Rabu, 31 Agustus 2011

Sukma Keadilan Pajak

Pajak semakin penting dalam pembangunan nasional. Konklusi ini tampak pada keputusan peme­rintah untuk menaikkan target penerimaan pajak setiap tahun. Seperti diketahui, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2012, penerimaan perpajakan direncanakan mencapai Rp1.019,3 triliun. Jumlah ini hampir 79 persen dari total pendapatan negara atau naik Rp140,6 triliun atau sekitar 16 persen dari target APBN-P 2011. Dari total target penerimaan pajak tahun 2012 tersebut, target Pajak Penghasilan (PPh) ditetapkan sebesar Rp512,8 triliun, target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ditetapkan Rp350,3 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp35,6 triliun, penerimaan cukai sebesar Rp72,4 triliun, penerimaan perpajakan lainnya sebesar Rp5,6 triliun. Sedangkan penerimaan dari bea masuk sebesar Rp23,5 triliun dan target penerimaan dari bea keluar ditetapkan sebesar Rp18,9 triliun.

Muncul tanggapan sejumlah kalangan menyoal rencana pemerintah menaikkan target penerimaan pajak tersebut. Tanggapan itu pada umumnya mengatakan bahwa target tersebut tidak realistis bahkan dianggap mencederai rasa keadilan rakyat yang selama ini taat membayar pajak. Alasannya, RAPBN 2012 itu minim stimulus untuk membuka kesempatan rakyat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Padahal, target kenaikan pajak yang ideal seharusnya dibarengi dengan upaya serius negara menaikkan taraf hidup masyarakat. Dalam kaitan ini, pengamat ekonomi UI Aris Yunanto umpama secara tegas ­mengatakan bahwa rencana pemerintah yang menaikkan target pajak namun minim stimulus pertumbuhan hanya akan menekan wajib pajak lama yang potensial atau intensifikasi tanpa ekstensifikasi. Aris lalu menunjuk RAPBN 2012 yang dia sebut tidak atraktif. Apalagi, kata Aris, penerimaan pajak selama ini terkesan hanya untuk kepentingan pemerintah dan mengabaikan konsekuensi memberikan pelayanan publik yang lebih transparan dan akuntabel (www.jurnas.com, 22/8/2011).

Pendapat tersebut di atas ada benarnya. Tengoklah keputusan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai pada tahun 2012 sebesar rata-rata 10 persen. Konsekuensinya, belanja pegawai dalam RAPBN 2012 ini meningkat Rp32,8 triliun dari alokasi belanja pegawai dalam APBN-P 2011 yang besarnya Rp182,9 triliun. Menurut pemerintah, alokasi belanja pegawai yang ditetapkan sebesar Rp215,72 triliun di dalam RAPBN 2012 tidak dapat dihindari, sebab merupakan kelanjutan dari rencana pemerintah untuk meneruskan program reformasi birokrasi di Kementerian/Lembaga yang masih akan berjalan selama tahun 2011-2012.

Pajak adalah sebuah instrumen yang menandai relasi negara dengan warga negara dan segenap subyek hukum yang dikenai kewajiban pajak menurut undang-undang. Sebagai instrumen relasional, di sana ada soal hak, kewajiban, dan keadilan. Kebijakan perpajakan yang lebih condong kepada pendulum kewajiban tentu akan dirasakan tidak adil oleh wajib pajak, jika aspek pemenuhan hak wajib pajak/rakyat yang harus dilakukan oleh negara terabaikan. Dalam kondisi inilah pajak lalu dipertanyakan sisi keadilannya. Inilah yang disorot berbagai kalangan sekarang ini. Sementara peningkatan kesejahteraan rakyat berjalan tertatih-tatih, target penerimaan pajak justru melaju setiap tahunnya. Rasa keadilan pun makin terusik tatkala rakyat menyaksikan belanja pegawai yang terus melaju kencang dengan menggunakan sandaran kepada reformasi birokrasi. Sebagaimana diketahui, reformasi birokasi telah menguras anggaran yang tidak sedikit. Namun, manfaatnya bagi rakyat masih dipertanyakan. Korupsi yang melilit tubuh birokrasi peme­rintah bahkan belum dapat diatasi dengan reformasi birokrasi. Maka, wajar jika muncul tudingan bahwa pajak hanya melayani kepentingan pemerintah.

Penting diingatkan, semakin tinggi target pajak semakin gencar pula aparat pemerintah menagih pajak kepada warga. Ini tampak di kelurahan-kelurahan yang secara terang-terangan mengatakan tidak akan melayani warga yang belum membayar pajak, terutama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Benar bahwa pajak adalah kewajiban. Tetapi, pada saat yang sama, pemerintah juga berkewajiban membantu warga meningkatkan kesejahteraan mereka. Maka, peningkatan target penerimaan pajak mutlak harus diikuti peningkatan kesejahteraan rakyat.


BusinessNews

Baca selengkapnya...

Empati

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chiken Soup”, saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata “terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic words” yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata “tolong” ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. “Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?’’ Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.


Kick Andy

Baca selengkapnya...

Selasa, 30 Agustus 2011

Ive, tokoh di balik desain produk Apple

Ive, 44, asal Inggris, membantu Jobs membawa Apple bangkit dari kehancuran finansialnya dengan desain komputer iMac yang legendaris, yang model awalnya berwarna-warni pada saat komputer merek lainnya tidak demikian.

Dia terlibat mentransformasi Apple menjadi raksasa elektronika dan menimbulkan kecemburuan di Silicon Valley dengan munculnya iPod, iPhone dan yang terbaru, iPad.

Menyusul pengunduran diri Jobs sebagai CEO belum lama ini, Apple harus berjuang agar produknya unggul tanpa pimpinan yang karismatis itu. Tim Cook, chief operating officer yang kini menjabat CEO, pun menjadi wajah publik Apple.

Tetapi tekanan sesungguhnya akan jatuh pada Ive, yang harus menjaga supaya gadget Apple terus disukai orang.

Ive, yang oleh teman-temannya dikenal sebagai “Jony”, memimpin tim desain Apple sejak pertengahan 1990-an. Bekerja erat dengan Jobs, Ive sukses membangun ketokohannya di Apple, mengembangkan produk yang tipis dan bergaya, dengan sudut-sudut bulat, sedikit tombol, dengan sapuan aluminium pada permukaan dan kaca tipis.

Rasa bangga Apple atas karya tersebut jelas terlihat dalam paketnya: Coba buka pembungkus iPhone mana saja, dan lihatlah bagaimana Apple menulis: “Designed by Apple in California.”

Enam karya utama Ive, termasuk iPod pertama yang asli, masuk dalam koleksi Museum of Modern Art di New York.

Orang-orang yang pernah bekerja dengan Ive melukiskan dia sebagai rendah hati, manis, pendiam, dan pemalu, tetapi juga percaya diri, pekerja keras, dan brilian. Paola Antonelli, kurator senior untuk arsitektur dan desain pada MoMA, mengatakan dia jarang mengenal orang yang begitu dikagumi sekaligus disukai oleh banyak orang, sebagaimana Ive.

“Produk-produk harus didesain dengan lebih baik sekarang ini supaya orang mau membeli. Hal itu terjadi karena Jony Ive, Steve Jobs, dan Apple,” ujar Antonelli. “Tiba-tiba orang jadi terbiasa dengan produk elegan dan cantik. Tak bisa lagi mundur ke masa lalu.”

Desain, sebagaimana piranti lunak yang membuat gadget mudah digunakan, telah membedakan produk-produk Apple dari pesaing-pesaingnya. Apple bukanlah produsen pertama pemutar musik (music player) maupun telepon pintar, tetapi pesaingnya langsung tersingkir karena Apple membuat sesuatu yang tampak keren dan mudah dioperasikan.

Ive memulai karirnya jauh dari markas Apple Inc di Cupertino. Dia dibesarkan di luar kota London dan studi desain di Newcastle Polytechnic (sekarang Northumbria University) di Newcastle, Inggris.

Setelah tamat sekolah, dia mendirikan perusahaan desain Tangerine di London bersama temannya. Melalui Tangerine inilah dia pertama kali bersentuhan dengan Apple.

Pada tahun 1992, ketika Jobs berada pada pertengahan 12 tahun pengusirannya dari Apple, desainer utama perusahaan itu Robert Brunner mempekerjakan Ive sebagai senior designer. Thomas Meyerhoffer, yang bekerja di bawah Ive di Apple pada 1990-an, percaya Ive datang karena mengerti bahwa Apple berbeda dibandingkan perusahaan komputer lainnya.

“Dia datang ke Apple untuk membawanya berbeda lebih jauh lagi,” ujar Meyerhoffer.

Dan memang Ive melakukannya, tetapi tidak serta merta. Dengan cepat dia menjadi pemimpin, bekerja sebagai creative studio manager dan membantu membangun tim desain Apple dalam periode dimana perusahaan itu berupaya keras melakukan inovasi.

Dalam wawancara dengan AP pada tahun 1999—saat ini dia tak membalas permintaan interview khusus—Ive mengatakan bahwa selama bertahun-tahun desainer akan membuat model komputer dengan busa yang akhirnya dikembalikan lagi ke tim gambar karena para manajer lebih memperhatikan hasil diskusi fokus group dan data-data pemasaran.

Brunner mundur pada tahun 1996 dan mengusulkan Ive mengambil alih pos yang dia tinggalkan, walau Ive waktu itu baru 29 tahun. Ketika Jobs kembali dan menjadi CEO sementara Apple pada 1997, dia mengangkat Ive sebagai senior vice president of industrial design.

Dengan kembalinya Jobs dan Ive menjadi guru dalam hal style, Apple merefokus desain dan menghasilkan produk hit yang membuat perusahaan kembali berjaya. Apple menggoncang industri komputer pribadi pada tahun 1998 dengan desktop iMac berwarna permen, sebuah model yang bentuknya seperti televisi futuristik.

Tak seperti produk-produk sebelumnya, konsep iMac dengan segera diterima oleh para pengambil keputusan top di Apple, dengan sangat sedikit revisi pada desainnya.

“Kami tahu bakal sukses ketika melihatnya, dan dengan dukungan Jobs kami mampu mewujudkannya,” ujar Ive pada tahun 1999.

Ketika bentuk komputer saat itu umumnya kotak dan hitam atau abu-abu, iMac lebih flashy. Dalam satu minggu rilisnya saja, 150.000 unit terjual. Apple menjual 800.000 unit iMac pada akhir tahun itu.

Komputer iMac telah mengubah pencitraan konsumen tentang komputer pribadi dan Apple sendiri. Hal itu memberi Apple suatu dorongan vital dalam era konsumen elektronik baru yang lebih fun dan warna-warni.

Dengan Ive mengurus desain, Apple meluncurkan iPod pertama pada 2001, iPhone pada tahun 2007 dan iPad pada 2010.

