Jumat, 26 Maret 2010

The Best Way to Measure Company Performance

Most Wall Street analysts and investors tend to focus on return on equity as their primary measure of company performance. Many executives focus heavily on this metric as well, recognizing that it is the one that seems to get the most attention from the investor community. But is it the best metric?

Even though more sophisticated valuation techniques like IRR, CFROI, and DCF modeling have come along, ROE has proven enduring. At one level, this makes sense. ROE focuses on return to the shareholders of the company. If you are a shareholder, this gives you a quick and easy to understand metric.

But ROE can obscure a lot of potential problems. If investors are not careful, it can divert attention from business fundamentals and lead to nasty surprises. Companies can resort to financial strategies to artificially maintain a healthy ROE — for a while — and hide deteriorating performance in business fundamentals. Growing debt leverage and stock buybacks funded through accumulated cash can help to maintain a company's ROE even though operational profitability is eroding. Mounting competitive pressure combined with artificially low interest rates, characteristic of the last couple of decades, creates a potent incentive to engage in these strategies to keep investors happy.

Excessive debt leverage becomes a significant albatross for a company when market demand for its products heads south, as many companies discovered during the current economic downturn. It actually creates more risk for a company in hard times.

These efforts can become addictive. If underlying profitability continues to deteriorate, more stock buybacks or debt leverage will be necessary to maintain return on equity, further increasing company exposure to unanticipated downturns in consumer demand or financial market crises. But letting ROE decline is often too painful to contemplate since the impact on stock performance can be immediate. The risks on the other side are less immediate and less quantifiable, so there is an understandable temptation to avoid immediate pain.

These issues with ROE led us to pick a different bottom-line metric for corporate financial performance when we constructed our Shift Index last year. We focused on a metric that receives far less attention from executives and investors alike — return on assets (ROA) — to analyze long-term profitability trends across all public companies in the US. Return on assets avoids the potential distortions created by financial strategies like those mentioned above.

At the same time, ROA is a better metric of financial performance than income statement profitability measures like return on sales. ROA explicitly takes into account the assets used to support business activities. It determines whether the company is able to generate an adequate return on these assets rather than simply showing robust return on sales. Asset-heavy companies need a higher level of net income to support the business relative to asset light companies where even thin margins can generate a very healthy return on assets.

Many companies outsource asset intensive manufacturing and logistics operations to more specialized providers in an effort to create "asset light" businesses. Those assets have not gone away — they have simply shifted from one company to another. Someone has to earn a reasonable return on those asset investments. Even intrinsically "asset light" businesses have some limited current assets and fixed assets required to support the business.

Using ROA as a key performance metric quickly focuses management attention on the assets required to run the business. Executives have more degrees of freedom today to outsource management of these assets and related business operations to more specialized companies. The key question is: who is in the best position to earn the highest return on those assets? This question helps executive teams to focus their own operations more tightly on the activities and assets they are best qualified to manage and to spin out other activities and assets to more specialized companies.

There's a powerful alternative form of leverage — capability leverage. As noted earlier, excessive financial leverage becomes a large and inescapable burden in an economic downturn. Capability leverage, in contrast, supports a business through all phases of the economic cycle. Specialized outsourcing providers, because of the scale and diversity of their operations, can provide key assets and capabilities quickly and more profitably to help companies ramp up rapidly during an economic upturn. Variable cost outsourcing arrangements support scaling back during downturns. Readily available financial leverage helped to drive returns to shareholders higher, leading many companies to neglect the potential of capability leverage.

Long-term ROA trends highlight the importance of capability leverage options. Our Shift Index revealed that since 1965 all US public companies experienced sustained and significant erosion in ROA — dropping by 75%. Mounting economic pressures are largely obscured by the metrics and time frames we use. This doesn't just reflect the current economic downturn. These longer-term trends suggest our traditional approaches to business are fundamentally broken. This decline is occurring in spite of a movement to more asset-light business activities and the absence of a crucial asset from the balance sheet — the talent of the workforce.

No single metric is perfect and different metrics are appropriate depending upon the circumstances. But our over-reliance on ROE is problematic on many levels. ROA may foster a better view of fundamentals of the business, including asset utilization. As economic pressures mount, executives would be well advised to ask: which assets are we uniquely capable of managing? And how can we let somebody else own and manage the rest of them, while we focus on my own unique strengths?

What do you think? What are the most useful metrics for measuring bottom-line financial performance? What are the implications of long-term ROA trends? Are companies sufficiently aggressive in pursuing capability leverage? If not, what holds them back?


John Hagel III, John Seely Brown and Lang Davison

Baca selengkapnya...

Kamis, 25 Maret 2010

Renungan Nyepi 2010: Matahari Dari Bali

Kekacauan kosmik di mana-mana. Barat yang lama menjadi idola dunia dalam keteraturan, kesantunan, keberadaban, sekarang berdarah-darah. Perdana menteri (PM) Italia Silvio Beluschoni dilempar patung hingga berdarah mukanya. Kasus pemimpin dilempar sepatu tidak saja dialami oleh mantan presiden Amerika Serikat George Walker Bush, rabu 23-2-2010 PM Turki Recep Tayyip Erdogan juga dilempar sepatu.

Politik di negeri ini juga menyentuh hati. Bila di zaman Majapahit, raja diyakini sebagai reinkarnasi dewa, sehingga tatanan kosmik terjaga rapi, di zaman ini ada yang tega menyamakan pemimpin dengan kerbau. Meminjam pendapat sahabat Mohamad Sobary: “Tiap presiden dikutuk. Sesudah dijatuhkan, dengan sinting merasa bangga telah menjatuhkan presiden”. Sehingga menyisakan pertanyaan, kapan negeri ini punya energi serius untuk meninggalkan kemiskinan dan ketertinggalan?

