Sabtu, 24 April 2010

Sumber Kalsium untuk Jaga Kekuatan Tulang Anda

Agar kepadatan tulang Anda tetap terjaga, konsumsilah susu dan makanan yang mengandung kalsium.

Saat bayi, orangtua rajin memberikan kita susu. Tapi mengapa beranjak dewasa, kita semakin malas minum susu? Padahal, kalsium punya banyak manfaat untuk tulang dan gigi Anda.

Susu penambah kepadatan massa tulang telah menjadi bagian dari gaya hidup, berikut berbagai aktivitas untuk menjaga kesehatan tulang. Salah satu fokus perhatian adalah pada massa tulang yang semakin berkurang akibat penambahan usia.

Selain pada susu, kepadatan massa tulang juga turut didukung banyak hal. Kalsium terkandung pula di dalam susu, ikan teri, sup tulang, dan sayuran hijau seperti bayam dan kacang-kacangan. Agar kepadatan tulang Anda tetap terjaga, konsumsilah susu dan makanan yang mengandung kalsium.

Kemudian, agar kalsium yang berasal dari susu dan makanan dapat diserap sempurna, diperlukan vitamin D. Sumber vitamin D, antara lain sinar matahari pagi (antara pukul 06.00-09.00 WIB) dan sore (setelah pukul 16.00 WIB), ikan salmon, sarden, kuning telur, hati, susu, keju, dan produk olahan susu lainnya.

Cara lain untuk memperkuat dan menambah kepadatan massa tulang adalah berolahraga. Ada begitu banyak pilihan jenis olahraga yang bisa Anda coba, misalnya bersepeda, berenang, jogging, berjalan kaki, atau naik-turun tangga.

Gaya hidup sehat juga sangat memengaruhi kekuatan dan kepadatan massa tulang. Mulai dari sekarang berhentilah merokok, mengurangi intensitas minum kopi, alKohol, teh, dan cola. Minuman-minuman semacam itu bisa menghambat penyerapan kalsium. Sebaliknya, konsumsilah makanan bergizi yang memenuhi 4 sehat 5 sempurna.


Okezone

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 April 2010

Hukum Memberi

Alkisah, seekor babi sedang bersungut-sungut dan komplain tentang hidupnya kepada seekor sapi. Dia jengkel karena manusia tidak pernah menghargai hidupnya. Bahkan, namanya sendiri sering kali dipakai untuk memaki.

"Bayangkan, aku dipotong. Lantas hampir semua tubuhku dimakan. Aku dijadikan sosis. Kakiku saja, ada yang mau memakannya," kata si babi dengan marahnya.

Namun, kenapa aku tidak pernah dihargai? lanjutnya. Bahkan, dianggap najis. Bandingkan aku dengan dirimu yang lebih dihargai. Di beberapa tempat kamu dianggap suci.

Si sapi, dengan penuh pengertian, menjawab omongan si babi itu, "Babi temanku. Mungkin perbedaannya adalah kamu memberikannya setelah kamu mati, tetapi aku memberikan semuanya kepada manusia, ketika aku masih hidup!"

Pembaca, kita melihat, banyak orang yang ingin disanjung dan dipuji. Namun, mereka sendiri ternyata pelit sekali untuk memberi. Akibatnya, apa yang terjadi? Mereka pun ternyata jarang dihargai.

Realitanya, ada sebuah aturan prinsip kekal yang disebut law of giving (hukum memberi), yaitu penghargaan yang kita terima berkorelasi positif dengan pemberian yang kita berikan seumur hidup kita.

Perhatikanlah orang-orang terbesar sepanjang sejarah. Para nabi dan orang suci yang mem­punyai umat yang banyak. Salah satu alasannya karena mereka banyak memberi selama hidupnya.

Bahkan, beberapa di antaranya sungguh mengorbankan dirinya, ada yang melakukan perjalanan begitu jauhnya dengan cara keluar dari comfort zone, ada yang menyangkal kehidupan begitu enak yang bisa mereka nikmati, demi orang lain.

Itulah sebabnya, mereka dikenang sepanjang masa. Sebenarnya, bukan hanya dalam hal spiritual, dalam hal kehidupan sehari-hari pun, kita mengenal orang yang dikenang, dihargai karena apa yang mereka beri sepanjang hidup mereka.

Di salah satu kampung teman saya, terdapat sebuah makam yang hingga sekarang masih dikunjungi. Konon, makam itu adalah makam seorang kaya yang paling murah hati.

Pada waktu banyak pengungsian terjadi karena suatu bencana. Si orang kaya ini menyediakan gudang dan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat penampungan.

Dia pun mengeluarkan banyak uang demi para pengungsi. Dia tidak berhitung-hitung. Maka itu, ketika dia meninggal, bahkan lama setelah meninggal pun, banyak orang yang berdatangan dan menaruh hormat kepadanya.

Hukum memberi yang pertama, kurang lebih berbunyi "Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai". Maka, sebagai konsekuensinya, jika kita tidak pernah memberi kita pun tidak akan pernah menuai apa pun.

Ketika di SMP dulu, saya teringat seorang rekan saya yang sempat begitu iri ketika dia tidak pernah mendapatkan kartu ucapan ulang tahun atau kartu hari raya. Dia membandingkan dirinya dengan temannya.

Maka, kepadanya dia dinasihati. "Temannya yang lain yang sering mendapatkan kartu ucapan karena dia murah hati dan sering kali mengajari rekannya yang lain. Sementara, kamu sendiri sangat pelit berbagi ilmu" Tak heran, dia menjadi jarang diberi karena dia pun jarang memberi.

Hukum memberi yang kedua berbunyi, "Ketika kita memberi. Kita akan mendapatkan balasannya. Mungkin akan langsung kita terima, mungkin juga diterima dalam beberapa generasi yang akan datang, tetapi kemuliaan kita terletak pada ketidakinginan kita untuk mengharapkannya".

Bicara tentang hukum ini, pernahkah Anda baca kisah tentang seorang ibu yang mem­be­ri­kan sebotol susu kepada seorang anak kecil yang kelaparan. Kelak, ternyata ketika ibu ini su­dah tua, dan harus dioperasi, ternyata dia di­to­long oleh seorang dokter muda yang mem­bayari semua ongkos operasinya yang mahal.

Saat, si ibu ini mau membayar, si suster memberinya sebuah surat dari si dokter yang berbunyi, "Semua biaya obat ibu, sudah dibayar lunas dengan segelas susu". Ternyata, si dokter ini adalah bocah yang dulu pernah dibantunya dengan segelas susu.

Sama sekali tidak terbayangkan bahwa kelak si anak gembel yang ditolongnya akan menjadi seorang dokter terkemuka. Itulah nilai dari balasan yang kita terima. Sama sekali kita tidak pernah menduga, pemberian yang kita terima akan kembali dalam bentuk apa.

Namun, lebih baik kita tak mengharapkannya. Toh si ibu itu pun tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menerima balasan apa pun pada kemudian harinya. Justru apa yang diberikannya, ternyata kembali dalam bentuk suprised yang luar biasa.

Hukum memberi yang keempat berbunyi, "Nilai pemberian sebenarnya diukur dari dua hal yakni ketulusan serta nilai pemberian itu sendiri bagi diri kita sendiri". Ada seorang jutawan yang memberikan berjuta-juta uangnya untuk membantu.

Namun, nilai uang itu sebenarnya tak mencapai 1% dari kekayaannya. Maka, sebenarnya nilai pemberiannya itu tidak seberapa dibandingkan dengan seorang pengemis yang rela memberikan uangnya untuk membantu pengemis lain yang mendapat kecelakaan.

Padahal, dia sendiri membutuhkan uangnya. Namun, dia tahu rekannya yang kecelakaan lebih membutuhkan. Di sinilah nilai pemberian menjadi relatif. Pemberian pun diukur dari ketulusan hati orang yang memberikannya.

Bicara soal ini, saya teringat tatkala Bob Geldof dan Midge Ure, pada 1984 mengumpulkan dana melalui album lagu untuk anak-anak yang kelaparan di Ethiopia. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan berjuta-juta poundsterling untuk usahanya.

Atas usahanya, Midge Ure dan Geldof pernah berujar, "Kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya hanya tergerak mengoordinasi para artis untuk menyanyi. Seharusnya yang mendapatkan nama adalah para artis yang mau datang capai-capai untuk menyanyi.”

Kepada merekalah, lanjutnya, seharusnya kita berterima kasih. Mereka bisa saja memberikan uangnya, tetapi bukan itu yang terpenting. Namun, waktu dan pengorbanan mereka itulah yang paling berharga, yang mesti kita hargai!"

Kalimat Bob Geldof cukup beralasan, karena bahkan Boy George, si penyanyi yang sebenarnya masih kecapaian, rela datang terbang dengan Concorde dari New York hanya untuk terlibat dalam proyek sosial mereka.

Sulitnya melakukan

Berbicara mengenai keempat hukum memberi ini saya pun teringat dengan pepatah, "Mereka yang selalu memberi tanpa mengharapkan apa pun, adalah orang yang pantas mendapatkan cinta. Pada akhirnya, mereka pun akan mendapatkannya".

Kalimat ini sebenarnya diucapkan oleh Bunda Teresa dari Kolkata yang pernah mendapatkan Nobel atas usahanya menolong para miskin. Singkatnya, hukum ini berbicara mengenai filosofi memberi di mana kita justru menjadi orang yang layak menerima karena hidup kita banyak memberi.

Paradoksnya, semakin kita berusaha menahan, mengambil dan berusaha menjaga apapun apa yang kita miliki, maka kita akan lebih banyak kehilangan. Saya sendiri pernah membaca kisah seorang gelandangan yang begitu pelit dalam hidupnya, yang ketika digeledah setelah dia meninggal, ternyata dia punya uang beratus-ratus dolar yang tidak pernah digunakannya.

Pertanyaannya: apa yang kini dia bisa guna­kan dengan uangnya itu? Toh tahukah Anda apa yang akhirnya pemerintah lakukan dengan uang tersebut? Uang itu akhirnya diambil oleh ne­gara untuk membantu gelandangan seperti dirinya.

Akhirnya, tulisan tentang hukum memberi ini tampaknya lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Seperti dikatakan oleh seorang penulis spiritual, "Keinginan daging kita adalah menjadi serakah dan mengumpulkan. Jauh lebih mudah menghidupi logika mengumpulkan bagi kita sendiri daripada memberi bagi orang lain. Namun, mari kita berusaha menjadi berkat bagi orang lain karena hidup kita sebenarnya sudah menerima banyak berkat."


Oleh: Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

Kamis, 22 April 2010

Seven Habits of Highly Effective People

From Dependence to Interdependence

Our character is a composite of our habits. Changing habits is hard, but can be done by tremendous commitment.

A (good) habit can be defined as the intersection of knowledge, skill and desire. Change is a cycle of being and seeing (visualization).

