Rabu, 26 Januari 2011

MAKNA PERBAIKAN PERINGKAT INDONESIA

Lembaga pemeringkat, Moody’s Rating menaikkan peringkat surat utang Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, atau satu peringkat (notch) di bawah ‘investment grade’ dengan outlook stabil. Perbaikan peringkat ini diberikan karena Moody’s menilai ada perbaikan dari sisi surat utang pemerintah, membaiknya prospek Penanaman Modal Asing (PMA) dan cadangan devisa yang cukup besar.
Peringkat Moody’s ini setara dengan peringkat yang diberikan lembaga pemeringkat lain, Fitch Ratings di level BB+ dan satu peringkat lebih tinggi dari peringkat S&P di level BB dengan outlook stabil.
Kenaikan peringkat dari Moody’s ini sangat spesial bagi Indonesia karena diberikan kepada suatu negara di tengah situasi negara-negara lain di berbagai kawasan yang sedang mengalami masa sulit. Perbaikan peringkat ini akan menambah confidence investor khususnya asing untuk bertahan di Indonesia.
Terdapat beberapa alasan Moody’s menaikkan peringkat Indonesia. Pertama, dari faktor ketahanan ekonomi Indonesia diikuti neraca makroekonomi yang berkelanjutan. Kedua, dari faktor posisi utang pemerintah dan cadangan devisa valuta asing bank sentral yang membaik. Ketiga, dari faktor rospek arus investasi asing juga terus membaik. Ini bisa memperkuat posisi eksternal dan outlook ekonomi Indonesia.
Ke depan, perbaikan peringkat masih bisa dilakukan dengan melakukan berbagai upaya. Misalnya, melanjutkan kebijakan stabilitas moneter dan stabilitas harga. Lalu pengawasan perbankan yang lebih bagus, membaiknya permodalan dan kredit untuk mendukung langkah pemerintah dalam mengelola utang. Juga masuknya aliran investasi asing langsung untuk mendukung neraca pembayaran eksternal.
Kalau upaya perbaikan tidak dilakukan, peringkat yang sudah diperoleh bisa diturunkan lagi. Misalnya, apabila pemerintah kehilangan kontrol inflasi dan stabilitas moneter. Atau terjadi goncangan yang kuat terhadap fiskal, utang dan posisi cadangan devisa. Hal ini bisa datang akibat kesalahan kebijakan atau beberapa guncangan dalam politik domestik. Hasilnya kepercayaan investor dan masyarakat bertambah buruk.
Moody’s juga menimbang beberapa risiko kunci pada peringkat dan outlook Indonesia terutama menyangkut sistem politik. Oposisi dari mitra koalisi telah memperlambat aksi pemerintah untuk menerapkan reformasi ekonomi. Namun ini belum berdampak secara menyeluruh pada manajemen kebijakan secara menyeluruh. Atau prospek ekonomi jangka pendek. Walau begitu, bila hambatan politik menghalangi kebijakan dan administrasi atau pengawasan perbankan, kepercayaan investor akan menurun dan tekanan pada pasar finansial akan naik.
Jumlah orang asing yang memegang surat utang pemerintah Indonesia berbentuk rupiah meningkat. Keadaan ini bisa membikin masalah melihat relatif dangkalnya pasar kapital domestik di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja keras menciptakan pasar keuangan yang lebih dalam melalui program financial inclusion.
Untuk itu, sudah benar langkah pemerintah yang selama ini sudah melakukan deepening domestik bond market melalui diversifikasi instrumen dan dengan menjaga stabilitas pasar dengan pembentukan bond stabilization fund serta meningkatkan koordinasi dengan berbagai otoritas termasuk moneter dan pasar modal.
Makna sesungguhnya dari perbaikan peringkat utang domestik dan internasional pemerintah adalah pengakuan bahwa pengelolaam makroekonomi Indonesia sudah on the track. Pertumbuhan ekonomi terjaga dengan baik, mampu mencapai 6 persen (angka perkiraan) pada tahun 2010.
Nilai tukar rupiah juga relatif terjaga pada posisi yang cukup kuat di kisaran Rp 9.000 per dolar AS. Kredit perbankan juga tumbuh dengan baik sebesar 21 persen atau dua kali lipat dari 2009 yang hanya 10,6 persen. Situasi makroekonomi yang kondusif membuat pemodal asing tergoda untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia, terlihat dari kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sempat menyentuh level 3.700. kalau pun sekerang indeks mengalami penurunan hingga ke kisaran 3.500, hal ini diyakini hanya respon sesaat dari para investor.
Hanya inflasi yang tinggi, yakni 6,96 persen di 2010, yang sedikit “mencoreng” prestasi pemerintah dalam membangun pondasi perekonomian. Namun dengan komitmen kuat untuk mengantisipasi lonjakan inflasi di tahun ini, diyakini laju inflasi akan dapat dikendalikan pada level yang lebih moderat.
Dengan mengusung plaftorm strategi pembangunan ekonomi bertumpu pada empat pilar, yaitu pro growth, pro jobs, pro poor, dan pro environment, diharapkan prestasi ekonomi Indonesia akan terus terjaga dengan baik. Persoalan inflasi ditambah ancaman krisis pangan dan energi hendaknya menjadi catatan serius pemerintah untuk menyelesaikannya.
Khusus terkait ancaman krisis pangan, hal ini hanya bisa diantisipasi apabila pembangunan pertanian domestik digagalkan kembali. Jangan lagi berharap bahwa Indonesia bisa mengimpor bahan makanan dari negara lain, karena negara-negara lain juga mengalami ancaman yang sama. Thailand dan Vietnam sebagai contoh, secara perlahan-lahan sudah menghentikan ekspor beras ke negara-negara lain karena berorientasi untuk mengatasi problem dalam negerinya.
Jadi, Indonesia harus mandiri, tidak boleh bergantung kepada negara lain, untuk dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Bukan hanya oal pangan, melainkan juga soal energi. Pemnerintah harus inovatif dan kreatif menemukan sumber-sumber energi alternatif yang murah dan berisiko rendah. Potensi sumber energi alternatif terbuka luas baik dari sumber matahari, air laut dan sungai, udara, dan pertambangan.