Bila tubuh manusia diibaratkan alam, tatanan kosmik terjaga bila topi menutup kepala, sepatu melindungi kaki. Kekacauan kosmik terjadi bila sepatu dilemparkan ke kepala, pemimpin (kepala) diperlakukan secara menyentuh hati. Bila alam kemudian berespon dengan kekacauan (sabtu 27-2-2010 bahkan terjadi gempa dahsyat berkekuatan 8,8 skala Richter di Cile yang diikuti tsunami di sepanjang Pasifik), tentu saja bukan kebetulan, karena alam memantulkan perilaku manusia.

Istirahat dalam Kealamian

Bila boleh lari, banyak yang lari dari kekacauan ini. Namun sudah menjadi hakekat kehidupan sejak dulu penuh godaan. Di zaman Sang Rama penggodanya Rahwana, di zaman Sang Buddha penggodanya Devadatta, di zaman Yesus Kristus penggodanya Yudas, di zaman nabi Muhammad penggodanya suku Quraishi. Sehingga memberi inspirasi, bila di zaman ketika lahir nabi dan kitab suci saja ada penggoda, apa lagi di zaman gelap ini.

Sehingga lari dari kekacauan sesungguhnya tidak alami, karena dalam kekacauan ada keheningan, dalam keheningan ada kekacauan. Ini yang menyebabkan para suci beristirahat dalam kealamian.

Salah satu pesan Yesus yang teramat menyentuh berbunyi: “Be still and know that I am God”. Heninglah dan lihat bagaimana kesempurnaan membuka rahasianya. Mistikus sufi Jalalludin Rumi pernah membuat puisi bagus sekali: “Hidup seperti tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Namun siapa pun tamunya, jangan lupa tersenyum”.

Saking teguhnya Mahatma Gandhi dalam berjuang, kerap ditanya apa senjatanya dalam berjuang. Dengan tenang Gandi menjawab: “doa dalam diam”. Tatkala murid-muridnya bertengkar tidak bisa diakurkan, GA Buddha memilih pergi ke hutan bersahabatkan alam.

Matahari Keheningan

Lain tempat lain cerita. Tetua Bali menjaga generasi berikutnya dengan menyisakan sejumlah warisan spiritual. Di Pura Kehen Bangli tetua meletakkan prasasti tua yang berisi undangan untuk pulang. Makna pulang memang amat beragam. Namun salah satu tanda manusia telah pulang kalau sudah berisitirahat dalam kealamian.

Bagi setiap anak yang bertumbuh di desa tua Bali, kemudian bertanya pada tetua tentang religiusitas, biasanya dijawab: “nak mula keto” (memang demikianlah adanya). Seperti memberi kunci rahasia, itulah jalan pulang.

Bagi pencari yang lapar jawaban, haus perdebatan, gembira dengan pertengkaran, jawaban tetua ini mengecewakan. Namun bagi yogi tingkat tinggi, jawaban nak mula keto ini amat mengagumkan. Setelah menggali jauh ke dalam, ternyata kehidupan serupa dengan air di semesta. Hujan deras tidak membuat air bertambah, musim panas tidak membuat air berkurang.

Ia yang mata spiritualnya terbuka akan melihat, kesedihan tidak melakukan pengurangan, kebahagiaan tidak melakukan penambahan. Semuanya sempurna apa adanya. Makanya di Tantra manusia tercerahkan menemukan tiga bentuk samadhi (konsentrasi): samadhi of suchness, samadhi of illumination, samadhi of seed syllable.

Konsentrasi pertama ketemu ketika seseorang bisa melihat semua sempurna apa adanya. Konsentrasi kedua ditandai oleh munculnya cahaya (baik dalam artian simbolik berupa kehidupan terang benderang, juga dalam pengertian sebenarnya dalam bentuk melihat cahaya). Konsentrasi ketiga terjadi ketika seseorang sudah melihat, mendengar, meletakkan aksara suci di dalam.

Perhatikan sendok kecil yang dimasukkan ke dalam cangkir. Sedikit saja digerakkan akan menimbulkan suara. Sebagai pembanding, ambil palu besar kemudian gerakkan dalam ruang yang luas. Tidak ada suara dan benturan. Ini memberi pelajaran, perkelahian, kekacauan terjadi karena ruang-ruang kesadaran manusia semakin lama semakin sempit, picik, fanatik. Tatkala semua terlihat sempurna apa adanya, ruang kesadaran menjadi seluas semesta. Kemudian tidak ada suara yang tersisa, hanya tersisa keheningan yang menawan.

Dunia mungkin terus berputar dengan kekacauan kosmiknya, namun setiap Nyepi terbit matahari dari Bali yakni matahari keheningan.

Perhatikan pulau Bali baik-baik. Di kepala (utara) di mana bisa terlihat matahari terbit sekaligus tenggelam, tetua memberi nama desa dengan Kubutambahan. Kubu artinya rumah, tambah berarti positif (rumah orang-orang berfikir positif). Di kaki pulau Bali (selatan), di mana matahari terbit kerap bercumbu mesra dengan puncak gunung Agung, nama desanya Sanur. Sa dalam bahasa Bali artinya satu, Nur itu cahaya (cahaya yang satu). Dan tempat di mana jutaan manusia dari seluruh dunia mengalami penyembuhan bernama Ubud (ubad alias obat) yang berlokasi di Bali Tengah.

Dibaca menjadi satu, matahari keheningan di dalam mungkin terbit bila manusia mengisi kepalanya dengan pikiran positif, melangkahkan kaki diterangi cahaya yang satu. Sebagai hasilnya, ia tersembuhkan (baca: tercerahkan). Ciri manusia tercerahkan, selalu berjalan di jalan tengah. Puncak pencaharian di jalan tengah bernama keheningan. Di mana seluruh dualitas (benar-salah, suci-kotor, baik-buruk) lebur ditelan keheningan menjadi keindahan menawan. Itu sebabnya, tersisa teramat banyak keindahan di Bali.

Perhatikan titik pusat Pura Besakih (di antara Kiwa-Tengen), tetua memberi tanda Parama Shunya (keheningan yang maha utama). Di tempat itu, tetua tidak meletakkan apa-apa. Karena memang tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.