Our objective is to move progressively on a maturity continuum from dependence to independence to interdependence. Although independence is the current paradigm of our society, we can accomplish much more by cooperation and specialization. However, we must achieve independence before we can choose interdependence.


Habits 1, 2 and 3 (Be Proactive, Begin With The End In Mind, Put First Things First) deal with self mastery. They are the "private victories" required for character growth. Private victories precede public victories.

Habits 4, 5 and 6 are the more personality-oriented "public victories" of Teamwork, Cooperation and Communication.

Habit 7 is the habit of Renewal, creating an upward spiral of growth.

Effectiveness lies in balancing our Production (P) with building Production Capacity (PC).

Organizationally, the PC principle is to always treat your employees as you want them to treat your best customers. We must understand that the best contributions of our employees - their hearts and minds - are as volunteers, because they want to.

This process of growth will be evolutionary, but the net effect will be revolutionary.

Personality vs. Character Ethics

There have been two dominant theories of achieving success in the literature of the past 200 years, the personality ethic and the character ethic. The personality ethic has been in the forefront since World War I. Previously, the character ethic was dominant.

According to the character ethic, it is most important to focus on integrating the principles of effective living into one's character. This may be a long-term process, but working on the character, including an effective view of the world, is getting at the root from which behavior flows and so is fundamental. The character ethic sees individual development as a long-term process bearing results according to the law of the harvest.

According to the personality ethic, there are skills and techniques one may learn and a public image, personality and attitudes one may develop that result in success. The problem is, eventually we may be discovered as insincere and shallow. These ideas may be helpful when they flow naturally from a good character and the right motives, but they are secondary.

A paradigm is a model, theory or explanation of something else. It is the "lens" of our preconceived notions through which we view the world. If our paradigm is not close to reality, our attitudes, behaviors and responses will not be effective or appropriate. We will be as lost as a person trying to function in Chicago with a map of New York. We can only accomplish quantum improvement in our lives if we accomplish a paradigm shift resulting in a more accurate and effective view of the world. Some paradigm shifts may be fast (a blinding flash of the obvious), some are more slow (a change in character).

The Seven Habits is a principle-centered paradigm. Principles are guidelines for human conduct that are proven to have enduring, permanent value -- they are fundamental

Habit 1 : Be Proactive - Personal Vision

In our society, we have accepted 3 deterministic explanations of human limitations: genetic determinism, psychic determinism and environmental determinism.
On closer examination, we discover that between stimulus and response, man has the freedom to choose. We don't have to function on "auto pilot".

Proactivity means that, as human beings, we are responsible for our own lives. Our behavior is a function of our decisions, not our conditions. We can subordinate feelings to values. We have the initiative and the responsibility to make things happen.

Our most difficult experiences become the crucibles forging our character and developing our inner powers.

There are three central values in life: the experiential (that which happens to us), the creative (that which we bring into existence), and the attitudinal (our response to difficult circumstances). What matters most is how we respond to what we experience in life.

Taking the initiative means recognizing our responsibility to make things happen. Use your R(esourcefulness) and I(nitiative).

Proactivity is grounded in facing reality but also understanding we have the power to choose a positive response to our circumstances.

Organizations of every kind can be proactive by combining the creativity and resourcefulness of proactive individuals to create a proactive culture within the organization.

We need to understand how we focus our time and energy to be effective. The things we are concerned about could be described as our "Circle of Concern". There are things we can really do something about, that can be described as our "Circle of Influence". When we focus our time and energy in our Circle of Concern, but outside our Circle of Influence, we are not being effective. However, we find that being proactive helps us to expand our Circle of Influence. (Work on things you can do something about.)

Reactive people focus their efforts on the Circle of Concern, over things they can't control. Their negative energy causes their Circle of Influence to shrink.

Our problems fall in three areas: Direct Control (problems involving our own behavior), Indirect Control (problems involving other people's behavior), or No Control (problems we can do nothing about). Direct Control problems are solved through the private victories of Habits 1, 2 and 3. Indirect Control problems are solved through methods of influence, the public victories of Habits 4, 5, and 6. No Control problems are best dealt with through attitude.

The Circle of Concern is filled with the "have" statements. The Circle of Influence is indicated by "be" statements. Anytime we think the problem is "out there," that thought is the problem.
While we are free to choose our actions, the consequences of our actions are governed by natural law. Sometimes we make choices with negative consequences, called mistakes. We can't recall or undo past mistakes. The proactive approach to a mistake is to acknowledge it instantly, correct and learn from it. Success is the far side of failure.

At the heart of our Circle of Influence is our ability to make and keep commitments and promises. Our integrity in keeping commitments and the ability to make commitments are the clearest manifestations of proactivity.

Habit 2 : Begin With The End In Mind - Personal Leadership

When we begin with the end in mind, we have a personal direction to guide our daily activities, without which we will accomplish little toward our own goals. Beginning with the end in mind is part of the process of personal leadership, taking control of our own lives.

All things are created twice. We create them first in our minds, and then we work to bring them into physical existence. By taking control of our own first creation, we can write or re-write our own scripts, thus taking some control and responsibility for the outcome. We write or re-write our scripts using our imagination and conscience.

There are three major aspects of our personal and business management. First is leadership - what do I/we want to accomplish? Second is management - how can I best accomplish it? Third is productivity - doing it. According to Peter Drucker and Warren Bennis, "Management is doing things right; Leadership is doing the right things."

A starting point in beginning with the end in mind is to develop a personal mission statement, philosophy or credo. It will help you focus on what you want to be (character), do (contributions and achievements) and on the values and principles upon which your being and doing are based. The personal mission statement gives us a changeless core from which we can deal with external change.

Viktor Frankel developed a philosophy called "Logotherapy". Logotherapy helps an individual detect his unique meaning or mission in life by reexamining his personal vision and values to assure they are based on principles and reality.
We must reexamine the center of our life. Our center is the source of our security, guidance, wisdom and power. Making people or things outside ourselves important places ourselves at the mercy of mood swings, inconsistent behavior and uncontrollable changes of fortune. Being self-centered is too limiting - people develop poor mental health in isolation.

By centering our lives on correct principles, we create a stable, solid foundation for the development of our life support factors and embrace and encompass the truly important areas of our lives. Successful relationships, achievement and financial security will radiate from the principle center.

The principles we base our lives on should be deep, fundamental truths, classic truths, or generic common denominators. They will become tightly interwoven themes running with exactness, consistency, beauty and strength through the fabric of our lives.

In developing your personal mission statement, you can use your creative ability to imagine life milestones such as birthdays, anniversaries, retirement and funerals. What accomplishments would you like to celebrate? Visualize them in rich detail.

You can make your mission statement balanced and easier to work with by breaking it down into the specific role areas of your life and the goals you want to accomplish in each area.

If you find your actions aren't congruent with your mission statement, you can create affirmations to improve. An affirmation should have five ingredients: it should be personal, positive, present tense, visual and emotional.

You can also use visualization techniques.

Affirmation and visualization are both self programming techniques that should be used in harmony with correct principles.

Mission statements can also be made for families, service groups and organizations of all kinds. A family mission statement is an expression of its true foundation, its shared vision and values. Organizational mission statements should be developed by everyone in the organization. If there is no involvement in the process, there will be no commitment to the statement. The reward system must compliment and strengthen the stated value systems.

An organization may have an all-encompassing mission statement, and each location, or even each team, may have their own. However, they should all dovetail with each other.

If the mission statements of your family and organization dovetail with your personal mission statement, and you use those statements to keep your end in mind, you will accomplish your goals more quickly and easily.

Habit 3 : Put First Things First - Principles of Personal Management

Habit 1 - I am the Programmer.
Habit 2 - Write the Program.
Habit 3 - Execute the Program.
Habit 3 is Personal Management, the exercise of independent will to create a life congruent with your values, goals and mission. The fourth human endowment, Independent Will, is the ability to make decisions and choices and act upon them. Integrity is our ability to make and keep commitments to ourselves. Management involves developing the specific application of the ideas. We should lead from the right brain (creatively) and manage from the left brain (analytically).

In order to subordinate your feelings, impulses and moods to your values, you must have a burning "YES!" inside, making it possible to say "No" to other things. The "Yes" is our purpose, passion, clear sense of direction and value.

Time management is an essential skill for personal management. The essence of time management is to organize and execute around priorities. Methods of time management have developed in these stages: 1) notes and checklists - recognizing multiple demands on our time; 2) calendars and appointment books - scheduling events and activities; 3) prioritizing, clarifying values - integrating our daily planning with goal setting (The downside of this approach is increasing efficiency can reduce the spontaneity and relationships of life.); 4) managing ourselves rather than managing time - focusing in preserving and enhancing relationships and accomplishing results, thus maintaining the P/PC balance (production versus building production capacity).

A matrix can be made of the characteristics of activities, classifying them as urgent or not urgent, important or not important. List the activities screaming for action as "Urgent." List the activities contributing to your mission, value or high-priority goals as "Important."

Quadrant I activities are urgent and important - called problems or crises. Focusing on Quadrant I results in it getting bigger and bigger until it dominates you.
Quadrant III activities are urgent and not important, and often misclassified as Quadrant I.
Quadrant IV is the escape Quadrant - activities that are not urgent and not important.
Effective people stay out of Quadrants III and IV because they aren't important. They shrink
Quadrant I down to size by spending more time in Quadrant II.
Quadrant II activities are important, but not urgent. Working on this Quadrant is the heart of personal time management. These are PC activities.
Quadrant II activities are high impact - activities that when done regularly would make a tremendous difference in your life. (Including implementing the Seven Habits.)
Initially, the time for Quadrant II activities must come from Quadrants III and IV. Quadrant I can't be ignored, but should eventually shrink with attention to Quadrant II.
1) Prioritize 2) Organize Around Priorities 3) Discipline yourself
Self discipline isn't enough. Without a principle center and a personal mission statement we don't have the necessary foundation to sustain our efforts.
Covey has developed a Quadrant II organizer meeting six criteria:
1. Coherence - integrates roles, goals, and priorities.
2. Balance - keeps various roles before you so they're not neglected.
3. Quadrant II Focus - Weekly - the key is not to prioritize what's in your schedule, but to schedule your priorities.
4. A People Dimension - think of efficiency when dealing with things, but effectiveness when dealing with people. The first person to consider in terms of effectiveness is yourself. Schedules are subordinated to people.
5. Flexibility - the organizer is your servant, not your master
6. Portability
There are four key activities in Quadrant II organizing, focusing on what you want to accomplish for the next 7 days: 1) Identify Roles 2) Select Goals - two or three items to accomplish for each role for the next week, including some of your longer term goals and personal mission statement 3) Scheduling/Delegating - including the freedom and flexibility to handle unanticipated events and the ability to be spontaneous 4) Daily Adapting - each day respond to unanticipated events, relationships and experiences in a meaningful way.
Here are five advantages of this organizer: 1) It's principle-centered - it enables you to see your time in the context of what's important and what's effective. 2) It's conscience directed - it enables you to organize your life around your deepest values. 3) It defines your unique mission, including values and long-term goals. 4) It helps you balance your life by identifying roles. 5) It gives greater perspective through weekly organizing.
The practical thread is a primary focus on relationships and a secondary focus on time, because people are more important than things.
The second critical skill for personal management is delegation. Effectively delegating to others is perhaps the single most powerful high-leverage activity there is. Delegation enables you to devote your energies to high level activities in addition to enabling personal growth for individuals and organizations. Using delegation enables the manager to leverage the results of their efforts as compared to functioning as a "producer."
There are two types of delegation: Gofer Delegation and Supervision of Efforts (Stewardship). Using Gofer Delegation requires dictating not only what to do, but how to do it. The supervisor then must function as a "boss," micromanaging the progress of the "subordinate." The supervisor thus loses a lot of the leveraging benefits of delegation because of the demands on his time for follow up. An adversarial relationship may also develop between the supervisor and subordinate.

