Sabtu, 23 Oktober 2010

Perang Mata Uang

Cermati "perang mata uang", maka Anda mungkin akan mendapati diri Anda terlalu naif mengklaim apresiasi rupiah sebagai indikator membaiknya perekonomian.

Mengapa begitu? Karena asumsi itu menapikan sisi lain bahwa keseimbangan perdagangan terancam akibat daya saing terpukul oleh rezim-rezim ekspor lain yang berlomba melemahkan kurs mata uangnya.

Saat ini kinerja ekspor Indonesia memang mengesankan. Agustus lalu ekspor naik 9,76 persen, sedangkan inflasi hanya 0,44 persen. Namun di tengah ekonomi global yang saling mempengaruhi tapi sedang dilanda perang kurs, kita memiliki alasan untuk tidak terlena.

Meminjam tesis editor The Weekly Standard, Irwin M. Stelzer, "perang kurs" dipicu oleh Amerika Serikat.

Menghadapi kampanye pemilihan presiden yang dimulai 3 November nanti, Barack Obama membutuhkan jualan politik baru untuk menarik simpati rakyat.

Pemerintahan ini menghadapi pengangguran yang meninggi dan sistem produksi domestik yang mandek. Obama lalu menawarkan program perluasan lapangan kerja dan memicu sektor produksi.

Federal Reserve kemudian mencetak banyak-banyak dolar AS. Akibatnya dolar melemah. Saat bersamaan, syarat masuk produk dan modal impor, khususnya China, diperketat.

Intinya, industri domestik diproteksi agar anteng berproduksi, sementara asing dipaksa berbagi insenfit bunga surat utang yang dipegangnya. Celakanya, formula itu mendorong negara lain meniru AS, demi mempertahankan daya saing.

Jepang mengintervensi pasar uang demi melemahkan yen. Singapura bergerilya lewat instrumen pajak. Brazil menggandakan pajak beli obligasi oleh asing, Thailand menarik 15 persen pajak kepada asing pembeli obligasi nasionalnya, sementara Korea Selatan melarang bank meminjam dalam mata uang asing.

Banyak negara merintih karena produk ekspornya tiba-tiba tak kompetitif lagi. Brazil tak tahan dan mengaum, "Kita berada di tengah perang mata uang. Daya saing kita tercampakkan," kata Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega.

Perang kurs memperlihatkan dilema besar dalam sistem keuangan global di mana dolar AS menjadi cadangan mata uang resmi dunia. Dilema itu adalah ketika AS memakai referensi global ini sebagai instrumen domestiknya, maka perekonomian global terancam perang harga besar-besaran.

Hubungan antarnegara pun bisa rusak. Lihat saja Jepang dan China yang bersitegang karena dipicu saling banting harga di pasar ekspor. Jepang juga menyemprot Korea Selatan karena produk-produk ekspornya kalah laku setelah Korea terus melemahkan mata uangnya.

Indonesia bisa saja merintih jika Malaysia dan Singapura mengenakan syarat-syarat lebih ketat terhadap produk dan jasa Indonesia ke sana.

Mungkin saja instrumen pajak terhadap modal masuk diberlakukan pula pada Indonesia. Itu artinya, para pengusaha Indonesia yang memarkir modal di sana tertekan, lalu mengkompensasikan tekanan itu kembali ke Indonesia.

Bisa juga kondisi-kondisi kerja ideal bagi TKI diubah atau berbuat aneh-aneh terhadap produk Indonesia seperti Taiwan terhadap Indomie. Saat itu terjadi, maka hubungan politik pun terganggu.

Inilah tesis yang salah satunya diajukan ekonom China Li Xiangyang, "Jika negara yang mengadopsi kebijakan nilai tukar (ala AS) kian banyak, maka kepentingan antarnegara akan saling bertabrakan."

Uang Panas

Perang kurs awalnya dengan mendevaluasi mata uang, lalu meminta mitra dagang menaikkan nilai produk dagangnya. Setelah itu, tarif impor dikenakan suatu negara guna melindungi industri kuncinya. Dengan cara seperti ini permintaan domestik kepada produk-produk hasil dalam negeri meningkat.

Masalahnya, saat itu terjadi, barang dan jasa ekspor satu negara hancur karena negara tujuan ekspor memutuskan membuat sendiri produk itu.

Misalnya, Anda mengekspor sepatu ke AS, tapi AS kini memproduksi sendiri sepatu. Anda terpukul kan? Inilah yang membuat China meradang.

