Senin, 30 November 2009

Clean your computer

I have a dirty secret. I've never cleaned my computer. Sure, I've dusted my monitor, but I haven't taken off the cover or tried to reach the crumbs lurking inside my keyboard.

"Your computer could fry if you don't keep it clean," says Jonathon Millman, chief technology officer for Hooplah Interactive.
Dust clogs the vents behind your computer, which causes your CPU to heat up—and heat is the biggest cause of component failure in computers. Regular cleaning could save you costly maintenance fees down the road.
Keep your computer in tip-top shape by following Millman's guide to a spotless computer system.

Preparation
You'll need:
• screwdriver
• can of compressed air (available from computer dealers or office-supply stores)
• cotton swabs (do not use a cotton ball)
• rubbing alcohol
• paper towels or anti-static cloths
• water
Always turn your computer off before you begin and unplug all the cords.
Step 1: Inside the case
Using a screwdriver, remove the side of the case that's opposite your motherboard. Touch as little as possible inside the computer, keeping fingers away from cards and cords.
Blow air around all of the components and along the bottom of the case, keeping the nozzle four inches away from the machine. Blow air into the power supply box and into the fan (from the back of the case). Lastly, blow air into the floppy disk and CD drives. Wipe the inside of the cover with a lightly moistened cloth before replacing it.
Millman recommends doing this every three months if your case sits on the floor, if you have pets that shed, or if you smoke. Otherwise, every six to eight months is fine.
Step 2: Outside the case
Run a cotton swab dipped in rubbing alcohol around all of the openings on the back of your case. Give them one swipe with the damp end of the swab and one swipe with the dry end. Do this as often as you clean the inside of your computer.
Step 3: Keyboard
Turn the keyboard upside down and gently shake it. Most of the crumbs and dust will fall out. Take a can of compressed air and blow into and around the keys. Next, take a cotton swab and dip it in rubbing alcohol. It should be damp, but not wet. Run the cotton swab around the outside of the keys. Rub the tops of the keys. If you have a laptop, follow the same procedure but take extra care with your machine. Do this monthly.

Spills — If you have kids, you're worried about spills. If it happens, disconnect the keyboard immediately and flip it over. Blot the top with a paper towel, blow compressed air between the keys and leave it to air dry overnight. For laptops, liquid can easily penetrate the hard drive so turn the computer over immediately and leave it in that position until it dries.
Step 4: Mouse
Rub the top and bottom of your mouse with a paper towel dipped in rubbing alcohol. Open the back and remove the ball. Wash the ball with water and let it air dry. To clean inside the mouse, dip a cotton swab in rubbing alcohol and rub all of the components. Scrape hard-to-remove grime with your fingernail. Finally, blow air into the opening. Replace the ball and the cover. Do this monthly.
Step 5: Monitor
Moisten a paper towel or a soft, lint-free cloth with water. (You can also buy monitor cleaning products at computer-supply stores.) Don't spray liquid directly onto the screen—spray the cloth instead. Wipe the screen gently to remove dust and fingerprints. Never touch the back of the monitor.
For laptop screens, Millman suggests buying a special cleaning solution available at computer stores. Do this weekly.
Finally, make sure that everything is dry before you plug your computer back in.


by Alyson Munroe and adapted from an original piece from Microsoft Home Magazine.

Baca selengkapnya...

4 Kesalahan Pengguna Facebook

Jika ingin tahu 4 hal menyebalkan yang dilakukan pengguna Facebook, intip survei ini!

Melalui facebook kita bisa mendapatkan banyak hal, tidak hanya yang menyenangkan tetapi juga menyebalkan. Termasuk, bisa melihat bagaimana menyebalkannya sikap pria. Jika Anda ingin tahu hal menyebalkan yang dilakukan pria di Facebook, tengoklah survei yang dilakukan AskMen.com.

1. Tidak mencantumkan status hubungan
Seni dari Facebook adalah bisa mengetahui status seseorang apakah masih lajang atau tidak. Jika tidak ada info tersebut, maka bagi Anda yang sedang mengincar pria tersebut akan sedikit bingung dan penasaran. Belum lagi jika, Anda yang memiliki pasangan tetapi dia tidak mencantumkan statusnya. Pasti hal itu bisa mengundang tanda tanya besar dan rasa curiga yang bisa berujung pada masalah.

2. Memblok foto-fotonya
Sebagian orang memblok galeri fotonya di Facebook dengan alasan privasi dan keamanan. Foto-foto tersebut biasanya hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja. Nah, jika Anda sedang dekat dengan seorang dan tetap tidak bisa melihat galeri fotonya di Facebook, pasti akan merasa aneh. Hal itu mengesankan ada yang ingin ditutup-tutupinya dari Anda. Apalagi jika Anda sudah berpacaran dan ia tetap tidak ingin galeri fotonya terlihat. Pasti hal itu sangat menyebalkan

3. Mengirimkan pesan pribadi
Banyak pria sering mengirimkan pesan pribadi baik melalui wall atau message, meskipun ia sudah memiliki nomor ponsel wanita yang dikirimkan pesan tersebut. Padahal wanita cenderung berharap dihubungi secara langsung melalui ponsel dari pada pesan melalui Facebook.

4. Melepaskan 'tag' foto
Perasaan kesal pasti muncul jika foto dirinya bersama Anda di-'detag' (melepaskan 'tag' atau tidak ingin foto tersebut di akunnya). Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa ia tidak ingin seseorang tahu bahwa Anda pernah menghabiskan waktu bersamanya. Jika ditanyakan hal tersebut, jawaban aman pria biasanya, terjadi masalah teknis dengan Facebooknya.


Petti Lubis, Mutia Nugraheni - VIVAnews

Baca selengkapnya...

Menyelesaikan Kasus Bank Century Secara Elegan

Setelah kasus Bibit dan Chandra (pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif) sudah ada kejelasan karena tidak lagi dilanjutkan ke pengadilan, maka sekarang perhatian masyarakat akan lebih terfokus ke kasus Bank Century.

Apalagi setelah ada laporan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan adanya beberapa dugaan pelanggaran pada penyaluran dana talangan (bailout) sebesar Rp6,7 triliun.

Berdasarkan temuan BPK pengucuran dana sebesar Rp2,8 triliun dinilai tidak sah karena terjadi setelah Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak DPR. Di samping itu audit BPK juga menemukan beberapa tindakan Bank Indonesia yang patut diduga dinilai menyimpang.
Seperti ketidaktegasan sikapnya menghadapi Bank Century. Di samping itu BI dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) tidak mempunyai kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century yang menjadi dasar kebijakan penyelamatan. Semua didasarkan atas judgement semata. Berarti sudah banyak alasan untuk menggelindingkan kasus Bank Century baik melalui langkah politik maupun terutama hukum.
Penyelesaian politik lewat hak angket yang digalang DPR hampir dipastikan terwujud setelah Partai Demokrat (partai yang berkuasa) juga mendukung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mempersilakan pengusutan tuntas kasus tersebut agar segala sesuatunya menjadi jelas, walaupun kasus itu terkait langsung dengan dua orang kepercayaannya, yakni Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tampaknya SBY yakin tidak ada masalah yang perlu ditutup-tutupi. Sekaligus membantah rumor yang menyudutkan dirinya maupun Partai Demokrat.
Tampaknya penyelesaian politik yang akan didahulukan sebelum ada proses hukum yang lebih mengarah pada masalah pengambilan kebijaksanaan. Namun ibarat bola liar, arah penyelesaian kasus ini masih belum jelas. Langkah politik tentu bisa menimbulkan dinamika luar biasa.
Kini masyarakat menunggu dengan tidak sabar untuk segera mengetahui bagaimana duduk perkara yang sebenarnya. Apakah benar ada rekayasa keuangan dan juga aliran dana untuk kepentingan politik. Sejauh ini semua membantah, namun tentu tidak selesai hanya dengan bantahan. Target yang tidak kalah penting, kembalinya dana talangan sebesar Rp6,7 triliun karena itu diambil dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Secara nurani tentu disayangkan bahwa momentum 100 hari pemerintahan baru ini harus diwarnai oleh masalah-masalah yang sangat menyita energi dan perhatian. Praktis program 100 hari sudah terkurangi waktunya dan tinggal dua bulan lagi. Sementara fokus penyelesaian kasus Bank Century masih akan membuat sibuk dalam beberapa waktu mendatang.
Semua berharap agar penggunaan hak angket dan juga langkah penyelesaian kasus ini tidak memakan waktu terlampau lama dan diselesaikan secara transparan dan adil. Yang terpenting kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan.
Di tengah sorotan tajam atas tindakan pemerintah menyelematkan Bank Century, ada baiknya publik dengan kepala jernih juga melihat dengan jeli proses diambilnya keputusan itu. Dalam berbagai kesempatan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai Menkeu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I berulang kali menekankan bahwa proses pengambilan keputusan untuk menalangi bank bermasalah secara sistemik itu berdasarkan data, informasi, analisa makro dan mikro ekonomi serta didukung oleh proffesional judgement yang kuat.
Pada waktu itu terdapat 23 bank yang kadar ukurannya setara dengan Bank Century sehingga apabila Bank Century tidak diselamatkan segera sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, maka akan berpotensi menimbulkan efek domino ke-23 bank yang lain sebagai respon atas efek psikologis yang terjadi waktu itu.
Pengalaman program rekapitalisasi perbankan pascakrisis tahun 1997/1998 lalu menunjukkan bahwa pengambil keputusan itu dilakukan melalui kalkulasi yang matang. Terbukti kini bank-bank yang dulu diselamatkan melalui program rekapitalisasi sudah mampu menunjukkan perbaikan kinerja. Cerita akan menjadi sama sekali berbeda apabila pemerintah waktu itu tidak menyelamatkan ban-bank yang memiliki modal negatif (termasuk bank BUMN). Barangkali depresi yang meluas bisa terjadi waktu itu karena erosi kepercayaan yang meluas dan akut.
Jadi, terkait penyelamatan sebuah bank, intinya adalah kalau waktu itu Bank Century tidak diselamatkan, maka akan terjadi gangguan serius terhadap sistem perbankan nasional yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup perekonomian nasional. Maklum, situasi waktu itu tengah terjadi gejolak krisis keuangan global yang hebat menyusul krisis subprime mortgage di Amerika yang nyaris menamatkan riwayat sejumlah perusahaan keuangan skala besar yang memaksa pemerintah AS di bawah Presiden Barack Obama menyelamatkannya dengan dana bailout sekitar USD800 miliar.
Keputusan pemerintah AS untuk menyelamatkan sektor keuangan (juga ditambah penyelamatan sektor otomotif) dilakukan melalui analisa data dan informasi yang menghasilkan suatu proffesional judgement untuk keputusan final, yakni program penyelamatan.
Dalam kasus Bank Century, muncul pro dan kontra antara dampak apabila bank ini diselamatkan dan dibiarkan mati. Konon, saat Bank Century nyaris collaps, jumlah simpanan milik nasabah kecil (di bawah Rp 2 miliar) mencapai Rp 5,2 triliun. Artinya, jika bank dilikuidasi, jumlah itulah yang harus dibayar LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Jika itu dibayarkan, maka dana LPS akan hilang.
Pada akhirnya LPS memang harus menyuntikkan dana hingga Rp6,7 triliun. Namun, dana LPS tersebut tidak serta merta hilang karena dihitung sebagai penyertaan modal. Selain itu, dana sebesar Rp2,3 triliun di antaranya masih utuh dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Karena itu, biaya yang sebenarnya digunakan adalah Rp4,3 triliun. Perlu dicatat, inipun bukan bailout, tetapi Penyertaan Modal Sementara (PMS). Dananya pun bukan dari pemerintah (APBN), tetapi hasil pembayaran premi perbankan nasional.
Dari konstruksi penjelasan di atas, mudah-mudahan dapat menjawab duduk perkara dari mencuatnya kebijakan penyelamatan bank bermasalah secara sistemik. Parameter secara ekonomi bisnis yang diambil oleh para pengambil kebijakan waktu itu hendaknya bisa diselaraskan dengan parameter para hamba hukum dalam memotret kasus ini secara jernih. Tidak boleh ada kesenjangan pandangan karena akan menyulitkan pengambilan keputusan hukum secara adil.
Hal ini perlu dikemukakan mengingat kerap kali tindakan dan kebijakan yang diambil oleh para pelaku bisnis maupun regulator yang terkait dengan kegiatan perekonomian mendasarkan pada proffesional judgement yang mengacu kepada analisa data, informasi serta situasi yang terjadi saat ini. Yang penting ditekankan di sini adalah pengambilan keputusan atas dasar proffesional judgement tersebut tidak dilakukan secara perorangan atau individual, melainkan kolektif atau lokegial, serta diperkuat dengan dokumen yang otentik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam situasi krisis, genting dan mendesak, sebuah keputusan harus diambil dengan segala ongkosnya. Tentu dengan ongkos sosial, ekonomi dan politik yang paling minimal. Pakar manajemen terkenal, Warren Bennis, pernah mengatakan bahwa dalam situasi kritikal seorang pemimpin sejati harus mengambil keputusan dengan ketersediaan data dan informasi yang ada saat itu.
Menurutnya, lebih baik seorang pemimpin mengambil keputusan salah, namun di kemudian hari keputusan itu bisa diperbaiki, ketimbang seorang pemimpin tidak pernah atau tidak berani mengambil keputusan apapun karena justru hal ini akan berdampak lebih buruk pada perusahaan atau lembaganya.


