Minggu, 27 Februari 2011

KENAIKAN CADANGAN DEVISA DAN PERBAIKAN PERINGKAT

Cadangan devisa Indonesia terus menggemuk. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan cadangan devisa RI kembali menggelembung hingga mendekati USD100 miliar, tepatnya sudah mencapai USD98,5 miliar.

Angka tersebut disumbang dari penerimaan minyak dan gas sebagai bagian dari penerimaan pemerintah. Kenaikan harga minyak dunia ternyata tidak memberikan efek yang negatif bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia justru menyebabkan penerimaan minyak dan gas cukup besar sehingga cadangan devisa terus bertambah. Meski demikian, terdapat dampak negatif pada inflasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak disubsidi.

Di akhir Desember 2010 cadangan devisa tercatat sebesar USD96,207 miliar. Kemudian turun tipis di Januari 2011 menjadi sebesar USD95,3 miliar. Pada pekan ketiga Februari 2011, cadangan devisa RI kembali meningkat menjadi USD97 miliar.

Lebih jauh, menggelembungnya cadangan devisa menjadi salah satu sentimen positif bagi lembaga pemeringkat internasional untuk menaikkan peringkat Indonesia menuju investment grade. Bermula dari Fitch yang menaikkan outlook peringkat utang Indonesia atau long-term foreign and local currency issuer default ratings (IDRs) pada rating ‘BB+’ dan merevisi outlook keduanya menjadi positif dari stabil, pada 24 Februari 2011.

Tentu saja perbaikan peringkat ini disambut gembira meski ini baru outlook-nya. Namun biasanya upgrade di outlook akan segera dilanjutkan dengan rating-nya menuju investment grade. Banyak kalangan optimis Indonesia dapat menuju investment grade dalam waktu dekat apalagi cadangan devisa mendekati angka USD100 miliar.

Yang pasti, angka tersebut menunjukkan nilai tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Berikut posisi cadangan devisa selama 2010. Pada 31 Januari 2010 baru mencapai USD70 miliar dan terus bertambah secara konsisten di 30 Juni 2010 menjadi USD76,3 miliar hingga pada akhirnya di 31 Desember 2010 bertambah lagi menjadi USD96,2 miliar. Memasuki 2011, cadangan devisa masih melanjutkan peningkatan, di mana pada 22 Februari 2011 mencapai USD97 miliar.

Perbaikan peringkat, yang salah satunya didorong oleh lonjakan cadangan devisa, memberikan perspektif positif bahwa prospek ekonomi Indonesia ke depan cukup menjanjikan. Hal ini berpeluang menarik sebesar-besarnya modal asing baik ke sektor riil maupun ke sektor keuangan. Yang diharapkan tentu masuknya modal asing ke sektor riil karena akan memberikan dampak positif bagi perekonomian secara luas. Masuknya modal asing ke sektor riil akan memperkuat stabilitas ekonomi dan moneter karena sifatnya jangka panjang.

Sebaliknya masuknya modal asing ke investasi portofolio di sektor keuangan, terutama di pasar modal, berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi dan moneter apabila sewaktu-waktu modal asing itu ditarik ke luar oleh pemiliknya.

Pemicu larinya modal asing diantaranya iklim investasi yang tidak kondusif, ketidakstabilan sosial politik, ketidakpastian hukum, dan yang paling ekstrim terjadi aksi sosial seperti unjuk rasa yang mengarah ke tindakan anarkis.

Dengan spirit pemerintah untuk mendorong partisipasi swasta nasional dan asing dalam pembangunan ekonomi, maka peluang perbaikan peringkat harus dapat diterjemahkan dengan baik oleh jajaran pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas layanan birokrasi agar pemilik modal asing yang akan masuk merasa nyaman.

Momentum kebangkitan ekonomi kawasan Asia, termasuk Indonesia, belakangan ini menjadi perangsang bagi pemilik modal asing untuk menanamkan modalnya di kawasan ini. Ketika pemulihan ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika belum sepenuhnya memenuhi harapan para pemilik modal atau investor, maka mereka cenderung akan melirik kawasan Asia sebagai destinasi yang atraktif untuk penanaman modal.

Ketersediaan sumber daya alam baik di sektor pertanian maupun pertanian, memberikan daya tarik lebih bagi kalangan investor asing. Hal ini ditunjang oleh ketersediaan tenaga kerja yang mencukupi. Kalau pun masih ada sedikit kelemahan, itu pun masih di seputar ketersediaan infrastruktur yang belum memadai.

Namun dengan tekad pemerintah untuk memperbaiki sarana dan prasarana fisik di berbagai daerah, tentu ini memberikan daya ketertarikan yang lebih bagi investor asing. Perbaikan sarana transportasi baik jalan tol maupun pelabuhan laut dan bandar udara menjadi faktor penarik utama karena konensitas antarpulau dan/atau antardaerah, bahkan antarnegara, menjadi lebih efisien.