Business News

Baca selengkapnya...

Selasa, 25 Januari 2011

Outside The Box

SBY dituduh “berbohong”. Kabar angin mengatakan bahwa pernyataan “bohong” itu masih berupa konsep, dan masih belum disetujui oleh semua yang terlibat. Tetapi memang pernyataan “bohong” itu keluar dan tercium oleh media, bergulir seperti bola salju menggelinding dengan cepat, sampai membuat SBY uring-uringan. Nasi sudah jadi bubur, pernyataan SBY “berbohong” jadi konsumsi masyarakat.
Jarang SBY bereaksi cepat, mungkin karena kata “bohong” terlalu kuat dan kasar. Kemarin dulu SBY mengumpulkan 100 tokoh agama, termasuk 9 tokoh agama inisiator tuduhan “bohong” itu. Dengan cerdas SBY mengepung 9 tokoh agama, dengan mengundang tokoh agama lainnya, mencoba menetralisir “bohong” dari 9 tokoh agama, sekaligus menunjukkan masih banyak tokoh agama yang mewakili umat dan tidak berkata “bohong”.
Dari belasan “kebohongan” itu, mari kita lihat sisi ekonominya saja. Kadang kala indikator makro bisa menipu persepsi masyarakat. Misal saja indikator inflasi. Per definisi inflasi adalah indikator yang menyatakan kenaikan harga yang terus menerus. Kalau harga cabai dari Rp20.000,-/kilo naik menjadi Rp30.000,-, maka terjadi inflasi 50% atas harga cabai. Besok harga cabai menjadi Rp25.000,-, inflasi turun (deflasi) sebesar 17%. Di satu pihak indikator menunjukkan deflasi, tetapi masyarakat tetap membayar cabai lebih mahal dari sebelumnya.
Di sini bisa jadi pangkal sengketa: pemerintah bilang deflasi, masyarakat bilang harga naik. Dua-duanya benar, tetapi masing-masing memakai definisi yang berbeda, bukan apple to apple.
Indikator kemiskinan dan pengangguran tidak kurang ribet. Definisi Biro Pusat Statistik berbeda dengan World Bank, masing-masing punya argumentasi sendiri. Definsi BPS kemiskinan 30 juta orang, definisi World Bank 70 juta. Kenapa pemerintah memakai definisi BPS? Gampang saja, BPS adalah lembaga resmi Indonesia yang mengeluarkan angka statistik, sementara World Bank bukan. Kalau pemerintah tidak percaya dengan definisi BPS, ya bubarkan saja BPS, kita ikut World Bank.
Tetapi dibalik debat definisi ini, harusnya kita sadar bahwa baik angka 30 juta dan 70 juta hampir sama gawatnya: gawat dan sangat gawat. Kenyataan 30 juta rakyat miskin itu luar biasa besar. Bayangkan penduduk Singapura tidak sampai 10 juta manusia, jadi angka 30 juta adalah tiga kali jumlah penduduk Singapura. Artinya di Indonesia ada tiga negara Singapura yang miskin, itu perbandingan yang dahsyat.
Bagaimana kemampuan pemerintah mengatasinya? Ini musti jelas, melihat angka APBN yang tidak bisa “berbohong”. Kalau lihat angka APBN harus diakui kemampuan pemerintah untuk menjawab masalah ini sangat minim dalam jangka waktu pendek. Apa pasal? Anggarannya tidak cukup. Lihat saja tabel APBN. Pada tahun 2010, total belanja negara sebesar 1.100 triliun. Dari total belanja, 30% masuk ke daerah, sisanya pemerintah pusat.
Kalau dana masuk ke daerah, pemerintah pusat tidak bisa apa-apa. Paling banter, minta mereka ikut program pemerintah pusat. Kalau menolak tidak ada sangsi.

