangannya sehingga ketika terjadi ledakan krisis, pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama dengan biaya pemulihan yang sangat besar.
Jadi dapat dicatat bahwa karena tingkat kebergantungan terhadap ekspor yang masih rendah dan tingkat kompleksitas industri keuangan yang rendah yang menyebabkan Indonesia dan negara-negara sesama Asia “selamat” dari krisis keuangan global.
Menurut ADB, salah satu pemicu krisis global adalah defisit neraca Amerika Serikat (AS). Asia yang ekonominya bergantung pada ekspor secara signifikan berkontribusi atas ketidakseimbangan neraca global. Tahun ini, defisit neraca AS turun secara dramatis dan surplus China akan anjlok.
Namun, ini belum cukup untuk menciptakan keseimbangan neraca global. Dengan begitu, ekonomi Asia perlu pergeseran dari pertumbuhan yang dipicu ekspor ke permintaan regional dan domestik. Pergeseran juga akan menyeimbangkan neraca global. ADB juga menyarankan negara-negara di Asia meningkatkan konsumsi melalui pengembangan pasar dan sistem keuangan, memelihara kelas menengah, dan memperbaiki sistem jaminan sosial untuk mencegah peningkatan simpanan publik (tabungan).
Langkah ini akan menjadi bantalan yang lebih baik bagi Asia dari guncangan eksternal dan mengurangi pembengkakan surplus neraca yang menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global. ADB belum berpikir masalah ini akan bisa diselesaikan pada tahun 2010. Risiko ekonomi global akan tetap ada.
ADB juga mengakui, bahwa Asia telah berhasil meningkatkan orientasi ekspor sehingga kerentanan terhadap guncangan eksternal juga menguat. Meskipun ada banyak diskusi seputar pemulihan, faktanya negara-negara Asia tidak terpisah dari negara-negara industri yang mengalami penderitaan karena krisis. Jadi, Asia tidak bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan di wilayahnya dan masih bergantung pada permintaan eksternal.
ADB tidak mengharapkan sebagian besar dunia akan terperosok dalam resesi atau mengalami pertumbuhan yang sangat lamban, termasuk AS. Data pertumbuhan negara Paman Sam di kuartal III-2009 menunjukkan arah pertumbuhan setelah dua tahun dalam resesi. Pemulihan dalam bentuk “kurva V” masih terjadi bahkan sangat baik di negara berkembang di Asia. Diramalkan pula bahwa kawasan Asia akan mengalami pertumbuhan yang semakin kuat.
Negara pendorong pertumbuhan terbesar di Asia, yakni China, berhasil membukukan pertumbuhan sekitar 8% pada kuartal II-2009, padahal akhir tahun 2008 ekonominya nyaris stagnan. Berikutnya adalah India yang mampu mencetak pertumbuhan sekitar 6,5%. Dan, last but not least, Indonesia dengan angka pertumbuhan berkisar 4,3% untuk tahun ini.
Jadi, ketiga negara inilah yang diperkirakan bakal menjadi episentrum orientasi investasi global karena diproyeksikan mampu memberikan yield atau return yang atraktif dibandingkan negara-negara lain.
Untuk itulah ADB mengingat ada risiko jika pemerintah di Asia mengakhiri stimulus ekonomi atau memperketat kebijakan moneter sebab kebijakan ini akan membuat prospek pemulihan menjadi suram.
Pasalnya, setiap pengetatan moneter dan kebijakan fiskal yang tergesa-gesa akan langsung mengganggu pemulihan yang sedang berjalan, terutama dalam situasi pemulihan ekonomi global yang saat ini berjalan lemah. Waktu yang tepat mengakhiri stimulus ekonomi bukan hanya sangat penting bagi negara industri, tetapi juga bagi negara-negara di Asia.
Yang penting, negara-negara Asia harus mampu menjaga kemampuan pasar domestiknya dengan bertumpu pada kekuatan domestiknya melalui konsumsi rumah tangga dan pemerintahannya masing-masing sambil menciptakan iklim investasi yang menarik sebagai pendorong pertumbuhan ekonominya.
Untuk kinerja ekspor, sambil menunggu pemulihan ekonomi negara-negara maju, ada baiknya negara-negara Asia mempersiapkan diri lebih baik untuk merespon permintaan ekspor dunia ketika fakta ini terjadi tahun depan. Dengan demikian, kawasan Asia tidak akan kehilangan momentum dalam menyambut pemulihan ekonomi global. Maklum, kawasan Amerika Latin dan Afrika tentunya juga mempersiapkan diri untuk menyambut pemulihan ekonomi dunia.


Business News

Baca selengkapnya...

Anak Autisme Tidak Boleh Sembarang Makan

Autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
Dalam banyak kasus, gejala autis muncul sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan dalam beberapa kasus gejala autis justru sudah nampak sejak lahir.

Selama puluhan tahun penyebab gejala autis masih misteri dan baru sekitar 10 tahun terakhir diketahui adanya kelainan struktur otak yang menjadi penyebab.
Dr dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi yang tertarik meneliti tentang autisme, terutama tentang pengaruh makanan dan minuman terhadap autisme. "Saya tertarik dengan persoalan autisme sejak 1985, ketika itu saya masih kuliah," kata Nugraheni yang kini menjabat Kepala Bidang Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Penyandang autisme di dunia kini cenderung meningkat. Penelitian terakhir dari Autism Reseach Centre of Cambridge University menyebutkan ada 58 anak autis per 10.000 kelahiran.
"Padahal, sekitar 10 tahun lalu hanya ada sekitar 2-4 anak autis per 10.000 kelahiran, sehingga di Indonesia diperkirakan lahir 6.900 anak autis per tahun," katanya.
Karena itu, ia terdorong melakukan penelitian tentang pengaruh asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi anak autis dengan mengambil sampel di Semarang dan Solo.
Menurut dia, penyandang autis kemungkinan dapat diatasi dengan makanan atau minuman tertentu, sebab makanan dan minuman memiliki pengaruh cukup besar bagi kehidupan.
Ada penelitian yang menyatakan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu) berpengaruh besar terhadap autisme.
Namun, kata dia, beberapa pendapat justru meragukan kebenaran teori itu karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
"Penelitian itu sebenarnya sangat membantu para orang tua yang memiliki anak autis, agar mereka tahu makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari," katanya.
Ia mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di Semarang yang dinamakan kelompok intervensi dan 120 anak autis dari lima tempat terapi di Solo yang dinamakan kelompok kontrol.
Lewat penelitian itu, ia menganjurkan diet ketat menghindari asupan mengandung casein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.
Para orang tua anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya.
"Setelah itu, kami mengadakan pengamatan dan konseling kepada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas casein dan gluten, setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.
Pengamatan dan konseling secara rutin dan terus-menerus itu penting, terutama untuk memonitor apakah diet bebas casein dan gluten masih dijalankan dengan benar.
Menggembirakan
Setelah melakukan pengamatan dan pengawasan diet selama tiga bulan itu, ia menemukan perkembangan yang cukup baik bagi penyandang autis, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.
"Gangguan perilaku interaksi sosial, antara lain rasa malu tidak wajar, tidak ada kontak mata, suka menyendiri mengalami penurunan signifikan," katanya.
Gangguan komunikasi nonverbal, lanjutnya, seperti bergumam kata-kata tidak bermakna, nada dan volume bicara tidak wajar, menarik tangan orang juga berkurang.
Ia mencatat pula bahwa gangguan perilaku motorik, antara lain hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar turut berkurang, seperti halnya gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan tidak merasa sakit jika terluka.
Hasil diet yang menggembirakan itu ditunjang oleh berbagai penelitian di bidang metabolisme yang menunjukkan banyak anak autis mengalami gangguan metabolisme, salah satunya kelainan pencernaan.
"Kelainan pencernaan yang ditemukan pada anak autis adalah adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus," katanya.
Di sisi lain, kata dia, casein dan gluten ternyata merupakan protein yang paling susah dicerna karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut peptide.
Ia mengatakan, peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.
"Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urin dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak," katanya.
Nantinya, peptide itu akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Diet bebas gluten dan casein itu sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan.


Inilah.Com

Baca selengkapnya...

How to Deliver Bad News to a Group

Managers get lots of training on how to fire an individual employee but usually are left on their own when they have to deliver bad news to a group.

No matter how skillfully you announce bad news, it's likely to cause anxiety, result in at least a temporary drop in productivity, and prompt some of your valued employees to look for work elsewhere.

How can you deliver bad news in a way that minimizes the damage? Here's a four-part plan for announcing any kind of news that causes disappointment, whether it's not making the numbers, relocating facilities, or eliminating a valued perk.
1. Do it as soon as possible. Bad news travels faster than a space shuttle. Until an official announcement is made, there will be wild speculation by your employees. Head off the rumors quickly. Speaking up asap will let you define exactly what's happening and accurately describe its implications. At the same time, you'll earn points by showing that you're in charge and are being forthright.

Though email would give you the speed and control you need, it's the worst possible medium for delivering bad news. No matter how you phrase the announcement, you'll appear cowardly and cold. Announce the news at a meeting for everyone who'll be affected. If more than one meeting's needed, schedule them one after the other and be sure to keep the message consistent.
Schedule the meeting for early in the day. This will give the employees time to digest it and ask questions. Doing it at closing time will make you look evasive.
2. Speak candidly. Tell the employees everything that can be told. If you don't yet know the full extent of the impending change, say so. If time goes by and there's nothing new to announce, say there isn't any new news, so you avoid creating an anxiety-feeding information vacuum.
Managers sometimes appear uncaring when they announce bad news because they worry they might look weak. It's better to worry about looking uncaring. Be compassionate, but don't apologize for your bad news or talk at length about how bad you feel.
To come across as credible and sincere, you have to look at the audience in the eye. This is something that can't be done by reading a speech. Rehearse the presentation so well that you can deliver it unscripted. As you rehearse the words, you should also rehearse the body language you'll use. What the audience sees will make a stronger impact than what you're saying.
3. Give them the big picture. Begin the presentation by giving context — but do it quickly. Too much background up front can make you look insecure about getting to the bad news itself. If you played a part in what went wrong, or took part in a decision that will be painful for the employees to hear, admit it.

