Minggu, 28 Februari 2010

Bagaimanakah Firaun Tutankhamun Mati

Beranda Museum Mesir dikerubuti para jurnalis dari berbagai penjuru dunia, Rabu (17/2). Mereka, sebut Nevine El-Aref dari Al-Ahram, berusaha dengan putus asa mengintip mumi orangtua dan nenek dari salah satu firaun terkenal, Raja Tutankhamun.

Setelah 88 tahun penemuan makam Tutankhamun, misteri dinasti ke 18, salah satu keluarga yang paling berpengaruh pada masa Kerajaan Baru di Mesir, akhirnya terungkap juga.

"Periode Amarna seperti sebuah drama tanpa akhir. Kita tahu permulaanya tetapi tidak pernah berhasil menemukan akhir ceritanya," kata Zahi Hawass, Sekretaris Jenderal Dewan Tinggi Situs Kepurbakalan Mesir SCA) dalam jumpa pers di Museum Mesir.

"Sekarang dengan teknologi ilmu pengetahuan modern dan analisis DNA terhadap lima mumi keluarga kerajaan dari era Kerajaan Baru itu, 70 persen sejarah periode Amarna mulai terbuka dan beberapa kebingungan mulai terjawab," papar pimpinan lembaga pemerintah Mesir yang bertanggungjawab terhadap benda-benda purbakala itu.

Hawass mengumumkan, mumi dari makam KV 55 di Lembah Para Raja itu, yang pada 1955 diyakini para arkeolog sebagai Samenka Re dan meninggal dunia di usia 25 tahun, ternyata adalah Akhenaten, raja yang memperkenalkan sistem monoteis di Mesir, yang meninggal dunia pada umur antara 45 sampai 55 tahun.

Uji coba DNA juga menunjukan Akhenaten sebagai ayah dari Tutankhamun, bukan saudaranya, seperti selama ini banyak diyakini para ahli.

Bukti-bukti arkeologis mendukung penemuan itu, termasuk kepingan prasasti yang disatukan Hawass pada 2008. Prasasti itu menunjukkan Tutankhamun dan istrinya Ankhesenamun duduk bersama.

Ada tulisan di kepingan batu itu yang menjelaskan Tutankhamun sebagai "putra dari darah daging Raja Tutankhaten sendiri" dan istrinya sebagai "putri dari darah daging Raja Ankhesenaten sendiri." Satu-satunya raja yang mungkin dimaksud sebagai ayah dari kedua mumi itu adalah Akhenaten.

Gaya penulisan karakter fisik pria atau perempuan dari Akhenaten, menurut Hawass, adalah bentuk ikonografi yang mengandung tampilan nyata dari Firaun.

"Menurut kepercayaan agama Amarna, Aten adalah simbol perempuan dan pria. Oleh karena itu Akhenaten mewakili bentuk pria dan perempuan," papar Hawass.

Mumi Ratu Tiye, istri Amenhotep III dan ibu dari Akhenaten, yang juga diidentifikasi sebagai 'Nyonya Tua Berambut', ditemukan di KV 35 berdampingan dengan perempuan muda yang kemudian dikenali sebagai ibu Tutankhamun.

Namanya sedang dalam proses pencarian walaupun hasil uji coba DNA menunjukan bahwa dia adalah salah satu dari lima putri Amenhotep III dan saudari Akhenaten.

"Hasil uji DNA membuktikan bahwa mumi itu bukan Nefertiti atau Merit Amoun putri Akhenaten," jelas Hawass.

Tetapi bagaimana sebenarnya Tutankhamun meninggal dunia?

Memecahkan misteri kematian Tutankhamun di usia muda, SCA mengembangkan studi sains komprehensif pada mumi Tutankhamun dan 11 mumi lainnya di tahun 2005.