APBN 2010 2011

Pendapatan Negara 992,4 1.104,9
Pajak 743,3 850,3
Bukan Pajak 247,2 250,9
Hibah 1,9 3,7
Belanja Negara 1.126,1 1.229,6
Belanja Pusat 781,5 836,6
Transfer ke Daerah 344,6 393,0
Pembiayaan 133,7 124,7
Dalam Negeri 133,9 125,3
Luar Negeri (0,2) (0,6)

Belanja pemerintah pusat, 781 triliun, 90% adalah belanja rutin (pegawai dan barang), bayar bunga, dan subsidi, sisanya 10% belanja modal. Total belanja modal hanya 77 triliun (sumber: Data Pokok APBN)
Misalkan saja pemerintah mengeluarkan semua 77 triliun kepada masyarakat miskin yang 70 juta itu, maka program pengentasan kemiskinan pemerintah pusat dalam setahun berjumlah Rp1,1 juta per orang nya, atau Rp3.000,- per orang per hari. Pertanyaannya apakah uang Rp3.000,- per orang per hari cukup? Sama sekali tidak cukup!
Defisit APBN terlihat jelas dibiayai oleh dalam negeri, yaitu menjual obligasi pemerintah, dan hampir semuanya dibeli oleh bank dan BUMN. Kalau pemerintah pusat mau menaikkan budget Rp3.000,-, maka kemampuan dalam negeri untuk financing tidak ada.
Harapan satu-satunya adalah pinjaman luar negeri, tetapi kalau dari tabel, uang yang masuk sebagai pinjaman lebih sedikit dari yang keluar. Artinya, pinjam uang untuk bayar hutang luar negeri.
Jadi bagaimana? Di dunia business, dikenal transaksi refinancing, jadi hutang luar negeri negara seharusnya bisa meniru transaksi seperti itu. Siapa yang paling mampu membiayai refinancing ini? Ada dua negara raksasa yang mempunyai cadangan devisa yang luar biasa besar: China dan India.
China punya punya devisa USD2.7 triliun . Utang Indonesia sebesar USD60 miliar sangat kecil dari cadangan devisa itu. Coba kita bisa melakukan transaksi refinancing dengan China, bakal luar biasa dahsyat. Refinancing bisa dengan memanjangkan tenor pinjaman, mengecilkan bunga, di mana total efeknya meringankan cash flow APBN. Artinya, belanja modal pemerintah bisa didongkrak paling sedikit dua kali karena biaya bunga berkurang, plus hutang luar negeri bertambah karena kemampuan pemerintah untuk berutang juga bertambah.
Sehingga sudah seharusnya, silang pendapat “berbohong” dihentikan. Semua duduk bersama memikirkan 70 juta orang itu mendapat program yang memadai. Kalau kita tetap bertumpu pada model APBN seperti sekarang, kita tidak akan bisa menjawab masalah kemiskinan dan pengangguran dalam waktu jangka pendek. Pertanyaannya: Apakah sang miskin bisa menunggu??


