Minggu, 26 September 2010

Efek Pujian pada Anak

Pujian untuk anak harus diberikan proporsional agar ia tidak besar kepala atau meremehkan hasil kerjanya.

Pujian adalah hal yang penting dalam hidup kita. Namun, seberapa banyak pujian yang cukup untuk diberikan kepada anak? New York Magazine melaporkan bahwa banyak anak berbakat yang mendapatkan skor tertinggi dalam tes menganggap remeh hasilnya karena mereka tak terbiasa menerima pujian. Para murid berbakat ini sering kali merasa tidak percaya diri untuk menghadapi masalah besar kecuali mereka tahu bahwa mereka mampu memecahkannya.

Serupa, laporan dari Brookings Institutions's Brown Center menunjukkan bahwa negara yang memuji muridnya dalam mata pelajaran Matematika ternyata nilainya di belakang negara-negara yang pengajarnya tidak memuji muridnya. Studi menunjukkan bahwa murid yang tidak memiliki kebiasaan untuk memuji justru nilainya lebih tinggi ketimbang anak-anak yang berada di negara yang menjunjung pujian.

Pertanyaannya, bagaimana cara agar pujian diberikan dengan cukup?


1. Dasarkan pujian pada keberhasilan yang sebenarnya dan sifatnya spesifik. Mengatakan bahwa si anak adalah orang yang pandai tak akan mengajarnya apa yang telah ia lakukan adalah hal yang benar. Berikan pujian yang sesuai dengan tugas yang terselesaikan. Contoh, Anda bisa berkata, "Kamu melakukan pekerjaan yang bagus dengan menjawab soal yang sulit seperti ini."

2. Pujian untuk upaya keras. Secara alamiah, orangtua akan berharap anaknya bisa mengeluarkan dan melatih upaya terbaiknya. Saat si anak sudah bekerja sangat keras menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan, berikan pujian untuk setiap level yang berhasil ia capai. Jika hasil upaya kerasnya mencapai angka yang biasa, berikan pujian jika Anda tahu bahwa si kecil sudah berupaya melakukan usaha yang sangat keras.

3. Tunjukkan ketertarikan Anda akan studi si kecil. Menerima kritik dan mempertahankan prestasinya adalah hal yang menantang untuk anak. Namun, menunjukkan ketertarikan serta dukungan di setiap waktu akan menawarkan kenyamanan bagi si anak. Tanyakan mengenai pelajaran di sekolahnya, dan minta ia untuk "mengajarkan" pada Anda. Ini adalah cara yang baik untuk mendorong kepercayaan diri anak dalam memahami materi pembelajaran sambil membantu mereka untuk terus berusaha.

4. Jangan membandingkan kemajuan anak lain dengan anak Anda. Pastikan bahwa Anda tidak membandingkan kemajuan si kecil dengan saudara atau temannya. Belajar bukanlah mengenai mengukur kemampuan satu anak dengan anak lainnya, melainkan memerhatikan perkembangan anak secara individual.

5. Ketulusan. Anak-anak adalah makhluk yang intuitif. Mereka bisa melihat arti dan maksud di balik sebuah pujian. Jika Anda memujinya hanya sepintas lalu atau tidak tulus, hal itu tak hanya menghapus pujian yang pernah Anda beri di waktu-waktu sebelumnya dan bahkan mengganggu pujian tulus di masa depan.
Bahwa Anda, orangtuanya, memerhatikan dan mendorong kemajuan dirinya, serta bangga akan dirinya, itu adalah hal yang vital untuk membangun kepercayaan diri, memotivasi, dan membantu kemandirian anak. Anak perlu tahu bahwa Anda ada di pihaknya dengan pujian yang adil untuk mendorong kepercayaan dirinya sekaligus memotivasi mereka untuk mencapai prestasi dan belajar lebih lagi karena mereka percaya pada kemampuan dirinya sendiri.


Sumber : Oprah - Nadia Felicia

Baca selengkapnya...

Jumat, 17 September 2010

Tuhan Dalam Buku Stephen Hawking?

Disulut bara sensasi khas media massa Inggris, publik sejagat coba-coba dikompori oleh pernyataan dari seorang ahli fisika.