Di mata awam, pencapaian seperti ini bisa disebut negatif (tidak berbuat apa-apa). Tapi di mata guru-guru tercerahkan, ini mengagumkan. Serupa pohon, orang tercerahkan di luarnya memang diam, namun dalam diamnya ia mengolah karbon dioksida (baca: kekacauan kosmik) menjadi oksigen (vibrasi positif) yang amat dibutuhkan. Selamat hari raya Nyepi.


Gede Prama

Baca selengkapnya...

Rabu, 24 Maret 2010

Diplomasi gurau ala SBY & Rudd

Diplomasi gurau benar-benar dipertontonkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan PM Australia Kevin Rudd dalam acara di Parliament House di Canberra, yang mengharuskan mereka berpidato sebanyak tiga kali itu.

Gedung wakil rakyat sekaligus gedung tempat berkantornya PM Australia itu menjadi panggung sempurna bagi keduanya. Mereka saling berbalas gurauan yang membuat suasana resmi menjadi cair dan hangat. Gurau pembuka datang dari Kevin saat konferensi media bersama di mimbar luar Parliament House yang dihadiri wartawan dari kedua negara.

Saat itu, PM Rudd mengungkapkan gurauan soal gitar yang diberikannya kepada SBY agar lebih produktif menciptakan lagu. Menurut dia, koleganya itu pandai menciptakan lagu yang dibuktikan dengan telah merilis tiga album, dan salah satunya terinspirasi atas keindahan Sydney.

Saat itu, SBY tidak membalas ucapan Rudd, meski sebenarnya dia juga telah membalas pemberian hadiah itu dengan memberi Rudd berupa oleh-oleh kopi luwak. Kopi khas itu dihasilkan dari proses metabolisme di tubuh hewan luwak yang suka menelan biji kopi dengan kualitas tinggi yang bisa ditandai dengan bau wanginya.

Kevin kembali membuka gurauannya dalam pidato sambutan jamuan makan siang bersama gabungan anggota parlemen negara itu. Perhelatan itu sengaja diadakan untuk menyambut kunjungan Yudhoyono.

Berbagai hal serius disampaikan Kevin dengan gurauan yang mampu membuat jamuan siang itu riuh oleh tertawa hadirin yang memenuhi ruangan di dalam gedung dewan rakyat itu.

Gurauan itu baru dibalas SBY saat tampil menyampaikan pidato balasannya. Dia mengatakan ada dua menteri dalam kabinetnya yang merupakan alumnus perguruan tinggi di Australia, yaitu Menlu Marty Natalegawa dan Mendag Mari E. Pengestu.

"Mungkin karena itu jugalah, kini banyak pelajar dari Indonesia yang memilih kuliah di Australia karena merasa bisa memperbesar peluang untuk menjadi pejabat atau menteri," katanya dalam pidatonya berbahasa Indonesia yang diterjemahkan langsung oleh Dino Patti Djalal, mantan juru bicara Presiden, yang kini beralih menjadi staf khusus Presiden.

Dia juga menceritakan bahwa putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono, sempat 6 bulan tinggal dan bersekolah di negara tersebut.

Posisi penting Australia

Selain itu, Presiden mengaku sebelum berangkat ke Canberra, dirinya ditanya tentang seberapa penting posisi Australia dalam hubungan kedua negara. "Anda bisa nilai, saya datang dengan 11 orang menteri dan enam gubernur untuk datang ke sini," katanya yang disambut riuh hadirin ketika itu.

Cukup banyak lontaran gurauan yang disampaikan Presiden, sebanyak gurauan yang disampaikan Rudd sebelumnya.

Berbalas gurauan itu tidak hanya sampai di jamuan makan siang. Ketika menyampaikan pidato pengantar bagi pidato bersejarah SBY di dalam Sidang Parlemen Australia, Rudd lagi-lagi melontarkan gurauannya.

Pidato SBY itu diakui sebagai peristiwa langka karena baru lima pemimpin dunia yang diundang berpidato dalam forum itu dalam rentang waktu 109 tahun sejarah keberadaan parlemen negara itu

Lagi-lagi, SBY membalasnya dengan sejumlah gurauan pula dalam pidato pentingnya itu. Gurauan sederhana yang dilontarkan kedua pemimpin itu terlihat mampu menghidupkan suasana keakraban. Paling tidak hal itu dapat dilihat dari standing applause panjang yang diterima keduanya.

Diplomasi bergurau mengingatkan saya pada gaya Bung Hatta dan Agus Salim yang khas dalam diplomasinya.

Syahdan, dalam forum perundingan dengan Kolonial Belanda, Bung Hatta meminjam pulpen salah seorang pimpinan delegasi wong Londo itu saat akan meneken satu dokumen kesepakatan.

Bung Hatta lama tidak menyerahkan pulpen itu ke si empunya hingga akhir bule itu berinisiatif meminta pulpennya.

Dengan enteng, Bung Hatta berujar, "Ini pulpen belum sejam saya pinjam, tapi Anda sudah tidak sabaran. Bayangkan Tanah Air kami, sudah 350 tahun lebih Anda rampas, tetapi bangsa Anda tidak hendak mengembalikannya kepada kami."

Lain lagi, Agus Salim. Saat berunding di Belanda, dia soraki dengan jenggut kambing karena memang dia memelihara rambut di dagunya itu. Tetapi dengan enteng pula, inyiak Agus Salim balik membalas, "Ooo.. Ya. Pantas dari tadi banyak kambing yang mengembek di ruangan ini..."

Kedua pemimpin besar pada masa lalu itu menggunakan diplomasi gurauannya sebagai serangan tajam bak sengatan lebah kepada musuh bangsanya.

Hal itu mungkin bisa dimengerti karena suasananya adalah dipengaruhi situasi dan kondisi yang pada waktu itu berjuang untuk memerdekakan bangsa ini.