Business News

Baca selengkapnya...

Minggu, 29 November 2009

Confucius & Yan Hui


Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?" Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi"

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"
Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?" Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."
Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tau duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia."

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya.

Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur.

Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya.

Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh". Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.

Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu." Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita: Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.

Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
>
>
> Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.
>
>
> Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)
>
>
> Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)
>
>
> Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")
>
>
> Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman)
>
>





Baca selengkapnya...

Kamis, 26 November 2009

Bersyukur, Kunci Kebahagiaan

Yakinkah Anda bila para orang tua yang hidup sehat pada usia lanjut dapat menjadi salah satu sumber pelajaran tentang kebahagian? Saya yakin sekali, terutama terhadap mereka, pasangan lanjut usia yang telah menjalani rumah tangga puluhan tahun.

Ibarat kamus, mereka adalah sekumpulan perbendaharaan kosa-kata kehidupan yang tak pernah habis. Saya senang berada dekat mereka, saya yakin Anda juga. Mari temukan hikmah dan banyak keajaiban dari pengalaman hidup mereka.

Saat menginjak usia kepala empat sekitar tiga tahun lalu, saya punya kebiasaan baru. Ada dua pertanyaan yang sering saya ajukan kepada para orang tua berusia di atas 70 tahun, tentunya yang sudah saya kenal baik.

Sungguh menarik, jawaban mereka ternyata sering sama. Pilihan kata-kata saja yang terkadang sedikit berbeda. Menakjubkan!

Pertanyaan pertama adalah; "Apakah Bapak atau Ibu bahagia saat ini?". Tidak jarang banyak di antara mereka terkejut dengan pertanyaan itu. Ada di antara mereka yang menyatakan baru pertama kalinya seseorang "berani" menanyakan hal itu. "Berani" dan "tidak sopan" boleh jadi beda tipis dalam soal ini.

Biasanya, saya segera memberikan tambahan penjelasan sembari minta maaf. Saya katakan ingin belajar hidup dari pengalaman orang yang dianugerahi hidup lanjut.Biasanya mereka mau menjawab pertanyaan itu.

Pada beberapa kesempatan, banyak di antara mereka terharu menjawabnya.. Bahkan, ada yang menjawab sambil berlinang air mata, Masya Allah.

Pertanyaan kedua adalah "Apa yang membuat Bapak atau Ibu bahagia?" Pertanyaan ini umumnya tidak memperoleh respon "sedramatis" pertanyaan pertama, namun jawaban kedua inilah yang menjadi esensi tulisan Jeda kali ini.

Husodo Darusalam Dirdjokusumo (74 tahun), ayahanda sahabat saya, Heru Dewanto, misalnya. Pak Husodo dikaruniai tiga putra yang semuanya sudah dewasa dan berkeluarga. Kini, beliau dikarunia dua cucu.

Semua anaknya berpendidikan tinggi, bahkan sahabat saya ini sempat memperoleh dua beasiswa di Leeds (UK) dan Wina (Austria). Kini, Heru juga sedang menyelesaikan program PhD di Stocholm (Swedia).

Sahabat saya ini sempat jadi eksekutif beberapa perusahaan nasional dan multinasional, dan hidup harmonis dengan istri dan putranya. Kedua adik Heru juga juga tidak jauh berbeda. Saya bersyukur dapat menjadi sahabat mereka sekeluarga.

Pak Husodo menyatakan ia merasa bahagia, dan mensyukuri semua karunia yang diperolehnya. Beliau merasakan nikmat melimpah dari Allah SWT, bahkan termasuk saat-saat menghadapi kesulitan sekalipun. Pak Husodo bersyukur diberikan usia lanjut agar dapat terus menambah tabungan amaliah untuk kehidupan selanjutnya.

Beliau menyatakan sumber ketenangan dan kebahagiaan hidupnya adalah menerima semua yang dihadapinya sebagai ketentuan terbaik dari Allah SWT, sembari terus melakukan ikhtiar sebaik-baiknya. Kesulitan dan kemudahan katanya datang silih berganti. Itulah ketentuan hidup semua orang, sunatullah.

Sebagai karyawan PJKA (sekarang PT KA), beliau menyatakan hidupnya tidaklah berlebihan, namun ia berusaha mengajarkan nilai-nilai kerja keras, ketekunan, syukur yang diiringi dengan tawakal kepada Allah SWT pada diri dan keluarganya pada saat sulit, terlebih lagi memperoleh kemudahan dalam hidup.

Nilai-nilai itu, menurutnya, telah membawanya pada ketenangan batin dalam menjalani hari-harinya sebagai pekerja dan kepala keluarga. Ia bersama istrinya (Suhermien, 69 tahun) begitu antusias membesarkan ketiga putra dengan penuh cinta. Pak Husodo semakin bahagia saat menyaksikan anak-anaknya bersuka cita menamatkan studinya, memperoleh pekerjaan, menikah dan dikaruniai keturunan.

Contoh kedua adalah Tengku Nathan Mahmud (75) tahun. Saya menganggap beliau sebagai salah satu mentor yang mengajarkan nilai-nilai integritas dan totalitas dalam memulai dan menyelesaikan pekerjaan. Kami ernah sama-sama mengelola dan mengajar di BINUS Business School. Berada di sekitar Pak Mahmud, kami turut terbawa semangatnya. Kata-katanya selalu menggetarkan.

Tahun lalu, Pak Mahmud merayakan pernikahan emas bersama Sri Siddharti (75 tahun), isterinya. Sebagai seorang PhD dan sempat menjadi CEO ARCO, Pak Mahmud selalu antusias menjalani hari-harinya baik sebagai kepala keluarga dan profesional. Kini, beliau dikaruniai tiga anak dan 10 cucu.

Saya mengagumi etos kerja, integritas dan sikapnya yang selalu rendah hati. Berbeda usia lebih dari 30 tahun tidak membuatnya berjarak dengan para koleganya yang jauh yunior. Kebiasaan mendengar efektifnya membuat kami para yunior semakin menghormatinya.

Dia tidak pernah lelah memotivasi para kolega yang dipimpinnya. Dia ladeni pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa kelas eksekutif yang sering melewati jatah jam mengajarnya. Dia baru berhenti, saat tidak ada pertanyaan lain dari para mahasiswanya. "Saya semakin bahagia, saat para mahasiswa antusias", katanya.

Menurutnya, dia melakukannya karena ingin berbagi ilmu dan pengalaman dengan anak didiknya. Berbagi ilmu dan pengalaman adalah caranya bersyukur, subhanallah. Saat ini, Pak Mahmud menjabat sebagai Komisaris Utama PT. PGN Persero (Tbk) dan masih menyempatkan mengajar paruh waktu sebagai panggilan hidupnya untuk terus berbagi.