Topik yang diangkat soal hubungan penciptaan alam semesta dan peran Tuhan. "Tidak perlu pertolongan Tuhan untuk menciptakan alam semesta," kata fisikawan itu.

Penulisnya, Stephen Hawking, ilmuwan Inggris berusia 68 tahun. Pernyataan itu termuat dalam buku The Grand Design yang dikerjakan bersama ahli fisika AS, Leonard Mlodinow.

Menurut penuturan harian The Times, keduanya mengungkapkan bahwa serangkaian teori baru membuat penciptaan jagat raya tidak memerlukan pencipta.

Sebelumnya. publik sejagat sempat diliputi tanda tanya ketika Hawking menulis buku A Brief History of Time. Buku itu memuat sebuah kisah penciptaan alam semesta.

Tahun 1988, Hawking - yang menderita penyakit neuromuskular sejak berusia 21 tahun yang membuatnya lumpuh dan bergantung pada synthesizer suara - memberi nuansa bernas mengenai problem kosmologi dalam bingkai keberadaan Sang Pencipta Alam Semesta. Mencuatlah Teori Dentuman Besar (The Big Bang).

Pada tahun yang sama juga, Hawking tampaknya merespons secara positif kemungkinan adanya Pencipta, dengan mengatakan bahwa penemuan sebuah teori yang utuh menyeluruh akan merupakan ?kejayaan akal budi manusia?karena kita akan mengetahui pikiran Tuhan?. Wow...?

Dihela oleh rasa ingin tahu sebagai dorongan purba dari setiap manusia, sejumlah komentar berkelabat sarat isyarat bahwa dentuman besar mengalamatkan kepada sebuah waktu di mana segala materi dan energi ada dan berasal dari sebuah keadaan tertentu.

Yang teronggok di dalamnya tinggal misteri sarat tanda tanya bahwa sebenarnya apa yang menyebabkan semuanya itu terjadi?

Bagi Hawking, alam semesta ini memang seharusnya tidak remuk. Alam semesta itu mengembang. Arti pertama, segala sesuatu yang ada dalam alam semesta tampil sebagai peristiwa kebetulan belaka.

Alam semesta mengatur dirinya sendiri sebagaimana layaknya sebuah mesin raksasa. Arti kedua, penciptaan alam semesta mempunyai tujuan bagi kehidupan manusia.

Dua pernyataan itu mengerucut kepada pertanyaan, bagaimana peran dan keberadaan Tuhan dalam alam raya ini? Menurut penulis buku Sains dan Problem Ketuhanan, Greg Soetomo, pertanyaan itu dapat dibaca sebagai "Tuhan yang dicampakkan dalam alam semesta".

Sejumlah pemikir telah coba membuat peta jalan seputar "Tuhan yang dicampakkan dalam alam semesta". Ahli fisika Newton memandang adanya Tuhan yang berperan dalam menggerakkan planet-planet dan sistem tata surya.

Sementara seorang ahli matematika, Carl F. Gauss berpendapat bahwa segala persoalan mengenai Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas kemampuan pikiran dan ruang lingkup sains.

Implikasinya, menurut ahli psikoanalisa Sigmund Freud, dalam agama, manusia melarikan diri dari kenyataan. Dalam agama, manusia bertingkahlaku seperti bocah yang membutuhkan seorang "bapa" yang digadang-gadang mampu melindungi dari keganasan alam. Sains lantas mempertanyakan keberadaan agama untuk membela keberadaan sains.

Bagi Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time, Big Bang tampil sebagai konsekuensi dari hukum gaya berat.

Karena adanya hukum seperti gaya berat, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan bahwa ada sesuatu dan bukannya tidak ada, mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada,? tulis Hawking.

Amatan Hawking itu punya rentetan pijakan sejarah. Bagi filsuf Yunani kuno, Plato, dunia yang dipahami sebagai alam semesta (cosmos), telah mulai bersamaan dengan adanya waktu.

Plato menulis, "Ia baik, dan dari yang baik, tak pernah dapat lahir sebuah kecemburuan apapun terhadap siapapun. Karena terbebas dari iri hati, Ia menghendaki bahwa segala sesuatu terjadi. Segalanya itu sejauh mungkin serupa dengan diri-nya sendiri".