SBY memilih diplomasi gurauan untuk menyanjung sahabatnya dan sahabat negara yang tentu karena dipengaruhi pula oleh suasana kini yang memang berupaya membangun persahabatan dan kerja sama dalam pergaulan global dengan negara-negara lain.

Paling tidak, 2 hari kunjungan ke Canberra telah menumbuhkan suasana hangat bagi kedua belah pihak, sehingga SBY bisa meninggalkan kota sunyi itu dengan kesan yang membekas.


Oleh: Irsad Sati

Baca selengkapnya...

Selasa, 23 Maret 2010

Tips Mengisi SPT Pajak Pribadi

Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) pajak akan berakhir pada 31 Maret 2010. Berikut tips-tips pengisian SPT Tahunan yang sebenarnya tidak ada perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

SPT Tahunan wajib diisi oleh karyawan yang sudah memiliki NPWP. Form pengisian SPT Tahunan bisa di download dari situs Ditjen Pajak yang beralamat www.pajak.go.id atau mengambil di kantor pajak setempat.

SPT Tahunan Orang Pribadi ada 3 macam :

- SPT PPh 1770: untuk orang pribadi yang memiliki usaha bebas dan atau karyawan
- SPT PPh 1770 S: untuk orang pribadi sebagai karyawan bergaji diatas Rp 60 juta setahun
- SPT PPh 1770 SS: untuk orang pribadi sebagai karyawan bergaji di bawah 60 juta setahun.

SPT itu wajib dicetak dalam kertas F4/Folio (8.5 x 13 inch) dengan berat minimal 70 gram. Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.

Setelah mengisi SPT, jangan lupa menandatangani form tersebut. SPT yang tidak ditandatangani menjadi tidak sah dan Anda harus mengisi ulang.

"SPT Tahunan ditandatangani oleh Wajib Pajak Orang Pribadi atau orang yang diberi kuasa menandatangani sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus," demikian aturan yang dikutip dari situs Ditjen Pajak, Selasa (23/3/2010).

Namun jangan lupa, SPT Tahunan yang Anda kirimkan harus dilengkapi dengan berkas-berkas kelengkapan SPT lain. SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana ditetapkan.
Berkas-berkas itu adalah:

- SPT 1770 / 1770 S (termasuk lampiran 1&2 ) / 1770 SS
- Lembar 1721 A1
- SSP (digunakan jika pajak kurang bayarnya lebih besar dari pajak yang telah dibayarkan perusahaan).

Bagaimana Jika Ada kekurangan pajak?

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan disampaikan. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).

Bagaimana cara menyerahkan SPT Tahunan itu?

SPT Tahunan dapat diserahkan secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak meliputi:

- Pojok Pajak
- Mobil Pajak dan
- Tempat Khusus Penerimaan Surat Pemberitahuan (Drop Box)
- Dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti penerimaan surat.

Jangan lupa, simpan tanda terima setelah menyerahkan SPT Tahunan tersebut.

Untuk memudahkan Anda, SPT Tahunan bisa diserahkan via Drop Box. Berikut ini daftar lokasi drop box dan pojok pajak di mal-mal di Jakarta selama 10 hari kedepan. Untuk daftar lokasi drop box SPT PPh Pribadi di luar mal dan di luar Jakarta dapat dilihat melalui website ditjen pajak yaitu www.pajak.go.id.

Jakarta Barat

- Mal Citra Land (drop box dan pojok pajak), Grogol mulai tanggal 25-31 Maret 2010 dibuka dibuka pukul 10.00-21.00.
- Mall Taman Palem, Cengkareng, untuk tanggal 23 Maret 2010 dibuka pukul 18.00 sampai 21.00 dan 25 Maret 2010 mulai pukul 10.00-15.00.
- Mal Taman Anggrek, Slipi mulai tanggal 17-25 Maret 2010 dibuka pukul 10.00-21.00.
Cengkareng Plaza tanggak 24 Maret 2010 dibuka pukul 09.00-15.00.
- Mall Daan Mogot Jl. Daan Mogot mulai 27 dan 31 Maret 2010 dibuka mulai pukul 10.00-14.00.
- Mall Slipi Jaya Jl. S. Parman Kav.17-18 pada 22-23 Maret 2010.
Lindeteves Trade Centre Jl. Hayam Wuruk No.127 tanggal 22 Februari 2010 dibuka sejak pukul 09.00-15.00.
- Mall Puri Kembangan, 22-23 Maret 2010 dibuka pukul 10:00-15:00.

Jakarta Pusat

- Mal Senayan City, Jl.Asia Afrika, Rabu, 24-25 Maret 2010 pukul 10.00-21.00.

Jakarta Selatan

- Mall Kalibata, dimulai 25 Maret-27 Maret 2010 dibuka pukul 10.00-14.00.
- ITC Permata Hijau, dimulai 8-31 Maret 2010 Setiap Hari Kerja dibuka pukul 11.00-14.00.
- Pondok Indah Mal dimulai 8-31 Maret 2010 setiap Hari Kerja dibuka pukul 11.00-14.00 dan jadwal Sabtu-Minggu (pojok pajak) 20, 21, 27, dan 28 Maret 2010 pukul 11.00-18.00.
- Plaza dan ITC Fatmawati dimulai 1-31 Maret 2010 dibuka pukul 10.00-14.00.
- Blok M Mall, dimulai dari tanggal 1-31 Maret 2010 dibuka pukul 10.00-14.00.
- Mall Ambasador, dimulai tanggal 1-31 Maret 2010 setiap hari kerja dibuka pukul 10.00-15.00.

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia tetap buka dan memperpanjang jam kerja pada:

Hari Sabtu, tanggal 20, 27 Maret 2010 dan 24 April 2010 dengan jam kerja mulai pukul 08.30-12.00 waktu setempat.
Hari Rabu, tanggal 31 Maret 2010 dan hari Jumat, tanggal 30 April 2010 dengan jam kerja mulai pukul 07.30-19.00 waktu setempat.