Assure the employees that management has a strategy for overcoming hard times, and ask for their support. Without misrepresenting the situation, be optimistic. Emphasize all the organization is doing to combat the problem, and what specific actions management is taking to spare employees pain.
Be ready to tell everyone what their role will be in addressing the problem, and assure them that they'll have a voice in future planning.
4. Plan for questions. An otherwise excellent presentation can be undermined with an awkward handling of the Q&A. Anticipate the questions you're likely to be asked and be ready for them with concise and credible answers. Adapt them for the particular audience you're addressing.

If a question is complicated, rephrase it to simplify it without changing the meaning. If it's angry, recast it in neutral language. Your news may generate a number of angry questions. Be sure you control your own emotions and answer these questions respectfully.
As you answer questions, begin by looking at the questioner, then look at the rest of the audience to signal that the answer is meant for everyone. You can prevent unfriendly questioners from asking repetitive follow-up questions — and give more people a chance to ask their questions — by looking at the opposite part of the room as you finish your answer and recognizing a question coming from there.
Delivering bad news is one of the biggest challenges managers face. By handling the challenge well, you'll mobilize the employees to help you meet your goals — and demonstrate to senior management how well you can lead in tough times.


by Kevin Daley

Baca selengkapnya...

Rabu, 21 Oktober 2009

Tuntutan Penerapan Paradigma Baru Dalam Sistem Ekonomi

Banyak sudah para ahli yang bukan berasal dari "arus utama" yang menyampaikan pesan perlunya merubah paradigma dalam menjalankan sistem ekonomi misalnya George Soros, Stiglitz, Hyman Mensky, Kelompok Wina, dan terakhir Dr. Robert Barbera tetapi sayangnya mainstream dan pejabat ekonomi yang menguasai penentu kebijakan ekonomi di masing-masing pemerintahan belum mau mendengarnya. Mereka ekonom "mainstream" ini masih ingin mencoba memperbaiki dampak negatif dari sistem kapitalisme sekarang ini sehingga diharapkannya bisa kembali mengalami kejayaannya. Hal ini tidak terkecuali dari sikap G-20 yang baru-baru ini bersidang di Pittsburgh Amerika dan beberapa summit yang mendahuluinya. Kali ini kita akan bahas pendapat Barbera.

Barbera adalah Executive Vice Presiden dan Chief Economist di Investment Technology Group, Dosen di John Hopkin University dan MIT, Bekerja sebagai ekonomis di Wall Street selama 26 tahun pernah menjadi staf ahli untuk Senator Paul Tsongas anggota Congressional Budget Office, Capitol Hill. Sering menulis di beberapa majalah Wall Street dan diwawancarai stasiun TV CNBC dan Koran New York Times. Kaliber dia cukup berbobot untuk menggaungkan tuntutan ini. Ia menulis buku yang diberi judul: The Cost of Capitalism, understanding market Mayhem and stabilizing our economic future. Apa ide baru yang dikemukakannya?
1. Ia mencoba menunjukkkan keterbatasan teori Keynes (uncertainty dan speculation), Schumpeter (creative destruction), dan Hyman Mensky (deflationary destruction) dan mencoba memintal pemikiran ketiga tokoh itu untuk menjawab krisis yang selalu terjadi dalam sistem kapitalisme. Pemikiran ketiga tokoh di atas adalah benar dalam konteksnya dan akan cocok jika ketiganya dipintal dalam satu sistem baru.
2. Dia masih meyakini ekonomi pasar dengan revisi paradigma dan menolak sama sekali sistem ekonomi sosialis atau sistem yang diatur oleh pemerintah.
3. Dia juga berpendapat bahwa tidak perduli berapa besar upaya Bank Sentral mengontrol (menurunkan dan menaikkan) tingkat bunga tetapi hal ini tidak mempengaruhi ekonomi riel.
4. Menurutnya krisis yang selalu terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah tercakup dalam sistem kapitalis dan merupakan biaya sistem kapitalisme yang harus dibayar. Namun apakah harus ada?
Beberapa point penting lainnya dari pemikirannya adalah:
Pertama: bahwa selama ini Pemerintah dan regulator tidak simetris (asymmetric response) dalam menghadapi fenomena ekonomi.
Kita selalu fokus mengatasi krisis tetapi tidak pernah mengatasi dampak dari ekonomi booming. Jika terjadi situasi ekonomi yang maju, dengan pertumbuhan yang demikian cepat pemerintah dan pelaku ekonomi terlena. Situasi ini disebutnya fenomena Creative destructive yang merupakan harga dari suatu kemajuan ekonomi. Menurutnya jika terjadi situasi ekonomi yang bertumbuh cepat, inflasi rendah, full employment, ini merupakan tanda-tanda bahaya yang harus disikapi sebagaimana kita menyikapi situasi krisis ekonomi. Selama ini hal ini tidak dilakukan.
Kedua: Akar krisis yang terjadi disebabkan fenomena kemajuan ekonomi yang sukses yang menimbulkan perilaku pelaku ekonomi (khususnya pemain pasar modal) yang bermain di Pasar Uang dan Modal, "success breads excess".
Dalam situasi ekonomi yang maju, pelaku pasar merasa percaya diri yang berdampak pada peningkatan utang melalui berbagai penciptaan "uang" baru, portfolio, instrument keuangan, teknik dan engineering keuangan, penjaminan utang atau yang lebih dikenal Collateralized Debt Obligation, dsb. Masyarakat berani mengambil risiko tinggi (risk taker), dan menilai trend ekonomi yang tetap akan bagus yang melahirkan "bubble economy" yang sudah melewati ambang batas aman atau "margin of safety". Ini merupakan wilayah "behavioral finance" yang saat ini mulai menjadi perhatian sedangkan sebelumnya tidak. Situasi emas ini diberi istilah "Goldilock Economy".
Ketiga: Kita tidak mungkin mengetahui apa yang terjadi di masa yang akan datang, kita selalu berada dalam ketidakpastian atau "uncertainty" sedangkan selama ini kita di buai oleh model-model matematik yang seolah bisa menjadi alat prediksi (prediction model) yang akurat, pada hal sesungguhnya tidak.
Kita atau dunia ini sebenarnya diatur oleh asumsi ketidakpastian yang seolah pasti (h 179) padahal sebaliknya. Prediksi pasti akan meleset karena semua orang akan selalu merubah fikirannya setiap saat sesuai dengan input informasi yang baru masuk dan pengaruh berbagai perilaku, pendapat, fakta, dan informsi para aktor. Kalaupun tepat bukan karena modal prediksinya. Sikap orang tidak statis tetapi dinamis sejalan dengan perjalanan waktu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat George Soros dalam bukunya The Alchemy of Finance (2007).
Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari pendapat Dr. Robert Barbare ini? Sistem kapitalsime adalah sistem yang secara sistemik akan mengalami fluktuasi yaitu ekonomi maju dan ekonomi krisis. Keduanya harus dihadapi dengan cara yang simetris dalam arti keduanya sama-sama harus dianggap berbahaya sehingga perlu di hadapi sesuai masalahnya. Dalam setiap krisis ekonomi akar permasalahannya adalah jumlah utang yang besar, keberanian mengambil risiko yang terlalu berani, kesalahan dan asumsi prediksi yang salah seolah dianggap masa depan bisa diramalkan, fokus yang terlalu berat pada membuat inflasi yang rendah, dan paradigma ekonomi ortodoks yang salah membuat kita selalu bergelut dengan krisis yang terus merambah secara periodik.
Kesimpulan pendapat Barbare adalah: Perubahan kebijakan dikaitkan dengan perubahan pemikiran ekonomi ortodoks diperlukan untuk mencegah krisis besar. Ini mungkin harus memperbaharui komitmen kepada pasar bebas kapitalisme, dari pemimpin yang rendah hati dan bijaksana akan memberikan kita kesempatan untuk ksejahteraan di abad 21 ini.
Walaupun Dr. Robert Barbare belum menyentuh paradigma baru seperti yang mana yang harus diikuti, namun dia telah mengangkat satu isu besar yang sudah diangkat juga oleh ekonom lainnya. Opini revolusioner ini menyatakan perlu perubahan paradigma dalam mengatur ekonomi kita. Kita masih harus terus mencari paradigma ekonomi baru yang agar krisis-krisis yang lebih besar tidak mensunami kita lagi.
Dengan pengakuan seorang sekaliber Robert J Barbare ini maka sudah seharusnya pemerintah kita dan masyarakat ahli ekonomi ortodoks, ahli ekonomi syariah, ekonomi Pancasila, ekonomi Kerakyatan, para agamawan bisa bertemu dan merumuskan sistem ekonomi yang cocok dengan bangsa, ideologi, situasi, konteks Indonesia yang berbeda dari konteks Barat.
Sistem ekonomi yang harus kita bangun adalah sistem ekonomi yang memiliki paradgima yang memasukkan nilai moral dan agama yang kita anut.


Business News

Baca selengkapnya...

Perubahan Iklim Sebabkan Gempa Tambah Dahsyat

Jauh dari gambaran lembut seperti dilukiskan mitologi-mitologi kuno, "Dewi Pertiwi" sesungguhnya gampang senewen dan meledak-ledak.

Dia begitu peka sehingga sedikit saja cuaca dan iklim berubah, maka tercabiklah kerak bumi, dan keluarlah letusan vulkanik, gempa bumi dan longsor yang semuanya dahsyat.