Perbaikan peringkat memang patut disyukuri, namun lebih dari itu menjaga agar peringkat itu tidak jatuh lagi adalah persoalan yang jauh lebih penting. Ibarat sebuah pentas kejuaraan, merebut piala kejuaraan terasa lebih mudah dibandingkan dengan mempertahankan piala kejuaraan.

Bahkan yang harus diupayakan oleh pemerintah beserta seluruh komponen kelembagaannya, capaian peringkat yang sudah baik ini harus ditingkatkan secara berkelanjutan sehingga Indonesia benar-benar mampu meraih predikat sebagai negara layak investasi (investment grade) di mata investor global. Harus dimengerti bahwa pesaing Indonesia tidak saha China dan India, namun juga sudah meluas mencakup Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina.

Pemerintah tidak boleh terlena dengan capaian perbaikan peringkat ini, namun justru berupaya keras menjaga dan bahkan meningkatkannya lagi. Capaian pertumbuhan ekonomi Singapura (14,7%), Malaysia (7,0%), Thailand (7,2%) Vietnam (6,7%) dan Filipina (7,3%) yang melampaui pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 yang sebesar 6,1% hendaknya menjadi peringatan khusus bahwa ternyata perekonomian negara-negara tetangga bertumbuh lebih baik.

Bukan tidak mungkin mimpi Indonesia untuk menyejajarkan dirinya dengan kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India dan China) tidak akan kesampaian, karena yang mampu melakukan itu justru negara-negara tetangga dekat Indonesia.

Untuk itulah reformasi birokrasi di jajaran pemerintahan harus terus diupayakan agar standar kualitas layanan birokrasi Indonesia bisa menyamai standar di negara-negara lain yang tecermin dari level pertumbuhan ekonominya yang lebih tinggi dari Indonesia. Termasuk dalam upaya mereformasi birokrasi adalah melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahn yang bersih dan bertanggung jawab (clean government).


Business News

Baca selengkapnya...

Petani dan Tetangganya

Pada zaman Tiongkok Kuno ada seorang petani mempunyai seorang tetangga yg berprofesi sebagai pemburu dan mempunyai anjing-anjing yang galak dan kurang terlatih. Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar-ngejar domba-domba petani. Petani itu meminta tetangganya untuk menjaga anjing-anjingnya, tetapi ia tidak mau peduli. Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa domba sehingga terluka parah.

Petani itu merasa tak sabar, dan memutuskan pergi ke kota untuk berkonsultasi pada seorang hakim. Hakim itu mendengarkan cerita petani itu dengan hati-hati dan berkata, “Saya bisa saja menghukum pemburu itu dan memerintahkan dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya. Tetapi Anda akan kehilangan seorang teman dan mendapatkan seorang musuh. Mana yg kau inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?” Petani itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang teman.

“Baik, saya akan menawari Anda sebuah solusi yang mana Anda harus menjaga domba-domba Anda supaya tetap aman dan ini akan membuat tetangga Anda tetap sebagai teman.” Mendengar solusi Pak Hakim, petani itu setuju.

Ketika sampai di rumah, petani itu segera melaksanakan solusi Pak Hakim. Dia mengambil tiga domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada tiga anak tetangganya itu, yang mana ia menerima dengan sukacita dan mulai bermain dengan domba-domba tersebut. Untuk menjaga mainan baru anaknya, si pemburu itu mengkerangkeng anjing pemburunya. Sejak saat itu anjing-anjing itu tidak pernah menggangu domba-domba pak tani.

Di samping rasa terimakasihnya kepada kedermawanan petani kepada anak-anaknya, pemburu itu sering membagi hasil buruan kepada petani. Sebagai balasannya petani mengirimkan daging domba dan keju buatannya. Dalam waktu singkat tetangga itu menjadi teman yg baik.

Sebuah ungkapan Tiongkok Kuno mengatakan, “Cara Terbaik untuk mengalahkan dan mempengaruhi orang adalah dengan kebajikan dan belas kasih.

Baca selengkapnya...

Senin, 07 Februari 2011

APA ALASAN BANK INDONESIA MENAIKKAN BI RATE?

Ditengah teriakan para pengusaha, Bank Indonesia kelihatannya menyerah pada lobby-lobby asing yang sarat mencari keuntungan sesaat. Ketika kita membaca tulisan analis asing, mereka mengatakan kebijakan Bank Indonesia ketinggalan kereta dibanding dengan Bank Sentral regional dan internasional, istilahnya Bank Indonesia behind the curve dalam meng-antisipasi pergerakan inflasi. Itu sebabnya mereka dengan yakin meminta Bank Indonesia untuk menaikkan acuan tingkat bunga –BI Rate- sebesar 25 basis point.