Sedangkan bagi Aristoteles, alam semesta itu kekal adanya. Alam semesta itu ada sejak masa yang tidak terbatas. Peredaran langit tidak pernah mengenal permulaan. Karena itu, dunia yang tidak mengenal permulaan itu tidak diciptakan Tuhan.

Nah, bagaimana menyikapi judul besar "Tuhan dalam buku Stephen Hawking"? Apakah ilmuwan Inggris itu memang tidak taat asas ketika membangun teori pertolongan Tuhan dalam alam semesta? Apakah Hawking sedang menjual dan menjajakan sensasi kepada publik?

Hawking kiranya memahami dan mengetahui bahwa segala persoalan mengenai keberadaan dan peran Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas kemampuan pikiran (rasio) dan ruang lingkup sains.

Apakah Hawking mau merambah ke wilayah telaah mengenai Tuhan, sementara ia terus membangun teorinya dengan landasan teori-teori ketat mengenai alam semesta?

Jawaban Hawking ini sepadan dengan pernyataan staf pengajar STF Driyakarka, Louis Leahy yang mengatakan alam semesta bukan merupakan ilusi, alam semesta bukan berasal dari kemerosotan. Alam semesta adalah hasil dari anugerah cuma-cuma dari kemurahan hati Tuhan semata-mata.

Ketika mewacanakan Tuhan dan alam semesta secara filosofis, Leahy meluncurkan dua kata yakni "cinta menciptakan". Ciri cinta salah satunya menghormati orang yang dikasihi. Cinta mencapai nilai tertinggi ketika orang yang dikasihi mencapai realisasi diri yang tertinggi pula.

Implikasinya, cinta Tuhan yang menciptakan alam semesta, semata-mata bersifat tanpa pamrih, sebab Tuhan sempurna adanya.

Soal Tuhan dan alam semesta, kolumnis MAW Brouwer (alm) menulis, Tuhan bukan benda, bukan bayangan, bukan proyeksi, bukan ide. Dia itu suatu perspektif, suatu matriks yang muncul sebagai sumber yang seratus persen serba baru.

Ia mengibaratkan bahwa buku baru tidaklah baru sebagai buku, karena manusia sudah melihat banyak buku.

Soalnya, manusia kerapkali merasa bosan berada di dunia, sementara Tuhan yang mencintai alam semesta dan mengasihi manusia, justru tidak pernah bosan.

Dalam Tuhan, manusia tidak pernah akan merasa bosan. IA selalu mengherankan (The Big Surprise). Bagi filsuf Agustinus, tempat kelahiran Tuhan ialah keheranan (situs originos Dei est miratio).

Dari Big Bang milik ilmuwan Hawking, sampai Big Surprise milik filsuf Agustinus.


A.A.Ariwibowo

Baca selengkapnya...

Kamis, 16 September 2010

Jenius Itu Benar 99 Persen Keringat

'Jenius adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen keringat'. Kutipan terkenal itu adalah milik ilmuwan Thomas Alva Edison. Ungkapan itu semakin terbukti dan ternyata ilmuwan-ilmuwan hebat itu muncul bukan karena sekedar pintar.

Penulis buku-buku ilmiah Andrew Robinson dalam bukunya 'Sudden Genius?' menemukan kesamaan baik pada ilmuwan masa kini maupun ilmuwan masa lampau ternyata ilmuwan menjadi jenius tidak terjadi dalam waktu sekejap.

Bagaimana sampai ilmuwan-ilmuwan itu mempunyai banyak ide di kepalanya, ternyata ada jalan bertahap dalam membuat terobosan-terobosan yang kreatif. Proses kreatifitas inilah yang membuat ilmuwan jenius.

Menurut Andrew, jenius merupakan hasil dari kerja keras yang konsisten dan sebuah ketekunan. Jadi jika kini banyak orangtua yang ingin mencetak anak jenius menurutnya tidak bisa dengan jalan pintas.

Andrew menemukan proses kreatif membuat seseorang memiliki ide yang begitu banyak dengan kata lain tidak pernah menyerah untuk mencoba hingga menemukan formula yang tepat.