Terakhir, serahkan SPT Tahunan Anda sebelum 31 Maret 2010. Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000.

Selamat mengisi SPT Anda....

Nurul Qomariyah - detikFinance

Baca selengkapnya...

Pencari Alasan vs Pencari Kemajuan

Ada dua ekor katak di seberang jalan, menunggu mobil-mobil yang lalu lalang berhenti. Satu katak yang penakut, terus-menerus berkata pada temannya. "Jangan lewat dulu. Tunggu sampai betul-betul senggang. Lihat masih ada mobil-mobil yang lewat". Awalnya, si temannya mengikuti kata-kata temannya yang penakut ini. Tapi, semakin siang, kendaraan justru makin banyak. Oleh karena tahu bahwa mereka terlalu berisiko menyeberang dalam kondisi lalu lintas seperti itu, akhirnya si katak yang berani mulai mengusulkan. "Kita akan naik ke kendaraan yang jalan lambat sebagai cara kita untuk menyeberang", katanya. Akhirnya, tidak lama ada sebuah pedati lambat yang ditarik seekor kerbau. Di belakang pedati tersebut ada banyak tumpukan jerami. Akhirnya, si katak yang berani berkata, "Ayo.Ini kesempatan kita, ayo lompat". Namun, si katak penakut berkomentar, "Nanti kamu dibawa ke tempat yang tidak jelas. Tunggu saja dulu disini". Akhirnya, si katak yang berani melompat ke tumpukan jerami, sementara si katak penakut tetap menunggu. Di akhir kisahnya, si ketak pemberani ternyata justru dibawa ke tempat sekitar pertanian si pemilik kerbau yang merupakan sawah yang luas dan subur. Sementara, si katak penakut akhirnya mati kepanasan di pinggir jalan karena tubuhnya kekeringan.

Pembaca, kisah di atas saya jadikan sebagai pembuka saya untuk bercerita tentang dua jenis manusia yang sering saya jumpai yakni mereka-mereka yang sering mencari alasan (excuses) serta yang mencari jalan keluar atas permasalahan dalam hidup mereka.

Saat kita berhadapan dengan situasi yang sulit, biasanya kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Mencari alasan ataukah mencari solusi. Jika kita lebih suka mencari-cari alasan, maka produktivitas kita akan rendah dan kita pun jadi mudah stres. Namun, tatkala kita mulai berusaha mencari solusi, maka kita lulus dari ujian terbesar dalam hidup ini yakni kemampuan seseorang untuk membuat suatu keadaan menjadi lebih baik.

Tak mengherankan, jika dalam kata-katanya kepada para karyawannya, Enzo Ferrari, yang memelopori mobil Ferrari yang terkenal berkata, "I don't pay for excuses" (Saya tidak membayar untuk mendapatkan alasan-alasan"). Masalahnya, salah satu manusia paling berbahaya yang bisa kita temui adalah mereka-mereka yang terus-menerus mencari alasan mengapa sesuatu itu tidak berjalan semestinya dan siapa yang bersalah". Bersyukurnya kita adalah adanya manusia-manusia yang masih berpikir dengan waras, yang berusaha fokus pada solusi dan membuat sesuatu menjadi lebih baik, daripada mempertanyakan apa yang salah serta terus-menerus fokus pada alasan.

Berbagai alasan yang seringkali kita temui, misalkan : "Wah, ini masih awal tahun, biasanya penjualannya masih belum kencang", "Hari hujan dan badan saya kurang enak, jadi saya mendingan nggak masuk kerja aja", "Pencapaian kita turun, sebab kita pakai distributor yang baru", "Saya nggak bisa...", "Saya nggak yakin", dan masih banyak lagi lainnya.

Kalimat yang Lulus Ujian Kehidupan
Perhatikan kalimat-kalimat yang terakhir kita tuliskan. Bagaimanakah kalimat-kalimat tersebut diucapkan oleh mereka yang fokus pada solusi serta lulus ujian kehidupan? Beginilah kalimat-kalimat mereka, "Meskipun ini masih awal tahun, saya akan berusaha menjual sebaik-baiknya dan mencoba cara-cara baru yang bisa meningkatkan penjualan saya". "Hari ini memanghujan dan saya kurang enak badan, tetapi ada pekerjaan penting yang harus saya selesaikan dan saya akan minum obat tetapi tetap berusaha menyelesaikan tanggung jawab saya, entah ke kantor setengah hari atau kerjain di rumah", "Pencapaian merosot, saya kan bicara dengan distributor baru kita dan akan mengajari mereka", "Saya akan coba...", "Saya belum paham..".

Perhatikan kalimat-kalimat di atas. Itulah kalimat-kalimat yang saya katakan dimiliki oleh mereka-mereka yang berfokus pada solusi. Yang berusaha membuat sesuatu yang melenceng, kembali pada relnya lagi. Itulah orang-orang yang kita sebut "make it go right" (membuat segala sesuatu kembali pada jalurnya lagi). Dengan demikian, mereka tidak menyalahkan, mengkambingitamkan ataupun mengeluh. Merekalah yang pantas untuk dicontoh!

Filosofi 'Make it Go Right'

"Make it go right" adalah sebuah filosofi penting dalam hidup. Jika Anda ingin punya kehidupan ataupun bisnis yang bagus, Anda harus berfokus pada "go right". Prinsip ini berlaku hampir di setiap aspek kehidupan manusia. Jika Anda ingin punya kehidupan keluarga yang bahagia, sesulit apapun tantangan Anda ataupun pekerjaan yang bagus, sesulit apapun masalahnya, lakukan filosofi ini. Pikirkanlah bagaimana segala sesuatu, sesulit apapun, bisa mengalami kemajuan dan kembali pada jalurnya (go right).