Ahli Mesir, radiolog, ahli anatomi, patologis, dan pakar forensik berusaha menjelaskan 1.700 hasil foto pindai mumi Tutankhamun dan akhirnya menyimpulkan bahwa raja muda yang meninggal pada usia 19 tahun itu, tidak dibunuh dengan cara dipukul di bagian belakang kepalanya seperti selama ini dicurigai.

Tidak ada bukti yang menunjukan bekas pukulan. Dua potongan tulang yang terlepas di bagian tengkorak bukan disebabkan oleh cedera sebelum kematian karena tulang-tulang itu melekat dalam bahan-bahan pembalseman.

Setelah memasang potongan-potongan tulang leher dan tulang foramen magnum, tim peneliti menyimpulkan terlepasnya tulang itu terjadi pada proses pembalseman atau ketika tim Howard Carter pada 1922 berusaha membuka topeng emas yang ditempel di muka sang mumi.

Tim ini mempunyai teori bahwa retak di bagian belakang tulang kepala mumi adalah saluran untuk memasukan cairan balsem ke tengkorak. Dua lapisan bahan pembalseman dengan tingkat masa jenis yang berbeda yang ditemukan di organ itu memperkuat keyakinan tim.

Studi tim itu juga menunjukan adanya patahan pada tulang paha kiri, yang mengarah pada kesimpulan bahwa sang raja mengalami patah tulang beberapa hari sebelum meninggal dunia.

Sekarang dengan bantuan dari tim ahli yang sama dan antropolog kesehatan dari Jerman, penyebab kematian Tutankhamun bisa diketahui.

Sang Firaun meninggal karena Malaria Tropika dan Patogen.

"Sayangnya kematiannya karena Malaria. Bahkan untuk sekarang kita tidak punya obat yang manjur untuk penyakit itu," kata Carsten Pusch pakar paleogenetik dari Universitas Tebingen.

Tim itu menyimpulkan bahwa patah tulang yang mendera raja muda itu mengakibatkan kondisinya saat itu semakin kritis.

"Ia bukanlah seorang Firaun yang agung atau pemimpin yang kuat, (sebaliknya adalah) seorang anak muda, rapuh, dan lemah. Ia tidak bisa berjalan sendiri dan perlu orang lain atau tongkat untuk berjalan karena menderita nekrosis tulang," kata Pusch.

Keluarga Tutankhamun menderita infeksi dan cacat. Beberapa penyakit seperti Kohler Disease II, ketidakteraturan tulang, telah didiagnosis pada mumi Tutankhamun dan empat mumi lain di keluarganya.

Hasil pemindaian CTn, demikian Direktur Eksekutif Cairo-scan Centre Ashraf Selim, Tutankhamun ternyata bjuga mengidap "nekrosis dinding pembuluh darah", satu penyakit yang menyebabkan berkurangnya pasokan darah ke tulang.

"Inilah yang membuat Tutankhamun sangat rentan terhadap cedera fisik dan salah satu yang menyebabkan kaki kirinya cacat," ulas Selim.

"Penemuan itu menjawab pertanyaan mengapa ditemukan 130 tongkat bantu jalan di dalam makamnya dan mengapa dia sering digambarkan, dalam beberapa relif, sedang menembakkan panahnya sambil duduk," demikian Hawass.


Antara

Baca selengkapnya...

Sabtu, 27 Februari 2010

Jawaban Jendela Kepada Kolector


Sahabatku Kolector
Terimakasih atas pujiannya
Pujiannmu ibarat pecut untuk lebih berkarya
Berkat sahabatku Kolector
Jendela barulah ada

Sahabatku Kolector
Walau jarak memisahkan kita
Tali persahatan tetaplah terjaga

Semakin jauh melangkah
Semakin banyak yang dilihat dan dikenal
Janganlah kuatir sahabatku Kolector
Sahabat Jendela jugalah sahabat bagi Kolektor

Suatu kehormatan bagi Jendela
Untuk tetap saling berbagi kepada Kolector
Semoga hasil karya kita bersama
Bermanfaat bagi semua

Salam hormat dari Jendela kepada Kolector

Baca selengkapnya...