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan itu tak lagi menggunakan warna warni cerah (walau masih bisa Anda temukan pada beberapa iPod) dan lebih memilih hitam, putih, dan metalik. Kemudahan mengoperasikan tetap dipertahankan, yang membuatnya disukai oleh setiap orang, mulai dari ahli teknologi sampai kakek nenek—juga tampilan dengan permukaan mengkilat dan terkesan mahal.

Sebagai dampaknya, produk-produk Apple menjadi semakin popular, memungkinkan perusahaan itu melewati pesaingnya Microsoft Corp tahun lalu, menjadi perusahaan teknologi paling bernilai di seluruh dunia.

Ive dan Jobs bekerja sama, dan dalam beberapa hal, berkontribusi pada keberhasilan masing-masing. Ive selalu mengontak Jobs dan berbicara dengan bahasa yang sama dengan Jobs, kata Antonelli. Dan jelaslah mereka memiliki kimawi yang cocok.

Don Norman, yang bekerja di Apple pada periode 1990-an sebagai vice president advanced technology group, mengatakan bahwa Ive memiliki gagasan-gagasan desain yang bagus, dan dia membutuhkan Jobs untuk mewujudkannya.

“Jony selalulah Jony—brilian,” ujar Norman. “Yang dia butuhkan adalah Steve Jobs mengatakan, ‘Mari wujudkan ini.’”

Sekarang, batu ujiannya adalah apakah Cook dapat mempertahankan fokus tersebut pada Apple dan mendorong Ive terus menciptakan hits.

Rasanya tantangan tak akan sesulit yang pernah ada pada periode 1990-an. Sekarang Apple telah membangun sebuah gaya, perusahaan itu dapat mengembangkan diri di atasnya daripada memikirkan produk yang sama sekali baru.

Dan hal itu, lanjut Norman, sekarang telah menjadi DNA-nya Apple.


AP

Baca selengkapnya...

Telor

Telor Masalahnya tampak sederhana. Teman saya, publisher sebuah majalah musik terkenal, tergila-gila pada telor. Hampir di setiap kesempatan makan, urusan telor tak pernah ketinggalan. Dari mulai sarapan, makan siang, sampai makan malam. Namun urusan telor itu mendadak jadi rumit ketika kami berada di Jepang baru-baru ini.

Suatu hari, saat makan siang, di salah satu menu disebutkan ada makanan yang disajikan dengan telur goreng setengah matang di atasnya. Terbit air liur sang kawan. Tapi setelah tahu ada bahan yang haram, dia mengubah pesanannya. Kepada waiter, dia wanti-wanti agar telor setengah matang tadi bisa dipindahkan ke pesanan yang baru.

Sang waiter menggeleng. Permintaan yang "sepele" itu tidak dapat dipenuhi karena menu yang baru memang ditawarkan tanpa telor. Setelah melalui perdebatan, akhirnya kami minta agar dia memanggil manajer restoran. Kepada sang manajer, kami jelaskan soal keinginan tadi. Dengan permohonan maaf berulang-ulang, dia mengatakan permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Apa yang ditawarkan, itulah yang bisa mereka sediakan.

Meskipun kami sudah menawarkan membayar berlipat untuk telor itu. Sulit dipahami kan? Urusan telor semacam itu di Indonesia hanyalah persoalan kecil. Tinggal goreng, selesai. Tapi, jika kita memahami orang Jepang, mungkin akhirnya kita bisa nrimo. Disiplin yang tinggi memang menjadi ciri yang kuat dari orang-orang Jepang. Kadang terasa terlalu kaku ketika konteksnya telor tadi.

Teman saya tidak jadi sakit hati manakala kami mencoba memahami jalan pikiran waiter dan sang manajer termasuk, sistem yang sudah berjalan baik di negeri matahari terbit itu. Kami jadi geli saat membayangkan ketika restoran tutup nanti, manajer harus mempertanggungjawabkan mengapa ada satu telor yang "hilang" atau tidak klop dengan menu yang terjual hari itu. Lalu bagaimana memasukan penjelasan soal "telor yang lompat ke menu lain", yang tidak bisa dilacak oleh komputer yang sudah diprogram? Artinya, satu telor menyimpang dari jalurnya saja akan cepat ketahuan dan harus bisa dipertanggungjawabkan.

Setiap orang tidak bisa dengan mudah melakukan penyimpangan dari sistem dan prosedur yang sudah ada. Saya mungkin terlalu mengada-ada ya? Bahkan saya dan teman jadi tertawa ketika berimajinasi bahwa setelah restoran tutup, sang manajer dan semua staf akan melakukan evaluasi, termasuk membahas bagaimana memecahkan permintaan aneh dari tamu tadi siang. Namun, setelah mereka tahu bahwa tamu yang aneh tadi berasal dari Indonesia, mereka lalu menyimpulkan tidak perlu dibahas lebih lanjut karena sang tamu memang berasal dari negara yang "semua bisa diatur", di mana orang-orangnya terbiasa melakukan penyimpangan. Jadi, rapat lalu memutuskan jangan sampai "virus" berbahaya itu mereka akomodasi dan merusak sistem dan prosedur yang sudah mereka yakini dan jalankan selama ini dengan disiplin yang tinggi.

Tidak mudah melakukan penyimpangan di negara yang tertib. Begitulah pesan moral dari persoalan telor tadi. Tak heran jika sepanjang berada di Jepang, semua serba tertib. Pada saat naik metro, menyeberang, naik eskalator, antri taksi, bayar di kasir, masuk restoran, dan kegiatan di ruang publik lainnya, serba tertib. Hidup rasanya sangat aman dan nyaman. Tidak ada dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah. Tidak ada saling sikut.

Hidup kok jadi indah ya? Masalahnya, hidup ini memang memilih. Kita mau yang mana. Bangsa Jepang bisa bangkit menjadi bangsa yang besar seperti sekarang ini, karena mereka memilih disiplin sebagai fondasi. Mereka meyakini disiplin yang tinggi merupakan kunci untuk maju. Jadi, urusan telor yang rumit tadi, kalau dilihat dari kacamata orang-orang Jepang, tentu jadi rumit karena masuk kategori penyimpangan. Saya dan teman saja yang kebetulan salah tempat. Andai waktu itu kami berada di sebuah warung di Indonesia, soal telor tadi urusan sepele. Semua bisa diatur di negeri ini.


kick andy

Baca selengkapnya...

Sabtu, 27 Agustus 2011

Buaya, Bahan Bakar Masa Depan Gantikan Bensin

Kondisi Bumi yang kian mengkhawatirkan membuat para ilmuwan memeras otak membuat semua hal menjadi ramah lingkungan. Kini, mereka mengaku memiliki solusi pengganti bensin.

Menurut para ilmuwan, lemak buaya nantinya bisa digunakan menggantikan bensin. Lemak buaya ini nantinya akan diubah menjadi bahan bakar biodiesel yang ramah lingkungan. Minyak dari daging reptil ini sangat sempurna untuk diesel ramah lingkungan.

Selain itu, bahan ini jauh lebih praktis dibanding kedelai yang kini menjadi bahan alternatif membuat bahan bakar. Minyak buaya memiliki konsistensi serupa kedelai. Artinya bahan ini memenuhi standar ketat industri untuk bahan bakar hijau berkualitas tinggi.

Lebih lanjut, bahan ini sangat mudah diubah menjadi biodiesel dan jauh lebih ekonomis dibanding lemak hewani lain yang digunakan saat ini.

Kepala peneliti Rakesh Bajpai dari American Chemical Society mengatakan, “Kebanyakan biodiesel di Amerika Serikat (AS) dibuat dari kedelai dan dampak negatifnya membuat harga kedelai meroket”.

Mengingat buaya banyak dijumpai di AS seperti ditulis Dailymail, lemak buaya bisa menjadi pilihan sempurna. Hasil riset ini diterbitkan dalam jurnal Industrial & Engineering Chemistry Research.


Oleh: Billy A. Banggawan

Baca selengkapnya...

Jumat, 26 Agustus 2011

Berhenti Makan Sebelum Kenyang

Saya paling mudah mabuk laut. Karena itu saya selalu berkelit kalau diajak Surya Paloh, pemilik Metro TV, memancing. Membayangkan diombang-ambing ombak saja sudah membuat pening dan mual. Karena itu saya selalu mencari alasan kalau diajak memancing. Sampai suatu saat saya tidak bisa berkelit. Maka bersama sejumlah teman, kami memancing di laut lepas dekat Pulau Kaliage.

Setelah sekian jam berpindah-pindah lokasi tanpa hasil, saya mulai mabuk. Saya berdoa semoga Surya Paloh bosan dan mengajak kembali ke darat. Mungkin karena jarang berdoa, Tuhan juga cuek. Tidak ada tanda-tanda penderitaan bakal berakhir. Tiba-tiba terdengar teriakan. Umpan yang dilempar ke laut dimakan ikan. Begitu pancing ditarik, sejumlah kakap merah menyembul. Bukan Cuma satu, tapi empat atau lima sekaligus. Dalam satu tali pancing memang dipasang empat sampai lima mata kail. Seumur hidup saya belum pernah menyaksikan betapa mudahnya mendapat ikan.

Setiap kail ditarik, empat sampai lima ekor kakap merah tersangkut. Begitu seterusnya tanpa henti. Seakan di bawah sana sedang ada pesta. Semua ikan kumpul jadi satu. Dalam waktu singkat kapal sarat dengan ikan. Semua seperti kesetanan. Saya jadi ikut kesetanan. Mabuk pun hilang. ”Stop! Stop! Cukup!,” terdengar suara Surya Paloh. Sebagian berhenti, sebagian tetap kesetanan. ”Cukup, cukup,” Surya Paloh mencoba mengingatkan. ”Biarkan ikan yang lain tinggal dan berkembang biak lagi. Masih ada hari lain. Jangan serakah.” Baru-baru ini, istri saya mempersoalkan susu anak yang menghilang dari pasar. Dengan enteng saya bilang ganti dengan merek lain.

Tapi, sekian tahun terbiasa dengan satu produk, tidak mudah bagi anak saya pindah ke lain hati. Maka, terpaksalah mereka berdua berburu susu dari satu supermarket ke hypermarket. Termasuk toko-toko kecil diubek-ubek. Akhirnya mereka menemukan susu brengsek itu di sebuah toko grosir di Bintaro. Produk yang ada sisa 16 kaleng. Anak saya memaksa agar istri saya memborong susu langka itu semuanya. Tapi istri saya menjelaskan bahwa pasti ada ibu-ibu lain yang juga membutuhkan. Maka dia hanya membeli separuhnya. Namun ketika persediaan hampir habis, lagi-lagi sulit mendapatkan susu tersebut. Si kecil mulai mempersoalkan keputusan ibunya dulu yang hanya membeli separuh. Maka perburuan dimulai lagi.