Sekali lagi, terhadap pertanyaan yang sama Pak Mahmud juga menyatakan kebahagiaannya adalah saat menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur, merasa memperoleh limpahan nikmat yang tiada hentinya dalam menghadapi semua rangkaian ujian kehidupan.

Satu hal yang sama antara Pak Husodo dan Pak Mahmud, kebahagiaan keduanya dijalani bersama dengan istri yang dicintainya puluhan tahun. Mereka juga bersyukur karena ditemani pendamping hidup yang luar biasa.

"Selalu ada perempuan yang luar biasa di samping pria yang hebat", demikian kata seorang bijak belasan tahun lalu saat penulis menghadiri orasi Profesor AM Saefudin di Bogor. Saya tidak tahu, siapa yang pertama mengucapkan kalimat inspiratif itu.

Teman, saya yakin banyak para orang tua di sekitar kita. Tentu saja, terutama para orangtua yang telah susah payah membesarkan kita dengan kasih yang luar biasa. Sangat baik, salah satu doa yang sering kita panjatkan adalah agar mereka dikasihi Sang Pencipta, sebagaimana mereka mengasihi kita pada masa kanak-kanak.

Kasih mereka kepada anak-anaknya sepanjang masa. Belajar kehidupan dari mereka niscaya membuat kita akan semakin meyakini makna kata syukur terhadap apa pun keadaan yang kita tengah jalani hari ini dan esok. Semuanya adalah testimonial tak terbantahkan, sebab mereka telah mengalami, meski tak terungkap dengan kata-kata.

Banyak testimonial para orang tua yang menegaskan bahwa persoalan terbesar dalam kehidupan adalah mengelola keyakinan dan pikiran diri kita sendiri, ketimbang harus menyalahkan orang lain atau lingkungan.

Persoalan seberat dan sebesar apa pun akan kembali pada bagaimana kita menyikapinya. Bila hari ini kita mengeluh dan merasa tidak bahagia, haruskah kita menyalahkan lingkungan sebagai penyebab ketidakbahagiaan itu?

Teman, boleh jadi benar, masalah terbesar kita sebenarnya lebih banyak terjadi karena diri kita sendiri, karena kita kurang bersyukur? Padahal para orang tua telah mengajarkan hal itu dengan bijak meski terkadang kita lupa menimba pengalaman mereka. Wallahu'alam.


Ahmad Mukhlis Yusuf - Antara

Baca selengkapnya...

Rabu, 25 November 2009

How to Survive in an Unhappy Workplace

When you don't like your job, going to work every day can be a challenge. Your problem might be with a bad manager, that you constantly feel stretched to the breaking point, or that you are resentful about taking a pay cut. Or, the whole environment may just feel toxic. You might need to stay in your job because it provides health benefits, or maybe you're only staying while you look for another position. Whatever your reasons for being unhappy, you need to maintain your professionalism and prevent a bad attitude from sabotaging you.

What the Experts Say
Timothy Butler, Senior Fellow and Director of Career Development Programs at Harvard Business School and author of Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths, believes there's something elemental about the statement 'I'm unhappy at work.'" Butler, whose research focuses on personality structure and work satisfaction, says that to understand your unhappiness, you need to turn towards that feeling of unhappiness, experience it in a deep way, and not try to solve things too quickly. He suggests observing the feelings and not expecting anything. You may just find yourself at a frontier, considering what you're going to do next. "The existential nature of unhappiness is a wake-up call," Butler says. "There's some part of the self that is not being heard, that wants your attention, and that's the issue."

Similarly, Joe Mosca, an associate professor in the Leon Hess Business School at Monmouth University, who specializes in human resources management and organizational behavior, agrees that looking within is the first step. "That may be hard for some people to hear," he suggests, because while it's true that sometimes people just don't match well with their jobs, employees tend to rationalize their job dissatisfaction rather than consider that they may be part of the problem. But if you are part of the problem, you may be part of the solution, too.

Tammy Erickson, a workplace expert and author of Plugged In:The Generation Y Guide to Thriving at Work, advises that if you're unhappy, see if you can upgrade your contribution to the company, or find a way to be more creative about your job. She once performed very dull work in a book bindery but avoided becoming negative about the job by finding a way to make it less boring. Erickson was "interested in the process" and tried completing the tasks in a different order, which made the work quicker, easier, and less monotonous. "No work is uninteresting if you can think how to do it differently," she says.

That's not to say unhappy workers don't have valid complaints. One thing you don't want to do, however, is let your feelings boil over at work.

Signs That You Need to Take Action
Perhaps you've heard of someone who was so unhappy he quit on the spot or blew up at a boss. Losing control at work helps no one and may have repercussions in both your current job and in the future — you never know when you'll work with one of your current colleagues again.

Indications that you need to address your emotions may be physical or behavioral, explains Catherine McCarthy, a clinical psychologist and COO of The Energy Project, an organizational consulting firm. The signs include feeling distracted, sluggish, angry or irritable, not sleeping well or sleeping excessively, relying on alcohol or food to comfort yourself, and withdrawing from friends and activities. All may indicate underlying depression or anxiety, which you shouldn't ignore.

If you feel you have nowhere to turn, are about to burst, or are depressed, one option is to seek out your company's Employee Assistance Program (EAP) if it has one, adds McCarthy. Some EAPs will help you find a counselor, and all are bound by healthcare and workplace laws to keep your request confidential.

There are also things you can try to change in your approach to your job. Consider these solutions for surviving and even thriving in a job that's less than optimal:

1. Face the reality head-on. China Gorman, chief global member engagement officer of the Society for Human Resource Management (SHRM) reminds workers that during a recession or slow recovery, people at all levels experience the pain. Such an economic climate makes it more difficult to leave a job, but it doesn't mean you should feel stuck. Erickson advises that you "Accept that this job is not where you want to be, even if you can't make a change today. But begin taking steps to change things." McCarthy seconds this advice. "Practice radical acceptance," she says. "Tell yourself, 'This is where I am, this is where I'm going to be for a certain amount of time.' You have more control over how you think than you realize." Understand what you're feeling, and that if you show up to work irritated, it affects your performance.

2. Develop a plan. Be proactive. Brainstorm with trusted friends and family members about your ideas. If there's something you'd like to change, decide whether your boss is approachable and if so, the best tactics to use. If you have suggestions, discuss how they will improve your performance as well as others'. The Human Resources department may also be able to help in some way, suggests Gorman, from helping you find a job within the company you're better suited for, to assisting with work/life balance.

You could also try learning a new skill. At the very least, it may help you prepare for another job. It can also lift your spirits and lead to new possibilities at your current job. If your problem is with your boss, Gorman offers advice from personal experience. She once had a boss who was smart and a strategic thinker, but terribly lacking in people skills. Gorman decided to be the boss she wished she'd had. "I made a list of what not to say, for example, and developed skills I still use today," she says.

Finally, consider looking outside your job for fulfillment. Having an outside interest or two gives you another outlet and an activity to look forward to.

3. Find (or Accentuate) the positive. Make a list of the good points about your job, advises McCarthy. Gorman calls this a benefit log. You may be thankful to have healthcare and other benefits. You may like your coworkers, or the fact that you have a short commute. Maybe there's a great gym on-site, or you enjoy the opportunity for travel or the mentoring you do. Listing what you do like about your job will help shift your perception and keep you from feeling so trapped. If you don't take responsibility, "it will hurt your performance, erode your satisfaction further, and make your time at the job worse," she says.

Principles to Remember

Do:
•Differentiate between what you can change and what you can't.
•Take responsibility for making a change.
•Focus on making the best of a bad situation.
Don't:
•Assume nothing will ever change.
•Allow negative thoughts to rule you.
•Go it alone.
Case Study #1: Finding Satisfaction in Some Part of Your Job
Elizabeth Roman (not her real name) had been head of marketing at a professional services firm in New York for four years when she fell out of favor with her boss. He had always given her good performance reviews, so she was stunned the day he let her know that he had little respect for her work.

After that conversation, Roman "hated going to work every day." She resolved to find a new job, but in the meantime, she wanted to find some ways to make her job bearable. "First, I pushed myself to perform at the highest level possible after that conversation so he'd have no further ammunition against me," she said. Along with that, she came up with a creative project for attracting clients, suggested it to her boss, and threw herself into organizing it with her staff. Roman also contacted a mentor at another firm who served as a sounding board and lifted her spirits. She never betrayed her boss and never let her feelings affect her relationship with her employees. When she finally found another position and resigned, she mustered the grace to thank her boss for all he had taught her.

Case Study #2: Finding Satisfaction Outside of Work
Allen Smith (not his real name) is a technologist at consulting giant Bain who became frustrated with what he saw as a lack of a career path. "I also felt like my manager didn't understand what I needed day to day to do my job," he says.

But he liked the people he worked with, so he did some soul-searching, asking himself whether he was unhappy because of someone else or because of his own attitude. He decided it was the latter. Smith had been toying with the idea of starting a business, and he thought if he could do it on the side, it would affect his outlook. He was right.

He was given permission to work three days a week, which allowed him to start the part-time property management business he envisioned. "With a reduced work week, regular chats with my manager, and a focus outside of work, I've become much happier about my time here," he says. In turn, working fewer hours helped reduce his department's budget.


by Pat Olsen

Baca selengkapnya...

Kamis, 19 November 2009

How Do You Lead When All The News Is Bad?

If you are anybody's boss, you've probably given out a lot of bad news lately. Layoffs are coming. Anyone who doesn't lose their job will have a much heavier workload. The fourth-quarter numbers are looking bad. Did someone say holiday party? Since there's no budget this year, forget the annual blowout at that upscale restaurant. Eggnog will be served in the conference room at 4 p.m. on Dec. 23.