Belajar dari Lompatan Jauh Ketua Mao

Akhir-akhir ini kita sangat disibukkan oleh diskusi mengenai akan membanjirnya barang-barang dari China, seiring mulai berlakunya kawasan perdagangan bebas ASEAN+3, 1 Januari 2010.

Sebagian besar suara yang muncul menyuarakan kekhawatiran bahwa produk China akan membuat industri Indonesia, baik skala besar maupun kecil, akan bangkrut. Produk China yang murah, up to date, dengan kemasan bagus, memang menjadi ancaman serius, tak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi negara maju. Di dunia survei pemetaan, produk China masuk Indonesia sekitar lima tahun lalu. Mereka berusaha merebut pasar yang selama ini dikuasai produk Swiss, Jerman, Amerika, dan Jepang.

Untuk sebuah peralatan dengan fungsi sama, buatan China bisa dijual dari 30- 60 persen produk buatan negara lain. Di pasar internasional, produk mereka bisa dijumpai hampir di seluruh negara yang tengah gencar mengadakan proyek konstruksi dan tambang. Menyadari bahwa produknya masih banyak diragukan, produsen China gencar berpromosi, baik dengan meminjamkan peralatannya untuk sementara waktu maupun dengan mengikuti berbagai pameran. Produk navigasi dari China menyebar dalam berbagai wujud.

Dari teknologi yang relatif sederhana, yang biasa digunakan untuk survei topografi, hingga peranti yang bisa digunakan untuk menangkap sinyal satelit (GNSS). Global navigation satellite system (GNSS) merupakan sistem navigasi global berbasis data satelit dari berbagai negara. Bila di masa lalu penentuan navigasi hanya mengandalkan GPS (dari Amerika Serikat), kini sudah ada Galileo (Uni Eropa), Compass (China),Glonass (Rusia). India dan Jepang juga tengah merencanakan peluncuran satelit navigasi. GNSS membuat para pemakai peralatan navigasi tidak bergantung sepenuhnya pada Amerika.

Compass direncanakan berada di ketinggian orbit 21.250 kilometer dengan satu kali mengelilingi bumi 12,6 jam. Rencananya ada 35 satelit Compass di orbit. Compass dibuat untuk dua pasar yakni militer China dan kalangan sipil di seluruh dunia. Akurasi untuk keperluan militer dibuat lebih tinggi. Keseriusan China untuk masuk bisnis luar angkasa makin mengagetkan dunia survei dan pemetaan tatkala akhir Desember ini Badan Survei dan Pemetaan China mengumumkan tengah menyiapkan satelit penangkap citra bumi dengan resolusi tinggi untuk memantau tata guna lahan, agrikultur, lalu lintas, dan perencanaan kota. Satelit itu diberi nama ZY 3, akan diluncurkan pada 2011 di Taiyuan, salah satu pusat antariksa China dengan tinggi orbit 500 kilometer.

Satelit ini diplot beroperasi di 84° lintang utara - 84° lintang selatan. Jakarta, yang terletak di kisaran 6° lintang selatan,tiap hari diintip oleh ZY 3. Hanya secuil wilayah bumi yaitu di ujung utara dan di ujung selatan yang tidak dimonitor oleh satelit ZY 3. Peluncuran satelit ZY 3 bisa menjadi ancaman serius bagi wahana yang sudah ada sebelumnya seperti Ikonos,GeoEye, Spot.Yang menimbulkan kekhawatiran bagi negara adidaya, satelit untuk keperluan menangkap citra di bumi acapkali digunakan untuk keperluan militer. Inilah yang dilakukan Israel, Rusia, maupun Amerika. Anda tentu masih ingat, Amerika menggunakan data hasil citra satelit GeoEye untuk memonitor perkembangan fasilitas nuklir Iran.