Pernyataan itu bukan dari pendongeng, melainkan kesimpulan sejumlah ilmuwan yang pertengahan September 2009 berkumpul di London, Inggris, pada satu konferensi bertajuk "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards."

Para ilmuwan itu menilai perubahan iklim bisa merusak keseimbangan planet Bumi, kemudian menghadiahi manusia dengan rangkaian bencana geologis.

Sudah lama diketahui bahwa antara iklim dan pergerakan kerak bumi saling berkaitan, namun baru kini ditegaskan bahwa betapa pekanya lapisan bumi terhadap udara, es dan air di atasnya.

"Anda tak perlu perubahan besar-besaran untuk memancing respons kerak bumi," kata Bill McGuire dari University College London (UCL), yang mengetuai konferensi ilmuwan itu, seperti ditulis New Scientist, edisi 23 September 2009.

Simon Dya dari Universitas Oxford, serta McGuire dan Serge Guillas dari UCL, memaparkan bukti bahwa bagaimana perubahan halus pada tingkat permukaan laut mempengaruhi kegempaan di Patahan Pasifik Timur, salah satu batas lempeng benua yang memekar paling cepat.

Para ilmuwan memfokuskan perhatian pada lempeng mini Easter --lempeng tektonik yang menghampar di bawah samudera di lepas pantai Pulau Easter-- karena lempeng ini relatif terisolir dari sesar-sesar lain.

Fokus ini mempermudah upaya membedakan perubahan-perubahan dalam lempeng tektonik yang terjadi karena sistem iklim, dari yang tercipta akibat tumbukan.

Sejak 1973, datangnya gelombang El Nino setiap sekian tahun berkorelasi dengan frekuensi gempa bawah laut berkekuatan magnitudo 4 dan 6.

Ilmuwan yakin, kemunculan El Nino dan terjadinya gempa bawah laut itu berkaitan. El Nino menaikkan permukaan air laut sampai puluhan centimeter. Ilmuwan juga yakin berat air ekstra bisa meningkatkan tekanan aliran fluida dalam pori-pori batuan dasar laut.

Tekanan ini cukup menetralisir energi geseran yang menyangga batuan agar tetap di tempatnya, sehingga sesar-sesar menjadi mudah bergeser. "Perubahan pada tingkat permukaan laut terjadi pelan dan usikan kecil saja bisa berdampak luar biasa besar," kata Day.

Letusan Vulkanik

Perubahan kecil di samudera itu juga dapat mempengaruhi letusan vulkanik, sambung David Pyle dari Universitas Oxford.

Setelah meneliti letusan-letusan vulkanik dalam 300 tahun terakhir, Pyle menilai karakter vulkanisme (aktivitas vulkanik) berbeda-beda, tergantung musim.

Menurut Pyle, letusan vulkanik di seluruh dunia 20 persen lebih sering terjadi di musim dingin (belahan bumi utara) ketimbang di musim panas.

Itu karena tingkat permukaan air laut global turun perlahan selama musim dingin, dan berhubung daratan lebih banyak di belahan utara, maka air menjadi lebih banyak membeku menjadi es dan salju selama musim dingin (belahan selatan).

Sementara itu, kebanyakan gunung api teraktif di dunia hanya puluhan kilometer dari pantai. Ini menunjukkan, penyusutan bobot samudera di tepi benua yang terjadi secara musiman akibat menurunnya permukaan air laut, bisa memicu letusan vulkanik di seluruh dunia, ulas Pyle.

Pandangan bahwa beberapa gunung api meletus saat permukaan air laut turun, tak berarti bahwa naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim, akan menekan aktivitas vulkanik.

Di Alaska, Gunung Pavlof lebih sering meletus pada bulan-bulan di musim dingin, sementara penelitian awal Steve McNutt dari Observatorium Gunung Api menyimpulkan, naiknya permukaan laut 30 cm setiap musim dingin, terjadi karena rendahnya tekanan udara dan kuatnya gelombang badai.

Lokasi Gunung Api Pavlof berada menunjukkan, bobot tambahan di samudera terdekat bisa menekan magma ke permukaan.

Di wilayah lain, berat esktra samudera saat tingkat permukaan laut naik, bisa melengkungkan kerak bumi dan mengurangi pemampatan sehingga magma menjadi lebih mudah mencapai permukaan di gunung-gunung api terdekat, kata McGuire.

Semua contoh itu agaknya saling bertentangan, namun intinya setiap perubahan permukaan laut bisa mengubah tekanan di tepi benua yang cukup untuk memicu letusan gunung berapi yang sudah siap meletus, kata McGuire.

Perubahan kecil dalam curah hujan bisa juga memicu letusan vulkanik. Pada 2001, letusan besar di gunung api Soufriere Hills di Pulau Montserrat di Karibia terjadi karena tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi ini menggoyahkan kubah gunung api hingga cukup untuk memuntahkan magma dalam perut gunung api.

Kini, hujan tropis tampaknya sudah umum dianggap bisa memicu letusan gunung api, sedangkan menurut model ilmiah iklim, banyak kawasan, termasuk daerah tropis, bertambah panas akibat perubahan iklim.

Adrian Matthews dari Universitas East Anglia dan para koleganya, meneliti respons menit ke menit gunung berapi Montserrat setelah dikenai lebih dari 200 "rangsangan" selama tiga tahun. Tim peneliti menemukan, respons itu terlihat dari meningkatnya aktivitas vulkanik selama dua hari.

Hujan harian meningkatkan kemungkinan keroposnya kubah gunung api dari 1,5 sampai 16 persen sehingga tak perlu menunggu hujan besar. "Anda juga tak perlu badai (untuk menggerogoti kubah gunung)," kata Matthews.

Lapisan Es

Mungkin hambatan geologis terbesar selama perubahan iklim adalah dampak mencairnya lapisan es. Di samping risiko bahwa sedimen-sedimen goyah yang muncul karena es mencair bisa menyelinap masuk laut sebagai longsor pemicu tsunami, tanggalnya lapisan es juga bisa memicu letusan gunung api.

"Bahkan penciutan (lapisan es) puluhan centimeter saja sudah cukup menciptakan perubahan," kata Andrew Russell dari Universitas Newcastle.

Contohnya glasier Vatnajokull di Islandia yang berdiri di atas batas lempeng dan sejumlah gunung api yang kemungkinan sirna dua abad nanti. "Jika itu sirna, Anda mesti berjuang membunuh kengerian dari membesarnya beban (samudera) yang akan meningkatkan aktivitas vulkanik," kata Russell.

Di awal zaman es terakhir, aktivitas vulkanik di Islandia utara meningkat hingga 30 kali lebih besar dibandingkan sekarang. Dan jika nanti gunung-gunung api di belahan utara yang tertutup es itu meletus, maka hamburan letusan akan menebari dunia.

Ilustrasinya terjadi pada 1783 saat Gunung Berapi Laki di Islandia memuntahkan debu belerang ke seluruh Eropa sehingga benua ini mengalami satu musim dingin maut yang membunuh ribuan orang.

Saat ini memang belum jelas berapa besar perubahan iklim akan mempengaruhi frekuensi dan intensitas gempa bumi serta letusan gunung api mengingat kepekaan Planet Bumi terhadap iklim baru teramati intens belakangan ini.

Selain itu, belum cukup data untuk menciptakan model pemrakira cuaca yang mengaitkan kedua sistem. "Tapi yang pasti, aksi manusia semakin mudah memprovokasi Planet Bumi," kata McGuire.


Antara

Baca selengkapnya...

The 2009 Nobel Prize for Economics: Reading the Tea Leaves

If you were a betting person and had a flair for the adventurous and an enthusiasm for underdogs, you could go to the racetrack and bet on a 50-1 longshot to win. But if you were really crazy, you would choose two 50-1 shots and plop your money down on the exactor (betting on the top two finishers.

And that is just what you would have had to have done to win in the Nobel Prize in Economics betting at Ladbrokes. They had 25 candidates ranging from 2-1 to 40-1 and perhaps just to satisfy the crazy betters they threw in seven 50-1 shots including Oliver Williamson and Elinor Ostrom. Fortunately for Ladbrokes, they at least had the two winners somewhere on their list, if only at the tail end.

So why did these two win the prize? Trying to figure out what motivated the Nobel Committee is a bit like Cold War Kremlinology but there are probably a few salient takeaways from this year's pick.
For starters, both were cited for their "analysis of economic governance." In the wake of the market meltdown and the general undermining of public trust in economic governance structures, it can certainly be argued that the Committee chose to be au courant and award two people not for being the best-economists-in-the-world-not-yet-in-possession-of-a-Nobel-prize (BEWNYPNP), but rather for having topical work.
And in fact, Ostrom is in no sense at all an economist. She is a prominent political scientist. This marks the first winner since Daniel Kahneman in 2002 to win despite being a non-economist. (Kahneman is a psychologist; I exclude from the non-economist ranks the economics-oriented mathematicians who have long been popular with the Committee). This may be yet another nod by the Committee to current events as economists are in full retreat, even having felt the need to apologize en masse to the Queen of England for botching their predictions leading up to the crash of 2008.
Though I am an economist by training and should probably take offense that a political scientist has crashed the Nobel's economics party, I rather like Ostrom's winning body of work (though as other economists have bravely confessed, I too had to look it up because I had never previously come across her work). She posits that just because a market is declared to have failed, we don't have to default reflexively to government regulation as the only solution. She argues that there are other institutional structures and arrangements that can produce a better result than either extreme. I like it because this is what I call Integrative Thinking — rather than choosing between unsatisfactory existing alternatives (i.e. free market or government regulation), put on your thinking cap and find a better solution. (I discuss this idea in more depth in my 2007 book The Opposable Mind).
Ostrom also reprises my personal favorite Nobel Economics winner of all time, James Buchanan (1986), who won for his work on social choice theory. Buchanan warned that when we declare a market failure because we don't like the outcome it produces, we often replace it with a regulatory ("social choice") mechanism that we don't analyze as rigorously as we analyzed the market failure. And because of the lack of critical evaluation, we get an outcome that is as bad as or worse than the market failure was in the first instance. Arguably, Ostrom provides a way of thinking through Buchanan's dilemma.
I like Williamson's work too. As with Ostrom, I see echoes of a great laureate of the past, Ronald Coase (1991). Coase helped us understand why firms exist: to reduce what would in the absence of the firm existing be painfully high contracting and transactions costs. In this way, he helped us define the boundaries of the firm. Williamson's work has built our understanding of how those boundaries work and why our firms are built to do the things they do — and not to do the things they don't.
However, I have never believed that Williamson's incremental contribution, though laudable, is great enough to warrant the Nobel with Coase already on the winners list, so he hadn't been on my own list of hopefuls. Neither was Ostrom, because she wasn't even on my radar screen. So I am glad I didn't phone up Ladbrokes and plop down a few pounds. My own favorite, especially since the Committee has loosened its criteria from pure economists, is Michael Porter. His work has profoundly influenced business and economics and I believe he is the next BEWNYPNP.
Roger Martin is the Dean of the Rotman School of Management at the University of Toronto in Canada and the author of "The Opposable Mind: How Successful Leaders Win Through Integrative Thinking" (Harvard Business School Press, 2007).