Businessnews

Baca selengkapnya...

ANGKA KEMISKINAN DAN PUJIAN BANK DUNIA

Menarik mencermati polemik soal prestasi ekonomi Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kemudian mendapat respon “negatif” dari kalangan aktivis dengan mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan di balik angka-angka yang disajikan.
Ada baiknya polemik itu ditelaah secara jernih dengan kepala dingin sehingga kita bisa mengambil intisari dan hikmahnya sekaligus. Mari simak sejenak polemik itu. Pemerintah SBY dituding berbohong dengan angka kemiskinan. Angka kemiskinan diklaim pemerintah turun dari 32,53 menjadi 31,02 juta orang. Satu setengah juta orang telah terentas dari kemiskinan.
Sontak penurunan angka kemiskinan ini menuai berbagai reaksi masyarakat yang dianggap jauh api dari panggang. Realitanya, masyarakat miskin bertambah banyak. Memang, angka kemiskinan akan mengalami dinamika dalam penafsiran.
Penafsiran angka kemiskinan akan sangat beragam sesuai sudut pandang (background) akademis, profesi dan pengetahuan pengguna data. Terlebih, jika sudah terjebak dalam “kontaminasi politik”, maka penafsiran akan menjadi jauh berbeda.
Cara Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan sudah sangat standar dan dilakukan banyak negara di dunia. Data kemiskinan yang dirilis BPS dihimpun dari 33 provinsi dengan mengerahkan 12 ribu petugas lapangan mitra independen BPS.
Hingga sangat sulit diterima, ada rekayasa di balik angka kemiskinan. Karena penduduk miskin masih 31,02 juta atau sekitar 13,3 persen dari penduduk Indonesia tentu masih mudah dijumpai orang-orang miskin itu.
Di sisi lain kita terkadang lupa merasakan denyut pengurangan kemiskinan. Misalkan makin panjang antrean masyarakat di berbagai daerah untuk ibadah haji, makin meningkatnya penjualan kendaraan dan mobil mewah.
Makin meningkatnya konsumsi barang-barang sekunder (handphone, televisi dan barang elektronik lain). Mencermati fenomena di atas marilah lebih arif dalam menerjemahkan angka kemiskinan dan memacu diri turut serta mengawal program perlindungan sosial yang digulirkan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
Jadi, kepada para tokoh masyarakat janganlah menjadikan angka-angka ilmiah statistik menjadi konsumsi politik. Marilah kita beri kesempatan pemerintah agar masyarakat dapat menikmati kebutuhan dasarnya. Kasihan rakyat yang tidak tahu apa-apa sering dijadikan “komoditas politik” oleh segelintir elit politik.
Sejauh ini banyak kalangan ekonom memproyeksikan perekonomian Indonesia bakal mengalami pertumbuhan lebih baik dibanding negara Asia lain. Indonesia, bersama China dan India, terus memimpin pertumbuhan ekonomi kawasan. Perekonomian Indonesia didukung pasar domestik yang besar dan kemampuan mempertahankan ekspor.
Tingginya, permintaan pasar dalam negeri dan penduduk banyak ini salah satu faktor pendukung pertumbuhan. Semoga ekonomi Indonesia bisa terus tumbuh pada tahun-tahun selanjutnya. Indikator perekonomian naik itu antara lain belanja pemerintah masih cukup besar dan angka inflasi masih terkendali. Dana investasi asing diperkirakan meningkat tahun 2011.
Lonjakan kelas menengah Indonesia bisa diidentifikasi dari pola konsumsi mereka. Misal, masyarakat kelas menengah bawah sudah mampu mengangsur sepeda motor. Masyarakat kelas menengah, tengah memadati mal-mal dan membeli mobil dengan cc kecil.
Masyarakat kelas menengah-atas, mampu berobat dan menyekolahkan anak ke luar negeri, serta membeli mobil jenis sedan. Ini menunjukkan, ekonomi di Indonesia makin maju. Ini merupakan bukti, bertambahnya orang kaya di negeri ini.
Melihat fenomena besar ini, para pelaku bisnis baik dari dalam dan luar negeri telah mencermati sejak beberapa tahun lalu. Mereka sudah mempersiapkan strateji atas membesarnya kelas menengah Indonesia itu. Produsen mancanegara malah sudah banyak mengincar Indonesia sebagai pasar produk mereka dengan mengusung bendera globalisasi.
Memang kalau prestasi ekonomi itu lantas disandingkan dengan fakta bahwa ada sekian orang rakyat Indonesia masih berkekurangan dari segi papan, pangan, dan pendidikan, tentu kekurangan ini tidak boleh men-discourage keberhasilan yang sudah dicapai.
Sebagai perbandingan, perekonomian China tumbuh rata-rata 10 persen setiap tahunnya. Namun jumlah pengangguran di China tetap terbilang tinggi, berkisar 9,5 persen. Kenapa ini bisa terjadi? Karena memang hasil kebijakan pembangunan bidang ekonomi tidak serta merta bisa diserap atau dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara individual.
Jumlah penduduk China sekitar 1,6 miliar jiwa dengan jumlah usia kerja sekitar 800 juta jiwa, sementara angka pengangguran berkisar 80-90 juta orang. Inilah yang menjadi pemikiran pemerintah China bagaimana dapat memperluas daya serap hasil pembangunan ekonomi kepada seluruh warganya.
Bukti bahwa prestasi ekonomi Indonesia sudah berada pada jalur yang benar diakui oleh Bank Dunia. Lembaga internasional ini terus memuji Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi terus naik dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan dunia internasional mengakui, secara ekonomi Indonesia memang kuat.
Bank dunia mengakui, pertumbuhan ekonomi itu tidak lepas dari para investor. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus bangga di tengah krisis global, kita dianggap sebagai negara tangguh dan selalu lepas dari jerat krisis. Semoga kedepan pemerintah melalui tim ekonomi terus bekerja keras, harus optimistis menatap kedepan harus lebih baik. Sehingga hasil pembangunan ekonomi makin tersebar merata dinikmati oleh seluruh rakyat di seluruh pelosok Tanah Air.