More effective managers use Stewardship Delegation, which focuses on results instead of methods. People are able to choose the method to achieve the results. It takes more time up front, but has greater benefits.
Stewardship Delegation depends on trust, but it takes time and patience. The people may need training and development to acquire the competence to rise to the level of that trust.
Stewardship Delegation requires a clear, up-front mutual understanding of and commitment to expectations in five areas:
1. Desired Results - Have the person see it, describe it, make a quality statement of what the results will look like and by when they will be accomplished.
2. Guidelines - Identify the parameters within which the individual should operate, and what potential "failure paths" might be. Keep the responsibility for results with the person delegated to.
3. Resources - Identify the resources available to accomplish the required results.
4. Accountability - Set standards of performance to be used in evaluating the results and specific times when reporting and evaluation will take place.
5. Consequences - Specify what will happen as a result of the evaluation, including psychic or financial rewards and penalties.
Using Stewardship Delegation, we are developing a goose (to produce golden eggs) based on internal commitment. We must avoid Gofer Delegation to get the golden egg or we kill the goose - the worker reverts to the gofer's credo: "Just tell me what to do and I'll do it."
This approach is a new paradigm of delegation. The steward becomes his own boss governed by his own conscience, including the commitment to agreed-upon desired results. It also releases his creative energies toward doing whatever is necessary in harmony with correct principles to achieve those desired results.
Immature people can handle fewer results and need more guidelines and more accountability interviews. Mature people can handle more challenging desired results with fewer guidelines and accountability interviews.
Habit 4 : Think Win-Win

Win/Win is one of six total philosophies of human interaction.
1. Win/Win - People can seek mutual benefit in all human interactions. Principle-based behavior.
2. Win/Lose - The competitive paradigm: if I win, you lose. The leadership style is authoritarian. In relationships, if both people aren't winning, both are losing.
3. Lose/Win - The "Doormat" paradigm. The individual seeks strength from popularity based on acceptance. The leadership style is permissiveness. Living this paradigm can result in psychosomatic illness from repressed resentment.
4. Lose/Lose - When people become obsessed with making the other person lose, even at their own expense. This is the philosophy of adversarial conflict, war, or of highly dependent persons. (If nobody wins, being a loser isn't so bad.)
5. Win - Focusing solely on getting what one wants, regardless of the needs of others.
6. Win/Win or No Deal - If we can't find a mutually beneficial solution, we agree to disagree agreeably - no deal. This approach is most realistic at the beginning of a business relationship or enterprise. In a continuing relationship, it's no longer an option.
The most appropriate model depends on the situation. When relationships are paramount, Win/Win is the only viable alternative. In a competitive situation where building a relationship isn't important, Win/Lose may be appropriate. There are five dimensions of the Win/Win model: Character, Relationships, Agreements, Supportive Systems and Processes.
1. Character is the foundation of Win/Win. There must be integrity in order to establish trust in the relationship and to define a win in terms of personal values. A key trait is the abundance mentality that there is plenty for everybody (v. the Scarcity Mentality). The abundance mentality flows from a deep inner sense of personal worth and security.
2. Relationships are the focus on Win/Win. Whatever the orientation of the person you are dealing with (Win/Lose, etc.), the relationship is the key to turning the situation around. When there is a relationship of trust and emotional bank account balances are high, there is a much greater probability of a successful, productive interaction. Negative energy focused on differences in personality or position is eliminated; positive, cooperative energy focused on understanding and resolving issues is built.
3. Performance agreements or partnership agreements give definition and direction to Win/Win,. They shift the paradigm of production from vertical (Superior - Subordinate) to horizontal (Partnership/Team). The agreement should include elements to create a standard by which people can measure their own success.

Defined results (not methods) - what is to be done and when.
1. Guidelines - the parameters within which the results should be accomplished
2. Resources - human, financial, technical or organizational support available to accomplish the results.
3. Accountability - the standards of performance and time(s) of evaluation.
4. Consequences - what will happen as a result of the evaluation.
The agreement may be written by the employee to the manager to confirm the understanding.
Developing Win/Win performance agreements is the central activity of management, enabling employers to manage themselves within the framework of the agreement. Then the manager can initiate action and resolve obstacles so employees can do their jobs.
There are four kinds of consequences that management or parents can control - Financial, Psychic, Opportunity and Responsibility. In addition to personal consequences, the organizational consequences of behaviors should be identified.
4. The Reward System is a key element in the Win/Win model. Talking Win/Win but rewarding Win/Lose results in negating the Win/Win paradigm. If the outstanding performance of a few is rewarded, the other team members will be losers. Instead, develop individual achievable goals and team objectives to be rewarded.
Competition has its place against market competitors, last year's performance, or another location or individual where cooperation and interdependence aren't required, but cooperation in the workplace is as important to free enterprise as competition in the marketplace. The spirit of Win/Win cannot survive in an environment of competition or contests. All of the company's systems should be based on the principle of Win/Win. The Compensation system of the managers should be based on the productivity and development of their people. Reward both P (production) and PC (building production capacity).

5. The Win/Win process has four steps.
1. See the problem from the other point of view, in terms of the needs and concerns of the other party.
2. Identify the key issues and concerns (not positions) involved.
3. Determine what results would make a fully acceptable solution.
4. Identify new options to achieve those results.
You can only achieve Win/Win solutions with Win/Win procedures. Win/Win is not a personality technique. It's a total paradigm of human interaction.
Habit 5 : Seek First to Understand Then to be Understood
We often prescribe before making a proper diagnosis when communicating. We should first take the time to deeply understand the problems presented to us.
The real key to influence is example - your actual conduct. Your private performance must square with your public performance.
Unless people trust you and believe you understand them, they will be too angry, defensive, guilty or afraid to be influenced. Skills of empathic listening must be built on a character that inspires openness and trust and high emotional bank accounts.

Empathic Listening
People tend to filter the information they receive through their own paradigms, reading their autobiography into other people's lives, or projecting their own home movies onto other people's behavior.
When another person is speaking, we usually "listen" at one of four levels: ignoring, pretending, selective listening, or attentive listening. We should be using the fifth, highest form of listening - empathic listening.

Active or reflective listening is skill-based and often insults the speaker.
Empathic listening is listening with intent to understand the other person's frame of reference and feelings. You must listen with your ears, your eyes and your heart.

Empathic listening is a tremendous deposit into the emotional bank account. It's deeply therapeutic and healing because it gives a person "psychological air."
Next to physical survival, the greatest need of a human being is psychological survival - to be understood, to be affirmed, to be validated, and to be appreciated.
Empathic listening is risky. It takes a great deal of security to go into a deep listening experience because you open yourself up to being influenced. You become vulnerable. In order to have influence, you must be influenced.
Diagnose Before You Prescribe
It can be dangerous to prescribe without an accurate diagnosis.
An effective salesperson seeks to understand the needs, concerns and situation of the customer.
An amateur sells products, the professional sells solutions.
This is a common denominator principle with its greatest power in interpersonal relationships.
Four Autobiographical Responses

Evaluate - Agree to disagree.
Probe - Ask questions from your own frame of reference.
Advise - Give counsel based on your own experience.
Interpret - Explain motives and behavior based on your own motives and behavior.
These behaviors are controlling and invasive. They may also be logical, and the language of logic is different from the language of sentiment and emotion.
You will never be able to truly step inside another person and see the world as he sees it until you develop the pure desire, the strength of personal character, and the positive emotional bank account as well as the empathic listening skills to do so.
The skills involve four developmental stages:
1. The least effective is to mimic content, which is taught in active or reflective listening - repeating what the person said back to him or her.
2. To rephrase the content is more effective, but still limited to the verbal communication. It's putting the persons' meaning in your own words. This is a "logical" approach.
3. To reflect feeling involves the right brain, emotional level.
4. To rephrase the content and reflect the feeling includes both the second and third, attempting to understand both sides of his communication and give psychological air.
All the well-meaning advice in the world won't amount to a hill of beans if we're not addressing the real problem. And we'll never get to the real problem if we can't see the world from another point of view.
By seeking first to understand, we can turn a transactional opportunity into a transformational opportunity. We can get on the same side of the table looking at the problem instead of staying on opposite sides staring at each other.
Emotional statements require empathic, logical-emotional responses.
Children will open up to their parents if they feel their parents will love them unconditionally and will be faithful to them afterwards, never ridiculing them.
Sometimes talking isn't necessary to empathize; the words may get in the way.
Empathic listening takes time, but not as much time as backing up and correcting misunderstandings, including living with problems and the results of not giving the people you care about psychological air.
Understanding and Perception
By understanding the other person, we can learn their paradigms through which they view the world and their needs. Then we can try to resolve our differences to work together.
Then Seek to be Understood
Knowing how to be understood is as important as seeking to understand in reaching Win/Win solutions, and requires courage.
The Greek philosophy of Ethos, Pathos, and Logos gives the sequence for effective communication. Ethos is your personal creditability. Pathos is the empathic side. Logos is the reasoning side. Most people go straight to the logical side without first establishing their character and building the relationship.
Describe the alternative they favor better than they can themselves. Then explain the logic behind your request.
When you can present your own ideas clearly, specifically, visually and most importantly contextually - in the context of a deep understanding of their paradigms and concerns - you significantly increase the creditability of your ideas.
One on One
Habit 5 is powerful because it focuses on your circle of influence. It's an inside out approach. You are focusing on building your understanding. You become influenceable, which is the key to influencing others. As you appreciate people more, they will appreciate you more.
Opportunities to practice this habit proactively occur every day with your co-workers, customers, friends, and family.
When we really deeply understand each other, we open the door to creative solutions and third alternatives. Our differences are no longer stumbling blocks to communication and progress. Instead they become the stepping stones to synergy.
Habit 6 : Synergize - Principles of Creative Cooperation
The exercise of the other habits prepares us for synergy.
Synergy means the whole is greater than the sum of its parts. The relationship which the parts have to each other is a part in and of itself - the most empowering, unifying and exciting part.
The essence of synergy is to value differences - to respect them, to build on strengths, and to compensate for weaknesses. The way to achieve synergy is through the creative process, which is terrifying, because you never know where the creative process will lead you.
Synergistic Communication
Synergistic communication is opening your mind and heart to new possibilities. It may seem like you are casting aside "beginning with the end in mind," but you are actually fulfilling it by clarifying your goals and discovering better ones.
Almost all creative endeavors are somewhat unpredictable, and unless people have a high tolerance for ambiguity and get their security from integrity and inner values, they find it unpleasant to be involved in highly creative enterprises.