Baca selengkapnya...

Ditemukan, 32 Planet Baru di Luar Tata Surya

Enam dari planet-planet yang baru ditemukan berukuran beberapa kali lebih besar dari bumi.

Para ahli ilmu astronomi Eropa menemukan 32 planet baru di luar sistem tata surya. Penemuan itu memperkuat bukti dari teori bahwa jagat semesta sebenarnya memiliki banyak tempat yang bisa membangun kehidupan.

Menggunakan teleskop dari European Southern Observatory, para peneliti mengungkapkan bahwa planet-planet yang mereka temukan berukuran tidak sama dengan bumi. Mereka menduga apakah planet-planet itu layak huni. Namun, hasil penelitian itu menambah jumlah planet yang ditemukan di luar tata surya, yaitu sebanyak lebih dari 400 buah.

Enam dari planet-planet yang baru ditemukan berukuran beberapa kali lebih besar dari Bumi, yang diyakini bisa menampung habitat lebih dari 30 persen dari kapasitas Bumi. Sebagian besar planet yang ditemukan ada yang berukuran sama besar dari Planet Jupiter.

Sedangkan dua dari planet-planet yang baru ditemukan ada yang berukuran lima kali lebih kecil dari bumi, selain itu ada yang lima kali lebih besar dari Jupiter.

Pakar astronomi Stephane Udry dari Universitas Jenewa mengungkapkan bahwa penemuan itu mendukung teori bahwa formasi planet itu pada umumnya sama, terutama dengan menilik dari formasi-formasi bintang.

"Saya cukup yakin bahwa banyak planet berukuran mirip bumi," kata Udry dalam suatu konfrensi di Portugal. "Alam tidak mengalami vakum. Bila ada ruang, maka ada planet," lanjut Udry.

Para pakar astronomi juga menyatakan bahwa sekitar 40 persen dari bintang-bintang yang mirip matahari memiliki sejumlah planet yang ukurannya lebih mendekati Bumi ketimbang Jupiter. Massa Jupiter 300 kali lebih besar dari massa Bumi. (AP)


Renne R.A Kawilarang - VIVAnews

Baca selengkapnya...

Selasa, 20 Oktober 2009

Akhirnya, Ada Wanita Pemenang Nobel Ekonomi

Elinor Ostrom berjasa besar melalui analisisnya mengenai pemerintahan ekonomis.

Elinor Ostrom dan Oliver Williamson, asal Amerika Serikat (AS), sama memperoleh penghargaan Nobel Ekonomi 2009 atas penelitian mereka mengenai peran institusi kemasyarakatan yang dapat mencegah konflik. Ostrom bahkan merupakan perempuan pertama yang mendapat anugerah di katagori ini.

"Penghargaan ini merupakan kejutan besar, saya masih agak shock," kata Ostrom melalui sambungan telepon di tengah konferensi pers pengumuman penghargaan, Senin (12/10) seperti dikutip laman stasiun televisi CNN.

Guru besar ilmu politik di Universitas Indiana, Amerika Serikat, ini mengaku belum tahu apa yang akan dia perbuat dengan setengah dari hadiah US$ 1,4 juta yang dia terima. Komisi Nobel menyatakan Ostrom berjasa besar melalui analisisnya mengenai pemerintahan ekonomis.

Karya Ostrom menunjukkan bahwa komunitas lokal kerap mengolah sumber daya alam seperti kayu, danau, dan ikan, lebih baik dibanding ketika pemerintah berusaha mengaturnya. "Birokrat sering tidak memiliki informasi yang tepat sementara warga dan pengguna sumber daya alam tahu semuanya," kata Ostrom menjelaskan penelitiannya.

Komisi terutama menyorot riset Ostrom di sebuah bendungan di Nepal dan menilai penelitiannya telah memindahkan analisis institusi non-pasar dari tepi penelitian ekonomi ke pusatnya.

Sementara Williamson, guru besar sekolah pasca-sarjana Universitas California, Berkeley, dianugerahi Nobel karena penelitiannya mengenai pemerintahan ekonomis, terutama mengenai batasan firma. Williamson menelaah penyebab naik turunnya perusahaan berdasarkan biaya dan kompleksitas transaksi.

"Williamson mengajari kita untuk memandang pasar, firma, asosiasi, lembaga, dan bahkan rumah tangga berdasarkan kontribusi mereka dalam penyelesaian konflik," kata Komisi.

Majalah Forbes mencatat bahwa Williamson menulis 'Institusi Ekonomi Kapitalisma' pada 1975. Buku teks ini berisi pergerakan ekonomi institusional yang menantang gagasan bahwa firma hanyalah mesin pembuat laba. Williamson memokuskan diri pada kontrak dan transaksi yang dapat menjelaskan struktur dan batasan perusahaan.

Anggota Komisi Tore Ellingsen mengatakan dua penerima Nobel sama-sama meneliti cara menciptakan kerja sama manusia melalui reka bentuk institusi. "Mereka berusaha memahami institusi non-pasar dan sama-sama memandang institusi sebagai mekanisme resolusi konflik," kata dia.

Ellingsen menjelaskan kedua profesor ini menggunakan metode penelitian berbeda. Ostrom memanfaatkan metode studi kasus untuk memperoleh pola umum sementara Williamson bergerak di ranah akal teoritis.

Penghargaan Memorial Nobel Ekonomi pertama kali digagas pada 1968 oleh Bank Sentral Swedia. Anugerah ini diberikan oleh the Royal Swedish Academy of Sciences, yang telah memberi Nobel sejak 1901 di beberapa bidang seperti fisika, kimia, fisiologi atau kedokteran, sastra, dan perdamaian.


Renne R.A Kawilarang, Shinta Eka Puspasari-VIVAnews

Baca selengkapnya...

Elinor Ostrom and the Future of Economics

Exit, crisis. Enter, surprise: it's the most unexpected economic Nobel, bar none. Oliver Williamson and Elinor Ostrom are both scholars first and foremost of instutions — and as Paul Krugman has noted, this is an "institutional" Nobel.

The crux of both Williamson's and Ostrom's work is that institutions are what make economics happen. Different institutional arrangements give rise to tremendously different modes of production and consumption, that, turn, differ in terms of efficiency, productivity, and growth.
Williamson was a refreshing choice. His work suggested that the costs of interacting and transacting influence the choice between different modes of organization: markets, hierarchies, and networks.

But Ostrom is a radical — and awesome — choice. Not just because of the "what" of her work, but, more deeply, because of the "how" of it. Ostrom's work is concerned, fundamentally, with challenging Garret Hardin's famous Tragedy of the Commons, itself a living expression of neoclassical thinking. Ostrom suggests that far from a tragedy, the commons can be managed from the bottom-up for a shared prosperity — given the right institutions. That conclusion challenges orthodox economics from both left and right leaning perspectives; it suggests that, yes, markets can organize production and consumption efficiently — but only when supported and nurtured by networks and communities.
Sound familiar? It should. Both are tremendous influences on me — and perhaps you can now see the deeper roots of my older work on markets, networks, and communities.
But there is more than that to this Nobel, I think. Underlying it, perhaps, is the suggestion that economics as a discipline can evolve very differently than it has evolved thus far. Ostrom's work is different because her working methods were very different. And there, is, just maybe, a lesson for organizations in general. Because the working methods of economics have become the working methods of strategists and boardrooms alike: abstract calculation, at a distance from real-world consequences. So here's what made Ostrom's work so different:
Fieldwork. The great Ronald Coase once said: "existing economics is a theoretical system which floats in the air and which bears little relation to what happens in the real world." Perhaps the single most accurate criticism leveled at most econ today is that it's detached from reality. It's a curious science, one where fieldwork and experimentation is actively discouraged (as many a PhD student has found out the hard way). Ostrom went out into the field to see what people and communities were doing differently — and then thought about how it worked. Her logic challenged math. Imagine that.