Businessnews

Baca selengkapnya...

Selasa, 04 Januari 2011

Prediksi Ekonomi 2011: Menjaga Momentum

Indonesia salah satu negara di dunia yang beruntung. Saat negara-negara adijaya di dunia tergolek lemas terkena virus krisis hutang, Indonesia tetap berkibar dan tumbuh ekonominya dengan angka yang relatif sehat.
Sebetulnya ada dua jenis virus yang berbahaya di dalam perekonomian dunia. Virus defisit anggaran belanja negara dan virus hutang swasta. Untungnya Indonesia sudah minum antibodi dua jenis ini. Sejak krisis tahun 1998 antibodi ini sangat kuat bekerja, malah seringkali membunuh sel-sel tubuh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Sangking kuatnya antibodi ini, pemerintah sampai tidak sanggup melakukan pencairan proyek-proyek tepat waktu. Lihat saja angkanya: di bulan Desember 23, 2010 konon hanya ada realisasi 83,4% pencairan dana pemerintah, padahal tahun 2009 lebih dari 86,5%. Jauh dari ideal. Proses pembusukan ini harus dihindari di tahun 2011, karena dari sisi expenditure pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat dan pemerintah masih menjadi primadona pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walau dua sektor lainnya, sektor investasi dan ekspor masih cukup kuat andilnya di tahun 2010, tetapi kemungkinan besar akan menjadi faktor risiko di tahun 2011.
Faktor risiko internal yang utama adalah ancaman inflasi, utamanya dari bahan pangan dan enerji. Bahan pangan (beras) yang mempunyai andil cukup besar dalam komponen inflasi, kemungkinan akan naik. Hal ini disebabkan faktor cuaca yang masih mengancam Asia, khususnya penghasil beras seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Dua negara tetangga sudah mengalami penurunan panen yang cukup tajam, dan kemungkinan besar tidak bisa ekspor untuk negara konsumen beras seperti Indonesia. Alhasil harga beras di dunia akan loncat ke atas. Sementara enerji, bahan bakar dan listrik, diprediksi secara perlahan akan naik. Jika inflasi terjadinya hanya sementara, pemerintah bisa secara penuh mencairkan dana proyek untuk menggenjot perekonomian.
Sebaliknya memang bilamana tekanan inflasi menguat, pemerintah harus mengerem proyek-proyeknya agar tidak membanjiri sistem keuangan dengan excess liquidity, agar tekanan inflasi tidak berlebihan.
Inflasi juga akan bisa timbul saat gejala over heating terjadi, di mana permintaan barang dari masyarakat terlalu cepat daripada produksi barang. Di sini sektor expenditure masyarakat (consumer demand) menjadi faktor utama (lebih dari 50% dari total PDB). Saat Bank Indonesia menahan tingkat bunga dengan maksud mendorong investasi, masyarakat mempunyai cash/tunai yang berlebih, dan memberikan motivasi masyarakat untuk berbelanja. Dorongan ini bisa terlalu besar karena struktur balance sheet perbankan Indonesia masih belum berubah, sehingga pada titik tingkat bunga rendah bank masih tidak memberikan pinjaman dan lebih memilih masuk pasar obligasi korporat dan negara. Kembali seperti skenario di atas, pemerintah harus mengerem pencairan dana proyek agar excess liquidity di sistem keuangan tidak kelebihan beban dan mendorong inflasi semakin cepat.
