Selasa, 06 September 2011

Ekonomi Lebaran dan Pemborosan Nasional

Warung Sate Pak Kembar, juragan sate kambing di Baturetno, daerah asal saya, yang brand superlokal-nya begitu terkenal di pasar lokal pula, menjadi sangat sibuk sepekan Lebaran ini.Bila hari-hari biasa hanya menghabiskan satu atau dua ekor kambing, beberapa hari ini harus menyediakan paling tidak 5 ekor kambing untuk melayani para pemudik yang doyan kuliner.

Padahal, di daerah saya, Sate Pak Kembar bukan satu-satunya warung sate yg terkenal. Cabang Pak Kembar sendiri sudah ada tiga, selain barangkali ada lebih dari 10 warung sate sejenis. Selain sate, menu yang banyak dicari adalah tongseng dan gule yang 'khas Baturetno'. Rasanya? Jangan tanya, umumnya "maknyus".

Tak hanya kuliner, toko oleh-oleh yang lain seperti kacang mete, kripik tempe, dan aneka makanan kecil lainnya juga ramai "diserbu" pembeli, yang mobilnya dominan berpelat nomor B (Jakarta), kadang ada L (Surabaya) dan D (Bandung).

Satu toko swalayan yang cukup besar di daerah saya bahkan kehabisan stok beberapa barang konsumen. Air minum dalam kemasan pun ludes "diborong" pembeli.

Di daerah penghasil mete, yang tak begitu jauh dari kampung orang tua saya, sangat sulit mencari kacang mete karena sudah habis sejak bulan puasa lalu.

Lalu di Solo, di beberapa tempat makanan khas Solo, Anda akan kesulitan mendapatkan slot parkir karena penuh pengunjung.

***

Maka, ilustrasi semacam itu menjadi pembenar bahwa aktivitas belanja konsumen di seputar Lebaran mengalami lonjakan.

Barangkali angka resminya baru akan Anda ketahui setelah Badan Pusat Statistik mengumumkan berapa kontribusi belanja konsumen terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini.

Namun, perkiraan banyak ekonom tentu akan signifikan, mengingat kontribusi konsumsi masyarakat pada pertumbuhan ekonomi mencapai 4% poin alias duapertiga dari tingkat pertumbuhan ekonomi 6%, sedangkan investasi sebesar 2% poin.

Dengan kontribusi sebesar itu, bisa jadi benar konsumsi masyarakat akan kembali menjadi motor ekonomi Lebaran.

Maka, tak heran pula jika ada kalkulasi yang menyebutkan omset pedagang usaha kecil dan menengah atau UKM naik tiga kali lipat.

Tentu saja, selain karena harga jual umumnya dinaikkan, permintaan konsumen juga melonjak demi dapur Lebaran. Selain itu, tentu karena likuiditas sedang "membaik" setelah menerima gaji ke-13 dan THR, sehingga menopang daya beli masyarakat yang pada dasarnya konsumtif.

Tengok saja pengakuan Menteri Keuangan Agus Martowardojo beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa pemerintah menggelontorkan Rp28 triliun untuk gaji pegawai negeri yang pembayarannya dipercepat sebelum 1 September lalu.

Tentu, sebagian uang ini dibelanjakan untuk membiayai konsumsi dalam rangka aktivitas lebaran. Belum lagi tunjangan hari raya yang dibayarkan perusahaan swasta dan BUMN, yang jumlahnya saya kira --maaf saya kesulitan data soal ini--jauh lebih besar dari angka gaji PNS itu. Berarti, jumlah uang beredar selama periode Lebaran bisa dibayangkan.

Sebagai gambaran saja, bank-bank besar di Tanah Air menyediakan dana tunai pada anjungan tunai mandiri atau ATM mereka dalam jumlah puluhan triliun dalam 10 hari Libur dan cuti bersama seputar Lebaran.

Seorang Direktur Utama bank BUMN mengaku kepada saya, bank yang dipimpinnya harus siap menyediakan dana tunai di ATM sebesar Rp. 22 triliun selama 10 hari lebaran ini.

Itu baru satu bank BUMN. Padahal banyak bank besar lain yang tentu saja tak mau ketinggalan untuk memberikan layanan maksimal bagi nasabahnya pada pekan libur panjang lalu.

Maka, Anda bisa bayangkan mesin ekonomi tentu berputar lebih kencang dengan pelumas yang berkecukupan seperti itu.

Apalagi arus mudik dan arus balik selama Lebaran tahun ini diperkirakan meningkat dibandingkan tahun lalu dan terus meningkat dari tahun ke tahun karena situasi ekonomi yang lumayan baik dan stabil.

Diperkirakan tahun ini lebih dari 3 juta pemudik pulang ke kampung halaman di Jawa dan Sumatra dengan menggunakan berbagai moda dan sarana transportasi.