Quality. The great Milton Friedman once said: "economics has become increasingly an arcane branch of mathematics rather than dealing with real economic problems." Ostrom's work isn't mega quantitative because her goal wasn't to add another error term to an already convoluted, overquantized model. Rather, it is mega qualitative, packed with rich, sharply unexpected new insights about how models should be built. It is focused like a laser-beam on real world-problems — and that is why we model in the first place.
Architecture. A second failing of econ is that much of it extends yesterday's assumptions with only slight, marginal refinements. Yet, many of those foundational assumptions — rationality, perfect information, etc — are visibly challenged. By seeking new assumptions that were a better fit with the real world, Ostrom ultimately proposed a new architecture of governance entirely — what she called polycentric governance. In contrast, orthodox econ has been offering roughly the same architecture, built on the same assumptions, for decades. Yeah, you know the one — unfettered markets, global "competition", and top-down, light-touch regulation. Just as behavioral economists have questioned its fundamentals, so did Ostrom.
Prescription. A third failing of econ is that because it seeks to describe an ideal world, much of it has little relevance in terms of helping build a better one. People are hyperrational, perfectly informed optimizers living in a world of zero enforcement costs for perfectly defined property rights? Awesome — we're already living in the best of all possible worlds. In contrast, Ostrom sought out new institutional arrangements that could be used by people, communities, and societies facing real-world problems.
The takeaway: what we do is often a function of how we do it. That's what institutional economics is really about. It's awesomely fitting that a Nobel for studying it went to someone who did it: someone who challenged not just the "what" but also the "how." It's often easy to challenge the what. Yet, challenging the how is where deep change begins.
Are you challenging the "how" in your organization, market, category, or industry — or merely the "what"?
Fire away in the comments with questions, thoughts — or links to your favorite papers, books, or quotes from Williamson or Ostrom.


Umair Haque

Baca selengkapnya...

Senin, 19 Oktober 2009

Pengguna Ponsel Berisiko Terserang Tumor Otak

Pengguna telefon selular menghadapi risiko lebih besar terserang tumor otak, demikian laporan media, Kamis WIB, mengutip penelitian paling akhir dari AS yang meneliti hubungan lemah antara telefon selular dan tumor otak, namun tak ada petunjuk jelas mengenai apa resiko yang dihadapi pengguna telefon selular.

"Kami tak dapat membuat kesimpulan pasti mengenai ini," kata Dr. Deepa Subramaniam, Direktur "Brain Tumor Center" di "Georgetown Lombardi Comprehensive Cancer Center" di Washington DC.

"Tetapi studi ini, selain berbagai studi sebelumnya, terus meninggalkan keraguan yang menggelayuti mengenai potensi peningkatan resiko. Jadi, satu kali lagi, setelah bertahun-tahun, kami tak memiliki jawaban jalan-pintas."

Namun, Joel Moskowitz, penulis senior studi itu, mengatakan bahwa "jelas ada resiko". Ia adalah Direktur di "Center for Family and Community Health" di University of California, Berkeley.

"Saya takkan mengizinkan anak-anak menggunakan telefon selular, atau saya setidaknya akan mengharuskan mereka menggunakan perangkat `headset` terpisah," kata Moskowitz.

"Kelihatannya kita semua lalai sebagai masyarakat atau sebagai (penghuni) satu planet karena semata-mata menyebar-luaskan teknologi ini sampai tahap yang kita hadapi sekarang tanpa melakukan penelitian yang lebih menyeluruh mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dari bahaya itu. Jelas, kita perlu mempelajari jauh lebih banyak lagi mengenai teknologi ini," katanya.

Para peneliti mendapati bahwa penggunaan telefon genggam selama satu dasawarsa atau lebih lama lagi mengakibatkan peningkatan 18 persen resiko tumor otak yang mungkin muncul di bagian tempat telefon itu digunakan, kata Moskowitz.

Namun Moskowitz, sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi China, Xinhua, percaya bahwa juga ada potensi bahaya di bagian lain tubuh --pada aurat, misalnya-- ketika telefon tersebut ditaruh di saku.

Dengan demikian banyak orang di seluruh dunia menggunakan telefon seluar, bahkan resiko kecil dapat diterjemahkan menjadi banyak penyakit dan kematian, ia menegaskan.

Moskowitz memperingatkan, "Kita perlu melakukan banyak penelitian yang jauh lebih menyeluruh karena tebusannya benar-benar mahal dan kelihatannya lebih bijaksana jika anda lebih berhati-hati mengenai ini, terutama pada anak-anak, yang memiliki jaringan yang masih berkembang dan ukuran tempurung serta otak yang lebih kecil."

Tahun lalu, Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan AS menyerukan penelitian lebih lanjut mengenai resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan telefon selular untuk waktu lama.

Lembaga tersebut mendesak agar penelitian seperti itu dipusatkan pada kesehatan anak, perempuan hamil dan janin serta pekerja yang menjadi sasaran pajanan (exposure) tinggi dalam pekerjaan.


Antara

Baca selengkapnya...

Kelaparan dan Investasi Pertanian

Dua abad lalu, tepatnya tahun 1798 ketika penduduk bumi belum 1miliar jiwa, Thomas Malthus mengingatkan bahwa planet kita tidak akan mampu memberi makan.

Di masa Perang Dingin antara Barat dan Timur, Lester R Brown, seorang pegawai Departemen Pertanian AS, dalam tulisannya mengkhawatirkan, meskipun negara berkategori belum dan sedang berkembang melipatgandakan produksi pangannya tahun 2000, mereka tetap tak mampu memberi makan rakyatnya. Kini jumlah penduduk bumi 6,7 miliar, tapi tampaknya planet bumi masih mampu memberi makan. Sepertinya dugaan Malthus meleset.

Namun apakah kekeliruan Malthus atau kebenaran Brown masih akan berlaku untuk masa-masa mendatang? Pertanyaan itu amat relevan dengan tema Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2009: Achieving Food Securityin TimesofCrisis.Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup semakin baik.Tahun 1914, penduduk dunia baru 1,6 miliar dan diramalkan tahun 2025 akan menjadi 8,5 miliar.Tiap dekade tambah 1 miliar.Tahun 1900,bayi laki-laki bisa hidup sampai usia 46 tahun dan bayi perempuan 48 tahun.

Sekarang, karena kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan yang prima, dan kualitas makanan yang kian baik, harapan hidup manusia menembus angka 70 tahun. Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit karena terdesak oleh keperluan nonpertanian. Bagaimana terus meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi pada saat erosi genetika demikian intensif, salinitas mencemari sawah, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?

Kenaikan harga minyak fosil, pergeseran permintaan konsumsi biji-bijian di China dan India yang besar, konversi pangan ke bahan bakar (biofuel) di negara maju, dan spekulasi membuat produksi kian sulit. Belum lagi penyimpangan cuaca akibat pemanasan global yang membuat usaha tani kian sulit dikendalikan. Masih sanggupkah memberi makan?

Sejumlah pihak yang menelisik sebab-sebab kenaikan harga pangan setidaknya menemukan hal-hal berikut: kenaikan harga pangan yang tinggi bukan cuma karena suplai dan stok pangan dunia yang menyusut, gagal panen di negara-negara produsen pangan utama, kenaikan harga minyak fosil dan iklim yang makin sulit diantisipasi, tetapi juga akibat pergeseran permintaan: konsumsi biji-bijian di China dan India yang makin besar, konversi pangan ke bahan bakar (biofuel) di negara maju, dan spekulasi.

Secara global, suplai pangan sebetulnya cukup memberi makan dua kali jumlah manusia saat ini. Namun, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju mereka yang berduit. Akibat kemiskinan, konsumen di negara-negara miskin tidak bisa mengakses pangan. Maka, kelaparan dalam berbagai manifestasinya meruyak di negara-negara miskin. Tiap tujuh detik seorang anak usia di bawah 10 tahun mati kelaparan dan 1,02 miliar manusia secara permanen menderita kekurangan gizi parah.

Ini merupakan masalah global yang pelik dan bakal menjadi ancaman pencapaian target Millennium Development Goals: mengurangi kemiskinan 50 persen pada 2015. Tuhan telah merahmati dunia dengan aneka pangan: aneka tanaman dan hewan. Namun, akibat desain globalisasi yang dipromosikan negara maju, pangan kian mengarah pada penyeragaman. Meski sedikitnya ada 3.000 spesies tumbuhan telah dipergunakan untuk keperluan pangan, saat ini hanya 16 tanaman pangan utama yang dibudidayakan untuk pangan (Thrupp, 1998).

Di bawah pendiktean perusahaan transnasional (TNCs), budi daya pertanian global hanya bertumpu pada segelintir biji-bijian,terutama gandum,beras, dan jagung. Kacang pun hanya kedelai dan kacang tanah, bukan kecipir yang lebih unggul (tahan kering dan totally edible) dan banyak tersebar di negara berkembang.

Kalau kemudian hanya segelintir negara-negara maju jadi eksportir pangan utama, itu lumrah karena pangan terkonsentrasi di sana. Rentang 1997 - 2003, negaranegara maju memiliki rasio swasembada (surplus pangan) yang tinggi dengan komoditas yang kian beragam. Misalnya, rasio swasembada serealia Prancis 2,38; Kanada 1,94; USA 1,46; Inggris 1,17; Jerman 1,13; dan Italia 1,12. Cakupan serealia tak terbatas pada komoditas konvensional seperti barley, sorgum, gandum, dan jagung, tapi juga beras.

Italia dan AS dengan surplus pangan serealia yang besar juga memproduksi beras. Jepang sebagai negara net-importir beras juga memiliki tingkat swasembada beras yang relatif tinggi. Swasembada negara-negara maju itu dicapai dengan tingkat proteksi dan subsidi yang sangat tinggi. Misalnya, 80 persen pendapatan petani padi OECD berasal dari subsidi. Proteksi di Uni Eropa (UE) tahun 2000 mencapai 34 persen. Artinya, tiap USD100 nilai output yang diterima petani produsen di UE, USD34 merupakan transfer pendapatan (proteksi) dalam berbagai bentuk.