Sampai suatu pagi, dengan wajah berseri, istri saya mengatakan problem sudah terpecahkan. Seorang distributor akan membantu. Ceritanya, dalam perburuan itu istri saya akhirnya menelepon ke produsen susu tersebut. Menurut produsen, merek tersebut memang tidak diproduksi lagi karena akan diganti dengan yang baru. Mereka meminta istri saya menghubungi distributor besar mereka. Tapi ternyata distributor itu sudah tidak punya stok. Mereka menganjurkan agar istri saya menghubungi distributor kecil. Istri saya mengejar terus.

Ketika menelepon distributor yang dimaksud, seorang pria di ujung telepon meminta maaf karena stok mereka juga sudah habis. Namun sebelum telepon ditutup, dia bertanya mengapa istri saya begitu gigih mengejar susu tersebut. Bukankah bisa cari susu lain? Istri saya lalu bercerita tentang perburuan susu itu, termasuk keputusannya untuk tidak memborong habis persediaan susu waktu itu dengan pertimbangan ada ibu-ibu lain yang pasti juga membutuhkan susu itu.

Di luar dugaan, pria itu -- yang belakangan diketahui adalah pimpinan perusahaan distribusi tersebut -- mengaku tersentuh oleh cerita istri saya. ”Jaman sekarang jarang ada orang yang masih mau mempertimbangkan kepentingan orang lain,” ujarnya. Dia lalu berjanji membantu mencarikan susu tersebut. Tak sampai satu jam, telepon istri saya berdering. ”Bu, saya sudah dapat. Mau berapa banyak juga bisa,” ujarnya gembira. Ternyata susu itu dia temukan di Lampung! ”Dalam dua hari susu sudah sampai di Jakarta. Biaya pengiriman jangan dipikirkan. Saya yang tanggung,” ujarnya. Mendengar cerita itu saya justru berbalik tidak percaya.

Di jaman seperti ini kok masih ada orang yang mau bersusah payah ikut mencari susu apalagi sampai ke Lampung. Kalau waktu itu dia bilang stok habis, urusan selesai. Kenapa harus repot? Ketika Surya Paloh meminta kami untuk berhenti memancing, sebagian besar merasa kecewa. Bayangkan, ketika ikan begitu mudah dipancing, kami disuruh berhenti. Begitu juga ketika susu sulit didapat, sementara di rak ada 16 kaleng, istri saya hanya membeli separuhnya. Pada waktu itu saya juga kecewa pada keputusan istri. Dari dua kisah di atas, saya kembali diingatkan untuk belajar. Belajar mengendalikan hawa nafsu. Berhentilah makan sebelum kenyang. Makan secukupnya. Jangan serakah. Pesan moral dari kitab suci itu tampaknya mudah diucapkan, tapi susah diterapkan. Karena itu, kita perlu saling mengingatkan.


Kick Andy

Baca selengkapnya...

Kamis, 25 Agustus 2011

Kedamaian

Seorang raja mengadakan sayembara dan akan memberikan hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang dapat melukis kedamaian. Dari ratusan lukisan yang dilukis, hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar disukai raja. Tetapi ia harus memilih satu diantaranya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga tenang. Permukaan telaga itu bagaikan cermin yang memantulkan kedamaian gunung-gunung yang menjulang mengelilinginya. Di atasnya, terpampang langit biru dengan awan putih berarak. Semua yang memandang lukisan itu pasti akan berpendapat bahwa inilah lukisan yang terbaik menggambarkan kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kering dan gundul. Di atasnya, terlukis langit yang jelas dan merah menandakan akan turun hujan badai, sedangkan kilat tampak menyambar-menyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih, yang sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian. Tetapi, sang raja melihat sesuatu yang menarik. Di balik air terjun itu, tumbuh semak-semak kecil diatas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu, seekor burung pipit meletakkan sarangnya. Di tengah-tengah riuh rendah air terjun, seekor pipit sedang mengerami telurnya dengan tenang.

Akhirnya, raja memutuskan bahwa lukisan kedualah pemenangnya. Mengapa? Karena kedamaian bukan berarti kita harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan, atau pekerjaan yang menggunung. Kedamaian adalah hati yang tenang dan sejahtera meski kita berada di tengah keributan yang luar biasa.

Kedamaian hati bukanlah sebuah pilihan, melainkan keputusan. Apakah kita ingin tetap merasa damai sejahtera meski keadaan ekonomi kurang baik, tetap bersukacita walaupun persoalan hidup datang silih berganti. Itu semua adalah keputusan.

Baca selengkapnya...

Selasa, 23 Agustus 2011

Mengukur Validitas Narasumber

Banyak peristiwa media belakangan ini: Skandal Murdoch dan Tabloid News of the World, ketergesa-gesaan media barat menuduh “teroris Islam” di balik Bom Norwegia, dan ...... Nazarudin, tersangka korupsi yang berkicau.

Mari kita pusatkan perhatian pada apa yang terjadi di dalam negeri lebih dulu. Pertanyaannya: apakah Nazarudin narasumber yang layak dipercaya? Menurut kacamata siapa? Kalau tak layak dipercaya, apa efeknya terhadap opini publik?

Menurut teori jurnalistik, narasumber paling valid adalah narasumber primer, yang biasanya melekat pada diri korban, pelaku, atau saksi mata. Mereka ini mengalami sendiri, melihat sendiri. Jadi, sulit dibantah kebenarannya.

Bila media tak mendapatkan narasumber primer (misalnya pelaku kabur, korban tewas, tak ada saksi mata), narasumber valid nomor dua adalah narasumber yang memiliki kewenangan (otoritas). Misalnya polisi dalam hal kecelakaan atau kejahatan; direktur perusahaan dalam hal pemogokan buruh, ketua partai dalam hal skandal anggota partai. Urutan ketiga adalah narasumber berkompeten. Biasanya ini diisi oleh kalangan pengamat, akademisi, dan para komentator.

Dalam hal kasus rekening gendut kepolisian, Susno Duaji adalah narasumber primer karena dia saksi (mengetahui); Agus Tjondro (PDIP) adalah pelaku, demikian juga Vincent (Asian Agri). Nazarudin adalah tersangka. Bila saksi saja primer, apalagi tersangka. Apapun statement-nya, pasti layak berita.

Namun ada pihak-pihak yang gerah dengan kicauan Nazarudin (terutama Partai Demokrat tentunya), dan mencoba mengkritik perilaku media massa, khususnya televisi, yang dianggap memberi porsi berlebihan pada N. Bila pertanyaannya "apakah N narasumber valid?", jawabannya tentu "ya".

Namun saya agak sependapat dengan rekan-rekan dari Partai Demokrat bahwa porsi yang diberikan agak terlalu berlebihan. Ini sudah out of proportion. Pelarian, tersangka, pembohong (beberapa statementnya telah terbukti bohong) kok diperlakukan sebagai prime source.

Namun saya juga kurang sependapat dengan Farid Gaban, veteran jurnalis, yang saya kutip dari milis jurnalisme. Farid mempersoalkan "Bila keterangan-keterangan narasumber belum teruji, apakah itu sudah layak berita?"

Pertanyaan Farid ditujukan kepada Iwan Pilliang yang mendapatkan kesempatan melakukan wawancara khusus melalui skype. Maksud Farid Gaban tentu baik, yaitu agar para konsumen media terlindungi dari orang asal omong dan omong kosong belaka.

Namun bila para jurnalis harus dapat menjamin bahwa keterangan narasumbernya sudah teruji kebenarannya, bisa-bisa media cetak tidak terbit, TV tidak siaran berita, dan media online berhenti bekerja.

Dalam ajarannya yang lain (FG kami anggap sebagai "guru" jurnalisme di Indonesia), FG mengatakan bahwa kebenaran jurnalis adalah kebenaran prosedural. Sejauh prosedur dilaksanakan dengan benar, meski akhirnya beritanya salah, jurnalis tak bisa disalahkan.

Kesalahannya adalah without malice. Apalagi, fakta jurnalis tentu bukan fakta hukum. Bicara hukum, semua harus ada bukti fisiknya. Bicara jurnalisme, bahkan isu atau gosip atau bisikan adalah fakta jurnalistik. Tentu jurnalis dalam hal ini mesti tak mudah mengumbar "isu, gosip" dari narasumber yang tak teridentifikasi. Sejauh narasumbernya jelas, isu atau gosip adalah fakta jurnalistik.

Meskipun demikian, kita juga mesti ingat petuah Bill Kovach dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme. "Jurnalis mesti mewaspadai motivasi narasumber, terutama narasumber anonim. "Jangan-jangan ada orang lempar batu sembunyi tangan. Kasus Vincent, narasumber Tempo di berita Asian Agri yang diduga menggelapkan pajak, masih menarik dipelajari.

Vincent bukan dipenjara setelah menjadi whistle blower, seperti yang disiarkan oleh beberapa media dan kalangan jurnalis. Vincent dipenjara lebih dulu karena menggelapkan uang perusahaan. Setelah dipenjara, baru dia meniup peluit. Mungkin tiupannya signifikan, valid, tetapi motif Vincent mesti dipertanyakan: apakah untuk membongkar kejahatan pajak demi bangsa Indonesia; atau semata-mata membalas dendam pada perusahaannya sendiri yang memasukkannya ke dalam penjara karena mencuri?

Kasus Nazarudin sejenis dengan kasus Vincent, berbeda dengan Susno Duaji dan Agus Tjondro. Nazarudin terlibat kasus korupsi Wisma Atlet. Dia buru-buru kabur. Di tempat pelariannya, dia meniup peluit yang merusak nama baik orang-orang dan Partai Demokrat. Apa motivasi Nazarudin? Menyelamatkan diri sendiri? Membalaskan sakit hatinya pada Anas? Membela negara? Dibayar kelompok lain untuk menghancurkan PD? Banyak sekali kemungkinan.

Kembali pada persoalan ukuran validitas narasumber, N masih layak dan menarik sebagai narasumber berita kasus korupsi. Dia juga bisa menjadi pintu masuk terbongkarnya skandal korupsi yang lebih besar yang melibatkan para pejabat negara, anggota DPR, dan petinggi partai.

Namun kecemasan teman-teman di Partai Demokrat dan "guru" jurnalistik Farid Gaban, patut menjadi bahan renungan kalangan media massa. Sudah proporsionalkah pemuatan dan penayangan kicauan Nazarudin? Sudah seimbangkah pemberitaannya? Jangan lupa pula pada esensi kasus, yaitu Nazarudin selaku tersangka kasus korupsi, bukan whistle blower. Kita mesti membedakan tiupan peluit (pada saat semua masih gelap), atau kilah (upaya bela diri tersangka).

Di tengah kebebasan media massa sekarang, diperlukan para wartawan yang berpijak pada prosedur jurnalistik yang benar; para redaktur yang bersih dari agenda setting; dan konsumen media yang lebih cerdas dan berdaya.


ANTARA News

Baca selengkapnya...