Nyatanya memang Bank Indonesia melepas BI rate naik menjadi 6.75% hari Jum’at lalu, 4 Februari 2011. Pasar obligasi langsung bereaksi, obligasi tenor panjang naik harganya (imbal balik turun), dengan volume yang cukup besar. Sementara itu obligasi tenor pendek tidak banyak bergerak. Bisa jadi penurunan imbal balik obligasi tenor panjang merupakan ungkapan para pelaku pasar fixed income bahwa ekspektasi ekonomi jangka panjang menjadi lebih baik, risiko lebih kecil, sedangkan ekspektasi prospek ekonomi jangka pendek masih belum terpantau dan terukur.

Pasar saham bereaksi sebaliknya, disesi penutupan naik 0.44%. Pasal naiknya IHSG saat acuan tingkat bunga Bank Indonesia berubah naik merupakan cerminan naiknya ekspektasi pasar modal atas pendapatan para emiten di tahun 2011 ini, dalam jangka pendek, sekitar satu tahun kedepan.

Dua reaksi yang saling berlawanan ini bisa membuktikan bingungnya para investor atas kebijakan Bank Indonesia: sebetulnya positif bagi ekonomi Indonesia, atau malah negatif?

Dari sisi ekonomi riil, kenaikan bunga acuan ini akan meningkatkan biaya dari sisi modal. Pasalnya biaya bunga bakal naik, dan biasanya bank akan langsung menaikkan biaya bunga investasi dan modal kerja. Alhasil, akan ada kenaikan biaya modal secara instan. Ini yang tidak cocok dengan kenaikan IHSG, biaya naik mustinya menurunkan revenue, tetapi IHSG tetap begerak positif. Aneh bin ajaib.

Mungkin pasar berpikir akan ada arus modal asing masuk kedalam sistem ekonomi Indonesia karena imbal balik yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau investasi portfolio bisa saja, asing akan masuk membeli SUN karena imbal baliknya naik. Tetapi investasi portfolio ini tidak ada efek langsung terhadap perekonomian riil, karena pintu masuknya hanya ada dua. Pertama, uang pembelian SUN akan masuk ke penerbit SUN yaitu pemerintah (departemen keuangan) dan digunakan untuk membiayai APBN yang defisit. Padahal pencairan APBN terkenal sangat lelet.

Kedua, saat asing membeli SUN yang sudah beredar, kebanyakan mereka membeli dari sektor perbankan. Sehingga sektor perbankanlah, dari semua usaha riil, yang paling diuntungkan. Dua kali untung: dari kenaikan bunga pinjaman dan capital gain SUN. Padahal perbankan Indonesia sudah terkenal sangat susah meningkatkan pinjamannya ke sektor riil.

Pemerintah pun kelihatan gerah dengan keputusan Bank Indonesia. Menko Ekuin Hatta Radjasa tidak bisa menahan reaksi negatifnya: “Bank jangan latah menaikkan bunga kredit,” katanya setelah mendengar keputusan Bank Indonesia. Dia tambahkan: “”Bahkan kita kan justru inginnya bunga untuk dunia perbankan itu malah kita inginkan ada penurunan,” alasannya perbedaan bunga deposito dengan bunga kredit masih tinggi, sekitar 6%.

Kebijakan Bank Indonesia terakhir bisa jadi mencemarkan kredibilitasnya. Sebulan sebelumnya, di bulan Desember 2011, alasan utama tidak menaikkan tingkat bunga acuan adalah tidak berubahnya core inflation (inflasi komoditas yang harganya diatur pemerintah). Angka inflasi Janauri 2011 malah menunjukkan perbaikan core inflation, kok malah BI menaikkan bunga acuan, bukan sebaliknya? Aneh bin ajaib. Bank Indonesia seakan menelan ludah sendiri.

Memang kita masih meraba-raba alasan kebijakan Bank Indonesia minggu lalu itu. Bisa jadi biaya intervensi valas dirasakan terlalu berat, apalagi dengan gejala pergerakan dollar Amerika Serikat yang cenderung menguat karena adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Tanpa kenaikan BI rate, biaya intervensi semakin tinggi.

Padahal pergerakan inflasi bukan gejala moneter, masih berasal dari sisi produksi yang naik biayanya. Sehingga sesungguhnya kenaikan bunga acuan malah akan meningkatkan inflasi di dalam jangka pendek. Belum lagi ada halangan didepan, penghapusan cap tarif listrik dan efek psikologis pembatasan penjualan premium. Apalagi kalau cuaca alam kembali tidak bersahabat, merusak panen, harga pangan kembali naik.

Artinya, efek akhir dari naiknya BI rate malah meningkatkan inflasi, bukan sebaliknya. Bisa sia-sia pengorbanan petani kita karena pemerintah menghapus bea masuk komoditi pertanian. Petani jadi semakin susah, inflasi tetap saja naik.


Business News

Baca selengkapnya...