By taking the time to really build a team, creating a high emotional bank account, the group can become very closely knit. The respect among members can become so high that if there is a disagreement, there can be a genuine effort to understand.
High trust leads to high cooperation and communication. The progression of communication is defensive (win or lose/win), to respectful (compromise), to synergistic (win/win). Synergistic communication must be achieved to develop creative possibilities, including better solutions than original proposals. If synergy isn't achieved, even the effort will usually result in a better compromise.
Synergy in the Classroom
A synergistic class progresses from a safe environment to brainstorming. The spirit of evaluation is subordinated to the spirit of creativity, imagining and intellectual networking. Then the entire class is transformed with the excitement of a new direction. This is not a flight of fancy, but of substance.
Other times a class may approach synergy, but descends into chaos. Synergy requires the right chemistry and emotional maturity in the group to develop.
Synergy in Business
Excitement can replace respectful exchanges and ego battles. But a particular synergistic experience can seldom be recreated. Rather, new experiences should be sought.
By synergistically creating a mission statement, it becomes engraved in the hearts and minds of the participants.
Fishing for the Third Alternative
The "middle" way may not be compromise, but a third alternative, like the apex of a triangle.
By mutually seeking to understand and be understood, the participants pool their desires. They work together on the same side to create a third alternative to meet everyone's needs.
Instead of a transaction, this is a transformation. Each participant gets what they really want, and they build their relationship in the process.
Negative Synergy
The usual win/lose approach results in expending negative synergy. It's like trying to drive down the road with one foot on the gas and the other on the brake. Instead of taking their foot off the brake, most people give it more gas. They apply more pressure to strengthen their position, creating more resistance. In contrast, a cooperative approach enables accomplishment.
The problem is that highly dependent people are trying to succeed in an interdependent reality. They may talk win/win technique, but they want to manipulate others. These insecure people need to mold others to their way of thinking.
The key to interpersonal synergy is intrapersonal synergy - synergy within ourselves helps us achieve synergy with others. The heart of intrapersonal synergy is the first three habits, which give the internal security sufficient to handle the risks of being open and therefore vulnerable. In addition, by learning to use the left brain, logic, with the right brain, emotion, we develop psychic synergy that is suited to reality, which is logical and emotional.
Valuing the Differences
The essence of synergy is to value the mental, emotional, and psychological differences between people. The key to valuing these differences is to realize that all people see the world, not as it is, but as they are.
The person who is truly effective has the humility and reverence to recognize his own perceptual limitations and to appreciate the rich resources available through interaction with the hearts and minds of other human beings.
That two people can disagree and both be right is not logical, it's psychological. And it's very real. We see the same thing, but interpret it differently because of our conditioning. Unless we value the differences in our perceptions and understand that life is not always a dichotomous either/or, that there are almost always third alternatives, we will never be able to transcend the limits of our conditioning.
If two people have the same opinion, one is unnecessary. So when I become aware of the difference in our perceptions, I say "Good! Help me see what you see." By doing that, I not only increase my awareness, but I also affirm you. I give you psychological air. I create an environment for synergy.
Force Field Analysis
According to Kurt Lewin, a sociologist, the current level of performance or being is a state of equilibrium between the driving forces encouraging upward movement and restraining forces discouraging it.
Driving forces are positive, personable, and conscious. Restraining forces are negative, emotional, unconscious, and social/psychological. Both forces must be considered in dealing with change.
Increasing driving forces may bring temporary results. Eventually, restraining forces act like a spring to throw the level back down.
To produce synergy, the concepts of win/win, mutual understanding and seeking synergy are used to work directly on the restraining forces. Involving people in the problem, so they understand it, makes it their problem. They tend to become an important part of the solution. As a result, shared goals are created, enabling the whole enterprise to move upward.
The legal process should be a last, not first, resort because it polarizes the parties, making synergy practically impossible.
All Nature is Synergistic
Ecology, the interrelationship of things, describes the synergism in nature. In the relationship creative powers are maximized. The Seven Habits are also interrelated and are most powerful when used together.
Synergy is the crowning achievement of the previous habits. It is effectiveness in an interdependent reality.
A lot of synergy is in your circle of influence. You can value both your own analytical and creative sides. You can sidestep negative energy and look for the good in others. You can courageously express your ideas in interdependent situations. You can value the differences in others when you see only two alternatives, yours and the "wrong" one. You can seek a synergistic third alternative.
Habit Seven : Sharpen the Saw - Principles of Balanced Self-Renewal
Suppose you came upon someone in the woods working to saw down a tree. They are exhausted from working for hours. You suggest they take a break to sharpen the saw. They might reply, "I didn't have time to sharpen the saw, I'm busy sawing!"
Habit 7 is taking the time to sharpen the saw. By renewing the four dimensions of your nature - physical, spiritual, mental and social/emotional, you can work more quickly and effortlessly. To do this, we must be proactive. This is a Quadrant II (important, not urgent) activity that must be acted on. It's at the center of our Circle of Influence, so we must do it for ourselves.
The Physical Dimension.
The physical dimension involves caring for your physical body - eating the right food, getting enough rest and relaxation, and exercising on a regular basis.
If we don't have a regular exercise program, eventually we will develop health problems. A good program builds your body's endurance, flexibility and strength. A new program should be started gradually, in harmony with the latest research findings.
The greatest benefit of taking care of yourself is development of your Habit 1 "muscles" of proactivity.
The Spiritual Dimension.
The spiritual dimension is your center, your commitment to your value system. It draws upon the sources that inspire and uplift you and tie you to timeless truths of humanity.
A doctor suggested that Covey try a four step prescription at three-hour intervals at his favorite place as a child. Listen carefully, try reaching back, examine your motives, and write your worries in the sand.
When we take time to draw on the leadership center of our lives, what life is ultimately all about, it spreads like an umbrella over everything else. This is why a personal mission statement is important.
The Mental Dimension.
It's important keep your mind sharp by reading, writing, organizing and planning. Read broadly and expose yourself to great minds.
Television is the great obstacle to mental renewal. Most of the programming is a waste of time.
Every day we should commit at least one hour to renewal in the first three dimensions: physical, mental, and spiritual. This practice is a "Daily Private Victory."
The Social/Emotional Dimension.
The physical, spiritual, and mental dimensions are closely related to Habits 1, 2 and 3: personal vision, leadership and management. The social/emotional dimension focuses on Habits 4, 5 and 6: the principles of personal leadership, empathetic communication and creative cooperation.
Our emotional life is primarily developed out of and manifested in our relationships with others. Renewing our social/emotional dimension requires focus and exercise in our interaction with others.
Success in Habits 4, 5 and 6 is not primarily a matter of intellect, but emotion; it's highly related to our sense of personal security. Intrinsic security comes from within, from accurate paradigms and correct principles deep in our own mind and heart. It comes from living a life of integrity, in which our daily habits reflect our deepest values.
There is also intrinsic security that comes as a result of effective interdependent living and from service, from helping other people in a meaningful way. Each day, we can serve another person by making deposits of unconditional love.

Scripting Others.
Most people are living in a reactive mode based on the social mirror. Their scripts are based on the opinions, prescriptions, and paradigms of the people surrounding them. As interdependent people, we recognize our role as part of that social mirror.
We can affirm the proactive nature of others by treating them as responsible people. We can help support them as principle-centered, value-based, interdependent, worthwhile individuals.
In the story of the mix up of the "bright" and "slow" students, the teachers of a group of "slow" children erroneously classified as "bright" said, "For some reason, our methods weren't working, so we had to change our methods." The IQ scores of the students dramatically improved. Apparent learning disability was really teacher inflexibility.
Goethe taught, "Treat a man as he is and he will remain as he is. Treat a man as he can and should be and he will become as he can and should be."
Balance in Renewal.
Self renewal must include balanced renewal in all four dimensions--physical, spiritual, mental and social/emotional. Neglecting any one area negatively impacts the rest.
The same concept also applies to organizations. The process of continuous improvement is the hallmark of the Total Quality movement and a key to man's economic ascendancy.
Synergy in Renewal.
The things you do to sharpen the saw in any one dimension have a positive impact in the other dimensions, because they are so highly interrelated.
The Daily Private Victory, a minimum of one hour a day to renew the personal dimensions, is the key to the development of the Seven Habits and is completely within your circle of influence. It's also the foundation for the Daily Public Victory. It's the source of the intrinsic security you need to sharpen the saw in the social/emotional dimension.
The Upward Spiral.
Renewal is the principle and process that empowers us to move on an upward spiral of growth and change, of continuous improvement.
Education of the conscience is vital to the truly proactive, highly effective leader. Conscience is the endowment that senses our congruence or disparity with correct principles and lifts us towards them. Training and educating the conscience requires regular feasting on inspiring literature, thinking noble thoughts, and living in harmony with its small voice.
Dag Hammarskjold, past Secretary-General of the United Nations, said, "He who wants to keep his garden tidy doesn't reserve a plot for weeds." The law of the harvest governs, we will always reap what we sow--no more, no less.
Moving along the upward spiral requires us to learn, commit and do on increasingly higher planes.
Conclusion - Inside Out Again
There is a gap between stimulus and response, and the key to both our growth and happiness is how we use that space. Do we respond to situations positively, proactively? Are we taking control of our own lives?
Meditating on this idea led Covey to start deep communication with his wife, including more and more discussion of their inner worlds. It was a time of inner discovery.
They developed two ground rules. First, "no probing," just empathize. Probing was too invasive. The second was when it hurt too much, quit for the day.
The most difficult and most fruitful part of this communication came when the vulnerability of each person was touched. They discovered a new sense of reverence for each other. They discovered that even seemingly truthful things often have roots in deep emotional experiences. To deal with the superficial trivia without seeing the deeper, more tender issues is to trample on the sacred ground of another's heart.
The ability to use wisely the gap between stimulus and response, to exercise the four unique endowments of our human nature, empowers us from the inside out. (The four endowments are self-awareness, imagination, conscience, and independent will. See the summary of Habit 1 - Be Proactive.)
By understanding the role of scripting, we understand the transcendent power in a strong intergenerational family. An effectively interdependent family of children, parents, grandparents, aunts, uncles, and cousins can be a powerful force in helping people have a sense of who they are, where they came from and what they stand for.
"There are only two lasting bequests we can give our children. One is roots, the other wings." - Anonymous.