Coba, sekarang pikirkanlah sebuah masalah terbesar yang Anda hadapi saat ini? Sekarang pikirkanlah jika Anda dihadapkan pada masalah, menyelesaikan persoalan ini atau Anda akan dijebloskan ke dalam penjara. Apakah yang Anda akan lakukan? Pastilah Anda akan mulai berusaha keras, mencari solusinya bukan?

Tips Penting!

Akhirnya, inilah tips sederhana dan penting bagi Anda untuk lulus dari ujian kehidupan ini. Pertama, fokuskan perhatian Anda pada situasi yang Anda hadapi. Lalu pikirkan apa masalah utamanya. Lantas, jangan mau terima alasan-alsan lagi, baik yang dibuat oleh anda sendiri maupun orang lain. Kalau Anda merasa masih kekurangan informasi, belajarlah lebih banyak. Lantas, mulailah lakukan sesuatu, ambil kendali dan teruslah bertahan, hingga Anda menang.

Kita akan tutup tulisan ini dengan kalimat menarik dari Ani Difranco, "Mungkin Anda tidak suka kerjaan Anda, mungkin Anda kurang tidur. Well, tidak ada orang yang sungguh-sungguh suka dengan kerjaannya, tidak ada orang yang sungguh-sungguh cukup tidurnya. Mungkin juga Anda baru saja mengalami hal buruk dalam hidupmu, tetapi tidak ada alasan untuk semua itu. Telanlah semuanya dan jadilah orang yang tetap tersenyum!"


By: Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

Selasa, 02 Maret 2010

The emotionally intelligent leader!

"Tiada instink yang lebih tajam daripada hati kita" Lord Byron

Suatu hari, seorang pemimpin sedang merayakan ulang tahun. Dengan susah payah, semua bawahannya telah mengumpulkan uang dan menunggu momen berharga ini untuk memberikan 'kejutan' berupa pesta ulang tahun di kantor mereka.

Pagi itu, saat si pemimpin tiba, ulang tahun pun dilakukan. Semua karyawan hadir. Pesta kecil-kecilan pun berlangsung. Namun, si pemimpin itu mukanya datar-datar saja dan setelah setengah jam lebih, setelah nyanyian ulang tahun dan tiupan lilin, si pemimpin itu berkata dengan dinginnya, "Udah ya. Saya tidak ingin kalian berlama-lama dengan kegiatan seperti ini pada pagi hari. Kalian mesti segera kembali ke tempat kerja!"

Begitu juga, pada lain kesempatan, ada seorang pemimpin yang anak buahnya baru saja kehilangan orangtuanya. Akibatnya, si anak buah tersebut harus pulang ke kampungnya untuk beberapa hari.

Pada hari yang kedua sejak kepulangannya, si anak buah ini mendapatkan SMS dari atasannya yang bunyinya, "Tolong jika semua urusan sudah selesai, segera kembali masuk kantor karena banyak tugasmu yang terbengkalai".

Pembaca, itulah berbagai pengalaman nyata yang dialami oleh beberapa anak buah dengan atasannya yang kurang cerdas emosinya. Mereka adalah para leader yang naik ke posisinya karena kemampuan teknisnya yang bagus, tetapi dari sisi kecerdasan emosi (EQ), mereka masih harus banyak belajar.

Tantangan para leader

Untuk menjadi pemimpin yang tinggi EQ-nya sebenarnya bukanlah hal yang sepele, tetapi juga bukannya tidak mungkin. Banyak pemimpin menyepelekan EQ, karena dianggap terlalu soft (ringan) dan dengan mudah bisa dipelajari. Mereka salah!

Dampaknya, banyak pemimpin yang kurang mengembangkan sisi EQ-nya. Tatkala posisi mereka semakin bergerak ke puncak organisasi, tuntutan akan kemampuan EQ-pun semakin kritikal. Nah, di sinilah banyak di antara mereka yang mengalami stagnasi dalam kariernya, gara-gara kemampuan EQ-nya jeblok.

Saya pribadi jadi teringat dengan buku karya John D. Mayer dan Peter Salovey terbitan tahun 1997 yang berjudul "Emotional Development dan Emotional Intelligence". Buku ini terbit lantaran terinspirasi adanya pemisah yang cukup lebar antara pentingnya emosi dalam kehidupan (harapan) para pemimpin dan tingkat pemahaman pemimpin akan emosi orang lain yang cenderung di bawah rata-rata (kenyataan).

Dari buku tersebut, saya diinspirasikan beberapa tip bagaimana cara untuk menjadi pemimpin yang cerdas secara emosional. Inilah yang sering kali kita sebut sebagai emotional blueprint. Apakah itu? Ini empat tip emotional blueprint yang bisa menjadikan Anda sebagai emotionally intelligent leader!

Empat emotional blueprint

Pertama, membaca serta mengidentifikasi emosi orang lain. Ketika pertama kali bertemu seseorang, apakah Anda bisa menerka dengan pas apa yang dirasakan orang tersebut?

Apakah Anda bisa membaca suasana hati mereka? Inilah hal pertama yang perlu dimiliki jika Anda saat ini adalah seorang leader yakni kemampuan mengidentifikasi secara akurat emosi orang lain serta bagaimana bersikap terhadap emosi tersebut.

Kelemahan banyak leader, umumnya terletak pada ketidakpekaan mereka terhadap apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Masalahnya, banyak leader merasa bahwa mereka berada dalam posisi 'dipahami' bukan untuk 'memahami'.

Ini sama halnya dengan kasus Marie Antoinette, istri raja Louis XVI yang akhirnya diganjar dengan hukuman pemenggalan kepala dengan pisau guilottine. Konon, rakyat bisa saja menyelamatkan dirinya, tetapi rakyat sudah telanjur kecewa lantaran tidak pernah 'didengarkan'.

Kisah Maria Marie Antoinette, sering kali dijadikan sebagai simbol pemimpin yang tidak peka terhadap perasaan orang yang dipimpinnya.

Yang jelas, dengan kemampuan kepekaan yang tinggi terhada perasaan orang lain, maka kita bisa bertindak dengan tepat terhadap orang tersebut. Inilah langkah paling pertama dan paling fundamental.