How in the world are you supposed to inspire your workers when you're carrying around the burden of ever-worsening balance sheets and the guilt of having to let longtime loyal employees go? Is there a good way to deliver bad news?
According to staffing, career and crisis communications pros, openness, honesty and empathy are absolutely essential and go a long way.
Beth Banks Cohn, who runs a leadership and executive coaching firm in Manalapan, N.J., says you must be decisive about your company's business plan and communicate that plan clearly to the staff. That's especially important when the plan involves major staff and workload shifts.
At a pharmaceutical business where Cohn consulted, management abruptly split the research and development department into two pieces, hoping that would help development of a new drug to keep up with a competitor. But no one sat down with the staff and spelled out the reason for the split. Rather, management barreled ahead without communicating at all, and the two departments were soon duplicating each other's work. "It wound up we had to undo the split," Cohn recalls. "You always have to communicate your plan. Even if what you say is, 'Part of this will be pretty, but part of it is going to be ugly.'"
Another reason for clear communication: "In the absence of information, people make stuff up," Cohn observes. "Managers always tend not to want to give specifics, especially about downsizing. But information is an important part of getting people to understand and accept what's happened. As a leader, you have to err on the side of giving more, rather than less, information."
How can you as a boss keep your staff focused in the midst of great turbulence--say, during a week when employees are being laid off? Start with empathy, Cohn says: "A manager can say, 'I know this is very distracting, but we have a job to do. I'm here to support you and to help you be as undistracted as possible. Whatever you need from me, I want to be able to provide it for you.'"
What not to do: tell employees they should feel good when they have every reason to feel rotten. Cohn recalls one company where she worked that laid off 30% of its staff. A manager got up and said to the survivors, "It could be worse. It could have been 50%." Cohn recalls, "Every single person in that room wanted to kill her. During a trying time you have to let people know you're still human."
Richard Levick, of Levick Strategic Communications, in Washington, says that after layoffs leaders need to reassure their workers that the remaining jobs are safe. "Let people know that this is as far as the cuts are going to go this quarter, or this year."
He says it's also important, during hard times, for bosses themselves to show sacrifice. Whether it's giving up a bonus, taking a pay cut, or relinquishing the privilege of first-class travel, sharing in your employees' pain helps earn their trust. "It's critically important, if the messenger is to be credible," he says.
Finally, Levick reminds managers how important it is to share information when the news starts improving. "Once your market starts coming back, you've got to flog your internal communications with the good news," he says.


Susan Adams, Forbes.com

Baca selengkapnya...

Rabu, 18 November 2009

Belingsatan karena "Kiamat" 2012

Tuhan sudah mati, kata filsuf Friedrich Nietzsche yang disebut-sebut punya palu godam bagi kebekuan kepala manusia beriman sejaman. "Kiamat 2012", kata Hollywood, yang nota bene terlanjur kondang diproklamasikan sebagai pabrik imaji manusia kontemporer.

Keduanya sama-sama belingsatan dengan tonil Homo Sapiens berjudul "jagat gede" dan "jagat cilik".

Lewat tokoh Zarathustra, Nietzsche membuat sidang pembacanya lari terbirit-birit alias ngacir. "Sesungguhnya Tuhan tidak pernah ada karena tidak mampu ada. Tuhan ditemukan oleh jiwa yang lemah, jiwa yang sakit, yang diracuni perasaan-perasaan luhur melawan orang-orang yang benar-benar kuat, sehat dan berkuasa. Tuhan adalah hasil kreasi manusia sebagaimana dewa-dewa yang lain pula," katanya. Waspadalah, waspadalah dan waspadalah.

Cuap-cuap sang filsuf seakan digenapi oleh heboh yang dikreasi oleh kalangan jenial Hollywood dengan diluncurkannya film 2012 ke mata publik. Sutradara film fiksi-sains Roland Emmerich mengangkat isu "hot" dunia yang nota bene sedang meronta dari pagutan krisis global. Topik yang diangkat soal Kiamat atau Akhir Jaman.

Jelas, Emmerich menangkap dentuman besar (Big Bang) keprihatinan manusia yang terus bertanya dengan masa depannya di planet bumi. Dengan mengusung kata spektakuler, sang sutradara memanjakan mimpi-mimpi manusia yang mempertanyakan hendak ke mana jagat raya kelak. Lebih mendekati jelas, efek visual manusia terus bergetar karena dua film telah beredar, Independence Day dan The Day After Tomorrow.

Dengan mengusung berakhirnya siklus sistem penanggalan kuno bangsa Maya pada 21 Desember 2012, sang sutradara menjejalkan tema demi tema dari kematian, kerusakan dan kekacauan alam semesta. Mata publik diledakkan oleh aneka melodrama kehidupan yang serba sementara. Tiada yang abadi bagi perjalanan waktu planet bumi ini.

Lakon Hollywood sinonim dengan mitos kepahlawanan. Emmerich yang memerankan John Cusack sebagai pria dari keluarga biasa Jackson Curtis, bersama para pemain berbakat lainnya seperti Amanda Peet, Chiwetel Ejiofor, Oliver Platt, Thandie Newton, Jimi Mistry, Thomas McCarthy, Danny Glover dan si mata liar Woody Harrelson, tampil sebagai pahlawan. Mereka hendak memutar terus jam waktu alam semesta.

Mereka hendak memerankan figur revolusioner abad ini dengan menulis diktat penyelamatan bagi spesies-spesies semesta alam dari kehancuran. Mereka hendak terus melihat fajar menyingsing di bumi ini. Pada 2012, ilmuwan memprediksi bahwa bakal terjadi badai matahari yang belum pernah ada sebelumnya.

Skenario buram semesta alam itu terinspirasi oleh kalender bangsa Maya. Diramalkan bahwa pada periode 1992-2012, bumi akan dimurnikan dan peradaban manusia akan "disempurnakan". Warga masyarakat Maya berdiam di wilayah selatan Mexico sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras.

Orang Maya memercayai bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total. Orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi. Dari masa 20 tahun antara tahun 1992-2012, bumi telah memasuki tahap terakhir dari fase Siklus Besar.

Selama periode ini, bumi akan mencapai pemurnian total. Setelah itu, bumi akan meninggalkan jangkauan sinar galaksi dan memasuki tahap baru yakni penyelarasan galaksi. Pada 21 Desember 2012, peradaban umat manusia menghadapi kata akhir, dalam perhitungan kalender Maya. Sesudah itu, umat manusia memasuki peradaban baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang.

Di bawah panji ambisi setiap manusia untuk menafsir kiamat 2012, kematian kosmos merujuk kepada data ilmiah tak terelakkan bahwa bumi nyatanya bisa "berakhir", karena ditabrak oleh asteroid raksasa. Tabrakan itu terjadi sekitar 65 juta tahun lalu yang telah membunuh hampir semua kehidupan di bumi, termasuk dinosaurus.

Di bawah tajuk pemikiran mendasar khas Yunani kuno berlabel "kosmos tanpa akhir", filsuf Parmenides menyatakan dunia tidak akan berakhir, tetapi bersifat kekal-abadi.

Filsuf Plato juga mengatakan kosmos berlangsung dengan tidak terbatas, tetapi pada waktu-waktu tertentu (setiap 1000 tahun?) terjadi pemulihan menuju keadaan asali, dengan terjadinya bencana banjir dan kebakaran-kebakaran besar.

Dan Aristoteles mengungkapkan bahwa adanya kosmos adalah tanpa akhir. Permukaan bumi akan dihancurkan dengan terjadinya banjir besar dan kekeringan. Gambaran serba mencekam dari sebuah kata belingsatan.

Seakan hendak tampil sebagai sosok yang belingsatan karena "kiamat" 2012, tokoh relativitas Einstein menunjuk bahwa Kosmos dengan huruf besar identik dengan keberadaan Tuhan yang berciri serba tidak terbatas dan tanpa batas waktu. Pemahaman ini bersesuaian dengan kosmos yang berbentuk bola (sferis) dalam teori relativitas.

Nah, bagaimana spektrum belingsatan karena Kiamat 2012 dapat dibaca bagi hidup manusia kontemporer yang kerapkali terengah-engah oleh deraan rasa ingin tahu?

Nietzsche punya jawaban. Katanya, "Manusia telah merasa lelah karena terus menari dengan loncat kaki tiada henti menuju akhir jaman. Kelelahan ini akibat manusia tidak memahami betul makna keinginan. Percayalah, bahwa tubuhlah yang menentukan seluruh langkah dan bukan jari telunjuk yang menujuk ke atas." Inilah drama dari manusia yang hendak selalu berkata "ya" kepada kehidupan.

Dan manusia mengarahkan kompas hidupnya kepada pulang menuju keabadian (eterno ritorno), yaitu "semua yang ada secara abadi akan kembali, karena kita sudah menyatu dengan semua". Meminjam istilah filsuf Jean Paul Sartre, inilah drama dari rasa gelisah dan rasa khawatir manusia yang membuat dirinya takut ("angoisse"). Inilah tonil "Kiamat" 2012!


A.A. Ariwibowo - Antara

Baca selengkapnya...

Gen yang Bikin Manusia Berumur 100 Tahun Diidentifikasi

Ilmuwan dari Albert Einstein College of Medicine, Amerika Serikat, mengidentifikasi hubungan gen yang dapat membantu manusia berumur panjang hingga 100 tahun. Penemuan ini digadang-gadang dapat menjadi terobosan baru dan jalan menuju produksi obat antipenuaan.

Para ilmuwan meneliti sebuah komunitas masyarakat Yahudi Ashkenazi di Amerika Serikat yang rata-rata mencapai usia 97 tahun. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang jelas usia 100 tahun dan keturunannya, yakni adanya perbedaan level enzim telomerase yang dapat mencegah sel-sel dari penuaan.

Dikutip dari Telegraph, Selasa (17/11/2008), dari penelitian tersebut ilmuwan menemukan 86 orangtua dan anak-anak mereka memiliki tingkat telomerase lebih tinggi yang berfungsi melindungi DNA.

Telomerase merupakan bagian khusus dari DNA yang duduk di ujung kromosom, seperti layaknya selubung plastik di ujung tali sepatu untuk mencegah serabut anyaman tali terurai. Setiap kali sebuah sel terbagi, maka telomerase akan memperpendek dan menjadi lebih rentan untuk kematian.

Orang-orang berusia di atas 90 tahun dan keturunannya memiliki telomerase yang lebih tinggi dan secara signifikan membuat mereka lebih berumur panjang daripada orang-orang yang tidak terkait di kelompok kontrol dan pengaruh secara kuat sifat yang diwariskan.

