Sabtu, 13 Agustus 2011

Suamiku Selingkuh Sudah Biasa . . . .

Setahun yang lalu……

Saya tersentak saat klien (Sebut saja Sandra) mengucapkan kalimat : “Suami saya selingkuh sudah biasa Pak…! Sebab kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa ekspresi. Wajahnya datar.

Saya penasaran dengan kalimat itu, berusaha menggali lebih lanjut:

“Maksud Ibu…bisa dijelaskan…?”

Wanita itu mulai menarik nafasnya dalam-dalam….lama saya menunggu penjelasan Sandra. Ia berusaha tegar dan tidak menangis, tapi ia tak mampu menahan Air matanya. Secara perlahan menetes lalu makin deras hingga menyentuh ke lehernya.

Sandra yang berusia 43 tahun ini mulai menampakkan tanda-tanda penderitaan batinnya. Beberapa kali ia menghela nafas dalam-dalam. Tampak dari wajahnya, cenderung depresi. Meski anaknya studi di luar negri dan berlimpah materi, kebahagiaan jauh dari jiwanya. Ia menikah masih muda sekali, 19 tahun.

“Hmmmm.. Pak…Saya itu rela dan menerima suami saya main perempuan. Sejak kami menikah itu sudah berulang kali dia punya WIL. Bentar minta maaf, dia ulangi lagi. Saya terus memaafkan. Sampai saya kebal Pak dengan kebiasaannya itu. Tapi……saya tidak kuat….(menangis lagi…)….saya sungguh tidak bisa terima Pak…….”

Sandra tak kuasa menahan kesedihannya. Ia hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Seperti biasa saya mengijinkan klien mengekspresikan kesedihannya.

Setelah agak reda Sandra melanjutkan :

“Pak, kali ini saya melihat sendiri…Suami saya selingkuh dengan Kakak kandung saya……Biadab…suami saya biadab Pak…Kakak saya jahat…dia tega……Apa yang harus saya lakukan Pak.… (menangis lagi sambil menundukkan kepalanya)”

Saya terhenyak…..mulut saya tak bisa menjawab. Sepatah katapun sulit terucap.

Sandra meneruskan :

“Pak, nampaknya Kakak saya tidak peduli dengan penderitaan batin saya. Dia egois…! Biasanya dia tempat curhat kalau saya ada masalah dengan Suamiku. Tapi justru dia kini menambah luka saya. Saya ingin bunuh saja Kakak saya…dia jahattttt!!!”

Otak saya beku…..pengalaman klien yang sungguh tidak biasa. Pertama kali saya mendengar kasus ini. Saya mencoba berempati :

“Bu, perjalanan hidup ibu seperti di lorong gelap yang panjanggggg tanpa ujung…Sulit saya membayangkannya bagaimana ibu harus menjalaninya…”

Sandra sejenak berusaha menahan tangisnya dan bertanya :

” Pak sebenarnya saya mau bercerai dengan suami saya. Tapi saya tidak berani, karena agama kami melarang Pak. Lagi pula saya juga takut, suami saya orangnya kasar dan suka memukul saya. Dia punya banyak teman-teman yang tidak karuan hidupnya… apa yang harus saya lakukan…Secara ekonomi saya juga tidak mandiri…saya juga takut anak-anak akan dia ambil, saya sudah sebatangkara...”

Mulut saya terkunci, dan pikiran saya mencoba memberi respon. Saya terdiam sejenak….lama ide baru muncul baru bisa menangapi:

“Bu, ini pilihan yang sangat sulit…Seperti makan buah simalakama. Membuat ibu terjepit. Saya sulit berkata apa…Saya tak pernah membayangkan, ada orang yang penderitaannya seperti Ibu….”

Sandra menjawab:

“benar Pak…saya benar-benar bingung. Rasanya saya mau labrak kakak saya. Sejak seorang teman menyatakan kecurigaannya, beberapa kali saya pergoki suami saya pulang dari Kantornya ada di rumah kakak Saya, sampai jauh malam. Suatu ketika saya mencoba memberanikan diri bertanya kenapa kakak tega selingkuh dengan suami saya. Waduhhh… kakak saya hanya menjawab enteng: “Kan suamimu yang mau dan menggoda aku”….. Pak…..entah setan apa yang merasuk pikiran kakak saya….”

Percakapan kami berlangsung dua jam. Tak banyak yang bisa saya sampaikan, saya lebih banyak mendengarkan. Berulangkali Sandra terisak menangis. Dalam situasi ini Nasehat tentu tidak akan mempan. Saya lebih banyak mendengar, berempati serta merespon.

Diakhir percakapan saya sempat sedikit membagikan pengalaman Ibu kandung saya yang menderita 20 tahun akibat ulah Ayah kami. Meski tidak persis sama. ibu kami menderita karena ayah teradiksi judi dan alkohol. Tidak hanya ibu, tapi ketujuh anak ikut sengsara karena kelakuan Sang Ayah.

Derita Sandra menyadarkan kita, betapa dahsyatnya kuasa dosa atas manusia. Benarlah nasehat bijak ribuan tahun lalu: “Keinginan mata, keinginan daging (nafsu) dan keangkuhan manusia tidak saja menghancurkan dirinya sendiri, tetapi orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga dekatnya”.


Julianto Simanjuntak