We should make a personal goal of becoming a "transition person," a person who changes the scripts transferred to the next generation from negative to positive by being proactive. This should be part of our personal mission statement. A tendency that has run through a family for generations can stop with one person.

Anwar Sadat, the former President of Egypt, was a powerful transition person for peace in the Middle East. Sadat said, "He who cannot change the very fabric of his thought will never be able to change reality, and will never, therefore, make any progress."
Real change comes from the inside out. Amiel said, "Only these truths... which have become ourselves... are really our life... So long as we are able to distinguish any space whatever between truth and us we remain outside it. To become divine is then the aim of life.... It is no longer outside us, now in a sense even in us, but we are it, and it is we."
To achieve unity with ourselves, our loved ones, our friends, and our working associates, is the highest, best, and most delicious fruit of the Seven Habits.
Building a character of total integrity and living the life of love and service that creates such unity isn't easy, but it's plausible. If we start with the daily private victory and work from the inside out, results will surely come.


Written by : Stephen R. Covey

Baca selengkapnya...

Rabu, 21 April 2010

5 Level Kepemimpinan Sejati

Sebuah perusahaan di Jepang, sedang merugi besar. Saham perusahaan juga anjlok karena perusahaan sparepart otomotif ini, terpeleset di bisnis properti.

Tanpa pengalaman, SDM yang andal serta ditimpa krisis dunia, perusahaan ini nyaris rontok. Saham perusahaan anjlok dan karyawan yang marah serta menyalahkan pimpinannya.

Akhirnya, pertemuan pimpinan dan karyawan dilakukan. Karyawan siap menye­rang, menjatuhkan si pemimpin mereka.

Saat si pimpinan masuk, tidak ada sambutan tepuk tangan dan penghormatan. Ketika diberikan kesempatan untuk bicara, si pimpin­an serta-merta berlutut ke lantai, membungkukkan badannya dalam-dalam dan berkata, "Saudara-saudara sekeluarga di perusahaan ini. Saya minta maaf. Saya sungguh ingin minta maaf. Saya mengambil keputusan salah yang menyebabkan saham perusahaan kita anjlok."

Namun, lanjutnya, jika diizinkan, saya akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk membangun kejayaan perusahaan kita kembali, saya bersedia membayar ongkosnya dengan kerja keras saya.

Serentak, semua karyawan tertunduk, ikut membungkuk dalam-dalam dan banyak di antaranya yang menangis!

Kisah di atas mirip de­ngan kisah yang diceritakan Martin L. Johnson dalam Chicken Soup for the Soul at Work, tentang CEO Pioneer Hi-Bred International, karena membeli Norand, sebuah usaha IT, mereka akhirnya justru rugi besar.

Hal yang tak pernah terlupakan bagi karyawannya, adalah tatkala, dengan rendah hati, Tom Urban, CEO-nya meminta maaf de­ngan tulus serta mengambil tanggung jawab atas kesalahannya. Itulah contoh-contoh kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.

Pertanyaan paling pokok di sini adalah, bagaimana kita bisa sampai ke level kepemimpin­an yang bisa menginspirasi banyak orang?

John C. Maxwell, membagi kepemimpinan menjadi lima level yang harus dilewati. Menurutnya, jika kepemimpinan itu diibaratkan seperti anak tangga, terdapat lima tangga utama yang harus dilewati oleh para pemimpin­an di dalam organisasi.

Cobalah Anda evaluasi dan refleksikan, bagaimanakah posisi kepemimpinan Anda dan orang-orang di sekitar Anda, dan yang paling penting, coba perhatikan sampai di level manakah kepemimpinan Anda saat ini?

Level pertama, adalah level posisi (position). Inilah level kepemimpinan yang paling rendah. Pada dasarnya, orang mengikuti Anda karena 'kebetulan' mereka tidak punya pilihan sebab Andalah yang dipercaya untuk memegang posisi tersebut.

Pada level ini, otoritas seorang pemimpin hanya terbatas di posisi ini. Bawahan merasa hanya perlu berinteraksi sekadar untuk mendapatkan tanda tangan dan persetujuan.

Namun, di level ini, banyak bawahan tidak merasa dimiliki oleh atasannya, sehingga tak heran di belakang mereka sering mengata-ngatai bos mereka ini.

Saya pernah mendapatkan sebuah e-mail, dari seorang peserta pelatihan yang berkisah tentang bos-nya, "Pak, saya di perusahaan konsultan. Pimpinan saya diangkat karena jualannya bagus dan sangat pandai negosiasi."

Namun, lanjutnya, kami tidak pernah respek karena dia sendiri nggak pernah menganggap kami. Ia maju sendiri dan marah kalau dari kami ada yang kontak dengan pimpinan. Semua harus lewat dia. Di kantor, ia memiliki kami tetapi hati kami tidak bersama dia.

Pada kenyataannya, ada banyak pemimpin yang bertahun-tahun di posisi ini, tetapi tetap tidak pernah naik ke level berikutnya.

Nah, pada level kedua, adalah level di mana telah terjadi hubungan dan kesediaan (permission). Di sinilah orang mulai mengikuti bukan karena 'harus' tetapi karena mereka 'ingin'.

Di level inilah, pengaruh Anda sebagai pimpin­an mulai kelihatan. Sebenarnya, ketika memasuki level ini, sudah terjadi kontak batin serta mulai ada chemistry antara orang yang dipim­pin dengan yang memimpin.

Proses interaksi mulai terjadi dan hubungan pun mulai terbangun. Hanya saja, jika seorang pemimpin terlalu lama di tangga ini, bisa jadi ia menjadi sangat populer di mata bawahannya, hubungan baik tetapi hasil dan output-nya bisa kurang memuaskan. Itulah sebabnya seorang pemimpin tidak boleh terlalu lama di tangga ini.

Tangga kedua ini sebenarnya mengingatkan kita pada Edward Liddy, mantan Chairman dan CEO AIG, yang reputasinya anjlok setelah ia membagikan bonus besar kepada karyawannya.

Di mata karyawan mungkin saja tindakan itu dianggap populer, tetapi secara bisnis langkah ini tentu saja tidak strategis. Untuk selamat saja, AIG konon harus menerima dana bailout dari pemerintah AS sebesar US$84 miliar.

Berikutnya, level ketiga dari kepemimpinan adalah level menghasilkan (production). Kalau level kedua banyak berbicara mengenai pandang­an tentang Anda di mata karyawan level ketiga ini mulai berbicara mengenai pandangan Anda di mata manajemen.

Masalahnya, di sinilah orang mulai melihat bagaimana output team yang Anda hasilkan, setelah Anda mulai memimpin suatu tim. Jika seorang pemimpin sudah berhasil sampai di level ini, selain terdapat kontak batin yang baik antara pemimpin dan anak buahnya, juga terdapat hasil yang bisa dibanggakan.

Mengembangkan dan menginspirasi

Kemudian, level berikutnya adalah level pengembangan orang (people development). Di sinilah, seorang pemimpin tahu bahwa ia tidak bisa menjadi sukses sendirian, atau hanya dirinya yang mampu sementara anak buahnya bergantung adanya.

Dalam level inilah, maka seorang pemimpin mulai banyak meluangkan waktunya untuk melakukan proses coaching dan counseling ataupun mentoring untuk mendidik orang-orang di bawahnya agar mampu.

Sayangnya, banyak pemimpin yang terlambat sekali tiba di level ini. Baru-baru ini, dalam acara makan malam dengan seorang CEO yang sudah tua, dia mengatakan, "Pak Anthony. Saya agak terlambat menyiapkan orang-orang untuk menggantikan saya. Sekarang, saya sudah sakit-sakitan. Saya mulai membagikan semua ilmu yang saya miliki untuk orang-orang yang diproyeksikan akan memimpin bisnis ini di masa depan. Saya tidak tahu, apakah waktu saya masih akan mencukupi untuk itu"

Akhirnya, di ujung level kepemimpinan, terdapatlah level kepemimpinan yang tertinggi yang kita sebut sebagai level kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.

Hebatnya kepemimpinan model ini setelah pemimpin tersebut tidak ada, ataupun telah lama meninggalkan dunia ini, semangat dan nilai kepemimpinannya masih dapat dirasakan.

Di sinilah, seorang pemimpin dapat menginspirasi seseorang dengan nilai serta filosofi hidup yang dimilikinya. Seperti kisah kita di awal tulisan ini, seorang pemimpin di level ini mulai menginspirasi melalui karakter, nilai dan perbuatan yang tidak diucapkannya. Namun, orang pada akhirnya akan melihatnya.

Menurut Maxwell, tidak banyak pemimpin yang bisa sampai di level kepemimpin­an ini. Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh kepemimpinan yang termasuk di kategori ini.

Boleh saja, ada orang yang membencinya hingga akhirnya ia ditembak mati. Namun, nilai dan filosofi hidupnya justru tetap tumbuh dan berkembang, jauh hari setelah dia meninggal. Itulah contoh kepemimpinan di level terting­gi ini.

Dengan memahami kelima level kepemimpin­an tersebut, ada beberapa pertanyaan yang akan saya tinggalkan sebagai pekerjaan rumah bagi Anda yang membaca tulisan ini: kira-kira sampai di level manakah kepemimpinan Anda saat ini?

Bagaimanakah pandangan tentang Anda di mata karyawan? Bagaimana caranya supaya kepemimpinan Anda bisa naik kelas ke level berikutnya? Lakukan sesuatu untuk membuat kepemimpinan Anda bermakna!


Oleh: Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

Selasa, 20 April 2010

Cara Jitu Menciptakan Kekayaan

Carlos Slim Helu, namanya mungkin masih asing di telinga Anda. Pria Meksiko berusia 70 tahun ini telah memiliki nilai kekayaan bersih sebesar US$53,5 miliar, dan ini membuatnya berada di daftar teratas orang kaya di dunia pada 2010 versi majalah Forbes.

Pemulihan ekonomi global membuat kepemilikan sahamnya di beberapa perusahaan komunikasi termasuk America Movil, meroket. Mematahkan supremasi Bill Gates di urutan ke dua (US$53 miliar) dengan Microsoft dan Warren Buffet di urutan tiga (US$ 47 miliar) dengan Berkshire Hathaway.

Generasi yang lebih muda, Sergey Brin dengan Google-nya mengumpulkan US$17,5 miliar usianya baru 36 tahun, menempati posisi 24 dalam daftar Forbes.

Apakah 100 orang terkaya di dunia melakukan perencanaan keuangan untuk mencapai kekayaannya? Dalam kesehariannya orang-orang kaya tidak berbeda dengan orang-orang biasa. Hanya saja mereka melakukan apa yang orang biasa lakukan dengan cara yang luar biasa, terutama perencanaan keuangan mereka.

Karakter orang kaya

Apakah kekayaan adalah sesuatu yang menurut Anda hanya bisa dicapai oleh orang yang sudah kaya saja? Atau sebaliknya Anda yakin bahwa orang biasa juga bisa memiliki kekayaan?