Studi ilmiah tentang kreativitas ini meliputi banyak hal seperti bakat, kecerdasan, memori, mimpi, alam bawah sadar, kerja keras dan banyak lagi sehingga menjadi jenius bukan semata-mata karena pintar.

Pola tersebut ditemukan hampir sama baik pada ilmuwan maupun pada seniman seperti pada bidang arkeologi, arsitektur, seni, biologi, kimia, film, musik, sastra, fotografi dan fisika.

Masalah kreativitas yang menjadi kunci orang jenius jauh sebelumnya pernah diungkap oleh polymath Prancis terkenal yaitu Henri Poincare pada tahun 1881. Sekitar 30 tahun kemudian, Poincare menerbitkan sebuah analisis proses berpikir sendiri.

Model Poincare ini melalui empat tahap yaitu pikiran sadar, pikiran tidak sadar (inkubasi), iluminasi (menjelaskan) dan juga verifikasi. Hal ini disimpulkan sejak ia mempelajarinya secara mendalam.

Ilmuwan seperti Albert Einstein, Hermann von Helmholtz dan Werner Heisenberg pernah menggambarkan proses kreativitasnya mirip dengan model Poincare tersebut. Hingga kini empat tahapan tersebut adalah model kreativitas terbaik yang dimiliki.

Seperti dikutip dari Medindia, Kamis (16/9/2010) sebuah percobaan menunjukkan bahwa dalam kondisi ketidaksadaran, seseorang dapat mengaktifkan informasi kompleks yang menghambat alam sadarnya. Dan itu baru salah satu faktor.

Karena itu kejeniusan seseorang tidak bisa didapatkan melalui cara singkat, namun membutuhkan sebuah ketekunan dan kerja keras yang konsisten.


Vera Farah Bararah

Baca selengkapnya...

Minggu, 12 September 2010

Akses Facebook, Mahasiswa Jadi Lebih Bodoh?

Yang mengakses Facebook di kelas memiliki indeks prestasi rata-rata 3,06. Yang tidak: 3,82.

Facebook bak pisau bermata dua. Di balik manfaatnya yang luar biasa, situs jejaring sosial ini juga dinilai menyimpan masalah serius. Penelitian tim psikolog Open University di Belanda mengungkapkan bahwa situs jejaring sosial itu mempengaruhi prestasi belajar dan bekerja secara signifikan.

"Masalahnya adalah kebanyakan orang membuka Facebook atau situs jejaring sosial, email dan atau pesan instan saat mereka melakukan tugas atau pekerjaan lain," kata salah satu peneliti, Profesor Paul Kirschner, seperti dikutip dari Times of India.

Hasil penelitian menemukan bahwa pelajar yang log-in ke Facebok sembari belajar mendapatkan nilai yang jauh lebih rendah ketimbang yang tidak. Juga, bahwa nilai ujian dari mereka yang menggunakan situs jejaring sosial sembari bekerja--meskipun hanya terpampang di belakang layar komputer utama tempat mereka bekerja--20 persen lebih rendah dari yang tidak menggunakannya.

Orang mungkin berpikir bahwa melakukan tugas secara paralel, termasuk digital multitasking, cenderung lebih efisien. Padahal itu justru berpotensi memecah konsentrasi. "Sehingga pekerjaan bisa lebih banyak salah dan butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikannya," kata Kirschner.

Dalam penelitian ini, Profesor Paul Kirschner dan timnya melibatkan 219 mahasiswa berusia 19-54 tahun dari berbagai universitas di Amerika. Mereka yang terbiasa mengakses Facebook di kelas memiliki tingkat pencapaian indeks prestasi rata-rata 3,06. Sementara yang tidak memiliki kebiasaan itu memiliki indeks prestasi rata-rata 3,82.

Mahasiwa yang tidak menggunakan situs jejaring sosial mengatakan, mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar. Mereka memiliki waktu lebih panjang sekitar 88 persen. Namun, tiga dari empat penggila Facebook tidak percaya bahwa menghabiskan banyak waktu di situs jejaring sosial bisa mempengaruhi prestasi akademik mereka.


~Pipiet Tri Noorastuti, Mutia Nugraheni~

Baca selengkapnya...