Minggu, 21 Agustus 2011

Kalau Engkau Memberi

Hidup ini kalau nggak memberi yang diberi. Maka, kalau engkau pelit dan kikir, itu hanya merugikan dirimu sendiri. Ketika engkau tidak pernah “memberi”, maka engkau tidak akan pernah “diberi”. Agama mengajarkan tangan di atas lebih baik ketimbang di bawah.

Bahwa memberi itu dianjurkan, khususnya bagi yang tak mampu. Sudah banyak penjelasan ustad, ulama, kiai, tentang keajaiban sedekah, juga zakat dan infak.

Sekarang ini banyak lembaga zakat, infak, dan sedekah yang beroperasi secara profesional. Bulan puasa ini di mal-mal, mereka membuka gerai: para pengunjung yang mau beramal silakan. Di beberapa perkantoran ramai, mereka juga proaktif.

Cara-cara profesional ini, terkesan memang jauh lebih elegan ketimbang mbak-mbak atau mas-mas yang beredar ke sana ke mari dengan selembar ketikan yang tersimpan dalam stopmap yang isinya adalah legitimasi bahwa lembaganya, entah yayasan pembangunan masjid, entah rumah yatim piatu, sedang membutuhkan sumbangan.

Cara-cara profesional itu, juga beda kelasnya dengan memasang bendera di jalan dan beberapa orang duduk di sekitarnya sambil membawa jaring: tetapi bukan untuk menjala ikan, melainkan tempat bagi siapa saja yang lewat melemparkan uang ke situ. Tak lupa, lantunan ayat-ayat kursi diperdengarkan, kalau nggak lantunan lagu-lagu kosidah.

***
Dulu, ketika saya masih kecil, di desa saya kedatangan dua orang Madura. Mereka datang ke rumah, setelah dari rumah-rumah tetangga saya lainnya, dan diterima Bapak. Dua orang dengan aksen khas itu menyodorkan tembakau. Ayah saya perokok, mungkin tertarik.

Tapi persoalannya bukan jual beli tembakau. Mereka menyodorkan secarik kertas berisi keterangan bahwa mereka adalah dua pemuda utusan pembangunan sebuah masjid di suatu tempat entah dimana di Madura.

Tembakau itu boleh dibeli, tetapi kalau tidak berkenan, maka silakan nyumbang seikhlasnya. Saya lupa apakah Bapak membeli tembakau itu atau tidak tetapi, ada pertanyaan yang menarik dari Bapak saya: “Kalau sampeyan jauh-jauh datang dari Madura dengan alasan nyari sumbangan membangun masjid, lalu, ongkos jalan, ongkos makan, diambil dari mana?”

Mereka menjawab kompak: “Ya dari sini pak, uang sumbangan ini!”.

“Kalau seandainya nanti sampeyan balik ke Madura dan ternyata uang untuk membangun masjid tak tersisa karena habis buat ongkos jalan, ongkos makan, dan lain-lain, terus bagaimana?”

“Ya ndak masalah Pak!”

Saya tidak tahu apakah Bapak membeli tembakau itu, sekedar menyumbang saja, atau tidak memberinya apa-apa sama sekali –kecuali nasihat-nasihat. Tetapi adegan itu menempel di ingatan saya bahwa: begitu uniknya “orang Islam” minta sumbangan.

Kelak saya banyak mendapat cerita-cerita bahwa di Mekkah dan Madinah pun banyak jamaah yang minta sumbangan. Suatu ketika seorang pemuda yang mengaku dari Bangladesh menghampiri saya di halaman Masjid Nabawi, dan setelah basa-basi ia terang-terangan minta sumbangan. Katanya untuk bertahan hidup di sana.

Ternyata, kisah “dua pendekar pengembara” dari Madura tadi, hanya satu variasi saja dari sekian yang lain yang intinya sama: minta sumbangan dengan alasan agama.

Variasi meminta sumbangan atau sedekah yang kurang elegan, kadang membuat saya, mungkin juga Anda, “malu”. Apa ya jadi umat Islam itu harus minta-minta sumbangan dengan cara begitu –cara-cara yang tidak profesional dan tanpa prinsip transparansi dan akuntabilitas?

Belakangan bahkan kita sering dengar berita, bahwa gerakan keagamaan yang ekstrem telah mengerahkan kadernya yang telah dicuci otak untuk mengumpulkan dana perjuangan dengan segala cara, termasuk dengan cara-cara meminta sumbangan yang tak elegan.

Mereka perlu diwaspadai. Waspadai juga kalau aktivitas pengumpulan dana umat yang hanya untuk memperkaya ustadnya atau kiainya: bagaimana mungkin potensi sumberdaya ekonomi umat dimanipulasi sedemikian rupa untuk memperkaya diri?

***
Dalam satu cerita pendek (cerpen) Ahmad Tohari, dikisahkan soal adanya tamu peminta sumbangan ke rumah kita: menyodorkan secarik kertas pembangunan masjid atau bantuan yatim piatu.

Dari percakapan verifikatif, kita curiga dengan kepalsuan peminta sumbangan itu. Tetapi, dalam kisah itu, akhirnya kita tetap kasih sumbangan sekedarnya, dengan ikhlas dan disertai doa agar mereka tak melakukan lagi trik-trik seperti itu. Kisah itu dilengkapi dengan gambaran tentang dilema: apakah kita harus kasih uang ke penipu?

Kita, dalam cerpen Tohari, tahu bahwa telah tertipu: tetapi tetapi ikhlas saja.

Dulu Cak Nun (Emha) pernah berujar soal pendekatan akhlak dan fikih. Kalau kau ketemu pengemis di emperan Malioboro itu, maka secara fikih kita tak wajib memberi dan kita tak harus merasa berdosa karena nggak memberi.
Tapi kalau perspektifnya akhlak, maka tanpa menimbang-nimbang lagi: pengemis itu kita kasih. Tak perlu lagi kita mempertimbangkan misalnya: kebiasaan memberi pengemis itu tidak mendidik atau hanya akan menyuburkan penyakit sosial.

***
Aktivitas keagamaan memang perlu sumbangan. Sewaktu SMP saya pernah ditugasi oleh panitia hari besar keagamaan, minta sumbangan ke tetangga-tetangga. Karena penduduk desa saya tidak semua “punya uang”, maka bentuk sumbangan tak selalu uang, tetapi “contongan” alias nasi bungkus. Tentu saja tidak semua warga kami mintai sumbangan karena alasan sosial ekonomi. Walaupun kemudian banyak yang protes: kok kami tak dimintai sumbangan?

Peringatan Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an dan sebagainya biasanya dilakukan dengan memanggil penceramah untuk memberikan ceramahnya. Di depan Masjid Jami desa kami, kursi-kursi sudah ditata sejak siang hari.

Semua itu para remaja dan pemudanya yang proaktif. Jadwal aktivitas masjid juga tertata rapi: termasuk mengisi kolah atau bak tempat wudhu dari sumur timba di sebelahnya. Waktu itu belum ada “sanyo” alias mesin penyedot air di desa kami. Bahkan listrik pun belum juga.

Ramadan gini, masjid itu semarak saat sore hari: anak-anak muda bergegas dengan tugasnya nyapu, menggelar tikar, mengisi kolah, dan mengisi minyak lampu petromaks. Yang lain, menyemarakkan suasana dengan main bola voli di halaman.

Menjelang beduk berbunyi, mereka bubar, mandi dan sebagainya dan bersiap ke masjid lagi. Malamnya kita semua “darusan” alias tadarus Al Qur’an. Suasana religius itu sangat menyentuh dan, terus-terang saya sangat rindu dengan yang demikian.

Saya masih ingat, bagaimana para orangtua menasihati kami agar tidak sombong, sebab sombong itu menghapus pahala, akhirnya kita malah nggak dapat apa-apa kecuali capek saja. Bahwa, janganlah kalau engkau nimba sumur ngisi kolah, sesumbar ke yang lain: tadi yang ngisi saya lho, kalau bukan saya…

Ngisi kolah saja tak boleh sesumbar: bahkan kalau perlu tak perlu ngomong ke siapapun bahwa kolah masjid telah kita isi dengan sepenuh tenaga dan keringat –walaupun penuhnya 100 ember lebih.

***
Maka, kalau engkau memberi: janganlah sesumbar. Janganlah disiar-siarkan bahwa engkau pahlawan. Engkau bukan politisi yang sedang kampanye bukan?

Dalam sebuah bukunya, pakar kepemimpinan John Adair berkisah tentang seorang lelaki suku Badui yang kurus dengan pakaian compang-camping serta senapan yang sudah rusak. Suaranya serak dan ia tentu saja ia sangat miskin dari ukuran materi.

Tetapi ia sangat dihormati. Sebelumnya ia sangat kaya punya banyak unta. Ia suka memberi dan menjamu tetamu. Digambarkan, setiap kali tamu datang disembelihkannya unta. Sampai-sampai unta-untanya habis. Kini ia tak punya apa-apa, tetapi semua orang tetap menghormatinya.

Tetapi, mari kita coba analisis: orang yang paham dengan kebaikannya memang akan hormat, bahwa orang itu punya prinsip dan tidak takut jatuh miskin karena kesenangannya memberi.

Tetapi, mungkin kita menyayangkan perilaku demikian sebagai sesuatu yang fatalis. Apalagi kalau pola pikir kita telah terkerangkai oleh mentalitas pragmatis, maka kita akan mengatakan bahwa tindakan orang Badui itu adalah amat sangat fatal.

Di kita, mungkin saking pragmatisnya kondisi: orang hanya dihargai sewaktu kaya dan menjabat. Setelah jabatan tak lagi lekat, orang-orang menjauh dan tak begitu menaruh hormat seperti dulu. Apalagi, kalau dia jatuh miskin.
Kita salah kalau hormat sama seseorang hanya karena pangkat dan jabatan atau tebal tipis kantongnya. Tapi kita selayaknya menghormati orang-orang yang teguh memegang prinsip –yang benar.


M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Baca selengkapnya...

Sabtu, 20 Agustus 2011

Semangat dan Kesetiakawanan

Saya tak kuasa menahan air mata. Di depan murid-murid kelas enam SD itu saya menangis. Sementara Yuni terus membacakan puisi karyanya dengan suara serak. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

Siang itu saya berada di ruang kelas enam SD Negeri Karaton 4 Pandeglang Banten. Saya bersama tim Kick Andy HOPE sedang meliput kisah tentang seorang anak yang mengalami kelumpuhan tetapi memiliki semangat yang menyala-nyala. Namanya Yuni. Usianya 13 tahun.

Kisah tentang Yuni segera menarik perhatian saya dan teman-teman di Kick Andy karena dalam usianya yang relatif sangat muda, anak Desa Pabuaran, Kecamatan Majasari, ini sudah harus menghadapi ujian hidup yang cukup berat. Pada saat duduk di kelas empat SD, bagian bawah badannya mendadak lumpuh. Kakinya tidak bisa lagi menumpu tubuhnya. Sejak saat itu kehidupan Yuni berubah drastis.