Selain di UE,proteksi tinggi terjadi di Korsel (73 persen), Norwegia (66 persen) dan Jepang (64 persen).Komoditas yang diproteksi tinggi: beras (5,43), gula (2,04), dan susu (1,85). Artinya, harga susu 1,85,gula 2,04,dan beras 5,43 dari harga paritasnya. Akibat proteksi dan subsidi yang luar biasa besar itulah negaranegara maju memiliki surplus pangan, yang pada gilirannya surplus tersebut dilepas ke pasar dengan harga dumping. Bagi negara net importer pangan, ini menguntungkan.

Namun bagi negara-negara berkembang yang mengembangkan komoditas sejenis, ia terkena pukulan ganda. Pertama, karena harga pangan impor murah, produksi petani domestik dinilai tidak kompetitif. Muncullah jalan pintas: impor saja. Padahal, poin kedua, pangan tersebut pada hakikatnya komoditas substitusi impor yang jadi sumber devisa, gantungan hidup petani dan jutaan tenaga kerja. Lantaran bias kepentingan negara maju, WTO tidak pernah menyentuh praktik unfair ini. Karenanya, pertanyaan masih sanggupkah memberi makan relevan ditujukan pada negara-negara pengembang komoditas sejenis seperti Indonesia.

Saat ini, Indonesia termasuk negara berketahanan pangan rendah dan mengimpor 5 - 10 persen dari total kebutuhan pangannya. Beras dan jagung memang naik, tapi impor enam pangan nonberas (gandum, kedelai, daging dan telur ayam ras, daging sapi, dan susu) sudah masuk kategori kritis.Untuk mencegah busung lapar dan sanggup memberi makan penduduk yang tahun 2035 diprediksi mencapai 400 juta jiwa, menggenjot investasi ke pertanian jadi salah satu jawabannya. Investasi di pertanian dan perdesaan terbukti jadi mesin penggerak pembangunan.

Saat investasi asing lesu, komitmen negara donor dan negara maju dalam membantu negara miskin mengendur, menggali investasi domestik harus digenjot. Investasi mesti difokuskan pada perbaikan kualitas lahan dan infrastruktur perdesaan, riset input (bibit, pupuk, pestisida) pertanian, teknologi pengolahan dan pascapanen, serta membangun kelembagaan (perdesaan dan pasar) yang adil bagi petani.

Khudori

Baca selengkapnya...

Menebak Arah IHSG Hingga Akhir Tahun

Penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) sejak awal Januari 2009 membuat para pelaku pasar optimistis pemulihan (recovery) ekonomi telah terjadi secara global, terutama perekonomian Amerika Serikat (AS) yang menjadi acuan. Hingga awal Oktober 2009, IHSG telah menguat 81,20 persen ke level 2.467.

Kenaikan IHSG terimbas dari penguatan bursa global yang dipimpin indeks Dow Jones, yang pada periode sama menguat 12,40 persen. Bursa utama di kawasan regional juga mendukung penguatan IHSG seperti bursa India yang menguat 76,49 persen, China 58,97 persen, Singapura 52,17 persen, Hong Kong 48,04 persen, dan Jepang 12,12 persen. Kenaikan yang terjadi pada bursa global disebabkan beberapa sentimen positif dari kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah AS maupun The Fed seperti bailout, pengurangan pajak, dan pembelian aset bermasalah.

Kebijakan tersebut diikuti pula oleh hampir seluruh negara di dunia. Seluruh bank sentral dari sisi moneter bersepakat menurunkan tingkat suku bunganya untuk menciptakan likuiditas yang hilang ketika krisis 2008. Kebijakan fiskal juga melakukan pemotongan pajak dan pembangunan infrastruktur yang diharapkan menjadi stimulus ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral dan pemerintah tersebut direspons oleh pasar karena diekspektasi dapat segera memulihkan perekonomian.

Para investor melakukan pembelian sehingga harga-harga saham mengalami kenaikan hingga Oktober 2009. Proses pemulihan dimulai ketika Pemerintah AS melakukan stimulus ekonomi sebesar USD787 miliar untuk membeli surat-surat berharga sekaligus menciptakan likuiditas di pasar dengan harapan terciptanya purchasing power dan ekonomi segera pulih. Stimulus yang diberikan membuat defisit anggaran AS mencapai level tertinggi sepanjang sejarah negara tersebut. Namun, bulan lalu The Fed menyatakan akan mengakhiri pembelian secara agresif suratsurat berharga akibat tidak efektifnya stimulus yang dilakukan.

Hal ini tercermin dari semakin tingginya angka pengangguran dan tidak berubahnya beberapa indikator ekonomi di AS ke arah yang lebih baik. Likuiditas yang tercipta bukan menjadi stimulus bagi sektor riil seperti yang diharapkan, melainkan lebih ke arah spekulasi komoditas dan pasar modal. Kebijakan The Fed yang membatasi pembelian surat berharga tersebut dapat berdampak terhadap tekanan inflasi akibat besarnya defisit dan pengeluaran konsumsi.

Akhirnya itu menaikkan tingkat suku bunga The Fed yang selama ini bertahan di level 0,25 persen sejak Desember 2008. Dari dalam negeri, perekonomian relatif masih stabil yang dapat dilihat dari beberapa indikator purchasing power dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang masih positif sebesar 4, 2persesampai semester I/2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap sebagai penopang perekonomian global yang sedang menurun.

Stimulus ekonomi dari sisi moneter maupun fiskal juga dilakukan. Bank Indonesia terus memangkas tingkat suku bunganya hingga 6,5 persen, turun 300 basis poin dari level tertinggi 9,5 persen pada November 2008. Penurunan suku bunga terjadi seiring rendahnya tingkat inflasi dibandingkan tahun lalu akibat kenaikan harga BBM yang dipicu menguatnya harga minyak dunia ke level USD150 per barel. Perekonomian yang relatif stabil dan suksesnya pemilu membuat IHSG mengalami penguatan tertinggi di antara bursa global.

Pergerakan IHSG hingga akhir tahun pastinya ditentukan baik faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau dalam negeri dapat diperkirakan relatif stabil hingga akhir tahun meskipun tingkat inflasi sudah berbalik arah dari posisi terendahnya 2,71 persen (year on year/yoy) pada Juli menjadi 2.83 persen pada September. Merambat naiknya inflasi tak lepas dari kenaikan harga barang ketika Lebaran dan tarif tol. Namun, inflasi dalam negeri relatif tidak mengkhawatirkan karena tingkat suku bunga riil masih positif yang disebabkan BI Rate masih 6,5 persen .

Kondisi eksternal justru masih menjadi faktor yang mengkhawatirkan. Secara sederhana, ini bisa dilihat dari kejadian tahun lalu ketika ekonomi tumbuh 6 persen. Kuatnya pertumbuhan domestik saat itu tak mampu meredam kejatuhan IHSG sebesar 50 persen akibat gejolak yang terjadi di bursa global. Ini terjadi karena masih besarnya porsi investor asing di bursa Indonesia. Bila tingkat inflasi di AS sudah mulai merambat naik akibat tingginya harga komoditas dan pengeluaran konsumsi, The Fed diperkirakan akan segera menaikkan tingkat suku bunganya yang selama ini dipertahankan di level 0,25 persen .

Bank Sentral Australia merupakan bank sentral pertama yang menaikkan suku bunganya sebesar 0,25 persen menjadi 3.25 persen akibat kenaikan inflasi dan kekhawatiran terjadinya carry trade. Kenaikan tingkat suku bunga tersebut pastinya akan berdampak negatif bagi pergerakan bursa.

Bila The Fed tetap mempertahankan suku bunganya hingga akhir tahun, IHSG diperkirakan bergerak mendatar (sideways) dengan rentang 2.400-2.600. Namun, bila The Fed menaikkan tingkat suku bunganya, sudah cukup bagus jika IHSG masih berada di atas level 2.000.


Pardomuan Sihombing

Baca selengkapnya...

Blogger Mulai Diminati Sebagai Profesi

Fenomena blog yang semula menjadi media personal kini mulai beralih ke ranah profesi di Indonesia dengan bermunculannya blogger yang menghasilkan pendapatan dari iklan serta honor dari tulisan yang dirilis di blog pribadinya.

Country Editorial Yahoo Indonesia, Budi Putra, disela kegiatan peluncuran komunitas blogger Bekasi, di Bekasi, mengatakan, blog yang manfaat awalnya untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi selanjutnya dilirik oleh pemasang iklan untuk mengenalkan produk mereka serta perusahaan media online melalui hasil karya tulisan-tulisan yang bernilai informasi tinggi.

"Pertumbuhan jejaring blog secara pesat menjadikan seorang blogger yang sudah dapat nama dilirik pemasang iklan. Mereka menyadari perlunya lebih mengenalkan "brand name" produk mereka ditengah komunitas yang terdidik (well educated)," ujarnya.

Pionir blog di Indonesia itu menyatakan, sudah 80-an blogger yang beralih menjadikan kesenangan berselancar dialam maya itu sebagai sumber panghasilan.

Bagi alumni Fakultas Sastra Universitas Andalas itu, bekerja sebagai penulis lepas di blog pribadinya merupakan sesuatu yang menyenangkan, dibaca banyak orang dan terakhir dihargai hasil karya oleh berbagai media online.

"Bayarannya dalam dollar dan nilai riil yang diperoleh penulis blogger maupun iklan di blogger pribadi sangat besar melebihi penghasilan profesi lainnya," ujar mantan wartawan Singgalang Sumbar dan Tempo itu.

Budi mengaku lebih menyenangi menulis blog dibidang teknologi, komunikasi, panduan dan internet itu, menegaskan perkembangan blog di Indonesia masih tertinggal dibanding negara Eropa begitu juga dengan orang yang mengandalkan blog sebagai sumber pendapatan.

"Trennya makin banyak orang yang melirik blog sebagai sumber penghasilan. Untuk sampai pada tahap menjadikan blog sebagai sumber penghasilan perlu waktu, kemauan dan wawasan luas," ujar Budi yang merasa nyaman bekerja didunia maya tersebut.