Orang kaya tidak berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Hanya saja mereka melakukan apa yang dilakukan orang-orang biasa dengan cara yang luar biasa. Anda dapat dengan segera mengenali perbedaan mereka dari apa yang mereka bicarakan.

Orang biasa sering mengeluhkan peristiwa yang mereka tidak punya kendali atasnya dan menyalahkan orang lain atas kemalangan mereka. Orang kaya memiliki kendali atas pikiran dan perasaan mereka yang tecermin dari sikap dan perilakunya, sedemikian rupa, sehingga memengaruhi lingkungan mereka. Uang mengikuti ke mana karakter luar biasa ini pergi.

Kekayaan memiliki arti, interpretasi dan konotasi yang berbeda untuk tiap orang. Mulai dari bagaimana mengatur pengeluaran sehari-hari agar tidak melebihi gaji, mempersiapkan masa pensiun, sampai bisnis miliaran dolar.

Pada akhirnya kekayaan secara keuangan harus bisa dibuktikan oleh akumulasi aset dalam jumlah melimpah. Namun, jika segala sesuatu berawal dari tiada menjadi ada, itu juga berlaku untuk kekayaan dan cara terbaik untuk memulainya adalah memenuhi pikiran-pikiran dengan perencanaan keuangan, sedemikian rupa sehingga menggerakkan Anda menuju realitas keuangan yang diinginkan.

Kekayaan dan perencanaan

Untuk mengetahui bagaimana menciptakan kekayaan, Anda harus memahami hubungan antara penciptaan kekayaan dan perencanaan keuangan. Siapa pun yang ingin membeli rumah, menyekolahkan anak, mempersiapkan pensiun, atau mencapai tujuan keuangan lainnya, sedang mengakumulasi kekayaan.

Jangan mengira bahwa akumulasi kekayaan merupakan semata-mata kegiatan investasi, tetapi sesungguhnya adalah perencanaan keuangan. Penciptaan kekayaan terjadi karena proses pengelolaan harta, utang, dan pemasukan.

Secara garis besar perencanaan keuangan dibagi dalam tiga tahapan. Pertama, Anda harus mengidentifikasi berbagai macam kebutuhan dan keinginan yang membutuhkan sejumlah uang.

Kedua, sesuaikan kebutuhan dan keinginan tersebut menjadi tujuan keuangan dan tentukan berapa dana yang dibutuhkan untuk masing-masing tujuan keuangan. Ketiga, mengalokasikan sejumlah dana baik secara rutin dari waktu ke waktu atau sekali saja sekaligus di depan sehingga tercapai sejumlah besar dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan keuangan tersebut pada waktu yang ditetapkan.

Aktivitas perencanaan keuangan akan melibatkan berbagai aspek dari keuangan Anda seperti menabung untuk dana pendidikan anak, menabung untuk dana pensiun, berinvestasi, perpajakan, juga perwarisan. Ini adalah proses yang berkelanjutan terhadap pembuatan, pelaksanaan, dan pengevaluasian dari rencana keuangan Anda.

Mengapa membutuhkan perencanaan keuangan untuk mengakumulasi kekayaan? Pertama, keseimbangan dalam hidup. Perencanaan keuangan akan membantu Anda mencapai kekayaan tanpa harus mengorbankan gaya hidup saat ini secara drastis. Misalnya, jika keputusan membeli rumah impian Anda diambil tanpa pikir panjang, Anda kemungkinan besar akan mengambil kredit rumah yang terlalu besar.

Penghasilan Anda bisa habis hanya untuk membayar cicilan rumah saja belum lagi biaya pemeliharaannya. Akibatnya tidak saja Anda kesulitan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, bahkan tidak bisa menabung untuk mencapai tujuan keuangan lainnya. Padahal Anda tidak perlu ”bunuh diri” begitu jika berpatokan pada prinsip keseimbangan hidup dalam perencanaan keuangan.

Kedua, efisiensi dan efektifitas penggunaan uang. Dengan memiliki perencanaan keuangan, Anda akan mengarahkan uang tepat kepada tujuan–tujuan keuangan. Anda mengalokasikan baik harta, utang, penghasilan, dan pengeluaran sesuai dengan tempat dan porsinya masing-masing secara sistematis.

Dengan perhitungan yang yang lebih akurat, Anda semakin mampu membuat prioritas, mendapatkan lebih banyak dari uang yang dibelanjakan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu. Misalnya, terjadi inflasi 8% per tahun, akibatnya nilai dari Rp100 juta anda akan tergerus menjadi Rp46,319 juta pada 2020.

Anda perlu merencanakan investasi agar Rp100 juta tetap bertumbuh lebih tinggi dari inflasi dan dengan perencanaan pajak Anda lebih dapat mengendalikan biaya-biaya investasi tersebut sambil tetap menjaga momentum pertumbuhan dana.

Ketiga, bantalan pengaman atau upaya berjaga-jaga. Dengan minimnya fasilitas jaminan sosial di negara kita, Anda memerlukan rencana tindakan pengamanan untuk menghadapi kondisi darurat seperti PHK dan masa pensiun.

Misalnya, Anda sudah menetapkan dan sedang menjalankan sebuah rencana pensiun. Namun, sebelum mencapai usia pensiun, Anda didiagnosis menderita suatu penyakit kritis yang kemungkinan akan semakin parah karena usia tua dan tidak bisa ditanggung oleh asuransi kesehatan. Anda harus mengkaji ulang rencana pensiun dan memperhitungkan kembali dana kesehatan hari tua yang dibutuhkan terkait dengan penyakit tersebut.


Oleh: Mike R. Sutikno

Baca selengkapnya...

Senin, 19 April 2010

HSBC dan Cara Berbahasa Kita

Iklan HSBC "bank lokal milik dunia" (aslinya "world's local bank") sungguh menggugah. Adagium "berfikir global, bertindak lokal" mewujud nyata lewat itu, sementara kesadaran beridentitas terusik karenanya.

Di luar motif ekonomi di baliknya, HSBC memesankan bahwa berpandangan global tidak harus berbusana serba global. Perspekfif ini kebalikan dari cara berbahasa kita yang belakangan ini senang berbahasa orang lain justru ketika ada di lingkungan sekebudayaan.

Pada iklan HSBC ada upaya meleburkan diri dengan masyarakat, sebaliknya pada konteks bagaimana kita berbahasa, ada kecenderungan menjauh dari akar masyarakat karena atribut dan identitas lokal ditanggalkan.

Saking menjauh dari akar, ada ajakan bersatu di bawah panji nasionalisme, tapi disampaikan dalam bahasa yang bukan ciri nasional dari nasionalisme itu.

Setelah Bom Mega Kuningan mengguncang Jakarta, warga bersatu melawan terorisme di bawah slogan Indonesia United, para penyanyi top menggelar konser amal di bawah tajuk Indonesia Unite Rise, sedangkan penyelenggara negara menggunakan summit untuk acara yang sama dengan "rembug, temu, pertemuan atau lokakarya" dalam Bahasa Indonesia.

Bahasa seperti sedang dipahami terpisah dari wilayah dan bangsa, padahal ketiganya saling menopang. Bahkan, para perintis negeri ini memaklumatkan kesatuan ketiga pilar nasionalisme itu dalam Sumpah Pemuda.

Bahasa Indonesia kian melepuh keutuhannnya, justru ketika properti dan khasanah negeri diklaim negara lain, dari pulau sampai tarian. Atas nama modernitas dan globalisasi pula, Bahasa Indonesia (apalagi bahasa daerah) dicampakkan.

Padahal, meminjam kalimat antropolog Wilhem von Humbolt, bahasa adalah dari mana konsep bangsa bertemu dan karakter bangsa tersingkap. Ia adalah awal dari mana sekumpulan manusia membentuk bangsa.

Bahasa adalah nilai, jati diri, identitas, dan karakter.

Sejumlah bangsa, Prancis misalnya, amat memuliakan bahasanya sampai berbahasa asing di negerinya sendiri pun seolah terlarang. Thailand yang menggantungkan diri pada jutaan orang asing yang berwisata ke negeri itu, sangat membanggakan bahasa dan tulisan Thai-nya.

Sementara Singapura dan India memaksa Bahasa Inggris mengawini lokalitas sehingga orang India dan Singapura berbahasa Inggris dengan dialek lokal yang medok, seolah ada versi Bahasa Inggris selain American English atau British English.

Sebaliknya sebagian dari kita merasa kurang afdol berbahasa Inggris jika masih menyisakan logat Jawa, Sunda atau aksen lokal lainnya. Seolah semuanya harus dengan totalitas yang seinggris atau seamerika mungkin.

Lain hal, kita cenderung menganggap bahasa sendiri sebagai kuno, sampai kantor-kantor pemerintah ikut berslogan keinggris-inggrisan, padahal mereka ada kampung di mana masyarakat hanya memahami Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Anda mungkin menganggap kritik itu sebagai penolakan terhadap fakta bahwa Indonesia adalah warga global yang selayaknya berbahasa global (Bahasa Inggris) pula. Tapi mengapa sejumlah bangsa seperti Jepang yang justru negeri paling sering melancongi negeri lain, tidak melakukan itu?

Globalisasi memang niscaya, tetapi memeluknya sembari membunuh nilai lokal adalah berlebihan.

Palsu

Kita takjub berlebihan pada globalisasi sehingga otoritas diri kita sendiri dibenamkan untuk kemudian bersikap dan berprilaku seglobal mungkin karena menganggap itu satu-satunya cara memasuki pintu perkawanan global; entah politik, kebudayaan, atau ekonomi.

Ironisnya, itu subur bersemayam di pikiran elite yang berpengaruh terhadap publik.

Elite, mengutip tesis Thomas Ricento dalam "An Introduction to Language Policy", memang cenderung berbahasa asing karena menganggap globalisasi itu monosentrik; berpusat pada sistem ekonomi, keuangan dan politik berbahasa Inggris.

Thomas mengatakan, elitelah yang mendorong negara memakai Bahasa Inggris agar selalu dekat dengan para pemegang kunci keuangan global seperti Amerika Serikat dan lembaga supervisi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia.

Artinya, akan lebih mudah mendapatkan dukungan mereka jika Anda berbahasa seperti mereka berbahasa.

Banyak yang berhasil, tapi banyak yang hilang jati dirinya, sementara karakter nasional mengeropos sehingga masyarakat linglung, hidup di bawah ketidakorisinilan. Kaki menginjak tanah, pikiran mengembara ke bulan.

Filsuf Johann Gottfried Herder menyebut mereka yang berbicara dalam bahasa asing di negerinya sendiri sebagai kaum yang menyelami kehidupan palsu, yang terpisah dari ranahnya.

Herder memandang bahasa adalah nilai inti dari semangat nasional, sebuah pandangan yang sealiran dengan ide Bennedict Anderson yang bukunya "Imagined Communities" dipelajari luas di Indonesia.