Studi ini telah dipublikasikan di jurnal 'Proceedings of the National Academy of Sciences'.


Stefanus Yugo Hindarto - Okezone

Baca selengkapnya...

Mengenal Beragam Jenis Surat Utang di Pasar Internasional

Pasar surat utang atau yang umum dikenal dengan nama obligasi di Indonesia relatif masih muda usia dan diwarnai beragam dinamika tersendiri. Dalam artikel kali ini kita akan mempelajari tentang beberapa jenis obligasi yang umum diperdagangkan di negara maju namun masih jarang atau belum ada di Indonesia.

Saat ini surat utang yang umum diperdagangkan di Indonesia adalah obligasi pemerintah dan korporasi. Namun sebenarnya, selain kedua jenis obligasi itu masih terdapat beberapa jenis obligasi lain. Salah satu yang mulai dirintis di Indonesia adalah Mortgage Bonds atau obligasi yang kinerja serta underlying-nya adalah kredit perumahan dalam jumlah besar yang dikumpulkan serta disekuritisasi.

Di Indonesia Mortgage Bonds dimasukkan ke dalam golongan Efek Beragun Aset (EBA) di mana penerbitan perdana atas surat berharga jenis ini terjadi di bulan Februari 2009. Selain Mortgage Bonds, di pasar internasional terdapat pula surat utang dengan kategori Asset Backed Securities atau Efek Beragun Aset yang di AS merupakan surat utang yang diterbitkan dengan menggunakan underlying beragam jenis aset selain kredit rumah.

Jadi pengkategorian EBA di Indonesia agak berbeda dengan dengan di AS, karena di Indonesia Mortgage Bonds dimasukkan ke dalam kategori EBA. Aset-aset yang umum dikumpulkan untuk dijadikan underlying bagi penerbitan EBA amat beragam, antara lain tagihan kartu kredit, kredit mobil, kredit konsumsi, hingga pendapatan dari penjualan tiket pesawat terbang serta berbagai jenis tagihan.

Struktur dari surat utang jenis ini seringkali cukup rumit dengan risiko yang signifikan sehingga memerlukan analisa secara khusus sebelum berinvestasi di instrumen ini. Jenis surat lain yang populer adalah Obligasi Daerah (municipal bonds) yang di AS sudah diterbitkan sejak tahun 1812. Obligasi Daerah adalah obligasi yang diterbitkan baik oleh pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga atau perusahaan yang dimiliki oleh suatu pemerintah daerah.

Pada umumnya target investor yang dituju adalah investor yang berdomisili di daerah tersebut. Untuk membuat obligasi ini menarik, pemerintah federal AS maupun pemerintah daerah tempat surat berharga ini diterbitkan seringkali memberikan keringanan pajak tertentu bagi pemegang obligasi ini.

Akibatnya obligasi jenis ini cukup populer terutama di kalangan investor yang berada dalam rentang pajak (tax bracket) yang tinggi. Obligasi ini seringkali kurang likuid karena hanya diterbitkan dalam jumlah yang relatif sedikit untuk memenuhi kebutuhan tertentu.

Misalnya sebuah universitas dapat menerbitkan obligasi daerah hanya sebesar beberapa juta dolar saja untuk membangun perpustakaan atau fasilitas lain. Bila dibandingkan dengan obligasi pemerintah federal AS yang sekali diterbitkan dapat mencapai jumlah miliaran dolar AS, jumlah penerbitan obligasi daerah seringkali amat kecil.Pemerintah daerah juga dapat menerbitkan obligasi daerah untuk menutupi defisit anggaran pemerintah daerah tersebut.

Di Indonesia hingga saat ini obligasi daerah masih dalam taraf pengkajian meskipun sudah ada beberapa propinsi yang menyatakan kesiapannya untuk menerbitkan obligasi tersebut. Jenis surat utang ada juga yang mempunyai tenor yang pendek, yaitu paling lama satu tahun.Salah satu yang paling populer adalah Commercial Paper (CP) atau yang disebut juga Surat Berharga Komersial.

Di AS, CP banyak diterbitkan oleh lembaga perbankan dan korporasi besar yang secara reguler memanfaatkan instrumen ini untuk mengambil pendanaan langsung ke pasar modal sehingga dapat memperoleh biaya pendanaan yang relatif murah. Bagi bank-bank di AS, penerbitan CP amat diperlukan karena bank-bank di AS menganggap bahwa mengandalkan dana dari deposan seringkali kurang efektif dengan semakin meningkatnya loan to deposit ratio(rasio pinjaman terhadap simpanan) akibat perilaku konsumtif warga AS.

Selain itu, menerbitkan CP dianggap relatif mudah, fleksibel dan dapat meraup dana dalam jumlah besar secara sekaligus. Akibatnya banyak lembaga besar yang terus menerus melakukan roll over atau penerbitan CP baru setiap CP yang diterbitkannya jatuh tempo. Strategi roll over berjalan dengan baik hingga medio tahun 2008. Di tahun 2008, banyak bank dan institusi keuangan yang mengalami kerugian akibat kredit perumahan yang macet setelah ambruknya pasar properti.

Akibatnya, kondisi keuangan banyak institusi keuangan turun signifikan sehingga,CP yang diterbitkan oleh institusi ini tidak laku.Hal ini menimbulkan krisis likuiditas yang serius bagi beberapa institusi keuangan besar. CP mempunyai beberapa jenis, antara lain yang diterbitkan dengan menggunakan jaminan maupun yang diterbitkan tanpa menggunakan jaminan.

Sebelum krisis moneter, penerbitan CP di Indonesia sempat marak, namun karena banyak CP yang default di tahun 1997an, sejak itu hingga sekarang di Indonesia penerbitan CP hanya sedikit sekali. Jenis terakhir yang akan dibahas adalah Obligasi Subprime, yaitu surat berharga dengan underlying kredit perumahan yang mempunyai kualitas rendah dan obligasi ini sangat populer di AS sebelum terjadinya krisis global.

Obligasi Subprime ini adalah pengembangan atau varian dari Mortgage Bonds biasa.Namun berbeda dengan Mortgage Bonds, para peminjam yang kreditnya disekuritisasi dalam Obligasi Subprime adalah orang-orang yang mempunyai credit scoring yang di bawah batas yang ditentukan agar dapat mengakses pasar kredit rumah yang biasa.

Obligasi Subprime ini mulai berkembang di awal tahun 2000an di mana pada tahun 2001 28,5% dari penerbitan Mortgage Bonds di AS adalah Obligasi Subprime dan mencapai puncaknya di tahun 2006 di mana 50,8% dari penerbitan Mortgage Bonds adalah Obligasi Subprime.

Obligasi Subprime inilah yang menjadi salah satu pemicu krisis global tahun 2008 lalu karena saat harga properti anjlok, banyak peminjam berkategori subprime yang gagal bayar atas kewajibannya sehingga memicu penurunan nilai atas beragam Obligasi Subprime secara drastis sehingga menimbulkan kerugian besar bagi berbagai institusi global yang berinvestasi di instrumen tersebut.

Di Indonesia hingga saat ini belum pernah ada penerbitan Obligasi Subprime. Dari uraian di atas jelaslah bahwa jenis surat utang ternyata amat beragam dan banyak di antaranya tidak terdapat di Indonesia. Dengan semakin majunya infrastruktur keuangan di Indonesia, diharapkan di masa depan beberapa jenis instrumen yang bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Indonesia dapat dikembangkan.


Ricky Ichsan, CFA, FRM, CFP

Baca selengkapnya...

Why Parents Make Great Managers

A few days ago I was running in Central Park as fast as I could, pushing myself hard, trying to beat my previous best time.

About halfway around the park I passed a mother walking with her two year old girl. They were holding hands and she was moving at the pace of her child, about one step every five seconds.
We were both enjoying ourselves, both in the moment, both focused on our task. But the contrast between us struck me.
I was the equivalent of an individual contributor in an organization. A specialist, striving to maximize my personal productivity and achievement. Specialist jobs are critical to the success of any organization, at all levels of the hierarchy.
She, on the other hand, was the equivalent of a manager, a different and equally critical job in an organization.
Here's what occurred to me: if you want to find a great manager, hire a successful parent. It's the same job. Think about it:
Expressing care. Successful parents love their children and often make sacrifices to do what's best for them.
The best managers care deeply about their employees and will help them make the right choices for them, even if it's not in the manager's best interest. Great managers don't simply care about their employee's productivity. They care about their employees.
And employees who feel nurtured perform better. I remember one manager I had early in my career for whom I worked as hard as I could. I was his right-hand person. I felt so cared for by him that when I received a job offer from another organization, I asked him what he thought I should do. I trusted him completely. We discussed it and, ultimately, he advised me to take the job because it was in my best interest. We're still friends more than a decade later, and I would still do anything he asked.
Practicing patience. Let's face it, parenting can sometimes be excruciatingly boring. Successful parents have a tremendous amount of patience.
Great managers pace themselves to the unique needs and abilities of each of their employees. Great managers need tremendous patience because it's not about their individual success; it's about the contribution of their employees. They need to be motivated by the success of others and recognize that their employees' success is their success. Just like a parent.
Leveraging uniqueness. Great parents don't try to fit their kids into a box. They watch them carefully for signs of natural motivation and inclination and then try to provide opportunities for them to develop further into their areas of interest and passion
Great managers know that the best thing they can do for their employees — as well as their companies — is get the right people in the right jobs. Employees' positions should take advantage of their strengths and mitigate their weaknesses.
Great managers notice their employees' personalities and put them in the environment where they will be most successful. I know a guy, we'll call him John, who was failing in his job. John loved being with people but he was a technologist and spent his days coding in a cubicle all day with very little contact with people. His manager noticed this and changed his role, putting him on a project team. Once John was collaborating with others, his performance shot up.
Developing independent capability. Great parents know they have only a few critical years to impact their children and then, sooner than they imagine, their children will be out of the house. So great parents strive to foster independent, capable children. Then, when their peers have more influence over them than their parents, they still make the right choices.
Likewise, the best managers build independent, capable teams. They coach them to think for themselves. And they don't try to hold on to their employees forever. Great managers know their job is to move their employees up and out of their teams into more challenging opportunities in other areas of the company while continuing to act as mentors and advisors.
Setting appropriate expectations and boundaries. If children are unclear about what's acceptable and what's not, they'll freeze, unsure and insecure about whether they can act. The best parents set clear boundaries so their children feel secure and confident. And the best parents set appropriately high expectations so their children know to reach far, allowing for failure without giving up.
The best managers also have appropriately high expectations of their employees and set clear boundaries about what's acceptable and what's not. And their employees know it and work tremendously hard to live up to those expectations.
Management is a learned skill. And people who work hard to become better parents — by reading books, going to classes, experimenting, learning from mistakes — are also learning to become better managers.
Of course there are differences. The pressure for performance outcomes with a particular employee is often more immediate than with a child. And the relationship is shorter lived: how many of us expect to have the same employees for the next 50 years? Also, if it's not working out, you could fire an employee but it's unlikely you'd fire your child.
Still, at a time when many people are out of jobs, it's useful to notice and appreciate the ways in which they might be preparing for the next one. Maybe even by taking a two-year-old child out for a walk.


by Peter Bregman

Baca selengkapnya...