Yuni yang tadinya lincah sekarang tidak bisa lagi berjalan kaki ke sekolah. Tongkat penyangga tidak juga membantu. Tetapi semangat juara pertama lomba MIPA se-Pandeglang ini tidak padam hanya karena keterbatasan fisik. Setiap hari dengan dibopong dia tetap ke sekolah. Ada dua teman yang setia membantu menggendong Yuni di punggung mereka secara bergantian. Melayanti dan Dina, dua sahabat Yuni sejak kelas satu SD, dengan setia menggendong Yuni saat pergi dan pulang sekolah.

Apa yang dilakukan Mela dan Dina merupakan wujud kesetiakawanan yang sulit dilukiskan. Apalagi secara fisik Mela dan Dina lebih ringkih dari Yuni. Tak terbayangkan kedua gadis cilik itu harus menggendong Yuni pergi dan pulang sekolah. Begitu pula pada saat Yuni ingin ke kamar mandi. Mela dan Dina dengan sabar dan setia selalu membantu. Kesetiakawanan itu sudah teruji selama dua tahun tanpa henti.

Air mata saya sudah mulai jatuh ketika mendengarkan Yuni menyanyikan lagu Senyum dan Semangat yang biasanya dinyanyikan kelompok musik remaja Sm*sh. Lagu itu bercerita tentang penderitaan seorang yang dihina dan dilecehkan oleh teman-temannya. Tetapi dia bangkit dari rasa sedih dan kecewa karena ada seseorang yang menghargainya.

Mengapa Yuni menyanyikan lagu itu? “Karena lagu itu menggambarkan apa yang terjadi pada Yuni,” ujar Yuni dengan suara parau. Air matanya kembali bergulir di pipinya. “Yuni sering dihina dan dijadikan bahan tertawaan oleh teman-teman kelas tiga,” ujarnya.

Yuni yang sehari-hari digendong oleh Mela dan Dina memang menjadi pemandangan biasa bagi teman-teman sekelasnya. Bahkan selama belajar teman-teman sekelasnya sudah bisa menerima kondisi Yuni itu dan tidak mempersoalkannya. Bahkan hampir semua teman-teman sekelas mendukung Yuni. Hal itu terlihat jika waktu istirahat, mereka secara bergantian membelikan jajan dan memberikannya ke Yuni yang terpaksa hanya bisa menunggu di kelas.

Tetapi, bagi teman-teman sekolahnya yang berbeda kelas, kehadiran Yuni yang selalu digendong di punggung itu menjadi tontonan menarik. Maka adegan Yuni digendong itu menjadi bahan olok-olok dan ejekan mereka. Yuni pernah merasa tidak tahan dan mogok sekolah. Tapi dukungan dan dorongan semangat teman-teman sekelasnya membuat Yuni kembali bersekolah. Bukan cuma itu, dia bahkan menunjukkan prestasi dengan dua kali menjuarai kompetisi MIPA se-Banten.

Air mata saya semakin tak terbendung manakala Yuni membacakan puisi ciptaannya yang bercerita tentang jasa gurunya selama dia belajar. Di dalam puisi itu Yuni, yang baru saja lulus ujian SD, menyatakan penghargaan dan rasa terima kasih kepada guru-gurunya.

Bukan saya saja yang tak mampu membendung air mata. Tim Kick Andy yang ikut meliput juga tak kuasa menahan haru. Tak terkecuali para guru dan teman-teman sekelas Yuni yang hadir. Semua tenggelam dalam air mata.

Hari ini saya belajar tentang semangat dan kesetiakawanan. Semangat Yuni untuk melawan keterbatasan dan kesetiakawanan Mela dan Dina terhadap temannya yang sudah mereka kenal sejak di bangku kelas satu SD.

Saya semakin bisa merasakan kekuatan cinta dan persahabatan mereka manakala saya mencoba menggendong Yuni pulang ke rumahnya. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh, saya merasa cukup kelelahan. Tubuh Yuni terasa berat di punggung saya. Sulit bagi membayangkan bagaimana Mela dan Dina, yang tubuhnya kecil dan ringkih, setiap hari dengan setia menggendong sang sahabat pergi dan pulang sekolah.

Adakah persahabatan sejati membuat berat badan Yuni tidak berarti bagi Mela dan Dina? Adakah cinta yang tulus membuat Mela dan Dina mau mengorbankan tenaga dan waktunya untuk Yuni? Sederet pertanyaan itu terus mengganggu pikiran saya selama perjalanan pulang ke Jakarta. Logika saya tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Hari itu saya belajar satu hal lagi dari Yuni, Mela, dan Dina. Bahwa cinta dan persahabatan yang tulus akan mampu mengatasi beban dan hambatan sebesar apa pun.


Kick Andy

Baca selengkapnya...

'Syaraf Kejepit', Picu Nyeri Tulang Belakang

Rasa nyeri hebat atau gangguan lain yang dirasakan pada tulang belakang oleh sebagian masyarakat terkadang masih dianggap remeh dan tidak diperhatikan.

Padahal sejatinya masalah yang terjadi pada tulang terlebih bagian belakang sebenarnya bukanlah masalah sepele. Nyeri tulang belakang adalah nyeri pada bagian belakang setinggi pinggang. Nyeri itu dapat menjalar maupun terlokalisir.

Penyebab nyeri itu dapat diakibatkan adanya gangguan pada struktur tulangnya, bantalan tulang atau otot-otot yang terlibat dalam menunjang tulang belakang itu sendiri atau akibat gangguan kejiwaan berupa psikosomatik.

Angka kejadian nyeri pinggang ini makin meningkat seiring dengan kemajuan industri di suatu negara atau perubahan pola aktifitas masyarakatnya. Penderita kelainan ini paling banyak pada usia produktif antara 20-45 tahun.

Hal ini sangat mengganggu produktifitas penderita maupun perusahaan yang mempekerjakannya. Penyebab hal itu akibat prolapsnya bantalan tulang belakang. Pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan wanita, hal ini mungkin diakibatkan laki-laki lebih banyak beban kerja yang beresiko.

Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Peni Kusumastuti, SpRM, menjelaskan, permasalahan tulang belakang adalah suatu hal yang rumit.

"Tulang belakang terdiri dari struktur yang kompleks, yaitu terdiri dari tulang belakang itu sendiri, jaringan bantalan, otot jaringan ikat, persendian, dan syaraf," kata Peni.

Peni menambahkan, kalau salah satu struktur rusak maka struktur lain akan ikut terganggu. Jika ada bantalan yang rusak atau sakit, akan memengaruhi sistem persendian. Tulang belakang atas dan tulang belakang bagian bawah akan menekan bantalan tersebut dan menyebabkannya tidak stabil.

Jika keadaan tersebut terus dibiarkan, lama-kelamaan akan terjadi pengapuran pada tulang belakang.

"Belum lagi kalau ada syaraf yang terjepit, permasalahannya akan semakin akut. Rasa sakitnya bukan dapat terjadi pada bagian tulang belakang, bisa juga dirasakan pada ujung kaki," tambah dia.

Jika hal terus dibiarkan, lanjut dia, produktivitas seseorang dapat terganggu. "Rasa nyeri pada tulang belakang dapat menganggu seseorang dalam bekerja dan berdampak pada perusahaan juga," kata Peni.

Masalah nyeri tulang belakang adalah hal rumit, untuk mengatasi permasalahan itu memerlukan penatalaksanaan yang tepat.

"Kita tidak bisa langsung memutuskan cara penanganan dalam waktu yang singkat, dan memerlukan tim terpadu yang terdiri dari multidisiplin ilmu untuk menentukan penyebab dan penanganan yang tepat," terang Peni.

Tak selalu operasi

Sementara itu, Spesialis Bedah Saraf dari SW Rehabilitation Center , Jakarta, Dr.0Agus Yunianto, Sp.BS menjelaskan untuk mengatasi nyeri dilakukan pain management, yaitu tindakan untuk mencari sedetail mungkin sumber nyeri dan dilakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi nyeri tersebut.

Selama ini, ada anggapan atau ketakutan di masyarakat bahwa nyeri karena saraf terjepit pasti harus dioperasi yang bisa melumpuhkan.

“Itu salah. Dengan pain management, nyeri dikelola supaya hilang atau bisa dikurangi, tidak harus dengan operasi,” jelas Agus lagi.

Bahkan, 80% pasien dengan nyeri di tulang belakang (leher, punggung sampai pinggang) bisa sembuh tanpa operasi.

Ini karena sebagian besar nyeri dikarenakan penyakit degeneratif biasa. Mungkin hanya dengan mengubah sikap atau kebiasaan, seperti kebiasaan duduk atau posisi tidur yang salah.

Bisa juga karena overweight, sehingga secara gravitasi tulang belakang menahan beban tubuh yang lebih berat. Kebiasaan lain seperti merokok juga bisa membuat tulang keropos, begitu juga olahraga yang salah.


Inilah.com

Baca selengkapnya...

Jumat, 19 Agustus 2011

Buatlah Kemajuan, Meskipun Kecil

Kekuatan motivasional apa yang mendorong karyawan untuk serius bekerja? Di mata kebanyakan para manajer, ada dua yang menonjol, yakni insentif dan pengakuan. Setidaknya, begitulah yang didapat oleh Teresa Amabile dalam surveinya terhadap 700 manajer dari berbagai perusahaan di seluruh dunia. Hanya 5% manajer yang meletakkan kemajuan sebagai kekuatan motivasional nomor satu.

Namun, dari studinya baru-baru ini, Teresa menemukan sesuatu yang niscaya mengejutkan para manajer. Dari hampir 12 ribu catatan kerja harian yang ia gali, guru besar Harvard Business School ini menemukan bahwa satu-satunya hal terpenting yang mendorong keterlibatan karyawan (employee engagement) ialah kemajuan. Inilah yang kemudian dituangkan oleh Teresa menjadi buku The Progress Principle yang terbit belum lama ini.

Para manajer, kata Teresa, kurang menyadari betapa penting kemajuan bagi motivasi manusia. Bahkan, inilah rahasia pertama mengapa video game berkembang pesat. Para desainernya menciptakan cara agar para pemain video game terus terlibat dalam permainan ini.

Desainer meletakkan indikator kemajuan dan penanda tercapainya suatu target (achievement marker). Secara virtual, semua video game memiliki fitur “progress bar” yang secara tetap muncul di layar, sehingga pemain setiap saat bisa melihatnya. Inilah yang membuat mereka mengetahui sudah sampai level mana kemampuan bermain mereka. Pemain mengetahui pula, seberapa dekat lagi mereka dengan tujuan yang ingin dicapai.

Penanda tertentu dalam permainan ini, misalnya medali atau pedang sakti, hanya dapat diperoleh bila pemain menguasai tugas tertentu. Dan dalam online game, yang dimainkan secara bersama oleh beberapa pemain, indikator kemajuan dan pencapaian prestasi itu bisa dilihat oleh mereka bersama-sama.