Langkah kedua, yakni menggunakan kekuatan emosi. Inilah kemampuan kedua yang perlu dimiliki seorang leader yang cerdas emosinya, yakni kemampuan memilih serta memutuskan emosi apakah yang tepat untuk membantunya mencapai sasarannya.

Di sini, para pemimpin mestinya sadar bahwa, penyebab mengapa seseorang tidak berkinerja baik dalam pekerjaannya, banyak disebabkan oleh penggunaan emosi yang salah atau tidak pada tempatnya.

Contohnya untuk menciptakan suasana kerja yang baik, tentunya harus melibatkan unsur emosi yang fun serta menyenangkan dan penuh dengan antusias. Apa jadinya jika emosi yang dilibatkan adalah emosi sedih, tidak mood. Tentunya akan kontraproduktif, kan?

Maka itu, seorang leader ber-EQ tinggi, mengerti bagaimana menciptakan suasana emosi yang pas untuk menunjang pekerjaan timnya. Lihatlah kisah Napoleon Bonaparte yang konon begitu mampu menciptakan emosi yang luar biasa pada prajuritnya, sehingga dikatakan kehadiran dirinya saja setara sudah dengan 1.000 tentara! Nah, pertanyaannya, bagaimana dengan emosi yang tercipta dari kehadiran Anda di tim Anda?

Ketiga, belajar memahami emosi terselubung. Emosi memiliki bahasa tersendiri. Kemampuan untuk memahami emosi berarti Anda dapat merasakan serta memahami emosi orang lain, sehingga Anda dapat berespons dengan cara yang efektif.

Namun, sering kali saya dibanjiri pertanyaan, "Kalau mereka tidak bilang, bagaimana saya bisa tahu?". Nah, justru di situlah tantangannya. Salah satu tantangan sebagai seorang leader adalah dapat memahami emosi-emosi yang tidak terkatakan bahkan tidak terungkapkan, khususnya oleh tim yang Anda pimpin. Saat Anda mahir dengan kemampuan ini, produktivitas kerja dengan tim akan dapat dilipatgandakan.

Pertanyaannya apakah kita bisa peka untuk memahami emosi terselubung dari orang lain? Bagaimana caranya? Secara spesifik biasanya saya kupas tuntas di dalam program Kecerdasan Emosional selama 3 hari, yang kami adakan juga pada bulan ini.

Keempat, kelola emosi pribadi. Perlu dipahami, emosi sendiri mengandung informasi yang penting. Sebagai seorang leader sangatlah berharga untuk selalu peka terhadap emosinya sendiri. Apa yang sedang disampaikan oleh bawah sadar Anda kepada diri.

Anda melalui emosi yang Anda rasakan? Selanjutnya, seorang pemimpin bisa menggunakan informasi dari emosinya sendiri untuk menuntunnya dalam proses pengambilan keputusan.

Sudah berulang kali, saya mendengar kisah dari pemimpin yang terlepas dari pengambilan keputusan bisnis yang fatal lantaran mendengarkan emosinya yang merasa 'kurang sreg'.

Intinya, mulai sekarang, untuk menjadi leader yang tinggi EQ-nya, Anda harus mulai belajar kelola emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Untuk itu, renungkanlah dan ukurlah keempat emotional blueprint ini dalam hidup Anda. Selamat menjadi emotionally intelligent leader!


Oleh: Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

Senin, 01 Maret 2010

Pè-Ès-Cé

Sudjono adalah satu nama di antara belasan guru Sekolah Dasar yang menjadi top of mind di benak saya sampai detik ini. Sebuah percakapan terjadi di kelas 5A pada hari Senin pagi minggu pertama bulan Maret 1971. Pak Djono, sebagaimana biasa, selalu memulai pelajaran menggambarnya dengan cerita. Berikut adalah salah satu cerita yang menggurat di ingatan saya:

Seorang lelaki tua tinggal di pusat kota Jakarta. Ia biasa bangun pagi, mengunci pintu, menuju ke arah jalan raya, dan berjalan melewati trotoar menuju Stasiun Gambir; kemudian duduk di pinggiran jalan masuk stasiun, dan meminta-minta kepada para calon penumpang kereta api. Ia selalu melakukannya setiap hari, hampir tanpa sela. Ia kemudian duduk di tempat dan sudut jalan yang sama; dan ia sudah melakukannya selama 20 tahun.

Rumahnya sangat kotor dan jorok. Setiap kali pergi meninggalkan atau kembali ke rumah, ia sendiri mencium bau sangat tak sedap dan kadang menimbulkan sentakan dari arah lambung dan terasa mau memuntahkan cairan lewat mulutnya. Para tetangganya sudah tak tahan mencium bebauan luar biasa itu sehingga bersepakat meminta pihak polisi pamongpraja membersihkan rumah si lelaki tua. Para petugas polisi membuka paksa pintu rumah, meski tak sampai merusaknya; dan membersihkan keseluruhan ruangan. Mereka menemukan tas-tas kecil penuh berisi uang, terhampar dan bertumpuk di hampir semua bentang ruang: uang yang dikumpulkan si lelaki tua selama bertahun-tahun.

Polisi pamongpraja menghitung jumlah uang, dan berkesimpulan bahwa sesungguhnya lelaki tua itu seorang jutawan. Para tetangga pun menanti di luar rumah untuk menunggu salah satu polisi pamongpraja menyampaikan kabar baik kepada si lelaki tua. Tatkala tiba di rumah pada sore harinya, salah seorang polisi pamongpraja menemui si lelaki tua dan menyampaikan bahwa ia tak perlu lagi meminta-minta, karena ia ternyata seorang yang kaya raya, seorang jutawan!