Fine tuning belanja pemerintah sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana saat pemerintah mengerem proyek maka laju perekonomian melemah dan sebaliknya. Sehingga faktor koordinasi pemerintah dalam menjalankan proyek-proyek, terutama manajemen pencairan dana APBN, tidak bisa tidak harus diperbaiki secepat mungkin. Belanja Pemerintah menjadi senjata counter cyclical memerangi inflasi, selain senjata yang dipegang oleh Bank Indonesia, seperti penjualan obligasi untuk menyerap kelebihan likuiditas.
Faktor risiko eksternal datangnya dari menurunnya perbaikan ekonomi dunia, khususnya zona Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa lembaga penelitian dunia meramalkan bahwa pertumbuhan riil dunia akan menurun, dari 4,1% di tahun 2010 menjadi 3,7%. Amerika Serikat hanya akan tumbuh 2,7% di tahun 2011 (2.8% di tahun 2010), Zona Eropa menjadi 1,7% di tahun 2011 (1,8% di tahun 2010). China pun diperkirakan mengalami penurunan dari 10% di tahun 2010 menjadi 9% di tahun 2011.
Singkatnya, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat, karena perbaikan perekonomian dunia di tahun 2010 bukan akibat perbaikan bottom line (meningkatnya permintaan dan produksi barang) tetapi dari perbaikan balance sheet (mengurangi hutang dan langkah efisiensi) di tahun 2010. Tidak heran recovery ekonomi dunia tidak sustainable dan sangat rentan oleh gangguan-gangguan kecil.
Jika skenario ini benar terjadi maka prospek investasi dan ekspor Indonesia belum tentu akan secerah di tahun 2010, apalagi kalau terjadi reversal capital outflow mengakibatkan pelemahan Rupiah yang mendadak dan akan mendorong imported inflation dan mengurangi potensi foreign investment. Perlambatan pertumbuhan China bisa mengurangi potensi ekspor, khususnya ekspor mineral dan barang-barang mentah Indonesia lainnya.
Business News memprediksi bahwa perekonomian riil Indonesia bisa mencapai 6,5% dengan potensi inflasi sebesar 6,3%, dan kemungkinan besar Bank Indonesia akan menahan 50 basis point diatas inflasi, paling tidak diakhir kwartal kedua.
Indeks Saham diprediksi minimal akan meningkat sebesar 12,8% (sebesar pertumbuhan nominal PDB) dengan potensi 20% di akhir tahun, atau maksimal indeks mencapai 4.440 di akhir periode. Sementara itu penerbitan obligasi korporat bisa menanjak tajam karena adanya peningkatan investment grade baik dari sovereign maupun korporat, sehingga dengan spread yield goverment bonds sekitar 100 – 150 basis point (1% – 1,5%) terhadap inflasi, maka government bonds bisa berkisar 7,5% (satu tahun), sementara itu corporate bonds bisa mencapai 8,5% (satu tahun). Dinamika yield ini akan bergantung dari perubahan besarnya demand karena excess liquidity yang akhirnya menekan yield seperti yang terjadi di tahun 2010.
Sekali lagi isu paling penting di 2011 adalah menjaga momentum, sehingga pada saat proyek-proyek infrastruktur jalan dan listrik sudah terbangun di akhir tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa jalan lebih cepat karena tersingkirnya bottle neck di sisi supply.


Business News

Baca selengkapnya...