Bila kita runut ke belakang, masuknya China ke luar angkasa mempunyai sejarah panjang. Ini bisa kita lacak dari Rencana Pembangunan Lima Tahun 1958-1963 yang dicanangkan Mao Zedong, Bapak Pendiri China Modern, dengan semboyannya yang terkenal hingga kini: “Lompatan jauh ke depan”. Intinya, pembangunan pertanian dan industri harus berjalan bersama. Di bidang pertanian, Mao memaksakan dibentuknya koperasi di pedesaan, serta mewajibkan rakyat mengikuti instruksi pemerintah. Agar industri bisa berjalan dengan baik dan harganya bersaing dari produk impor, tenaga kerjanya harus murah.

Tahun dicanangkannya ‘’Lompatan jauh ke depan’’ bertepatan dengan bergolaknya perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Salah satu yang memicu tekad Mao Zedong mengembangkan teknologi nuklir dan ruang angkasa China adalah ancaman Amerika Serikat yang akan menggunakan senjata nuklir untuk menghancurkan negara pendukung Korea Utara. Mao Zedong mengatakan, hanya kekuatan nuklir yang bisa menjamin kekuatan keamanan Republik Rakyat China, dan membuat takut kekuatan asing.

Kekuatan nuklir juga diperlukan untuk memaksa negara-negara superpower agar mengakui pemerintahan komunis China karena selama ini mereka hanya mengakui Taiwan.Yang dimaksud Ketua Mao adalah Amerika Serikat. Kalimat Mao yang hingga kini masih banyak dikutip: ‘’Kita tidak hanya butuh banyak pesawat udara dan senjata artileri. Kita juga perlu bom atom. Di era sekarang, agar kita tidak dilecehkan, kita harus mengembangkannya.’’ Tekad untuk membuat China melompat jauh ke depan makin bertambah tatkala pada 4 Oktober 1957 Uni Soviet mengirimkan astronotnya ke luar angkasa dengan proyek Sputnik-nya.Amerika lalu mengumumkan akan mengirim misi Apollo ke bulan.

Mei tahun berikutnya, di depan Kongres Partai Komunis, Mao mengumumkan, China harus berdiri sejajar dengan negara superpowerlainnya. Program luar angkasa China bisa berjalan baik karena ada dukungan penuh dari pemerintah plus ada tenaga ahli yang mumpuni. China diuntungkan dengan diusirnya Qian Xuesen, ilmuwan keturunan China lulusan Massachusets Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Ia pemain penting dalam masa awal program luar angkasa Amerika,diusir karena dituding menjadi matamata China. Qian Xuesen meninggal September lalu di China pada usia 98 tahun, dan mendapat anugerah alumni berprestasi dari MIT.Pengusirannya dipandang sebagai salah satu keputusan terjelek dalam sejarah politik Amerika.

Bila di masa Mao, China dikenal dengan semboyan ‘’Lompatan jauh ke depan’’, kini negeri itu mengenalkan ‘’Lompatan jauh ke atas’’,dengan program luar angkasanya. James Oberg, ahli dari NASA, pada 2003 menulis di Scientific American Magazine bahwa dalam satu dekade, program luar angkasa China akan melewati Rusia maupun punya Masyarakat Eropa (ESA). Ramalan ini tampaknya akan terwujud mengingat China kini tengah bersiap-siap meluncurkan program penempatan stasiun penelitian di ruang angkasa, plus program pendaratan astronot di bulan.

Pada 2007 China bahkan sudah berhasil mengirimkan wahana tanpa awaknya ke bulan. Program luar angkasa itu tak bisa dilepaskan dari peningkatan industri lainnya. Dengan sekali melompat jauh ke depan, industri lain juga akan ikut terbawa maju. Filosofi ini di Indonesia berkalikali disampaikan Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie di era Presiden Soeharto sebagai alasan mengapa Indonesia perlu punya industri pesawat terbang. Dengan memiliki industri dirgantara, Indonesia dengan sendirinya akan memiliki industri sekrup, pabrik baja, dan industri pendukung lainnya.