Selasa, 17 November 2009

Build Your Self Confidence Like a Leader

This week's question for Ask the Coach: What can I do to build my confidence in my capabilities as a leader?

You won't get to the top without self-confidence; to build it, you have to believe in yourself. Don't worry about being perfect — put up a brave front and do the best you can. That's it in a nutshell. Here's a little more background for you.
Last year, as I often do, I taught a seminar for MBA students at the University of California at Berkeley's Haas School of Business. A second-year student approached me and told me he'd read my book What Got You Here Won't Get You There. "In the book you talk about classic challenges faced by your clients," he said. "I noticed that you never discuss self-confidence problems. How do you deal with your client's self-confidence problems?"
This question really made me think. I rarely encounter self-confidence problems in my work with CEOs and potential CEOs. It is almost impossible to make it to the top level in a multibillion-dollar corporation if you do not believe in yourself. On the other hand, I am frequently asked to speak at business schools, and I have noticed that students in my seminars often want to talk about it.
This is such an important topic. I thought I would share a few suggestions about how you can build your self-confidence. I also hope you, my readers, will offer your own suggestions.
1. Don't worry about being perfect. There are never right or wrong answers to complex business decisions. The best that you can do as a leader is to gather all of the information that you can (in a timely manner), do a cost-benefit analysis of potential options, use your best judgment — and then go for it.
2. Learn to live with failure. Great salespeople are the ones who get rejected the most often. They just ask for the order more than the other salespeople. You are going to make mistakes. You are human. Learn from these mistakes and move on.
3. After you make the final decision — commit! Don't continually second-guess yourself. Great leaders communicate with a sense of belief in what they are doing and with positive expectations toward the achievement of their vision.
4. Show courage on the outside — even if you don't always feel it on the inside. Everyone is afraid sometimes. If you are a leader, your direct reports will read your every expression. If you show a lack of courage, you will begin to damage your direct reports' self-confidence.
5. Find happiness and contentment in your work. Life is short. My extensive research indicates that we are all going to die anyway. Do your best. Follow your heart. When you win, celebrate. When you lose, just start over the next day.
by Marshall Goldsmith

Marshall Goldsmith is a world authority in helping successful leaders achieve positive, lasting change in behavior. Dr. Goldmith's 24 books include What Got You Here Won't Get You There, an NYT best seller, WSJ #1 business book and Harold Longman Award winner for Business Book of the Year. He has been recognized as one of the world's leading executive educators and coaches in BusinessWeek, the Economist, Forbes and The Times of London.

Baca selengkapnya...

Senin, 16 November 2009

Kekhawatiran Bernama Perubahan Iklim

Perubahan iklim dan ramah lingkungan. Dua kata itu menjadi sering terdengar beberapa tahun terakhir dengan semakin sadarnya masyarakat tentang ancaman perubahan iklim yang mengubah kondisi alam secara global maupun lokal.

Dengan perubahan iklim, masyarakat global dituntut untuk hidup lebih ramah lingkungan. Tetapi apakah masyarakat mengetahui apakah itu perubahan iklim itu sendiri?

Perubahan iklim merupakan rangkaian sebab akibat dari perubahan unsur-unsur iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).

Selain disebabkan faktor-faktor alam, perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan.

Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah "pemanasan global", padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena banyaknya parameter iklim seperti temperatur, presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari.

Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global.

Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, dimana gas utama GRK yaitu konsentrasi CO2-ekuivalen (CO2e) yang terbentuk di udara.

Sebelum revolusi industri, terdapat lapisan CO2e setebal 280 ppm. Setelah revolusi industri (1780), konsentrasi CO2e meningkat dari 315 ppm (1930) ke 330 ppm (1970), 360 ppm (1990), dan 380 ppm (2008).

Meningkatnya emisi GRK menjadikan perubahan iklim global yang membuat "bumi semakin panas".

Secara sederhana, perubahan iklim dapat diilustrasikan seperti kondisi di dalam mobil tertutup yang terpapar panas terik sinar matahari.

Suhu di dalam mobil tersebut menjadi panas karena sinar matahari yang masuk menembus kaca mobil membuat seisi mobil menjadi panas karena panas matahari tersebut terperangkap di dalam mobil.

Hal di atas juga terjadi pada bumi, di mana radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer, masuk ke bumi dan membuat suhu di bumi menjadi hangat untuk kehidupan.

Namun karena makin tebalnya "selimut" atmosfer bumi karena meningkatnya GRK, tak semua gelombang sinar matahari yang dipantulkan keluar oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar, sehingga suhu permukaan bumi menjadi lebih panas dari seharusnya.

Peristiwa ini disebut Pemanasan Global, yang yang menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.

Perubahan unsur-unsur iklim karena pemanasan global tersebut dinamakan Perubahan Iklim.

Dampak Perubahan Iklim
Untuk meneliti, memantau dan menganalisa perubahan iklim secara global, PBB melalui program lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/ WMO) membentuk Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change /IPCC) pada 1988.

Sejak 1990 setiap lima atau enam tahun, IPCC yang terdiri dari ribuan pakar ilmu pengetahuan global, telah mengeluarkan laporan-laporan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan melalui pengamatan dan prediksi untuk mengetahui kecenderungannya di masa depan.

Pada 2007, IPCCC mengeluarkan laporan penelitian ke-empat berjudul Climate Change 2007: Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability dengan memuat dampak perubahan iklim yang sudah dan yang mungkin akan terjadi di masa depan.

Fakta-fakta yang terungkap dalam laporan tersebut, antara lain bahwa tingkat pemanasan pada temperatur permukaan bumi rata-rata pada 50 tahun terakhir hampir mendekati dua kali lipat dari rata-ratanya pada 100 tahun terakhir.

Selama 100 tahun terakhir, temperatur permukaan bumi rata-rata naik sekitar 0,74 derajat Celcius, dan jika konsentrasi GRK dominan di atmosfer yaitu karbondioksida meningkat dua kali lipat dari masa pra-industri, akan memacu pemanasan rata-rata mencapai 3 derajat celcius.

Ini akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair, yang berdampak gagalnya panen, sehingga diprediksi hingga tahun 2050 membuat 130 juta penduduk dunia terutama di Asia mengalami kelaparan.

Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari pola yang konsisten dan bukti dari adanya gelombang panas (heat waves) yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di beberapa daerah, bertambahnya presipitasi (curah hujan) di daerah lainnya, melelehnya gletser dan es di Arktik serta naiknya muka laut.

Pada 2080, diprediksi 30 persen garis pantai di dunia lenyap, dan mencairnya lapisan es di kutub mengakibatkan aliran air di Kutub Utara dan membuat Terusan Panama terbenam.

Perubahan tersebut melenyapkan beberapa spesies dan bencana alam secara global yang makin meningkat.

Naiknya suhu udara akan memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai. Banyak tempat yang kering akan makin kering, sebaliknya sejumlah tempat yang basah akan makin basah. Hal ini membuata distribusi air secara alami kian senjang dan berpotensi meningkatkaan ketegangan dalam pemanfaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.

Sekitar 1-3 milyar orang didunia terutama diwilayah miskin, diperkirakan akan menderita kekurangan air kronis pada 2100.

Dari seluruh dampak yang muncul, Asia menjadi bagian dari bumi yang akan menderita paling parah. Setiap kenaikan suhu 2 derajat celcius akan menurunkan produksi pertanian di China dan Bangladesh hingga 30 persen pada 2050.

Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunnya lapisan es di pegunungan Himalaya.

Sekitar 100 juta warga pesisir di asia pemukimannya tergenang karena peningkatan permukaan laut antara 1-3 mm/tahun.

Apa Yang Dilakukan?
Pada konferensi PBB di Rio de Jeneiro atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada Juni 1992, 172 negara peserta memutuskan dibentuknya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Dan ketika KTT Perubahan Iklim ketiga yang diselenggarakan oleh UNFCCC pada Desember 1997 di Kyoto, Jepang, menghasilkan Protokol Kyoto bagi negara-negara perindustrian yang dinamakan negara Annex-1.

Protokol Kyoto merupakan persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 persen dibandingkan dengan tahun 1990 dengan membuat suatu mekanisme yang membantu negara-negara tersebut mencapai target.

Sedangkan target nasional berkisar dari pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7 persen untuk AS, 6 persen untuk Jepang, 0 persen untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8 persen untuk Australia dan 10 persen untuk Islandia."

Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC, dan pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61 persen dari seluruh emisi.

Bagi negara NON ANNEX I Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, prinsip tersebut dikenal dengan istilah "tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda" (common but differentiated responsbility) .

Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur masalah pengurangan emisi GRK, seperti implementasi bersama, perdagangan emisi dan mekanisme pembangunan bersih (CDM).

Berbagai usaha tersebut, diharapkan dapat mengurangi emisi GRK dan perubahan iklim yang semakin nyata terjadi.


Nur R Fajar ~ ANTARA News

Baca selengkapnya...