Lalu, buah terpahit dari perang kurs adalah banjirnya "uang panas" ke sistem perekonomian yang dianggap menguntungkan dalam jangka pendek.

Banjir uang panas terjadi karena sekarang siapapun bisa memegang dolar karena harganya murah, sementara sejumlah negara seperti AS menjadi pelit memberi insentif. Akhirnya pemodal jangka pendek ini mencari pelabuhan-pelabuhan modal yang dianggapnya menarik.

Investor "uang panas" hanya datang sementara dan melulu memperdagangkan risiko. Tahun ini Anda mungkin dianggap aman, tapi tahun depan anggapan bisa berubah. Bukan karena Anda menjadi tak aman, tapi karena tempat lain menawarkan insentif lebih besar.

Saat itu terjadi, maka modal masuk segera berubah menjadi capital outflow. Ini tak akan apa-apa jika jumlahnya jutaan dolar.

Tapi, mengutip Institute of International Finance, uang panas yang gencar memburu negara-negara berkembang seperti Indonesia ini jumlahnya fantastis, 825 miliar dolar AS! Ini hampir sepuluh kali cadangan devisa RI pada September 2010 sebesar 86,2 miliar dolar AS.

Yang mengerikan adalah, dari pengalaman krisis moneter 1997, modal masuk yang datang tiba-tiba, akan keluar tiba-tiba dalam jumlah sama besarnya.

Dalam editorialnya berjudul "The Next Bubble", International Herald Tribune mengingatkan bahwa Wall Street sedang membidik aset-aset negara-negara berkembang. Oleh karena itu negara berkembang harus awas mencermatinya.

Capital inflow yang mengalir masif ini membuat negara penerima modal kelebihan uang, lalu harga barang tertekan, gelembung-gelembung aset tercipta, harga properti dan saham merangsek.

Mengapa disebut gelembung aset? Karena uang yang masuk kantong Anda, bukan karena Anda telah bekerja, tapi dari pinjaman berente yang setiap waktu ditarik dari Anda. Kantong Anda terlihat penuh, padahal isinya utang.

Bahayanya, mengutip China Post, gelembung-gelembung aset ini cepat atau lambat bakal meledak, untuk kemudian menciptakan bencana.

Distribusi asset
Kecenderungan di atas memesankan hal lain bahwa statistik ekonomi harus dibaca kritis agar tidak mengaburkan realitas ekonomi nasional sebenarnya.

Kita tak boleh lengah hanya karena performa indeks yang terus menanjak, karena fundamental ekonomi juga harus dilihat utuh. Bahkan, IMF mengingatkan Asia mengenai bahaya inflasi dan penggunaan uang panas untuk proyek-proyek domestik.

Yang juga mesti dicermati adalah konsentrasi ekonomi Indonesia sekarang di mana, mengutip Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, 56 persen aset nasional dikuasai oleh hanya 6,2 persen penduduk Indonesia.

Jika banyak dari 6,2 persen penduduk Indonesia itu ternyata tergantung pada "uang panas" (belakangan ini sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia yang fundamentalnya tidak terlalu bagus mengalami pembiakan harga yang intensif), maka saat bubble meletus, magnitudo ledakannya merusak 56 persen aset nasional.

Jika 56 persen rusak, maka 44 persen lainnya terganggu.

Semoga skenario itu tak terjadi. Tapi jika Anda menjadi tergantung pada uang panas itu atau tak henti mengiimpor karena lebih murah, maka skenario itu mungkin saja terjadi. Krisis moneter 1997 terjadi karena lengah seperti ini.

Saat ini mengimpor memang lebih realistis. Taruhlah impor beras dan tekstil. Anda mungkin lebih suka mengimpor beras dari Thailand dan tekstil dari China karena harganya lebih rendah dibandingkan harga domestik.

Anda untung, tapi saat bersamaan para petani dan perajin tekstil dalam negeri gulung tikar untuk kemudian menganggur.

Anda boleh tak mempedulikan ini, tapi bisnis jangka panjang Anda niscaya terganggu. Ingat, pengangguran bisa memicu ketidakstabilan, bahkan naiknya kriminalitas.

Terlalu banyak orang yang tidak bekerja akan membuat kegiatan investasi dan bisnis terancam, karena stabilitas politik terongrong oleh orang-orang yang tidak puas dan tersisihkan akibat tidak bekerja. Padahal Anda butuh stabilitas sosial politik demi tenangnya berusaha.