Si lelaki tua tak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Pada pagi harinya ia bangun sebagaimana biasa, pergi ke arah jalan raya, berjalan menyusuri trotoar, dan berakhir di sudut jalan masuk Stasiun Gambir; melanjutkan kebiasaannya: meminta-minta sedekah. Ia tak punya rencana besar, impian, atau apa pun yang ia anggap penting bagi hidupnya. Ia hanya berfokus pada tindakan yang ia kerjakan dengan senang, dengan seluruh komitmennya.

Agenda Terbengkalai
Terinspirasi dari cerita di atas, dapatkah Anda merumuskan, betapa penting pekerjaan yang Anda lakukan? Apa yang krusial di sini ialah pemaknaan Anda tentang personal sense of commitment (PSC), terlepas apa kata orang, atau sejauh mana PSC Anda sesuai dengan pernyataan resmi misi perusahaan/kantor di mana Anda bekerja.

Sekurangnya di dalam PSC terkandung tiga pemicu. Pertama, PSC membuat saya dan Anda menghayati secara nyata kehidupan kerja dari hari ke hari. Kedua, PSC membangun makna dan arah (sense of purpose) dari apa yang sedang saya dan Anda kerjakan. Dan, ketiga, PSC membawa saya dan Anda menuju ke pusat kepedulian dan menemukan “commitment statement” atas karya kerja saya dan Anda.
Terlepas pula dari orang menganggap Anda sekarang sosok macam apa, pertanyaan yang lebih penting adalah pertanyaan, “Saya pikir sekarang saya berada di mana?” Mungkin Anda berusia 25, atau 35, atau bahkan 50 tahun? Bisa saja Anda merasa tidak sedang menjalani pekerjaan yang Anda inginkan…atau tidak tinggal di tempat yang Anda aspirasikan. Boleh jadi Anda belum menuliskan novel yang pernah terlintas ingin Anda tuliskan? Belum sempat mendatangi tempat-tempat yang Anda mimpikan semasa kanak-kanak? Kesehatan Anda tak sebaik yang Anda harapkan? Lantas tercecer di mana mimpi-mimpi Anda itu?

Bukankah pertanyaan-pertanyaan itu yang sering menyengat kesadaran kita? Saya pun sama merasa tersengat oleh pertanyaan-pertanyaan senada begitu membaca suatu hasil survei lima tahun lalu yang melaporkan, di antara para mahasiswa pascasarjana yang sedang menempuh program doktoral di Universitas Harvard, 5% saja yang menuliskan pernyataan tujuan di catatan pribadi. Dan, dari yang melakukan tindakan ini 90% mencapai yang mereka citakan. Kisah lain, di saat usianya menginjak 71, Michelangelo ditunjuk sebagai chief architect Katedral St. Peters di Roma. George Bernard Shaw menulis “Farfetched Fables” di usia 93. Picasso masih melukis di usia 90. Pak Ciputra, sejauh saya baca, memulai membangun kerajaan bisnisnya di usia 57. Jadi, saya yakin, kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun situasi kita, “it’s NEVER TOO LATE FOR STARTING”; asalkan kita punya PSC yang berangkat dari kekinian kita.

PSC dan Kendali Diri
PSC, sejauh saya ketahui dari berbagai penelitian psikologi (Ainslie dan Haslam 1992; Baumeister dan Vohs 2003; O’Donoghue dan Rabin 1999, 2003; Prelec dan Bodner, 2003), berkait erat dengan derajat pengendalian diri yang bervariasi antarpribadi seturut pertimbangan rasional tentang konsekuensi yang kita antipasikan. Kita sering men-set alarm clock dengan maksud agar bangun lebih pagi –hal yang mencerminkan preferensi kita untuk segera berhenti dari kelelapan tidur kita. Sesaat setelah alarm clock berhenti bunyi, kita sering secara spontan memencet tombol snooze, me-reset alarm, atau malahan mematikannya sama sekali, yang merefleksikan preferensi kita yang bertentangan dengan rencana awal. Dalam perkara lain kita sering mencanangkan namun sekaligus menganulir rencana lantaran kelemahan kita yang bersumber pada kendali diri.

Para peneliti dari berbagai disiplin —ilmu politik, ekonomi, dan psikologi— meneliti ikhwal kendali diri tersebut. Selain bervariasi antarpribadi seturut pertimbangan rasional tentang konsekuensi yang diantisipasikan bakal terjadi, kendali diri merupakan ajang pertempuran yang bersifat multiple selves (Elster 1979; Winston 1980; Schelling 1984), di mana terdapat satu diri yang berwawasan jauh ke depan sebagai pembuat keputusan versus diri-diri lain yang menjadi penikmat hasil masa depan. Di sana terjadi konflik perencanaan antarwaktu, yakni antara “sang perencana di malam hari” dan “pelaksana di pagi hari”. Perencana men-set alarm, dan pelaksana me-reset-nya pada pagi harinya. Jika perencana dan pelaksana sepakat seia dalam kata dan tindakan antarwaktu, maka terjadilah yang dinamakan “komitmen”. “Komit” berarti mengikatkan diri sejak pikiran, kata, hingga tindakan dengan konsekuensi yang sudah terbayangkan dan siap diambil risikonya sejak direncanakan.

Jika PCS ini raib dari diri kita, segalanya menjadi tak terukur, termasuk klaim tentang kegagalan dan keberhasilan kita. Salah satu bukti, hasil survei NBRI (National Business Research Institute, Inc.) tentang Employee Engagement berhasil memetakan, PSC berkorelasi dengan pengembangan karier, iklim organisasi, efektivitas komunikasi, besaran kompensasi, budaya organisasi, kepuasan kerja, keseimbangan hidup, dan morale kerja.

Itulah efek dari cerita Pak Djono sebelum memulai pelajaran menggambar yang saya coba maknai secara lebih kini. Cerita itu tidak saja membuat saya dan teman-teman menggambar secara lebih hidup, tetapi juga memperoleh gambaran tentang hidup, hidup dalam komitmen sekaligus komitmen menjalani hidup. Semoga.


Edy Suhardono

Baca selengkapnya...