Agar blog banyak dikunjungi, ia memberikan tips agar memahami segmentasi pembaca dan memproduksi tulisan yang disenangi pembaca.

Ia menyatakan, komunitas blog di Indonesia terus berkembang pesat. Di pesta blogger, blog yang aktif di Indonesia mencapai satu juga lebih sementara yang terdaftar dilayanan blogspot lebih 10 juta.

Ketua Komunitas Blogger Bekasi, Aris Heru Utomo, menyatakan, untuk di Kota Bekasi blogger lebih keperan dalam menyuarakan pikiran, pengalaman dan pengetahuan.

Kedepan sejalan dengan makin banyaknya komunitas blogger, bisa saja muncul orang yang menekuni blogger sebagai sebuah profesi, laiknya profesi lain yang dikenal luas dimasyarakat.

"Kita bentuk wadahnya dulu. Nantinya tentu akan muncul juga blogger profesional yang dilirik pemasang iklan dan mendapat honor dari tulisan-tulisannya," ujar pegawai Deplu itu.


Antara

Baca selengkapnya...

Minggu, 18 Oktober 2009

ADB : Ekonomi Asia Masih Rapuh

Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai Asia mungkin bisa memimpin pemulihan ekonomi dunia, tetapi prospek pertumbuhannya masih rapuh akibat suramnya situasi ekonomi global.

"Pertanyaannya adalah apakah pemulihan akan dapat dipertahankan pada 2010 dan seterusnya. Outlook masih tetap belum pasti, terutama dari risiko pelemahan yang mungkin akan menunda pemulihan penuh di Asia," kata Kepala Ekonom ADB Jong-Wha Lee di Washington. ADB telah mengeluarkan proyeksi "sangat optimistis" bagi Asia untuk tingkat pertumbuhan pada 2010. Namun, pemulihan Asia bisa sirna oleh lemahnya pemulihan global, terutama di negara-negara industri. Kondisi ini bisa diperparah oleh masih prematurnya "exit strategy" yang dikeluarkan negara-negara Asia.

Lembaga peminjam yang bermarkas di Manila telah mengumumkan China dan India akan menjadi pemimpin dengan pertumbuhan. Asia diprediksi tumbuh rata-rata 6,4 pada 2010 dan 3,9 tahun ini. Ini angka yang besar jika dibandingkan rata-rata global, tapi masih di bawah China dan India. "Jadi, meskipun kita (Asia) sekarang memimpin pemulihan, tidak ada ruang untuk berpuas diri karena pemulihan global dalam jangka pendek berjalan sangat lemah," jelas Lee. Lee mengakui, Asia telah membuktikan diri sebagai wilayah yang lebih tahan menghadapi terpaan resesi global terburuk selama 100 tahun dibandingkan daerah lain.

Kekuatan utama Asia adalah memiliki industri berorientasi ekspor yang kuat. Sistem keuangan yang sehat, stimulus fiskal moneter yang efektif, dan kinerja yang kuat di China dan negara dengan perekonomian besar di Asia lainnya menjadi penahan Asia dari terpaan dampak negatif resesi global. Lee memaparkan, salah satu pemicu krisis global adalah defisit neraca Amerika Serikat (AS). Asia yang ekonominya bergantung pada ekspor secara signifikan berkontribusi atas ketidakseimbangan neraca global. Tahun ini, defisit neraca AS turun secara dramatis dan surplus China akan anjlok.

Namun, ini belum cukup untuk menciptakan keseimbangan neraca global. Dengan begitu, ekonomi Asia perlu pergeseran dari pertumbuhan yang dipicu ekspor ke permintaan regional dan domestik. Pergeseran juga akan menyeimbangkan neraca global. ADB juga menyarankan negara-negara di Asia meningkatkan konsumsi melalu pengembangan pasar dan sistem keuangan, memelihara kelas menengah, dan memperbaiki sistem jaminan sosial untuk mencegah peningkatan simpanan publik (tabungan).

Langkah Ini akan menjadi bantalan yang lebih baik bagi Asia dari guncangan eksternal dan mengurangi pembengkakan surplus neraca yang menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global. "Kami belum berpikir masalah ini akan bisa diselesaikan pada 2010. Risiko ekonomi global akan tetap ada," papar Lee. "Asia telah berhasil meningkatkan orientasi ekspor sehingga kerentanan terhadap guncangan eksternal juga menguat. Meskipun ada banyak diskusi seputar pemulihan, faktanya negara-negara Asia tidak terpisah dari negara-negara industri," ujar Lee.

"Jadi, Asia tidak bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan di wilayahnya dan kita masih bergantung pada permintaan eksternal," tambah dia. Ekonom ADB Michael Mussa menjelaskan, dia tidak mengharapkan sebagian besar dunia akan terperosok dalam resesi atau mengalami pertumbuhan yang sangat lamban, termasuk Amerika Serikat (AS). Data-data pertumbuhan Paman Sam di Kuartal III-2009 menunjukkan arah pertumbuhan setelah dua tahun dalam resesi. "Pemulihan dalam bentuk? V? masih terjadi bahkan sangat baik di negara berkembang di Asia," tutur Mussa, mantan Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF).

Dia juga meramalkan Asia akan mengalami pertumbuhan yang semakin kuat. Negara pendorong pertumbuhan terbesar di Asia, China, berhasil membukukan pertumbuhan sekitar delapan persen pada kuartal I-2009, padahal akhir 2008 ekonominya stagnan (tumbuh 0 persen). Mussa mencatat, pada saat bersamaan sekitar enam negara di Asia melaporkan pertumbuhan antara 10-20 persen.

"Saya khawatir, awal kebangkitan kembali Asia dari penurunan yang sangat tajam pada perdagangan dan produksi industri dunia tidak akan berlanjut. Saya ragu Asia bisa tumbuh 10-20 persen secara kuartalan selama tiga hingga empat tahun mendatang," tambah Mussa.

Lee memperingatkan ada risiko jika pemerintah di Asia mengakhiri stimulus ekonomi atau memperketat kebijakan moneter sebab kebijakan ini akan membuat prospek pemulihan menjadi suram.

"Setiap pengetatan moneter dan kebijakan fiskal yang tergesa-gesa akan langsung mengganggu pemulihan yang sedang berjalan, terutama dalam situasi pemulihan ekonomi global yang saat ini berjalan lemah," ungkap Lee.

"Waktu yang tepat mengakhiri stimulus ekonomi bukan hanya sangat penting bagi negara industri, tapi juga bagi negara-negara di Asia." pungkasnya.


Ahmad Senoadi

Baca selengkapnya...

Ditjen Pajak Terapkan Total Benchmarking

Direktorat Jenderal Pajak akan menerapkan total benchmarking untuk mengidentifikasi wajib pajak dan pemenuhan kewajibannya sebagai akibat dari terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.

"Ditjen pajak kan SDM-nya terbatas, jadi kami akan gunakan Total Benchmarking untuk perusahaan di berbagai sektor," ujar Penanggungjawab teknis sub tim Benchmarking Direktorat Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak, Singgih, saat diskusi pajak di Citarik, Sukabumi, Sabtu (17/10/2009)

Total Benchmarking ini dibuat untuk menyusun prioritas wajib pajak di sektor mana yang harus diawasi secara ketat. Pasalnya jumlah SDM dalam satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) rata-rata hanya berjumlah 80 orang, sedangkan wajib pajak yang harus ditangani dalam satu KPP bisa mencapai 20 ribu wajib pajak.

Adapun total benchmarking yang aplikasikan oleh Ditjen Pajak ini adalah membandingkan rasio-rasio yang terkait dengan tingkat laba perusahaan dan berbagai input dalam kegiatan usaha, di antaranya biaya usaha, aktivitas luar usaha, objek pemungutan dan pemotongan pajak penghasilan (PPh), dan pajak masukan.

Dari hasil benchmark tersebut akan diperiksa ulang dari surat pemberitahuan tahunan (SPT serta data lain yang disampaikan wajib pajak. Jika dari hasil verifikasi tersebut terdapat ketidaksinkronan data maka Ditjen Pajak akan menindaklanjutinya dengan himbauan, konseling, maupun pemeriksaan.

Untuk itu, Ditjen Pajak tengah merilis benchmarking untuk 20 sektor usaha meskipun demikian jumlah tersebut masih sangat kecil dibanding 1.200 sektor usaha yang sudah ada.

"Dari 20 sektor ini akan dilihat efektifitasnya dulu, kalau hasilnya bagus akan kita lanjutkan untuk sektor-sektor lain. Tapi kalau ada masukan, nanti akan kita perbaiki dulu," pungkasnya.


Andina Meryani - Okezone

Baca selengkapnya...

Jumat, 16 Oktober 2009

My Bag & My Mind


My Bag :
Setiap hari, sebagian besar dari kita membawa tas kerja dalam perjalanan pergi dan pulang kantor. Untuk kaum wanita, tas merupakan salah satu atribut penampilan yang penting. Waktu libur, cobalah kita bongkar semua isi tas kita. Ternyata sepertiga atau separuh dari isi tas itu adalah barang yang sudah tidak kita perlukan: struk ATM yang sudah buram, bungkus tissue, agenda atau buku yang jarang dibaca, sekumpulan uang logam, ballpoint yang sudah macet, kumpulan tagihan kartu kredit bulan-bulan lalu dsb. dsb.. Meskipun mungkin ringan, tetapi barang-barang yang tidak diperlukan itu terus menambah berat tas kita ... sehingga kita harus membuang barang-barang tidak berguna yang membebani tas kita ....