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika hanya segelintir yang menguasai ekonomi nasional--taruhlan 6,2 persen penduduk itu-- saat itu pula curiga dan stigma sosial muncul, lalu memicu konflik sosial dan kebencian antarmasyarakat.

Meminjam hipotesis Amy Chua dalam bukunya "World on Fire", masyarakat demokrasi pasar (di mana Indonesia sedang mengarunginya) memang kerap mencipta dan lalu mendidihkan kebencian antaretnis.

Jadi, di samping menarik insentif positifnya bagi perekonomian nasional, dinamika keuangan global ini mesti dicermati kritis untuk menjamin aset ekonomi tak menciptakan gelumbang. Jika pun ada gelumbung, kita bisa mengelolanya sehingga kempes tanpa menciptakan ledakan.

Krisis moneter 1997 memperlihatkan bahwa gelumbung aset yang meledak berimplikasi luas terhadap negara, dan memicu konflik bernuansa rasial yang pekat.

Oleh karena itu kita harus mencari cara agar aset nasional tak terpusat di tangan segelintir orang, sehingga saat yang satu sakit, tak menjangkiti yang lain, apalagi keseluruhan sistem.

Kita juga perlu memonitor ketat masuknya uang panas. Bank Indonesia memang diam-diam sedang melakukannya, tapi langkah lebih drastis tetap diperlukan. Bahkan para ekonom liberal seperti Uri Dadush, Direktur Program Ekonomi Internasional Carnegie Endowment for International Peace, merekomendasikan ini.

"Karena faktanya modal masuk itu mudah bergejolak dan berjangka pendek, maka intervensi mata uang untuk tujuan mensterilasasi dampaknya, mengakumulasi cadangan devisa, dan terakhir mengenakan pajak terhadap modal masuk atau kontrol devisa lainnya, adalah sah," kata Dadush.


Jafar M. Sidik (ANTARA News)

Baca selengkapnya...

KERLAP-KERLIP LAMPU

Sudah banyak yang mengulas kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat satu tahun di masa jabatan keduanya belum lama ini. Dan bisa dimaklumi kalau hampir semuanya menyuarakan kritik terhadap presiden kita yang terkenal karena selalu sibuk menjaga citra dirinya itu. Bahkan ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, yang disebut-sebut sebagai calon tunggal partai untuk pilpres 2014, mengatakan di depan SBY kalau pencitraan dan perebutan pengaruh hanya “kerlap kerlip lampu” sesaat yang tidak membawa keuntungan permanen bagi bangsa (20/10).

Bicara statistik, memang Indonesia mencatat kemajuan yang terukur dan konsisten di bawah SBY. Sebut saja pertumbuhan ekonomi, volume ekspor, lapangan kerja, stabilitas nilai tukar rupiah dan sebagainya. Sebagai negara, Indonesia menjadi lebih baik di bawah SBY. Tetapi bagaimana dengan karakter bangsa ini yang tercermin dari perilaku dan pola pikir rakyatnya? Apakah SBY bisa memperbaiki Indonesia sebagai bangsa?

Justru menjelang dan di awal masa jabatan SBY yang kedua inilah kita disuguhi berita tanpa henti tentang perilaku buruk aparat dan pejabat negara, yang berdampak pada situasi seperti tanpa hukum dan membuat konflik dan kerusuhan gampang merebak di mana-mana.

Satu hal paling menonjol yang menimbulkan pandangan negatif adalah fakta bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi justru kocar-kacir di era SBY. Sekarang tinggal empat pemimpin di lembaga ini, dan dua diantaranya menghadapi prospek disidang oleh pengadilan dan karenanya akan terpaksa non-aktif dulu.

Kita ingat bagaimana Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto tahun lalu menjadi tersangka kriminal tidak lama setelah SBY berkunjung ke Mabes Polri. Kemudian setelah itu, Mahkamah Konstitusi membeberkan fakta bahwa kasus mereka berdua direkayasa, dan ada indikasi kuat keterlibatan petinggi di Kejagung dan Polri. Kalau tidak, Susno Duadji tidak akan dicopot sebagai kabareskrim dan wakil jaksa agung Abdul Hakim Ritonga tidak akan mengundurkan diri.