Ben Anderson bilang, bahasa amat menentukan pembangunan karakter bangsa.

Tetapi kepalsuan seperti disebut Herder telah membuat sejumlah bangsa sulit membuat ajeg karakter nasionalnya.

Dalam konteks Indonesia sendiri, karakter nasional memang lahir diantaranya dari bahasa. Bahasalah yang mempersatukan puluhan suku bangsa di Nusantara. Semua sepakat bahwa Bahasa Indonesia adalah anak kandung bangsa ini, dan menjadi salah satu kunci pengikat sosial terkokoh.

Secara historis, tulis sejarawan Eric Hobsbawn dalam "Invention of Tradition," pada setiap perjalanan sejarah, bahasa selalu menjadi fondasi kekuatan, status, politik dan ideologi sebuah bangsa.

Sayang, belakangan hal itu menguap dari kita karena pejabat, selebritis, media, intelektual, dan kaum bisnis enggan meninggikan Bahasa Indonesia karena dianggap kurang profesional, kurang intelek, dan tak memesankan modernitas.

Parahnya, anggapan itu dibarengi oleh ekspos gaya hidup yang tidak menapaki akar masyarakat; bergaya hidup global, misal keamerika-amerikaan.

Lucunya, kolumnis Thomas L. Friedman dalam "Hot, Flat and Crowded" menyebut keamerika-amerikaanlah yang membuat dunia tak memiliki solusi lain ketika harus menyelamatkan kehidupan yang dirusak konsumerisme gaya Amerika.

Dunia, termasuk kulturnya, kian brutal dijarah demi laba dan gaya hidup, sampai kemudian balik menyerang dengan bencana alam.

Itu kebalikan dari iklan HSBC yang justru mengenalkan perspektif lain bahwa praktik globalisasi tidak harus dengan menanggalkan label lokal.

Itu pula yang dilakukan Korea, China, Jepang, Jerman dan banyak lagi, saat mengarungi dan kemudian memenangkan persaingan global.

Mereka menilai berbahasa adalah awal membangun kecintaan kepada negara, untuk kemudian menjadi pemecut rasa bangga memakai segala identitas, produk dan kebudayaan lokal.

Teladan

Di negeri-negeri itu, produk asing tidak laku karena terhalang kecintaan penduduk pada produk domestik, sementara budaya asing tak serta merta diadopsi, melainkan diseleksi dan diadaptasikan dengan konteks lokal.

Lihatlah film-film India yang dianggap kebanyakan orang Indonesia kampungan itu, atau sinetron-sinetron Korea yang "begitu timur" itu.

Mereka adalah dua bangsa yang inklusif dan karib budaya global, tapi produk-produk budaya populer mereka selalu dengan bangga memuatkan nilai, cara hidup dan atribut lokal.

Seorang teman yang bekerja dua tahun di Korea Selatan mengisahkan satu pengalaman unik bahwa selama dua tahun bolak balik Pusan-Seoul, dia jarang sekali melihat kendaraan mewah buatan asing (BMW) lewat di jalan raya Korea.

Sekalinya melihat, teman saya itu kian terkejut karena mendapati orang-orang Korea mengomeli si pemakai mobil asing itu dengan "Lihat tuh orang sombong."

Di Thailand lain lagi, hotel-hotel bintang lima tak merasa kampungan menawari tamunya jambu dan buah asli Thailand lainnya. Jangan harap hotel-hotel berbintang di Indonesia menawarkan manggis, nangka atau buah asli Indonesia lainnya kepada tamunya.

Kita telanjur mengartikan modernitas dan globalisasi sebagai hidup serba asing dan merasa rendah mengenakan label-label lokal.

Mungkin itu yang membuat negara-negara seperti Malaysia asyik mengambili kekayaan negeri kita.

Orang-orang Malaysia itu mungkin berkata, "Karena kalian tidak mau menggunakannya, malu memakainya, merasa kampungan mengenakannya, biar kami yang mengurusnya. Kami tahu kalian senang melupakan asal usul kalian dan gemar memburu sesuatu di luar sana, padahal negeri kalian menyediakan segalanya. Kalian dibutakan oleh dunia yang kian didorong seragam, sampai lupa bahwa kekhasan dan keunikan adalah kekayaan yang membuat negeri lestari dan sejahtera."

Kita mesti mengoreksi sikap, dan bahasa adalah awal dari koreksi itu.

Bukankah kita pada masa lalu, pada masa rezim-rezim lewat seperti Orde Baru telah menyadarinya, bahwa bahasa adalah unsur kekuatan nasional. Pada masa lalu, toko-toko dan papan reklame bahkan diwajibkan berbahasa Indonesia.

Itu memesankan pada kita bahwa fondasi nasional memang mesti diawali dari bagaimana bahasa sendiri dimuliakan.

Kita perlu mengulanginya sekarang, tentu saja tanpa paksaan.

Jika kita sepakat memuliakan lagi Bahasa Indonesia (syukur-syukur juga bahasa daerah), maka --meminjam tesis Thomas Ricento-- para pemimpin, pembuat undang undang, pendidik, ahli bahasa, dunia bisnis, dan iklanlah yang harus mengawali kecintaan pada bahasa sendiri itu.

Tak perlu radikal, cukup sedikit teladan dari mereka yang memiliki pengaruh kepada publik, maka kita bisa menciptakan perbedaan.


Jafar M Sidik

Baca selengkapnya...

Kepemimpinan Melayani

Tidak ada yang istimewa dari kantor pusat raksasa industri makanan dan minuman Rekso Group (Sosro Group) di perbatasan Jakarta - Bekasi. Pada ruang tunggu hanya terdapat lemari pendingin berisi aneka produk keluaran Rekso Group, di antaranya: Teh Botol Sosro, Tebs, Joy Green Tea dan Fruit Tea. Produk-produk inilah yang memang disediakan bagi para tamu Rekso Group yang sedang menunggu.

Benar, kantor pusat Rekso Group tidak istimewa. Namun, perjalanan panjang Rekso Group di bisnis minuman dan kemudian merambah makanan layak disebut istimewa. Menyebut teh maka yang muncul sejurus kemudian nama Sosro.

Ketika industri minuman di negeri ini dibombardir aneka produk minuman dari negeri mancanegara dengan berbagai varian, tetap saja Teh Botol Sosro tak tergoyahkan menjadi jawaranya. Bahkan varian produk Rekso Group dengan basis teh maupun non teh, pelan tetapi pasti menjadi pilihan utama konsumen negeri ini.

Mengapa Rekso Group begitu digdaya? Tak lain karena sang pemimpin merupakan sosok pemimpin visioner dengan etos kerja tanpa tandingan. Soetjipto Sosrodjojo, itulah nama sang pemimpin.

Sampai wafatnya Rabu 10 Maret 2010 sosok Soetjipto Sosrodjojo nyaris tidak pernah muncul dalam berbagai liputan media. Hanya namanya yang sinonim dengan merek teh saja yang begitu melegenda. Sementara itu, masyarakat umum nyaris tidak pernah mengenal sosoknya.

Mengamati perilaku Soetjipto Sosrodjojo yang tidak pernah muncul ke publik dan tidak ingin menjadi selebritas, maka tak salah apabila beliau merupakan contoh ideal dari kepemimpinan tingkat lima seperti penelitian Jim Collins melalui buku spektakulernya, Good to Great.

Ciri pemimpin besar (great) seperti dituturkan Jim Collins salah satunya menolak menjadi terkenal secara personal tetapi selalu menunjukkan kinerja prima di perusahaannya. Rekso Group telah menunjukkan diri sebagai perusahaan dengan pertumbuhan mengesankan. Sehingga masuk akal apabila akhir 2009 lalu Mc'Donald mempercayakan Rekso Group menjadi pemegang lisensi waralaba Mc'Donald Indonesia.

Karena tidak mau disorot oleh media maka menjadi wajar apabila kiat kepemimpinan ala Soetjipto Sosrodjojo yang muncul dari pengakuan dirinya nyaris tidak ada. Pun ketika saya berulang kali berkunjung ke kantor pusat Rekso Group di jalan Raya Bekasi, hanya bisa bertemu dengan karyawan Rekso Group tanpa bisa bercakap-cakap langsung dengan Soetjipto Sosrodjojo sampai Tuhan memanggil beliau.

Lantaran terlalu rendah hati maka semua analisis menyoal Rekso Group terbatas pada produk-produk Rekso Group semata tanpa bisa mengungkap kiat kepemimpinan Soetjipto Sosrodjojo dalam membawa kapal perusahaan mengarungi samudra bisnis makanan dan minuman.

Pakar kepemimpinan Max de Pree dan kemudian diperkuat oleh Robert K Greenleaf menjelaskan bahwa kepemimpinan pertama-tama disadari bukan sebuah jabatan. Lebih utama kepemimpinan adalah sebuah pekerjaan.

Sang pemimpin menghayati bahwa melayani para konstituen menjadi dasar perilakunya. Kesadaran diri sebagai pelayanan yang ingin melayani itulah yang mendorongnya ingin menjadi pemimpin. Sehingga kepemimpinan berujung pada satu hal: pekerjaan melayani.

Kepemimpinan pelayanan

Mengamati Soetjipto Sosrodjojo memimpin Rekso Group tak salah apabila pekerjaan melayani menjadi landasan kepemimpinannya. Ciri kepemimpinan pelayanan ini dapat dilihat dari tiga hal.

Pertama, keinginan sang pemimpin untuk mem­berdayakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan dengan cara yang paling efektif dan semanusiawi mungkin. Per­jalanan Rekso Group dari kota kecil Slawi di Jawa Tengah pada 1940-an hingga saat ini me­nunjukkan bagaimana Rekso Group selalu me­ma­nusiakan pekerjanya. Sampai detik ini publik nya­ris tidak pernah mendengar adanya konflik ke­pentingan antara perusahaan dengan karyawan.

Awal kepemimpinan Soetjipto Sosrodjojo menunjukkan bahwa pekerjanya nyaris tanpa pendidikan formal. Walaupun demikian atas didikan Soetjipto Sosrodjojo, karyawan tanpa pendidikan formal ini bisa menjadi karyawan andal dengan kecakapan prima. Inilah yang menyebabkan Soetjipto Sosrodjojo disebut pemimpin yang cakap dalam memberdayakan pekerjanya.

Ciri kedua, pemimpin selalu mengelola nilai-nilai perusahaan sebagai landasan perilaku karyawannya. Nilai-nilai yang dikembangkan di Rekso Group ada empat, yaitu peduli terhadap: Kualitas, Keamanan, Kesehatan dan Ramah Lingkungan.

Empat nilai ini yang selalu dikampanyekan oleh Soetjipto Sosrodjojo untuk seluruh karyawannya. Bukti sahih bahwa Soetjipto Sosrodjojo tidak sekadar berkhotbah tetapi juga menjalankan dengan konsekuen nilai-nilai perusahaan sangat kentara terlihat dari produk-produk keluaran Rekso Group.