Menariknya, dari studi Teresa ini ditemukan bahwa ada sebuah perusahaan yang telah mengadopsi pola yang dikembangkan oleh para desainer video game ini. Semua pemimpin di semua jenjang organisasi perusahaan ini, mulai dari general manager (GM) sampai pemimpin tim, secara konsisten menerapkan prinsip yang mendasari pola itu, yang disebut oleh Teresa sebagai “prinsip kemajuan”.

Dari studinya itu, Teresa mendapati ada tiga prinsip yang diterapkan oleh perusahaan tersebut. Pertama, jaga agar kemajuan harian menjadi agenda mental Anda. Sebelum menandai kemajuan, tentu saja orang mesti benar-benar membuat kemajuan. Jadi, langkah pertamanya ialah menyokong kemajuan setiap hari, dengan menciptakan apa yang disebut “iklim perhatian.”

Yang dimaksud dengan iklim perhatian ialah setiap hari setiap orang fokus pada pekerjaannya dan perusahaan berusaha keras memfasilitasi kemajuan pekerjaan ini. Para manajer mengajukan tantangan konstruktif kepada anggota tim mengenai apa yang sanggup dan telah mereka kerjakan.

Kedua, temukan kemenangan-kemenangan kecil, di dalam kemunduran sekalipun. Teresa mencontohkan, pekerjaan pengembangan produk yang jadi tanggung jawab tim sangatlah sukar, dan mereka kerap mengalami kemunduran. Dalam situasi seperti ini, para manajer justru berperan menciptakan apa yang disebut “keselamatan psikologis,” di mana orang tidak takut bakal dihukum bila mereka mengakui kesalahan atau menemui kegagalan dalam mencoba ide baru. Prinsip ini, sepanjang pengetahuan saya, sudah diterapkan di lingkungan Toyota.

Ketiga, tandai kemajuan yang dicapai. Misalnya saja, dalam rapat mingguan tim mencatat kemajuan apa yang sudah dicapai; seberapa jauh lagi jaraknya dari target. Tim juga menganalisis dan menarik pelajaran dari kemunduran yang dijumpai serta melakukan koreksi. Dengan cara inilah, anggota tim termotivasi untuk terus bergerak maju menuju sasaran. Dengan merasakan kemajuan demi kemajuan yang mereka peroleh dari hari ke hari, anggota tim termotivasi untuk terlibat aktif dalam pekerjaan mereka.

Pendeknya, buatlah kemajuan setiap hari. Betapapun kecil kemajuan itu.


Tempo

Baca selengkapnya...

Kamis, 18 Agustus 2011

Menerka Pasar Keuangan 2011

Secara teori, pergerakan harga di pasar keuangan merefleksikan antisipasi pelaku pasar terhadap kondisi fundamental perekonomian. Apabila inflasi diperkirakan menurun dan credit rating dipertimbangkan meningkat maka imbal hasil (yield) obligasi akan membaik.

Jika suku bunga diperkirakan turun dan pertumbuhan ekonomi membaik maka harga di pasar saham dan di pasar komoditas akan meningkat. Dan selanjutnya aliran modal dari luar negeri yang masuk ke pasar keuangan akan membuat kurs mata uang terapresiasi.

Empat hal tersebut terjadi di pasar keuangan Indonesia pada 2010. Yield obligasi Surat Utang Negara (SUN) berjangka 10 tahun membaik signifikan dari 10 % ke 7,9% karena investor mengantisipasi perbaikan credit rating ke investment grade.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) meningkat 46%, suatu pertumbuhan yang spektakuler dari 2.534 ke 3.703 didorong oleh peningkatan laba perusahaan Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan menembus 6%. Pada 2010, harga kelapa sawit menguat 43%, harga batu bara naik 31%, dan harga karet meningkat 107% seiring dengan tingginya permintaan di negara berkembang seperti China dan India yang sedang mengalami booming economy.

Penambahan aliran modal asing yang masuk ke Surat Utang Negara pada 2010 mencapai sekitar Rp90 triliun, belum lagi ditambah dengan aliran modal asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia dan pasar saham. Sepanjang 2010, pasar modal Indonesia berhasil memberikan dana Rp103 triliun kepada para emiten yang melakukan IPO, rights issue, dan penerbitan obligasi.

Bank Indonesia dalam rangka memupuk cadangan devisa dan menghindari rupiah yang terlalu kuat, telah membeli dolar AS yang masuk ke pasar keuangan. Jika tidak ditahan oleh Bank Indonesia maka kurs rupiah kemungkinan sudah menembus angka Rp8.500 per dolar AS. Cadangan devisa sudah mencapai US$93 miliar, naik dari akhir 2009 yang hanya US$66 miliar.

Masih akan naik

Apakah pada 2011 pasar keuangan Indonesia masih akan menikmati kenaikan harga saham, pembaikan yield SUN, penguatan rupiah, dan kenaikan harga komoditas?

Banyak analisis yang mengatakan bahwa pada tahun ini indeks harga saham masih akan naik, kurs rupiah masih akan stabil atau menguat, harga komoditas energi dan pangan akan terus meningkat, tapi yield obligasi SUN akan memburuk (naik).

Mari kita bahas satu persatu. Harga saham Indonesia di indeks 3.703 secara valuasi sebenarnya sudah tidak murah, yaitu sekitar 14 x PER (price earning ratio) 2011. Seiring dengan perbaikan kondisi politik dan ekonomi maka valuasi saham Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 5 x PER menjadi 14 x PER.

Akan tetapi valuasi pasar saham Indonesia pernah mencapai 18 x PER pada awal 2008, bahkan dulu pernah mencapai 20 x PER pada era 1993 - 1997. Di era 1993 - 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia memang lebih tinggi dari pada saat ini, yaitu diatas 6,5%. Akan tetapi profitabilitas atau return on equity (RoE) emiten bursa saham Indonesia  saat ini lebih tinggi dari pada di era 1995–1997 contohnya emiten perbankan, semen, batubara, dan perkebunan.

Emiten di bursa saham Indonesia saat ini banyak yang memiliki RoE di atas 20%, artinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yield Surat Utang Negara berjangka 10 tahun (7,5%). Pada 2011 menurut data Mandiri Sekuritas, diperkirakan 56 emiten besar akan memiliki pertumbuhan laba (earning per share) sebesar 27% dengan RoE 23%. Dengan keyakinan bahwa ekonomi negara maju pertumbuhannya masih lebih lambat dibandingkan dengan negara di Asia, maka pasar saham Asia masih akan lebih menarik dibandingkan dengan pasar saham negara maju.

Berpegang pada skenario optimis tersebut, beberapa analis memakai target valuasi PER 17 - 18 kali untuk peningkatan indeks saham Indonesia di 2011 atau setara dengan IHSG 4.300 - 4.500. Pada 2011 tampaknya saham sektor energi, metal, dan perkebunan, akan lebih bergairah dibandingkan dengan saham sektor perbankan, infrastruktur, dan konsumsi.

Akan tetapi investor tetap harus waspada terhadap ancaman inflasi akibat kenaikan harga komoditas karena bank sentral kemungkinan akan bereaksi dengan melakukan pengetatan moneter. Kondisi stabilitas ekonomi di Eropa juga harus dipantau. Di saat valuasi sudah tidak murah maka pasar saham mudah terkoreksi oleh berita berita negatif.

Sudah mulai terlihat di kuartal IV/2010 bahwa tekanan harga pangan dan energi telah meningkatkan inflasi di Indonesia menjadi di atas 6,5%. Kenaikan inflasi berakibat negatif bagi pasar obligasi Surat Utang Negara berhubung yield-nya saat ini cukup rendah.

Jika kenaikan inflasi tidak ditanggapi oleh bank sentral dengan pengetatan moneter maka investor akan mulai menjual sehingga yield SUN akan meningkat sekitar 100 bp (basis poin), misalnya menjadi 9,0% untuk SUN jangka waktu 10 tahun. Apalagi jika terjadi pemburukan pada situasi fiskal negara Eropa (Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, Itali) maka pasar SUN bisa ikut terpengaruh negatif.

Selain ditentukan oleh jumlah modal asing yang masuk, kurs rupiah juga ditentukan oleh kebijakan Bank Indonesia. Menurut perkiraan Bank Dunia, modal portofolio asing diperkirakan masih masuk sekitar US$14,3 miliar pada 2011, sedikit turun dibandingkan US$15,9 miliar yang masuk pada 2010.

Dengan menguatnya harga komoditas maka ekspor Indonesia juga akan meningkat, demikian pula cadangan devisa berpotensi naik menjadi lebih dari US$110 miliar. Dengan jumlah cadangan devisa yang cukup maka tampaknya BI mempunyai ruang untuk membiarkan kurs rupiah menguat ke Rp8.700 - Rp8.800 pada 2011 sekaligus untuk menekan inflasi.


Oleh: Mirza Adityaswara, Ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)

Baca selengkapnya...

Siapa pemimpin Anda: Buaya atau lumba-lumba?

Ini adalah cerita Rhenald Kasali. Menurut ahli manajemen dari Universitas Indonesia itu, dengan merujuk sejumlah referensi yang diusungnya, terdapat tiga tipe pemimpin perusahaan yang dikenal dengan karakternya masing-masing.

Pertama adalah pemimpin tipe buaya atau reptil. Kedua, pemimpin tipe lumba-lumba, dan ketiga pemimpin tipe mamalia.
Seperti apa karakter buaya? Disiplin, berdarah dingin, inisiatif, mission accomplished atau tuntas dalam menyelesaikan pekerjaan, suka sendirian (dettached) dalam memutuskan, detil, number oriented, decissive, rasional, dan mengutamakan content.

Biasanya, pemimpin tipe buaya identik dengan profesional atau orang-orang yang memiliki latar belakang disiplin keuangan yang kuat, kata Rhenald.

Lalu apa karakter pemimpin lumba-lumba? Menurut penulis buku Crack Zone itu, karakter lumba-lumba berdarah hangat, memiliki kecenderungan nurture (merawat), care atau peduli, mengembangkan manusia alias people development, dan guyup atau melibatkan orang lain.

Banyak pemimpin usaha di Indonesia, kata Rhenald, yang ngaku lumba-lumba, tetapi kalau diuji ternyata tipe buaya.
Satu lagi adalah mamalia. Tipe yang terakhir ini memiliki karakter lebih membumi: komunikatif, intuitif, mengutamakan konteks bukan semata konten, melibatkan orang lain (attached) sehingga mampu membangun teamwork, partisipatif, dan mengedepankan empati.


***

Ini adalah cerita tentang Michael D. Ruslim. Almarhum, seperti Anda tahu, adalah Chief Executive Officer Astra International, yang meninggal dunia pada 20 Januari tahun 2010 silam.