Lembaga-lembaga penegak hukum seperti dipermainkan untuk memojokkan KPK di bawah hidung SBY yang nyaris tanpa reaksi. Sikap presiden hanya berupa saran agar Chandra-Bibit tidak disidangkan, dan tidak ada komitmen untuk menyidik dugaan rekayasa oleh penegak hukum lain, karena rekomendasi dari tim pencari fakta juga berlalu seperti angin.

Kalau yang di atas bermain-main dengan hukum, yang di bawah ikut-ikutan. Di siang bolong di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dua kelompok geng bentrok dengan senjata api dan senjata tajam, padahal waktu itu ratusan polisi menjaga gedung pengadilan tetapi tidak ada yang mampu menghentikan bentrokan itu. Sekarang rasa hormat pada penegak hukum kian luntur. Pengguna jalan yang marah karena sering ditilang atau warga kampung yang tidak rela dengan tindakan polisi sekarang berani menyerbu pos-pos polisi dan mengamuk, seperti banyak kita dengar beritanya belakangan ini. Bukan main kondisi mental bangsa ini sekarang.

Setelah enam tahun berkuasa, SBY tidak bisa lagi diharapkan untuk terus berusaha menggambarkan dirinya sebagai presiden yang paling ganteng, paling merdu suaranya, paling romantis dengan lagu ciptaannya, paling santun, paling hormat pada sesama bahkan lawan politiknya. Cukup sudah dengan semua itu, karena kita sekarang justru menghendaki presiden yang berani, tegas dan galak terhadap pelanggar hukum, terhadap petinggi negara yang terus mempermainkan kekuasaan dan jabatan negara. Bukan seperti yang terjadi sekarang, KPK yang selalu menjadi andalan terakhir malahan tidak berdaya dan nyaris lumpuh, dan semakin nampak persaingan yang semula terselubung dengan polisi dan jaksa. Hal-hal seperti ini yang justru paling tidak diduga akan muncul di masa SBY, karena SBY pernah bersumpah “saya sendiri yang akan memimpin perang melawan korupsi.”

Peningkatan statistik yang juga tidak terlalu signifikan sama sekali tidak sebanding dengan merosotnya mental bangsa ini. Tidak ada rasa hormat antar sesama, hukum hanya menjadi alat kekuasaan, dan korupsi terus meraja-lela sementara KPK sudah terlalu kikuk untuk bergerak. Sungguh mengherankan kalau pemimpin kita masih punya waktu untuk membangun citra diri. Tinggal empat tahun lagi Pak.


Businessnews

Baca selengkapnya...

Kisah Dompet Terakhir dari Wasior

Setelah beberapa hari hujan, siang itu matahari bersinar angkuh di atas langit Kota Wasior.

Panas yang membara bertambah sempurna dengan beterbangannya debu-debu sisa lumpur basah yang menghempas kasar ke setiap wajah manusia yang ada di kota itu.

Sisa-sisa penduduk yang masih menghuni Wasior memilih menyingkir dari terpaan terik mentari dan bersembunyi dalam rengkuhan bayangan pepohonan dan dinginnya tembok rumah.

Tapi Irwanto (30) masih berdiri di sebuah lahan besar tidak jauh dari Bandara Perintis Wasior.

Dia mematung di situ, tepat di bawah pijaran si raja siang dan seakan tidak peduli pada cahaya yang bisa membakar ubun-ubun kepala.

Dengan bercelana pendek, bersendal jepit, berkaus lusuh dan dengan lingkaran hitam di bawah mata tanda tidak tidur semalaman, pria yang akrab dipanggil Anto itu menatap sendu kantung mayat bewarna kuning di hadapannya.

Beberapa orang berseliweran di dekat kantung mayat yang masih terbungkus rapi itu, Anto tidak mengenali mereka, hanya dari seragamnya Anto tahu mereka adalah para relawan yang baru saja menemukan jenazah di bawah puing-puing bangunan di jantung Kota Wasior.

Mereka mulai membuka kantung mayat dan meminta Anto mengenali jenazah perempuan di dalamnya. Tanpa sempat mengambil nafas Anto merunduk ke arah raga tidak bernyawa yang sangat sulit dikenali karena sudah membusuk dan menghitam karena terlalu lama terkubur di dalam lumpur.

Namun, dari warna dan corak kain celana yang membalut tubuh kaku itu, Anto bersikeras itu adalah jenazah Irawati (25), isterinya yang sudah berhari-hari menghilang begitu banjir bandang meluluhlantakkan Kota Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat pada Senin 4 oktober.