My Mind :
Mirip dengan my bag di atas, pikiran kita (tanpa kita sadari) selama ini sering kita bebani dengan hal-hal yang tidak perlu juga : penyesalan masa lalu, rasa kecewa, kejengkelan dan iri kepada rekan kerja lain, sikap egois dan kurang kooperatif, perasaan tidak puas atas kondisi yang terjadi, snobisme, obsesi-obsesi yang kurang realistis, konflik keluarga dsb. dsb.. Pikiran-pikiran yang tidak perlu itu akan terus membebani perjalanan hidup kita, sehingga dampaknya, wajah akan kelihatan kurang bersinar, suntuk/ jutek, punggung terasa berat (karena pikiran berkorelasi dengan punggung), stress, hidup kurang nyaman dan yang paling parah adalah kita akan selalu membenci hal-hal yang tidak sesuai dengan kemauan kita, dsb..

Yang harus kita lakukan adalah sama dengan apa yang kita lakukan dengan my bag di atas, buanglah segala beban pikiran yang tidak ada manfaatnya itu.

Percayalah, hidup Anda di hari berikutnya terasa jauuuuuhhhh lebih nyaman ....

Makanan akan terasa lebih enak ....

Kita akan lebih jarang sakit ...

Bekerja menjadi lebih nyaman meskipun kita menghadapi rutinitas yang itu itu saja dan juga kita menghadapi orang-orang yang kadang membuat kita menjadi tidak betah untuk terus bekerja.

Ciptakan "POSITIVE THINKING" di setiap pagi ketika kita bangun tidur, karena pikiran itu erat sekali kaitannya dengan fisik kita. Biarkan positive thinking itu bekerja di dalam diri kita hingga akhirnya, keindahan hari itu akan ditentukan oleh kita dan cara pandang kita dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah .....

Baca selengkapnya...

Kamis, 15 Oktober 2009

Bahagia Dalam Keheningan

Seorang klien datang ke saya untuk minta tolong. Masalah klien ini yaitu dia merasa hidupnya saat ini hampa. Padahal ia bukan orang sembarangan. Telah banyak yang ia capai dalam hidupnya. Karir dan bisnisnya cemerlang. Keluarganya juga sangat ok. Terus, apa yang salah dengan klien ini?

Setelah berdikusi beberapa saat saya menemukan apa yang menjadi akar masalahnya. Ternyata ia jarang memberikan waktu untuk dirinya sendiri. Pikirannya terlalu aktif. Keinginannya banyak dan ia ingin mencapainya sekaligus sehingga ia merasa ada tekanan yang sangat tinggi.

Apa yang saya sarankan untuk ia lakukan? Mudah. Saya hanya minta klien ini melakukan meditasi setiap pagi sekitar 30 menit.

Waktu mendengar saran ini reaksinya adalah, “Lho, kok meditasi? Saya justru merasa kalau waktu saya ini sangat kurang. Saya berharap kalau bisa satu hari bukan 24 jam tapi 30 jam”.

Pembaca, mengapa saya menyarankan klien ini melakukan meditasi?

Alasannya begini. Saat kita (sangat) sibuk maka pikiran kita sangat aktif. Aktifnya pikiran tentu akan sangat menguras energi (psikis) kita. Pikiran yang aktif ini membuat tungku mental kita panas. Belum lagi emosi atau mood yang kurang kondusif akibat tekanan pekerjaan. Semua ini membuat diri kita lemah.

Jika diibaratkan gelas yang berisi air dan ada partikel atau pasir di dalamnya maka saat pikiran aktif yang kita lakukan adalah kita mengaduk-aduk isi gelas. Apa yang terjadi? Isi gelas akan menjadi keruh karena pasir akan naik .

Saat kita bermeditasi maka sebenarnya yang kita lakukan adalah mendiamkan isi gelas (baca: pikiran) dan memberikan waktu pasir untuk turun dan mengendap. Setelah itu air akan menjadi bening dan jernih. Saat itu pikiran kita menjadi segar dan kuat.

“Lho, bukankah untuk membuat pikiran kuat kita perlu sering-sering menggunakannya?”

Inilah pemahaman yang kurang tepat yang diyakini kebanyakan orang. Untuk membuat pikiran kuat maka kita perlu melatihnya. Melatih pikiran tidak sama dengan melatih otot tubuh. Ajahn Chah, guru meditasi dan spiritual yang sangat luar biasa, pernah berkata, “Menguatkan pikiran tidak dapat dilakukan dengan menggerakkannya seperti menguatkan tubuh, tetapi dengan membuatnya diam, beristirahat, tenang dan hening.”

Mengapa kita perlu hening?

Ada sangat banyak manfaat yang bisa kita dapatkan. Saat hening sebenarnya kita mengistirahatkan pikiran dan melakukan charging aki psikis kita. Saat aki psikis kita terisi penuh, fully charged, maka menjadi tenang, dan pengendalian diri kita meningkat.

Saat aki psikis “penuh” maka kita tidak akan mudah goyah atau terprovokasi dengan berbagai kejadian yang kita alami. Ibarat sebuah gentong yang terisi penuh oleh air maka tidak akan mudah untuk bisa menggoyang gentong ini. Namun bila gentongnya kosong siapa saja akan sangat mudah menggoyang dan kalau perlu menggulingkan gentong ini.

Anda mungkin bertanya, “Pak, maksudnya “penuh” itu seperti apa?”

Nah, ini yang saya nggak bisa jelaskan karena anda perlu mengalaminya sendiri. Saat anda melakukan meditasi maka anda pasti akan bisa merasakan apa yang saya maksudkan. Saat kita “penuh” maka kita akan merasa puas dan nyaman.

Saat pikiran hening kita bisa melakukan sangat banyak hal. Stillness speaks. Ibu Teresa menggambarkan keheningan dan hubungannya dengan spiritualitas dengan pernyataan,”Tuhan adalah sahabat keheningan. Lihat bagaimana alam – tanaman, rumput tumbuh dalam keheningan; lihat bintang-bintang, bulan, dan matahari, bagaimana mereka bergerak dlaam keheningan. Kita butuh keheningan untuk menyentuh jiwa”.

Meditasi tidak hanya memberikan efek positif untuk diri kita namun juga untuk orang-orang di sekitar kita. Saat kita tenang, hening, dan damai maka kita akan menyebarkan vibrasi energi positif yang luar biasa. Dan sesuai dengan hukum LOA, likes attract likes, saat vibrasi energi kita positif maka kita akan menarik hal-hal, kejadian, situasi, orang, keadaan, sumber daya, atau apapun yang serupa dengan vibrasi kita.

Efek positif lainnya adalah bila kita sering bermeditasi dan berada di gelombang theta dan khususnya delta maka power kita akan meningkat luar biasa. Saya mendapat informasi ini dari Tom Silver saat saya belajar langsung dengannya. Saya bisa merasakan kharisma dan power yang ia pancarkan ke sekelilingnya. Saat saya bertanya, “Tom, how can you be so powerful?” Dengan tersenyum ia berkata, “The secret is in your delta. The higher amplitude of your delta, the more power you have.”

Wow… ini baru informasi berharga. Dan hal ini benar adanya. Saya sempat bertanya pada seorang kawan, yang kebetulan juga seorang pembicara publik dari Jakarta, “Pak, apa yang membedakan presentasi anda dengan rekan pembicara lain? Saya melihat materi anda sebenarnya bisa dibawakan oleh orang lain. Namun herannya efek yang anda ciptakan sangat berbeda dan lebih powerful, membekas di hati, dan sungguh luar biasa. Apa rahasianya?”.

Rekan ini dengan tersenyum dan berbisik, “Sstt… saya selalu melakukan “charging.” “Maksudnya?” kejar saya lagi. “Saya mendapat power yang luar biasa saat diam dalam hening. Ini saya lakukan setiap pagi” jawabnya.

Lalu, bagaimana kita melakukan meditasi?

Ada banyak cara melakukan meditasi. Meditasi adalah kondisi kesadaran, bukan teknik. Apapun teknik yang digunakan tidak penting. Yang penting adalah kita bisa masuk ke kondisi meditatif. Inilah yang saya pelajari dari Anna Wise.

Ada 40 objek yang bisa digunakan untuk meditasi. Dalam kesempatan ini saya menyarankan anda untuk menggunakan objek pikiran anda sendiri yaitu dalam bentuk imajinasi.

Berikut cara anda melakukan meditasi:
• Sediakan waktu untuk hening selama sekitar 30 menit.
• Pastikan anda tidak terganggu selama meditasi. Matikan HP atau telpon. Bermeditasilah di ruang yang tenang dan nyaman.
• Ambil posisi duduk yang nyaman. Tidak harus dalam posisi bersila. Lebih baik jika anda duduk santai di kursi, kaki menapak lantai, dan punggung anda bersandar.
• Putar musik lembut (jika ini bisa membuat anda lebih rileks).
• Tutup mata dan ciptakan suasana atau pemandangan alam yang sangat anda sukai. Tempat yang pernah anda kunjungi atau yang ingin anda kunjungi. Beradalah di tempat ini seorang diri dan rasakan perasaan nyaman, tenang, damai, dan bahagia. Gunakan semua indera anda untuk mengalaminya.
• Nikmati suasana ini selama yang anda inginkan.
• Jika sudah dirasa cukup, keluarlah dari kondisi meditasi dengan perasaan nyaman, damai, dan bahagia.

Kembali pada klien saya. Setelah melakukan saran saya dua hari kemudian ia mengirim sms yang berbunyi, “Selamat pagi Pak Adi. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa metode meditasi sederhana yang bapak ajarkan benar-benar dahsyat. It works. I mean it really works. So simple, so easy, and so effective. Sejak melakukan hal ini segala sesuatu di sekeliling saya tampak berubah begitu ramah, menyenangkan, dan enak tenan. Salam hangat…..”

So pembaca, bermeditasilah setiap pagi, minimal 30 menit. Masuklah ke dalam diri dan alami hal luar biasa yang tidak akan pernah bisa anda dapatkan di luar diri.


Adi W. Gunawan

Baca selengkapnya...