Saya merasa perlu menulis di kolom ini, karena kisah Michael sangat inspiratif bagi para pemimpin perusahaan dan pemimpin bisnis. Saya rasakan pula ketika Rabu lalu diundang hadir dalam peluncuran buku mengenang salah satu pemimpin terbaik Astra itu: Lead by Heart alias Memimpin Dengan Hati.

Hampir semua yang bicara pada acara peluncuran buku itu seperti menahan isak dan sedu, termasuk pilot baru Astra, Prijono Sugiarto, serta pendahulunya, Rini Soewandi. Michael dan Rini sama-sama bergabung ke Astra setelah keluar dari Citibank.

Michael masuk Astra pada 1983, memulai karir dengan mengembangkan bisnis jasa keuangan kelompok usaha itu. Lalu pada 1991 Michael diangkat menjadi Direktur Astra International, dan pada 2002 dipercaya sebagai Wakil Direktur Utama. Pada 2005, Michael ditunjuk sebagai Direktur Utama hingga meninggal dunia tahun lalu.

Mengelola 145.000 karyawan di Astra, tentu bukan perkara mudah. Tetapi, kata Prijono, “Michael menggerakkan orang lain, dan membuat orang lain mau tidak mau membantu dan mau bekerja dengannya. Ketika diminta membantunya, saya tidak bisa mengatakan lain.”

Teddy P. Rachmat, senior di Astra, menggunakan istilah consigliere yang dipopulerkan Mario Puzo dalam novel yang kemudian menjadi film legendaris: The God Father. Kata yang bermakna sebagai penasihat andal, untuk mendeskripsikan Michael Ruslim. “Michael objektif, logis dan tidak bias. Dia itu consigliere di Astra,” kata Rachmat.

Empati terhadap bawahan juga tinggi. “Dia perhatikan orang-orang kecil. Bahkan gaji pembantu lebih besar dari gaji manajer di Astra,” begitu testimoni TP Rachmat ihwal juniornya itu.

Sahabat Michael, Agus Martowardojo, juga punya kesan, “Michael tipe sahabat yang selalu ada saat kondisi baik dan tidak baik, saat sedih dan gembira.” Sebagai teman profesional, Menteri Keuangan itu menyebutkan Michael tidak hanya didukung know how yang menonjol tetapi juga kejujuran, integritas, kerja keras, empati, keteladanan sikap serta karakter kepemimpinan yang kuat.

“Semua yang baik ada di Michael, tinggal yang buruk di badan saya saja. Dia tidak saja pandai, tapi punya visi kuat, mampu melakukan improvement dan perubahan. Dia leader, bukan sekadar manajer,” begitu kata mantan pemimpin puncak Bank Mandiri itu.

Menggelitik adalah pertanyaan, apa kekurangan Michel? Tak ada yang bisa menjawab. “Dia terlalu generous, itu kelemahan sekaligus kekuatan dia juga. Bahkan orang yang kelihatan kurang baik pun dibantu juga,” kata Agus. TP Rachmat pun mengamini.

Keluarga juga melihat Michael sebagai tipe orang yang semua aktivitasnya terencana dan terkelola dengan baik. “Dia punya care yang tinggi terhadap keluarga…Dia siapkan things to do yang sudah terbiasa sejak SMA, bahkan table of duty untuk istrinya…,” ujar Satyadharma Ruslim, kakak kandung Michael.

Maka tak heran, sepanjang kepemimpinan Michael, Astra melesat di atas ekspektasi. Bahkan perusahaan itu mengukuhkan diri sebagai kelas “one billion dolars company”, karena mampu membukukan laba di atas US$1 miliar beberapa tahun terakhir. Unit jasa finansial yang dibangun Michael malah mampu membukukan laba Rp3 triliun tahun lalu. ”…itu tidak akan terjadi tanpa Pak Michael bangun financial services…ini adalah golden era bagi Astra…” kata Teddy Rachmat.

Dia mengenang, ketika diangkat sebagai CEO Astra, Michael kembali membangun dan menata ulang manajemen dan values Astra. “Itu kalian bisa nikmati sekarang,” begitu kata Rachmat saat berbicara dengan divisi jasa finansial Astra, yang dituturkannya kembali Rabu lalu.

Lalu apa kata Jusuf Kalla, Wakil Presiden 2004-2009? “Kalau pengusaha itu biasanya otak dulu, lalu otot, baru yang terakhir hati….makanya ada istilah saudagar, yang berarti seribu akal…” kata JK.

Nah, katanya lagi, “Pak Michael, otaknya dipimpin oleh hatinya…” Mengaku bertemu eksekutif Jardine di London beberapa waktu lalu, JK mengatakan manajemen Astra disebutkan yang paling baik di antara perusahaan-perusahaan Jardine di seluruh dunia. Jardine adalah pemegang saham Astra.

Bukan JK kalau tidak juga kurang akal. Ketika menyebut kekurangan Michael, yang orang lain ‘tak sanggup’ menyebutkannya, JK mengatakan: “Saya tanya Ibu [Ny Trisnis, istri Michael], olahraga beliau apa? Tidak ada. Itulah kekurangannya.”


***

Lalu apa tipe kepemimpinan Michael? Rhenald Kasali mengatakan Michael adalah pemimpin tipe Astra alias Astra type leader, yang mengutamakan proses dan values atau nilai-nilai.

Karakter buaya, sebagai orang yang punya latar belakang keuangan, dan karakter lumba-lumba, kata Rhenald, “Pak Michael dua-duanya punya.” Bahkan Michael juga punya kecenderungan mamalia, katanya.

Maka itulah tantangan kita. Saya setuju dengan Rhenald; leaderships haruslah kontekstual, bukan textbook. Rini Soewandi sah-sah saja ketika harus bersikap seperti reptil saat membenahi Astra pada krisis 1997-1998. Tetapi di era yang lain, butuh gaya yang ekspansif, karena konteksnya memang harus melakukan perubahan dan improvement habis-habisan, seperti dilakukan Agus Martowardojo saat memimpin Bank Mandiri, yang menjadikannya perusahaan berkelas US$1 miliar pula. Itu pulalah yang dilakukan pemilik dan pemimpin Microsoft Bill Gates ataupun Steve Jobs, sang arsitek Apple.

“Pemimpin harus tahu situasi yang tepat, set and bring energy,” begitu ungkapan Rhenald. Ia harus mampu menetapkan dan menyebarkan energi bagi tim yang dipimpinnya.

Kisah Michael adalah pelajaran bagi para pemimpin dan calon pemimpin. Jangan sampai, meminjam istilah Rhenald, wajah tidak marketable, sikap tidak marketable, bahasa tidak marketable, lantas hati juga tidak marketable. Berabe-lah kita. Maafkan kalau saya keliru. “Management skills tanpa human touch, tak ada apa-apanya,” begitu kata Satyadharma Ruslim. Setujukah Anda?


Oleh Arief Budisusilo

Baca selengkapnya...

Rabu, 17 Agustus 2011

Awas, Ekonomi Dunia Masuk Zona Bahaya

Sinyal kuning berkedip dari markas Bank Dunia. Sinyal tersebut memberi peringatan kepada semua negara untuk berhati-hati. Sebab, ekonomi dunia sedang menukik ke zona bahaya. Peringatan itu disampaikan oleh Presiden Bank Dunia (World Bank) Robert Zoellick pada sebuah seminar di Sydney Australia, kemarin(15/8).

Menurut Zoellick, para investor kehilangan kepercayaan kepada pemimpin sejumlah negara penting. Akibatnya, dalam dua minggu terakhir, pasar saham dunia anjlok karena kekhawatiran terhadap negara-negara besar penguasa modal.

“Yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir adalah berbagai peristiwa di Eropa dan AS yang menyebabkan sejumlah pelaku pasar kehilangan kepercayaan kepada kepemimpinan ekonomi sejumlah negara penting," kata Zoellick, seperti diungkap kantor berita BBC.

Sebagai dampak dari keterpurukan pasar modal itu, Amerika Serikat kehilangan peringkat hutang AAA Standard & Poor untuk pertama kali dalam sejarah, karena terjadi pertikaian di Kongres tentang rencana menaikkan batas atas utang AS. Di Eropa, muncul kabar peringkat Prancis juga akan diturunkan, meskipun kemudian disangkal. Sementara Italia mengumumkan rencana penghematan kedua dalam beberapa bulan terakhir.

Zona euro menghadapi masalah yang lebih serius karena sejumlah anggota "terus mengalami masalah".Tetapi Zoellick mengatakan Australia dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan negara maju lain karena sudah melakukan perbaikan struktural. Dalam kaitannya dengan Cina, presiden Bank Dunia mengatakan, apresiasi yuan akan membantu mengurangi tekanan inflasi.

Berbagai kejadian tersebut, disamping sejumlah kerapuhan perbaikan ekonomi, membuat ekonomi dunia memasuki zona bahaya baru. Zoellick menekankan hal itu agar para pembuat kebijakan menangani masalah tersebut dengan serius.

Dalam kaitannya dengan AS, Zoellick mengatakan, pasar tidak khawatir bahwa negara pengontrol ekonomi terbesar dunia itu akan menghadapi masalah dalam waktu dekat. “Pasar sudah terbiasa terhadap AS yang memainkan peran kunci dalam sistim ekonomi dan kepemimpinan,” ungkapnya.

Semua yang diungkap Zoeelick, terutama berlaku untuk negara-negara maju. Namun, ketika ekonomi negara maju sedang terpuruk, kata Zoellick, justru negara-negara berkembang sekarang menjadi sumber pertumbuhan dan kesempatan.

Indonesia Dalam Target Bidikan Investor
Bagi Indonesia, ada hikmah dibalik sinyal bahaya yang ditiupkan oleh Zoellick. Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, krisis yang sedang melanda Eropa dan Amerika Serikat (AS) itu semakin membuka peluang bagi Indonesia untuk dibanjiri investasi asing yang sedang mencari 'rumah baru'.

Fauzi mengungkap, hanya ada dua negara yang memiliki dua syarat utama yang membuat investor tertarik untuk menyimpan dananya di negara tersebut. Kedua negara itu adalah Indonesia dan Brasil. Adapun dua persyaratan utama tersebut adalah tingkat suku bunga yang tinggi plus mata uangnya yang stabil dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari AS, Jepang, dan Eropa.

Nah, menurut Fauzi, Indonesia memiliki peluang yang lebih besar dibanding Brasil untuk menggandeng investor asing. Pasalnya, pemerintah Brasil dinilai terlalu campur tangan untuk mencegah aliran hot money di negeri samba tersebut. Salah satunya dengan menerapkan pajak yang tinggi. “Karena itu dana mulai mengalir ke Indonesia yang percaya menerapkan sistem devisa bebas,” ujar Fauzi.

Dalam mengatasi krisis yang melanda AS, kemungkinan besar AS akan melakukan quantitative easing atau mencetak uang untuk menjaga kemampuan moneternya. Dari uang baru yang akan beredar tersebut akan menciptakan dana besar yang akan menganggur karena tidak bisa terserap sektor riil. Untuk itu, dana besar yang menganggur tersebut akan mencari rumah baru di negara emerging market yang menjanjikan.