Cincin yang melingkar di jari manis dan kalung emas di leher jenazah perempuan itu memperkuat keyakinan Anto bahwa itu adalah jenazah isterinya.

Kebekuan di indera penglihatannya mulai mencair, bulir-bulir air mata mulai mengembang dan Anto tak kuasa menahan pilu.

Para relawan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Bulan Sabit Merah Indonesia mulai menggali tanah untuk memakamkan jenazah Irawati. Tepat di samping kuburan kecil, kuburan dengan nisan darurat bertuliskan nama Luthfi berusia 19 bulan, anak semata wayang Irwanto.

Kini lengkap sudah, pencarian Anto bermuara pada penemuan dua orang jenazah anggota keluarganya, isteri dan anaknya yang meninggal dunia karena tergulung lumpur ketika air bah menerjang kawasan itu.

Kini Anto sebatang kara di Wasior, karena isteri dan anaknya sudah meninggal dunia, dan kedua orang tuanya berada di kampung halaman, di Padang, Sumatera Barat.

Anto warga Wasior yang selamat dari banjir bandang setelah sempat tergulung lumpur. Ia berhasil menyelamatkan diri dan terdampar di kawasan pelabuhan yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.

Namun, penyesalan masih bergelayut di hatinya hingga kini karena tidak bisa menyelamatkan bayi dan isterinya. Bayinya terlepas dari genggamannya ketika tembok rumah mereka rubuh dan menimpa tubuhnya.

Pada hari kejadian itu, dia tengah bercengkrama dengan sang bayi di peraduan karena di luar hujan deras dan air mulai menggenang di pelataran rumah sementara isterinya tengah pergi untuk membeli sarapan.

Anto seketika bangkit dan menggendong bayinya ketika mendengar jeritan warga di sekitar rumahnya dan bunyi-bunyian yang menggema akibat pergesakan antara batu-batu besar dan batang-batang pohon kayu yang menabrak rumah-rumah penduduk.

Anto mengaku, ketika itu dia ingin berlari ke luar, namun tiba-tiba rumahnya rubuh dan bayinya terhempas sementara ia hanyut tergulung lumpur bersama material rumahnya.

Dia sangat menyesal karena sebagai ayah dan suami dia tidak bisa menyelamatkan anak satu-satunya dan tidak bisa menemukan isterinya yang ternyata ikut tergulung lumpur dan terkubur di bawah reruntuhan rumah sebelum akhirnya ditemukan oleh TNI dan para relawan.

Yang lebih membuatnya menyesal adalah karena dia belum sempat meminta maaf pada isterinya yang sempat dia marahi pada malam sebelum hari kejadian.

Anto bercerita, di malam hujan pada Minggu 3 Oktober, Anto memarahi isterinya yang baru saja pulang membeli dompet seharga Rp150 ribu. "Padahal beberapa hari sebelumnya dia juga baru saja membeli dompet," katanya.

Mendengar sang suami marah, Irawati dengan tatapan menyesal berkata pelan "Maafkan saya, saya berjanji tidak akan membeli dompet lagi. Ini adalah dompet terakhir," kata Anto mengulang ucapan istrinya.

Tidak pernah terpikirkan oleh Anto bahwa ucapan isterinya itu menjadi nyata. Yang dibeli istrinya itu ternyata benar-benar dompet terakhir.

"Sekarang saya merasa sangat meneysal. Jika saja isteri saya bisa hidup kembali saya akan membelikannya dompet sebanyak-banyaknya berapa pun harganya," katanya.

Kisah anto merupakan satu dari sekian banyak cerita duka dari tanah bencana di salah satu wilayah di Negeri Ufuk Timur.

Banjir bandang yang menerjang Kota Wasior menewaskan sedikitnya 156 orang dan sekitar 155 lainnya hilang dan belum ditemukan.

Sementara itu, sekitar 5.000 orang lainnya meninggalkan Wasior untuk mengungsi di wilayah tetangga seperti Manokwari dan Nabire.

Pada saat ini, Kota Wasior seperti kota mati karena banyak rumah kosong sementara sekitar ribuan rumah rusak dan sebagian di antaranya rata dengan tanah.

Yang tersisa di Wasior pada saat ini hanya endapan lumpur, bongkahan batu-batu besar, dan batang-batang pohon raksasa yang terbawa saat banjir bandang.