Banyak memang kabar burung nan buruk yang menyoal berbagai hal tentang Teh Botol Sosro. Mulai dari kualitas yang dipertanyakan, keamanan dalam mengonsumsi karena teh dikemas dalam botol, bahaya terhadap ke­se­hat­an hingga proses pembuatan yang ber­tentangan dengan lingkungan. Namun, berbagai kabar buruk ini tenggelam seiring dengan jaminan kualitas dari manajemen Rekso Group.

Nilai-nilai perusahaan ini juga kelihatan dari perilaku karyawan Rekso Group. Selain karyawan Rekso Group terlalu rendah hati karena mengikuti perilaku Soetjipto Sosrodjojo, juga dapat dipastikan mereka menjunjung tinggi profesionalisme dalam bekerja.

Balutan nilai-nilai ini bertambah lagi dengan semangat korps nan tinggi, sehingga tidak mengherankan apabila karyawan Rekso Group dengan bangga menyebut dirinya sebagai bagian dari keluarga besar Rekso Group. Di mana pun saja mereka bergaul.

Ciri ketiga, berkarakter kuat untuk terus berbagi. Tak salah produk-produk Rekso Group dengan mudah ditemukan sampai ke sudut-sudut tempat. Tidak terelakkan bahwa penetrasi kuat ini selaras dengan strategi bisnis untuk dekat dengan konsumennya.

Namun, lebih jauh dari sekadar berbisnis, Soetjipto Sosrodjojo meyakini bahwa semakin banyak penjaja yang menjual produk Rekso Group, semakin banyak pula keluarga yang bisa dihidupi oleh Rekso Group.

Inilah semangat berbagi yang dikam­panye­kan Soetjipto Sosrodjojo, di mana tindakannya sudah melampaui hakikat berbisnis yaitu s­e­ka­dar mencari untung. Berbagi merupakan mitra dari keuntungan.


Oleh: A. M. Lilik Agung

Baca selengkapnya...

Minggu, 18 April 2010

Mentalitas Timbangan

Meskipun sudah dibangun jalan bawah tanah, pertigaan Pasar Minggu, persis depan stasiun kereta, semrawutnya bukan main. Setiap saya lewat situ, angkutan umum "ngetem" sembarangan. Lolos belok kanan ke arah tol Simatupang, pemandangan sekian tahun lalu lekat tersisa.

Para pedagang buah kaki lima jor-joran menarik pembeli. Lihatlah para penjual duku itu. Di sisi sana memajang kalimat "Duku Rp 5000", sananya lagi "Rp4500", di sudut lain menawarkan Rp2500. Ada pula tulisan "Coba cukup 1."

Itulah pemandangan perang harga di kalangan rakyat pedagang kecil kita.

Khusus yang terakhir, saya menduga ditulis karena pernah ada kejadian banyak calon pembeli yang hanya icip-icip.

Sudah tidak membeli, ambil dukunya banyak pula. Biar sama-sama rugi, mending dagangan di makan sendiri, persis penjual kacang yang memakan dagangannya sendiri karena tak ada pembeli.

Kadang mereka mempraktikkan adagium "ora payu pangan dewe," tidak laku makan sendiri. Kenyataanya, menjadi pedagang makanan memang harus siap menanggung risiko "ora payu."

Ada cerita pendek dari Putu Wijaya yang mengisahkan begini: si A mempunyai warung makan yang letaknya berseberangan dengan warung makan si B.

Entah kenapa warung B selalu laris, dagangannya habis. Warung A jual soto, sementara warung B jual sate.

Suatu hari rombongan orang piknik mampir ke warung A. Semuanya ingin sate, maka hijrahlah mereka ke warung B. Si B pun gigit jari, warungnya tidak laku lagi.

Suatu hari ada lagi rombongan orang piknik ke warung A. Mereka pesan sate. Tapi kali ini pemilik warung A bilang warungnya juga ada sate, walaupun dia harus ekspor sate dari warung B.

Dengan langkah gontai, ia diam-diam melangkah ke warung B, tetapi, tiba-tiba seluruh orang yang pesan sate berpindah memesan soto.

Benar-benar kejaiban dan rejeki nomplok.

Kisahnya sederhana, tetapi Putu Wijaya mengisahkannya dengan irama ketegangan sedemikian rupa. Rejeki sudah ada yang mengatur.

Dalam kasus perang harga duku di pinggiran jalan daerah Pasar Minggu, pola persaingannya sama. Mereka harus merayu calon pembeli sedemikian rupa dengan informasi singkat nan jelas. Yang memasang harga terendah, selalu berpikir bisa menarik lebih banyak pembeli.

Apakah memang selalu demikian?

Pembeli berasumsi, tulisan harga-harga itu per kilo. Artinya kalau ada tulisan "Duku Rp5000", maka itu diartikan sekilo harganya Rp5.000. Demikian seterusnya.

Ternyata, praktiknya tidak persis seperti itu. Penjualnya kadang dengan cekatan ambil dukunya, masukkan ke plastik, ditimbang seperlunya, lalu diserahkan ke pembeli.

Kalau Anda protes, sekilo kok ringan, dan terasa sekali timbangan telah direkayasa, penjual membela diri memang sudah sesuai dengan harga tertera.

Dan memang benar tidak ada sekilo. Yang Rp2.500, juga ternyata ukurannya bukan sekilo, tetapi anggap saja sekilo. Duaribu lima ratus saja kok minta sekilo, kira-kira begitulah jalan pikirannya.

Penjual tak merasa bersalah dengan tulisan Rp2500, karena memang tak disebutkan harga itu satuan apa. Artinya, pedagang tidak wajib memberikan barang dalam hitungan per kilo.

Definisi yang tidak begitu jelas itulah yang sering membuat repot.

Pertama, pembeli diberi informasi setengah-setengah, untuk kemudian digiring kepada asumsi bahwa harga-harga itu berlaku untuk per kilo.

Kedua, ketika pembeli protes, maka protes dengan mudah segera bida ditangkis penjual, dengan gaya ludrukan (kan tidak ada tulisannya per kilo).

Saya tidak sedang menyudutkan penjual. Mungkin ini hanya pengalaman saya saja, sudah timbangannya tidak jelas, barang yang diberikan pun jelek-jelek.

Ketika hendak protes, penjualnya malah komentar, "Jangan pelit-pelit Mas sama orang kecil." Saya hanya geleng-geleng kepala, sambil bergumam, "Wah, wah, kok bisa sampeyan berdagang model begini."

Persoalannya tentu bukan saya pelit pada orang kecil. Tetapi, bukankah ini transaksi dagang? Ada timbangannya pula.

"Sekilo kan?"

"Iya, sekilo"

Tetapi ternyata sekilo versi timbangannya, bukan sekilo sebenarnya.

Saya pikir ini persoalan serius. Dalam kasus saya, penjual itu memang telah mengurangi timbangan. Ini bukan saja tidak profesional dan merugikan pembeli, tetapi juga telah melanggar hal yang prinsipil, memanipulasi keadilan. Agama melarang keras praktik itu.

Tetapi, bagaimana kalau mereka menggunakan dalih bahwa mereka orang kecil? Merasa orang kecil, cari uang susah, mereka seolah tak berdosa merekayasa timbangan.

Yang dicontohkan yang bagus-bagus, tapi begitu pembeli setuju, dagangan yang diambil jelek-jelek.

Pembeli pun menggerundel, mencari perbandingan, 'Andai saya beli di supermarket, yang profesional dan takarannya pas."

Inilah dilemanya: kalau terlalu sering membeli barang di supermarket apalagi hipermarket alias pasar modern yang dilindungi kapital demikian besar, maka di kepala saya terngiang-ngiang anjuran para sosialis dalam seminar-seminar, bahwa "Anda telah menjadi bagian dari peminggiran pada pasar-pasar tradisional, sektor informal, yang digerakkan oleh rakyat kecil." Atau, "Anda telah membela Dinosaurus yang memangsa makhluk-makhluk kecil yang seharusnya dibela."

Ironisnya di pasar tradisional, kenapa orang sering menjumpai "mentalitas mengurangi timbangan, bukan "mentalitas timbangan" yang adil dalam bertransaski. Kenapa pula pembeli harus berpayah-payah dulu menawar, sekalipun demi sebuah pisang?

Kenapa begitu ribet? Kenapa pula pembeli harus dipaksa 'menyedekahi' penjualnya?

Kenapa yang terjadi sering antagonistik kalau bukan paradoks: yang profesional yang bermodal besar, yang bermodal kecil (dan karenanya orang kecil) malah tidak jujur.

Sebuah iklan kampanye jual beli secara jujur di televisi belum lama ini saya kira sangat positif. Iklan itu mengkampanyekan agar para penjual tidak mengurangi timbangan. Ini sangat terkait dengan kredibilitas dan kepercayaan pembeli.

Saya kira iklan itu berlaku bagi siapa saja, bukan hanya yang berprofesi pedagang, tetapi juga pengacara, akuntan, manajer, konsultan ini dan itu, dan profesional lainnya. Juga bagi politisi, birokrat, pejabat negara dan sejenisnya. Bahwa "mentalitas timbangan" lah yang seharusnya diutamakan.

Yang adil, yang setimbang, yang jujur, yang wajar.

Kalau Anda pegawai negeri golongan sekian, dengan standard gaji sekian, kok bisa mempunyai mobil mewah dan rumah megah, padahal tidak ada bisnis atau harta warisan apapun? Wajarkah hidup Anda?

Kalau Anda politisi, kok cita-citanya menebus ongkos pemilu dan meraup materi berlipat ganda dengan segala cara memanipulasi kebijakan dan kongkalingkong? Bukankah itu sama dengan mereka yang mengurangi timbangan?

Kalau Anda, apapun profesinya, sengaja atau tidak membiarkan "mentalitas mengurangi timbangan" lestari, adilkah Anda menyalahkan penjual duku yang mengurangi timbangannya itu?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengurus korupsi kelas teri atau super teri, apalagi repot-repot mengusut penjual buah yang mengurangi timbangan. Kecuali kalau penjual buah itu sangat nyata merugikan uang negara di atas satu miliar rupiah.

Polisi dan jaksa sebagai aparat penegak hukum, juga punya skala prioritas.

Rasulullah SAW memberikan teladan, berdagang tanpa pernah mengurangi timbangan. Kalau ada barang cacat, informasikan itu sejelas-jelasnya kepada pembeli sehingga pembeli tidak merasa dirugikan setelahnya.

Tidak pula beliau mengambil laba di luar kewajaran. Semuanya dilakukan secara etis dan terukur. Tidak pula mengenakan riba.

Untuk itu, tampaknya kita harus melakukan revolusi mental, suatu "revolusi kebudayaan" untuk menghancurkan "tradisi" rakus dan manipulatif, dengan mengubahnya menjadi tradisi yang setimbang, adil, wajar. Wallahua’lam.


Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Baca selengkapnya...