Ide BJ Habibie banyak mendapat tentangan dari para ekonom, yang menyatakan bahwa Indonesia belum saatnya memiliki industri canggih. Ide itu pupus setelah kedatangan IMF yang memaksa pemerintah merestrukturisasi industri strategis. Berbeda dengan China, yang secara konsisten menjalankan program luar angkasa.Walaupun teknologi dan perangkat China banyak yang menjiplak Amerika dan Rusia, itu sudah cukup membuat banyak negara memandang China sebagai negara maju. Pandangan ini memudahkan China menjalankan diplomasi luar negerinya, di samping merupakan alat promosi ampuh bagi masuknya barang-barang hasil industri China.

Bila kita melihat akhir-akhir ini barang China makin menguasai pasar -tahun lalu sekitar 17 persen impor Indonesia dari China- , kita harus melihat hal itu bukan hal yang muncul tiba-tiba.Semuanya karena direncanakan dengan program pembangunan terpadu. Industri luar angkasa tak bisa dilepaskan dari industri lain seperti komputer, tekstil, atau elektronik. Ini bisa dilihat dari buku putih tahun 2000 keluaran Kementerian Penerangan China. Di situ dinyatakan, industri luar angkasa China merupakan bagian integral dari strategi pembangunan negara yang komprehensif.

Pada Juni tahun itu juga jurnal bulanan Xiandai Bingqi, terbitan lembaga riset teknologi militer, menyatakan bahwa peluncuran pesawat luar angkasa berawak akan meningkatkan “derajat” bangsa China di berbagai bidang teknologi tinggi seperti komputer, peralatan elektronik, material pesawat luar angkasa. Hasil riset dari pengembangan teknologi luar angkasa dapat diterapkan di kegiatan militer dan sipil.

Jadi apa tujuan misi antariksa China? Para analis antariksa dari NASA menilai, tujuan utamanya adalah untuk PR -public relations. Dengan mengirimkan astronot serta membangun stasiun di luar angkasa ,China bisa menunjukkan pada dunia negeri ini sudah pantas menyandang status sebagai ‘’superpower’’: adidaya di teknologi, industri, maupun finansial. Bagi Indonesia, strategi China ini sebenarnya tak ada yang baru. Ini bisa dilihat dari buku karya juru bicara presiden, Dino Patti Djalal, yang berjudul Diplomasi I Can ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila diplomasi ini diterapkan secara konsisten, termasuk di dalam pengembangan teknologi luar angkasa, Indonesia niscaya tak akan tertinggal dari negara lain. Saya yakin, rakyat akan semakin cinta pada produk dalam negeri karena mereka tahu bahwa bangsa Indonesia sudah mampu menguasai teknologinya.


Iwan Qodar Himawan
Praktisi pemetaan, pengurus pusat Ikatan Surveyor Indonesia

Baca selengkapnya...

Jumat, 26 Februari 2010

Kisah Di Balik Jendela

Telah lama dalam pemikiran saya untuk berbagi artikel bagus yang diperoleh baik melalui email, koran, majalah ataupun dari media lain kepada para sahabat sehingga mereka turut juga menikmatinya.

Pertama-tama saya coba berbagi melalui email, akan tetapi jangkauannya terbatas, terbatas hanya kepada sahabat yang alamat emailnya yang saya ketahui saja.

Lalu saya coba ringkaskan lagi dalam bentuk slide. Lagi-lagi terbentur dengan besarnya file yang justru menyulitkan pengiriman dan penerimaannya karena slidenya terlalu besar.

Akhirnya berkat seorang sahabat yang baik, terbentuklah blog ini. Blog ini saya namakan jendela.

Jendela disini dianalogikan bahwa kita melihat keluar melalui jendela, yang mana banyak hal yang bisa kita lihat. Dengan semakin banyak yang bisa lihat, maka wawasan akan semakin luas. Dan untuk menerapkan apa yang telah kita lihat itu maka perlu sebuah saringan berupa renungan-renungan.