Tentu, dampak selanjutnya adalah pergerakan ekonomi daerah yang menjadi "tiba-tiba dinamis" begitu pekan-pekan Lebaran tiba.

***

Namun, saya sesungguhnya juga prihatin. Mengapa? Ekonomi Lebaran juga menyimpan ironi karena berimplikasi pada pemborosan nasional.

Ada dua sumber pemborosan nasional yang saya prihatin, yakni rendahnya perilaku hidup hemat dan senang belanja serta pemborosan sumberdaya ekonomi kita yang seharusnya sangat bisa dihemat: energi.

Sayangnya, pemborosan nasional tersebut selalu berulang dari tahun ke tahun. Terutama yang kedua, yang terjadi karena kondisi infrastruktur dan lemahnya traffic management kita.

Anda tentu bisa membayangkan, berapa besar pemborosan dan inefisiensi ekonomi yang diciptakan oleh kemacetan panjang puluhan ribu bahkan ratusan ribu kendaraan (jutaan kendaraan jika sepeda motor masuk hitungan) dalam sepekan arus mudik dan arus balik Lebaran?

Sebagai gambaran, untuk perjalanan darat dari Jakarta ke wilayah Solo melalui jalur pantai utara Jawa, yang pada kondisi normal hanya memakan waktu 12-13 jam, saat puncak arus mudik Lebaran ini bisa mencapai 30-48 jam?

Berapa banyak sumberdaya ekonomi yang diboroskan oleh dampak kemacetan ini? Berapa besar bahan bakar yang dibakar percuma akibat masalah kemacetan yang selalu muncul dari tahun ke tahun itu?

Sekadar iseng, saya mencoba menghitung waktu tempuh Jakarta-Cikampek dengan survei kecil-kecilan. Ternyata, rata-rata waktu tempuh dari Jakarta bisa mencapai 6-9 jam untuk sampai lepas dari pintu tol Cikampek saja. Kawasan pintu keluar tol Cikampek memang seperti leher botol sehingga menjadi titik sentral kemacetan.

Jika di jalur tol muncul persoalan infrastruktur, begitu Anda menggunakan jalur tradisional seperti jalan raya Bekasi dan Karawang, masalahnya adalah pengelolaan trafik.

Arus lalulintas yang padat sebenarnya bisa diurai dengan berbagai alternatif jalan. Namun, sayangnya banyak jalan alternatif yang sebenarnya memadai, bahkan terdapat ringroad baru di Karawang, justru ditutup dan dijaga petugas lalulintas.

Para pengguna jalan dipaksa untuk tidak memiliki pilihan lain kecuali jalur yang disediakan oleh "otoritas jalan". Lalu di lokasi tertentu, para pengguna jalan dipaksa lagi mengikuti jalur yang disediakan atau "dibuang" menurut istilah para pemudik, melalui jalan-jalan yang sebenarnya justru tidak layak untuk disebut sebagai jalan raya. Lantaran jalan yang terlalu sempit dipakai sebagai jalur resmi pengalihan arus mudik, akibatnya justru menjadi sumber kemacetan baru.

Apalagi dibumbui perilaku di jalanan yang tidak disiplin dan tidak tertib jalur seperti halnya perilaku berlalulintas sehari-hari di Jakarta, serta campuraduk dengan sepeda motor dan bajaj di jalur ratusan kilometer itu.

Akibatnya adalah kemacetan panjang dan pemborosan energi (bahan bakar) dan waktu yang sia-sia di jalanan.

Andai saja dua pendekatan, yakni infrastruktur di pintu tol Cikampek dan manajemen trafik menjadi fokus perhatian pemerintah, khususnya kementerian perhubungan dan pemda-pemda setempat, ceritanya akan lain.

Apalagi jika jalur tol Cikampek-Cirebon sudah tuntas. Begitu juga bila jalan tol Pemalang-Semarang serta Semarang-Solo bisa segera selesai, pemborosan sumberdaya yang sia-sia bisa diminimalkan.
Rasanya pemerintah tidak punya pilihan lain, karena menyetop budaya mudik sama sekali bukan pilihan. Apalagi Pak SBY selalu peduli terhadap upaya penghematan energi yang notabene berimplikasi pula terhadap penghematan subsidi.

Bisa Anda hitung sendiri, jika jutaan liter premium tak perlu dibakar sia-sia karena macetnya semua jalur mudik sari Jakarta, berapa rupiah subsidi yang bisa dihemat untuk keperluan lain yang lebih urgent?

Saya kembali ingat pesan Lebaran Presiden SBY pekan lalu: Marilah hidup bersih, hidup hemat dan hidup tertib. Jika semua itu bisa dilakukan sebagai kesadaran kolektif nasional, termasuk disiplin, hemat dan tertib menjalankan program nasional infrastruktur, rasanya isu inefisiensi nasional bisa sedikit banyak diminimalkan.

Bagaimana menurut Anda?


Oleh Arief Budisusilo