Jawaban NASA Soal Kiamat 2012

Isu 2012 kiamat seperti mengulang isu yang sama pada tahun 2000 atau Y2K. Tak terbukti.

Isu kiamat akan terjadi pada tahun 2012 menguak seiring munculnya film besutan Hollywood berjudul '2012' yang mulai hari ini, Jumat 13 November 2009, dilempar ke bioskop-bioskop.

Film tersebut dilatarbelakangi dugaan bahwa pada 21 Desember 2012, sesuai batas akhir penanggalan Bangsa Maya, akan terjadi kiamat.

Lembaga antariksa Amerika Serikat (NASA) pun angkat bicara menanggapi isu menggemparkan soal kiamat.

Menurut NASA, isu 2012 kiamat seperti mengulang isu yang sama pada tahun 2000 atau Y2K. Sama halnya dengan ramalan tak terbukti di tahun 2000, tak akan ada yang terjadi pada 2012.

Berikut jawaban ilmuwan NASA terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar fenomena 2012:

T: Adakah ancaman terhadap bumi di tahun 2012? Banyak informasi di internet mengatakan kiamat akan terjadi pada Desember 2012?

J: Tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada Bumi pada 2012. Planet Bumi sudah bertahan selama 4 miliar tahun. Para ilmuwan terpercaya mengetahui bahwa tak ada ancaman untuk bumi yang terkait '2012'

T: Bagaimana asal-usul ramalan kiamat akan terjadi pada 2012?

J: Isu kiamat berawal dari perkiraan ada sebuah planet bernama Nibiru, temuan Bangsa Sumeria, yang posisinya berhadap-hadapan dengan bumi. Bencana dahsyat sebenarnya diramalkan terjadi pada 2003, namun tak ada apa-apa yang terjadi sesuai ramalan.

Lalu, saat bencana dahsyat menurut ramalan bergeser ke Desember 2012. Dua ramalan itu terkait dengan satu putaran kalender milik Bangsa Maya dan adanya badai matahari (winter soltice) di tahun 2012. Dua hal itu yang melatarbelakangi adanya isu kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012.

T: Apakah kalender milik Bangsa Maya berakhir pada 2012?

J: Yah, sama halnya dengan kalender yang Anda pasang di dapur, waktu kan tak akan berhenti sampai tanggal 31 Desember.

Kalender Maya, sama, tidak berarti waktu berhenti pada 21 Desember 2012. Memang, tanggal itu adalah akhir dari periode panjang kalender Maya. Tapi seperti halnya kalender Masehi yang dimulai tiap 1 Januari. Periode kalender Maya juga akan dimulai lagi.
T: Benarkah ada planet bernama Nibiru atau Planet X atau Planet Eris yang kemudian akan mendekat ke bumi dan mengakibatkan kehancuran?

J: Nibiru atau cerita lain soal planet liar adalah cerita bohong (hoax). Tidak ada dasar ilmiah dan faktual yang jadi dasar klaim tersebut. Jika Nibiru atau planet X itu nyata dan berhadap-hadapan dengan bumi pada 2012, para astronom seharusnya bisa melacak itu sejak lama.

Planet itu seharusnya juga bisa kita lihat sekarang dengan mata telanjang. Kenyataannya, tidak.
Planet Eris memang nyata, tapi itu adalah planet kerdil, sekecil Pluto yang masih berada di luar sistem tata surya kita. Perkiraan jarak terdekat planet itu dengan bumi adalah 4 miliar mil.


Elin Yunita Kristanti

Baca selengkapnya...

APEC Siapkan Model Penyatuan Kawasan Abad 21

Para pemimpin Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) sepakat untuk menyiapkan sebuah model penyatuan ekonomi kawasan Asia Pasifik pada abad 21.

Hal itu dikemukakan oleh para pemimpin ekonomi 21 negara anggota APEC dalam sebuah pernyataan bersama pascaberakhirnya pertemuan puncak ke-17 APEC, di Singapura, Minggu sore.

"Kami akan melakukan pendekatan komprehensif untuk membangun sebuah model penyatuan ekonomi abad 21," kata pernyataan itu.

Model penyatuan ekonomi itu akan menggabungkan perdagangan bebas "di perbatasan", meningkatkan lingkungan bisnis "di belakang perbatasan" (dalam negeri) dan mendorong keterhubungan rantai pasokan "antar perbatasan".

Sebelumnya, Direktur Kerjasama Intra Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri Ibnu Hadi mengatakan bahwa untuk mendorong perdagangan bebas di perbatasan, APEC akan melanjutkan upaya mengeksplorasi cara guna menuju kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik di masa depan.

Para pemimpin APEC juga meluncurkan inisiatif yang dipimpin oleh Australia, Kanada, Jepang, Korea, Papua Nugini, Singapura, dan Amerika Serikat untuk mempraktekkan surat keterangan asal.

Sementara itu terkait dengan perbaikan di belakang perbatasan, menurut Ibnu Hadi, salah satu komponen kunci dari perubahan struktur adalah efisiensi pelaksanaan usaha, baik dari segi waktu maupun biaya.

Pada pernyataan itu para pemimpin APEC berkomitmen mencapai pengurangan biaya, waktu dan jumlah prosedur pelaksanaan usaha, memperoleh kredit, menjalankan kontrak dengan sungguh-sungguh, negosiasi perizinan, dan pengiriman barang melalui perbatasan sebanyak 25 persen pada 2015.

APEC juga akan mengurangi biaya transaksi usaha sebanyak 5 persen pada 2010, setelah sukses menurunkan sebesar 3,2 persen antara 2006-2008 melalui Rencana Aksi II Fasilitasi Perdagangan.

Sementara itu dalam bidang keterhubungan "antar perbatasan", inisiatif keterhubungan rantai pasokan APEC telah mengidentifikasi delapan kebuntuan dalam rantai pasokan kawasan dan aksi untuk mengatasinya.

Para pemimpin APEC akan mengeksplorasi keterhubungan multi modal melalui darat, laut dan udara untuk memfasilitasi perpindahan barang, jasa dari para pengusaha di Asia Pasifik.

APEC adalah forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik yang terbentuk pada 1989. Pada awalnya terdapat 12 negara sebagai pendiri yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat.

Sejak saat itu telah menjadi wahana utama di kawasan Asia Pasifik dalam meningkatkan keterbukaan dan praktik kerja sama ekonomi sehingga dapat menarik masukan beberapa negara yaitu Republik Rakyat China, Hongkong-China dan China Taipe untuk bergabung pada 1991 yang kemudian disusul masuknya Meksiko dan Papua Nugini tahun 1993 serta Chili pada 1994.

Sedangkan tiga anggota ekonomi terakhir yaitu Federasi Rusia, Peru dan Vietnam bergabung dalam forum APEC tahun 1998.

Beranggotakan 21 anggota ekonomi, APEC merupakan forum kerja sama ekonomi di wilayah Asia-Pasifik yang bersifat sukarela, informal, dan tidak mengikat.

APEC bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi kawasan dan memperkuat kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui peningkatan volume perdagangan dan investasi.


Antara

Baca selengkapnya...

Ten Things I Liked (and Hated) About Your Presentation

You just gave an important talk about a new initiative. Maybe 40 employees were there, all "key players," you called us. I was the guy in the back of the room with the curly hair. You've seen me a bunch of times, mostly in the stairwell and the cafeteria. Bob is what you call me. (Name's actually Rob, but I'll try not to hold that against you.) If my opinion really mattered, I'd tell you what I liked about your presentation to your face. I probably wouldn't mention what I didn't like. But here, why not lay it all out for you? You can take it or leave it.

1. I arrived early, and I appreciated that you were ready to start on time. The fact that you spent the first 12 minutes making the rest of us wait for our bosses to show up? Not so much.
2. Your overview was good. You didn't force us to sit through a bunch of stuff we already know. Thing is, one of the new items -- the part about reconfiguring the A5 systems -- was a bit of a shocker, and it'll affect my work a lot. You aware of that?
3. Loved the flow chart, even though those are usually yawners. Helped me see exactly where I fit in (minus the A5 overhaul). But that chart and your "benchmarks table" were the only handouts I really needed. The others are already in the recycling bin.
4. I got the importance of aligning the new initiative with our current ones. But you used the word "alignment" on so many slides and in so many different ways that I often didn't know what was being aligned with what. Kind of ironic, if you think about it.
5. I appreciated the effort at humor. But most of your jokes got laughs only from folks at your level. It showed that you were more focused on them than on the rest of us. I understand the pressure, but I couldn't help rolling my eyes a couple times. And I wasn't the only one.
6. Analogies are cool. They usually help me understand. That said, why sports every single time? The three-minute riff on NBA players lost me completely.
7. I liked the takeaway points for employees in each unit. Hated that you called them "action items." We all know terms like that come in a can.
8. Good snacks -- thanks for those. It was interesting how you and the other bosses fell over yourselves to give us frontliners first dibs. I would have preferred first dibs during the Q&A.
9. The invitation to e-mail you with questions was a nice touch. Unfortunately, you still haven't answered the message I sent you last month (or the follow-up I sent last week). I know you're busy, but empty gestures are kind of a drag.
10. Ending on time was excellent. Too bad those who showed up late also left early.
All in all, your presentation was better than most I've sat through. I'll talk to my boss about that A5 shocker. And I might be following up with you about it, too. Check for e-mails from Rob. With an R.


by Steven DeMaio

Steven DeMaio teaches English and math to adults at the Community Learning Center in Cambridge, Massachusetts, and the Somerville Center for Adult Learning Experiences in Somerville, Massachusetts. Prior to taking this role, he worked for more than a decade in publishing, most recently as an Associate Editor at HarvardBusiness.org.

Baca selengkapnya...

Minggu, 15 November 2009

Why Obama Needed to Speak From the Heart

Today at Fort Hood, President Obama addressed the mourners at the memorial service for those who died in last week's shooting. The President's comments demonstrate both the opportunities and the pitfalls of this sort of leadership speech.