Jendela ini terdiri dari kumpulan artikel yang diperoleh dari berbagai sumber dan dikelompokkan sesuai dengan kriteria dari artikel tersebut. Agar tidak membosankan, juga diselipkan berita yang sedang hangat.

Jendela tidak bermaksud untuk menggurui, akan tetapi semata-mata untuk berbagi. Untuk menghargai hasil karya orang lain, setiap artikel yang ada selalu dicantumkan sumbernya kecuali tidak diketahui.

Demikian kisah di balik jendela ini. Terimakasih kepada sahabat saya yang telah membantu terwujudnya jendela ini.

Selamat membaca dan semoga bermanfaat !

Baca selengkapnya...

Jam Kerja Yang Luwes Baik Buat Kesehatan

Orang yang dapat mengendalikan jam kerja mereka mungkin lebih sehat, baik jiwa maupun raga, dibandingkan dengan mereka yang menghadapi pekerjaan yang kurang luwes, demikian hasil satu studi di AS.

Dengan menganalisis 10 studi yang sudah diterbitkan dan melibatkan sebanyak 16.600 pekerja, para peneliti mendapati bahwa kondisi kerja tertentu yang memberi kendali kepada pegawai --seperti jadwal kerja yang diatus sendiri dan pensiun sebagian atau bertahap-- berkaitan dengan manfaat kesehatan.

Manfaat itu meliputi tekanan darah rendah dan denyut jantung yang teratur, kualitas tidur yang lebih baik dan tak terlalu kelelahan selama siang hari.

Namun temuan itu, yang disiarkan di Cochrane Database of Systematic Reviews, tak membuktikan bahwa jadwal kerja yang luwes mengarah kepada kesehatan yang lebih baik kendati mereka mendukung teori bahwa "pengendalian atas pekerjaan baik buat kesehatan", kata para peneliti tersebut.

Dr Clare Bambra dari Durham University dari Inggris mengatakan bahwa menurut teori itu, berkurangnya stres mungkin yang memberikan manfaat tersebut kendati masih ada beberapa kemungkinan lain.

Jadwal kerja yang luwes mungkin, misalnya, mempermudah orang untuk mendapatkan waktu untuk berolahraga, kata Bambra kepada Reuters Health.

Selama bertahun-tahun, berbagai studi telah menemukan kaitan antara "pekerjaan dengan ketegangan tinggi" dan peningkatan sakit jantung, depresi dan penyakit lain. Para peneliti mendefinisikan pekerjaan dengan ketegangan tinggi sebagai pekerjaan yang berisi tuntutan tapi tak memberi pegawai peluang untuk mengendalikan cara mereka bekerja.

Itu telah memicu perhatian yang bertambah besar mengenai apakah ada manfaat kesehatan yang diperoleh dari kondisi kerja yang tidak tradisional seperti penjadwalan sendiri "waktu yang luwes", berhubungan dari rumah dan berbagai pekerjaan.

Untuk kajian mereka, Bambra dan rekannya menggunakan 10 studi yang semuanya mengikuti perkembangan pekerja setidaknya enam bulan dan harus membandingkan semua pegawai yang memiliki kondisi yang luwes dengan kelompok lain.

Namun Bambra mengatakan, kekurangan dari semua studi yang mereka kaji ialah tak satu pun melakukan percobaan yang dilakukan secara acak.

Bambra mengatakan, semua jenis studi itu "diperlukan sebelum kami dapat membuat kesimpulan nyata. Data yang kami miliki menjadi petunjuk dan bukan penentu".

Tetapi ia mengatakan mereka tak menemukan bukti bahwa kondisi kerja yang luwes bisa membahayakan kesehatan pegawai sehingga untuk saat ini atasan dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan penjadwalan sendiri dan pensiun bertahap sebagai "cara yang masuk akal" untuk meningkatkan kesehatan pegawai.

Baca selengkapnya...