Wuryanti Puspitasari (ANTARA News)

Baca selengkapnya...

Kamis, 14 Oktober 2010

14 Kunci Sukses Hidup

1. KETIKA AKAN MENIKAH
Janganlah mencari isteri, tapi carilah ibu bagi anak-anak kita.
Janganlah mencari suami, tapi carilah ayah bagi anak-anak kita.

2. KETIKA MELAMAR
Anda bukan sedang meminta kepada orangtua si gadis, tapi meminta kepada TUHAN melalui wali si gadis.

3. KETIKA MENIKAH
Anda berdua bukan menikah di hadapan negara, tetapi menikah di hadapan TUHAN.

4. KETIKA MENEMPUH HIDUP BERKELUARGA
Sadarilah bahwa jalan yang akan dilalui tidak melalui jalan bertabur bunga, tetapi juga semak belukar yang penuh onak; duri.

5. KETIKA BIDUK RUMAH TANGGA OLENG
Jangan saling berlepas tangan, tapi sebaliknya justru semakin erat berpegang tangan.

6. KETIKA TELAH MEMILIKI ANAK.
Jangan bagi cinta anda kepada suami/isteri dan anak anda, tetapi cintailah isteri atau suami anda 100% & cintai anak-anak anda masing-masing 100%.

7. KETIKA ANDA ADALAH SUAMI.
Boleh bermanja-manja kepada isteri tetapi jangan lupa untuk bangkit secara bertanggungjawab apabila isteri membutuhkan pertolongan anda.

8. KETIKA ANDA ADALAH ISTERI.
Tetaplah berjalan dengan tentram, lemah lembut, tetapi selalu berhasil menyelesaikan semua pekerjaan.

9. KETIKA MENDIDIK ANAK.
Jangan pernah berpikir bahwa orangtua yang baik adalah orang tua yang tidak pernah marah kepada anak, karena orangtua yang baik adalah orangtua yang jujur kepada anak.

10. KETIKA ANAK BERMASALAH.
Yakinilah bahwa tidak ada seorang anakpun yang tidak mau bekerjasama dengan orang tua, yang ada adalah anak yang merasa tidak didengar oleh orangtuanya.

11. KETIKA ADA PIL(Pria Idaman Lain).
Jangan diminum, cukuplah suami sebagai obat.

12. KETIKA ADA WIL(Wanita Idaman Lain).
Jangan dituruti, cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati.

13. KETIKA MEMILIH POTRET KELUARGA.
Pilihlah potret keluarga sekolah yang berada dalam proses pertumbuhan menuju potret keluarga bahagia.

14. KETIKA INGIN LANGGENG; HARMONIS GUNAKANLAH FORMULA 7K.
☑ Ke-takut-an akan Tuhan
☑ Kasih sayang
☑ Kesetiaan
☑ Komunikasi dialogis
☑ Keterbukaan
☑ Kejujuran
☑ Kesabaran.

Baca selengkapnya...

Kamis, 07 Oktober 2010

Saya Pikir . . .

Saya pikir, hidup itu harus banyak meminta ~ ternyata harus banyak memberi.

Saya pikir, sayalah orang yang paling hebat ~ ternyata ada langit diatas langit.

Saya pikir, kegagalan itu final ~ ternyata hanya sukses yang tertunda.

Saya pikir, sukses itu harus kerja keras ~ ternyata kerja pintar.

Saya pikir, kunci surga ada dilangit ~ ternyata ada dihatiku.

Saya pikir, Tuhan selalu mengabulkan setiap permintaan ~ ternyata Tuhan hanya memberikan yang kita perlukan.

Saya pikir, makhluk yang paling bisa bertahan hidup adalah yang paling pintar, atau yang paling kuat ~ ternyata yang paling cepat merespon perubahan.

Saya pikir, keberhasilan itu karena keturunan ~ ternyata karena ketekunan.

Saya pikir, kecantikan luar yang paling menarik ~ ternyata inner beauty yang lebih menawan.

Saya pikir, kebahagian itu ketika menegok keatas ~ ternyata ketika melihat kebawah.

Saya pikir, usia manusia itu di ukur dari bulan & tahun ~ ternyata di hitung dari apa yang telah dilakukannya kepada orang lain.

Saya pikir, yang paling berharga itu uang & emas permata ~ ternyata yang paling mahal itu kesehatan dan nama baik.

Baca selengkapnya...