We expect leaders to speak on tragic occasions like this one. Their comments should comfort us and let us know that the deaths of the fallen have not gone unnoticed. There are certain demands of the genre and the occasion; it is the job of the leader to say something about the larger significance of the cause upon which the fallen were engaged. The leader should further address some specific audiences: the relatives of the dead, who have special reason to mourn, and perhaps other groups who are particularly affected.

Primarily, we look to the leader to give us some sense of continuity, reassuring us that the cause, and life, will go on. In the presence of death, then, we look to our leaders to help us find resilience and endurance — to re-orient us toward life, even as we grieve for the dead. How well did President Obama's comments achieve these goals?

Not well, unfortunately, though his remarks today were more thoughtful and better suited to the occasion than his earlier remarks on the day of the tragedy itself, which were rather perfunctory and tacked on to a speech about other matters.

Compare his comments at Fort Hood with those of presidents Reagan and Lincoln, faced with other tragedies. President Reagan's much-quoted eulogy after the Challenger disaster of January 28, 1986 is a brief masterpiece; Lincoln's Gettysburg Address was an even briefer, even more magnificent piece of prose. Both earlier presidents' speeches — but especially Reagan's — commiserate with the mourners. Both speeches acknowledge the role of the fallen in the larger cause. Both speeches point the way forward, making the argument that the dead have not died in vain because the cause goes on. And both speeches help their audiences rededicate themselves to the larger purpose involved, whether it is the exploration of space or the preservation of the union.

Those speeches spoke from both the head and the heart. Obama's speech made similar arguments, but nonetheless there was something lacking. His delivery was precise and cool; he seems to instinctively avoid the emotional. But that is exactly what we need from a leader at a time of tragedy: a sense that the leader suffers along with us even as he points the way forward.

Reagan evinced sympathy, compassion, and comfort in equal measure, his eyebrows drawn together, his head tipped slightly to one side, and his voice full of concern. He mentioned the fallen astronauts by name. He addressed the families of the dead directly, and took time to speak to the schoolchildren who were watching the Challenger flight because a teacher was on board. And he made an eloquent case that space exploration would go on. Similarly, Lincoln made the case that Gettysburg's fallen had not died in vain because the living would take up their cause and soldier on.

Obama did link the deaths of the soldiers at Fort Hood to the larger cause of keeping America safe. His text borrows an idea from Reagan's by mentioning the fallen soldiers by name, and indeed goes one step further, giving brief details of each person's biography. It was a nice touch. But he still seemed to shy away from the human emotions of the moment.

In times of great mourning, we look to our leaders to find the meaning that allows us to go on. But we also need our leaders to simply grieve with us for the lives that have been lost.

If we are to follow them into an uncertain future, leaders must lead with both head and heart.


by Nick Morgan

Baca selengkapnya...

Sabtu, 14 November 2009

When Should You Let an Employee Make a Mistake?

"Put my training wheels back on," Sophia said in a stern tone, "Or I'm not going to ride my bike!" She had just turned four that day and wanted to learn to ride a bike like her older sister. Now she wasn't so sure.

After a lot of encouraging and a little stubbornness of my own, she was willing to try. We agreed to practice 15 minutes a day until she got it.

A couple of days later we weren't getting anywhere. It's not that she wasn't trying, it's just that she didn't seem to be able to get her balance on her own.

Then it dawned on me: I was getting in the way. I didn't want my baby girl to get hurt. And I was afraid if she fell she would give up trying completely. So as soon as she tipped to one side — even a little — I caught her.

In other words, Sophia still had training wheels on her bike: me. If I wanted her to learn, I had to let go — figuratively and actually. It's not that I planned to let her fall to the ground, it's just that I had to let her fall closer to the ground. So she had the opportunity to catch herself.
Learning to ride a bike — learning anything actually — isn't about doing it right. It's about doing it wrong and then adjusting. It's not about being in balance, it's about recovering balance. And you can't recover balance if someone keeps you from losing balance in the first place.
So my job got a lot harder. I had to use more refined judgment. Was Sophia falling to the left? Should I reach out before she hit the pavement? Or was she just leaning? Could she steer in the other direction and recover? I had to time my catch just right.
That challenge — timing the catch just right — is the central challenge we face as managers. It's the sweet spot between micromanagement and neglect. Allowing for failure, while ensuring the safety of our employees and our companies.
If an employee comes to you with a presentation that doesn't meet your expectations, what do you do? Take it, fix it, and present it yourself? Tell them what he's done wrong and ask him to fix it? Allow him to present it without making changes and let him face the consequences? Each choice is legitimate in the right circumstances.
Our job is to gauge the circumstances correctly. What's the risk? The consequences of failure? Is time critical? Will mistakes destroy the person's reputation forever? Or will it be an effective learning experience?
As a friend of mine is fond of saying, if you keep catching the vase, everyone is going to think the shelf is sturdy.
Once we gauge the circumstances, we can adapt, changing our response to help the employee learn to recover, stay upright, and keep pedaling.
That adaptation is more difficult than it sounds. It means resisting, or at least questioning, our natural tendencies. Because we all have a favorite response when our expectations aren't met. What do you do when you've given direction to an employee and she doesn't follow it?
Maybe you tell her even more clearly what you expect from them and require that she try again. Maybe you ask her what she was thinking and how she plans to approach it next time. Maybe you sit down and do it with her. Maybe you do it yourself. The question is, if you're going to choose a different response, how do you choose?
Here's one way: Ask yourself what it will take for the employee to recover herself.
How close is she to the ground? Is she falling or simply leaning? What will help her regain her balance? What can you do that will give her that opportunity?
When I was first teaching Sophia to ride her bike I made all sorts of excuses for her. She's only four; her sister was six when she learned to ride. I wondered if I was pushing her too hard. So my natural tendency was to rescue her.
What I eventually realized is that I was really making excuses for myself. I was afraid of her skinned knee and bruised confidence, so I didn't give her the opportunity to fail. Which meant I didn't give her the opportunity to succeed.
As soon as I changed my approach to teaching Sophia — on the third day of our routine — she learned to balance herself while pedaling. The next day she managed to stop by herself, and the day after that she learned to get herself going from a standstill. By the end of the sixth day she could turn in a figure eight. No training wheels necessary.


Peter Bregman

Baca selengkapnya...

Usia Berapa Pria & Wanita Rentan Selingkuh?

Pada usia tertentu pria atau wanita cenderung lebih mudah terseret godaan perselingkuhan.

Selama ini, adanya kesempatan dianggap sebagai pemicu perselingkuhan pada pria dan wanita. Namun, ternyata pada usia tertentu pria atau wanita juga cenderung lebih mudah terseret godaan perselingkuhan. Usia berapakah itu?

Menurut satu situs perjodohan di Inggris, IllicitEncounters.co.uk, pria atau wanita rentan berselingkuh ketika mereka memasuki usia kepala 30, atau 40, 50, 60, dan seterusnya. Apa alasannya?

Ternyata, ketika usia pria atau wanita diakhiri angka 9, seperti 29, 39, 49, atau 59 tahun dan seterusnya, emosi mereka tidak labil. Hal ini dikarenakan mereka akan memasuki fase usia yang lebih matang atau dengan kata lain tua.
Kondisi tersebut, menurut situs IllicitEncounters.co.uk, membuat pria atau wanita merasa cemas dan merasa tidak percaya diri. Apalagi jika mereka belum mencapai semua target hidup mereka, misalnya dalam hal karier atau materi.

Maka itu, kecenderungan mereka berselingkuh adalah dengan alasan untuk mendongkrak rasa percaya diri. Jadi, mungkin bagi Anda yang akan memasuki usia kepala 3, 4, atau 5 dan seterusnya, sebaiknya alihkan rasa minder Anda ke hal-hal lain, jangan malah mencari tantangan atau petualangan baru dengan berselingkuh.

Dan, ternyata menurut data dari IllicitEncounters.co.uk, usia yang paling banyak melakukan perselingkuhan adalah 39 tahun.


Petti Lubis

Baca selengkapnya...

Jumat, 13 November 2009

How to Ask for Help — Without Looking Stupid

Last week, more evidence emerged in the Securities and Exchange Commission's debacle over the mishandling of the Bernie Madoff über-fraud. While the SEC failed repeatedly to uncover the greatest Ponzi scheme in our country's history ($50 billion and counting), the New York Times revealed a tale of "unseasoned people uncertain about what to do and unwilling to ask for help."
But learning how to ask for help — and how to do it right — is critical to doing your job well and setting yourself up for success.

You may be afraid of looking dumb, but to be afraid to ask for and get the help you need is inexcusable, especially when the stakes are high. Asking for help in the workplace is a good thing. In fact, asking for help the right way can show how smart you are: it demonstrates that you've got good judgment and shows that you know what you know and what you don't know. Moreover, getting help up front saves endless time, energy and resources on the back end; in the Madoff case, it could have saved billions of dollars and immeasurable heartache.
Of course, it's not just asking for help — it's asking the right way. I recently coached a young man in commercial real-estate who relayed a conversation he had with his boss about starting a new regional initiative for his firm's brokers. Several times he asked, "How should I do this?" or "How should I think about this?" I cringed every time.
Instead, think about the following strategy to get the best answer — and show how smart you are — the next time you ask for help:
1. Start your question with what you know. Do your homework first. Get enough background information to put your issue or problem in context. Give the other person an idea of what you've completed to date or what you know already and then proceed to explain what's outstanding, where or how you're struggling, or what you need help with.
2. Then, state the direction you want to take and ask for feedback, thoughts or clarification. Form an opinion on what you think the answer should be. Don't just ask, "How should I reach out to the brokers?" Instead propose a course of action and get your boss's feedback: "I'm thinking of sending out a mass email to the brokers but I'm not sure if that's the most effective format...what do you think of that approach?"
3. If you don't know the direction to take, ask for tangible guidance. Instead of asking "What should I do?" ask specifically for the tools you'll need to make that decision yourself, such as a recent example of a similar analysis or a template for a given task. Or, ask for a referral to someone who has worked on a similar initiative or project in the past.
In the vast majority of cases, you'll get a lot further in your career by asking the tough, smart questions. Had the SEC junior staffers pressed senior management for more guidance and help, Bernie might have been stopped long ago.


by Jodi Glickman Brown

Baca selengkapnya...