Sementara, Outlook utang Indonesia memiliki prospek positif. “Sekarang BB+, setingkat dibawah investment grade. Sangat mungkin dalam 6-12 bulan kita masuk ke investment grade. Kalau iya, investor yang masuk ke Indonesia akan makin banyak,” papar Fauzi.

Selain Indonesia dan Brasil, ada dua negara lain yang bisa dijadikan 'pesaing' untuk memperebutkan dana asing yang sedang mencari rumah baru tersebut, yaitu Thailand dan Korea Selatan. Tetapi, kedua negara tersebut masih kurang menarik bagi investor dibanding Indonesia. Untuk itu, pemerintah Indonesia diharapkan siap-siap menampung hot money yang akan menyerbu negeri ini. Jangan sampai dana panas itu justru membuat ekonomi negara ini menjadi ikut panas.


GatraNews

Baca selengkapnya...

Senin, 15 Agustus 2011

Never Burn Your Bridges!

Istilah ‘never burn your bridges’ sebenarnya berasal dari sebuah kisah motivasional yang terkenal. Konon katanya ada seorang jenderal perang yang membuat sebuah jembatan besar sehingga bisa sampai ke pihak musuh.

Namun, agar para serdadunya berperang secara maksimal, maka setelah jembatan itu selesai dan dilewati, jembatan itu pun dibakar. Dengan demikian para serdadu hanya punya satu pilihan yakni bertempur sampai titik darah penghabisan sebab tidak ada lagi jembatan untuk kembali.

Tentu saja versi dari kisah dan legenda ini ada banyak sekali. Ada yang mengatakan bahwa yang dibakar bukanlah jembatan tetapi kapal-kapalnya. Mana yang benar? Kita tidak tahu. Namun, kali ini, kita memang bukan bicara soal kapal ataupun jembatan tetapi soal merawat hubungan.

Pesan kita kali ini cukup bermakna. Janganlah kita membakar jembatan yang pernah kita lewati. Atau dengan kata lain, jangan kita merusak suatu hubungan yang pernah kita bangun. Mungkin saja jembatan itu pernah mengantar Anda ke suatu titik tertentu dalam perjalanan hidup Anda, tetapi janganlah sekali-kali Anda membakarnya. Anda tidak pernah tahu, apakah suatu ketika, Anda akan membutuhkannya lagi.

Sebut saja pengalaman dua orang, Alex dan Wani. Tatkala bekerja di suatu perusahaan nasional terkemuka di Indonesia, Alex bekerja dengan gigih. Ia pun sangat dipercaya. Suatu ketika, Alex memutuskan untuk melanjutkan studinya. Namun, hubungan dengan pimpinannya dulu tetap dijaga. Ia tetap bersikap baik, meskipun ia bukan lagi karyawan di perusahaan itu. Akhirnya, ketika Alex selesai kuliah, justru Alex diminta untuk memimpin perusahaannya di kota di luar negeri di mana Alex menyelesaikan studinya. Inilah berkat ketekunan Alex menjaga hubungan dengan perusahaannya terdahulu.

Kisah yang lain terjadi dengan Wani. Wani adalah wanita yang cemerlang dan hebat. Ia bekerja di sebuah grup perusahaan terkemuka di Indonesia. Kapasitas dan kemampuan kerjanya pun luar biasa. Karirnya melonjak. Hingga akhirnya, Wani ‘dibajak’ oleh perusahaan kompetitor. Di perusahaan yang baru, Wani agaknya tidak berterima kasih pada perusahaan sebelumnya. Wani sering menjelekkan dan mengatakan hal yang negatif tentang perusahaannya yang dulu.

Setelah bertahun-tahun di tempat yang baru, ternyata perusahaan Wani diakuisisi, alias dibeli. Siapa yang beli? Grup perusahaan Wani bekerja sebelumnya. Oleh karena komentar Wani yang tidak menyenangkan yang pernah didengar perusahaan sebelumnya, Wani pun tidak termasuk pimpinan yang dipilih untuk diteruskan masa kerjanya. Wani dipaksa untuk berhenti setelah perusahaannya dibeli.

Begitulah perbedaan sikap antara Alex dan Wani, yang ternyata berujung pada masa depan mereka. Alex menjaga hubungannya dengan perusahaan dan orang yang telah membesarkannya. Sementara Wani, bersikap negatif. Dengan kata lain, Alex masih merawat jembatan yang dilewatinya, sementara Wani membakar jembatan yang telah dilewatinya. Itulah kesalahan Wani.

Bersyukurlah

Intinya, tunjukkanlah kita bisa lebih baik dengan sikap terima kasih kita. Mungkin saja, jembatan yang pernah Anda lewati tersebut tidaklah menyenangkan. Bisa jadi jembatan itu berupa atasan yang menyebalkan, tempat kerja yang memuakkan. Ingatlah tidak ada yang sempurna. Namun, kalau kita lihat ke belakang, apa pun yang kita raih dan capai hingga saat ini, mungkin saja tidak bisa tercapai tanpa adanya jembatan tersebut.

Jadi, belajarlah untuk bersyukur dan berterima kasih sekaligus berjanji. Janji untuk tidak menjadi jembatan yang seperti Anda alami. Namun, untuk itu Anda tidak perlu memaki ataupun menjelek-jelekkan. Hargai jembatan yang dulu pernah kita lewati, belajarlah respek. Inilah tanda kebesaran jiwa yang luar biasa.

Tony Hoyt, mantan Wakil Presiden di Hearst Corporation yang bergerak di bidang media, mempunyai kalimat yang penting tatkala ia mengatakan, “Never burn your birdge. Don’t even spray graffiti on them. So, when you exit always do so with grace and appreciation.” (Jangan pernah membakar jembatanmu. Bahkan jangan mencoret-coretinya. Jadi, ketika kamu keluar, selalu lakukanlah dengan penghargaan dan terima kasih.”)

Betullah kata Tony Hoyt di atas. Sejarah hidup itu tidaklah selesai setelah kita meninggalkan jembatan itu. Siapa tahu kelak kita terpaksa harus melewati lagi jembatan itu kedua kalinya untuk ke arah masa depan kita…

****

Rawatlah jembatan

Hidup itu masih terus bergerak. Mungkin saja suatu jembatan telah membawa dan mengantar kita ke suatu tahapan hidup kita yang berikutnya. Namun, salah besar jika lantaran kita merasa tidak memerlukan suatu jembatan lagi, lantas kita mulai memusuhi, memaki ataupun membenci jembatan yang pernah membawa diri kita. Inilah beberapa alasan mengapa tidak bijaksana bagi kita untuk membakar jembatan yang pernah mengantar kita.

Pertama, kita tidak pernah bisa meramalkan masa depan. Setelah kita melewati suatu jembatan, mungkin kita meresa tidak membutuhkannya lagi saat ini. Namun, kita tidak pernah tahu apakah kita akan memerlukan jembatan itu pada masa depan kita nanti. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana seorang karyawan yang menjaga hubungan baik dengan perusahaannya dulu, akhirnya sekarang menjadi supplier penting di perusahaannya.

Coba saja kalau si karyawan itu tidak menjaga hubungan yang baik, tentu saja ia tidak akan dipercaya menjadi supplier. Kita pun tidak pernah tahu, bahwa bisa saja jembatan ‘bos’ yang mengantarkan kita sekarang, akan kita butuhkan referensinya bagi bisnis kita pada masa mendatang. Karena itulah, selalu bijaksana jika setelah melewati suatu jembatan, jangan kita bakar. Mari kita tetap merawatnya.

Kedua, jangan pernah menciptakan musuh. Ada sebuah pepatah bagus yang mengatakan, “Seribu teman tak pernah cukup, satu musuh terlalu banyak!” Pepatah ini mengatakan tidak ada baiknya kita membakar jembatan yang pernah menjadi pengantar kehidupan kita. Jembatan itu bisa berupa organisasi ataupun orang. Tatkala kita mulai menjelekkan organisasi yang pernah membesarkan kita, tatkala kita mulai merendahkan, memaki, ataupun ‘membuat status’ yang menjelekkan bekas ‘jembatan’ kita berarti kita sedang menciptakan musuh. Kalaulah perusahaan ataupun atasan kita tidak menyenangkan dan tidak Anda sukai, toh Anda sudah tidak lagi berhubungan dengannya. Tidak ada gunanya bagi Anda untuk menjelekkannya, sebab hal itu tak memberikan manfaat apa pun juga.

Ketiga, ketika membakar jembatan Anda, Anda juga mencela diri Anda sendiri. Tatkala Anda membakar kapal dengan cara menjelekkan ataupun membicarakan hal yang buruk tentang perusahaan tempat Anda bekerja sebelumnya, coba tebak bagaimana pendapat orang? Dalam hati mereka mungkin akan berkata pada diri Anda, “Salah sendiri kenapa dulu mau bekerja di situ dan sekarang jelek-jelekkan dia?” Tanpa sadar, tatkala menunjukkan kejelekan perusahaan, orang ataupun tempat yang pernah Anda lewati, Anda sebenarnya justru sedang menunjukkan kesalahan dan kebodohan Anda sendiri yang dulunya memutuskan untuk melewati jembatan tersebut!


Oleh Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

BPS Tetapkan Angka 2% Toleransi Kesalahan Survei Kemiskinan

Biro Pusat Statistik (BPS) tetap mengacu pada angka dua persen untuk toleransi kesalahan angka hasil survey keluarga miskin di Indonesia. Angka dua persen toleransi kesalahan sudah merupakan konsekuensi logis dari upaya penyediaan data dan informasi statistik terkini, cepat dan akurat. “Setiap survey, termasuk angka kemiskinan tetap mengacu pada tiga hal yaitu kesamaan metode, konsep dan definisi. Survei BPS sudah disinergikan dengan survey kantor Menko Kesra, BKKBN (Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional), Kementerian PU (Pekerjaan Umum) dan lain sebagainya,” Staf ahli Kepala BPS Jasa Bangun mengatakan kepada Business News (9/8).

Kendatipun hanya dua persen, tetapi secara kasat mata, kemiskinan masih menjadi momok bagi masyarakat dan Pemerintah. Karena kalau dua persen dikalikan sekitar 30 juta orang, secara kasat mata masih terlihat besar. Angka dua persen dari 30 yaitu sekitar 600 ribu orang. “Jadi 600 ribu orang miskin tersebut terlihat di mana-mana. Sehingga dari jumlah tersebut sering menimbulkan berbagai persepsi, termasuk persepsi ‘kebohongan Pemerintah’ terhadap angka kemiskinan.”

Kesepakatan untuk merumuskan data dan informasi statistik diharapkan bisa mengurangi kesalahan persepsi masyarakat. BPS yang akan menjadi lembaga resmi untuk mengumumkan data dan informasi statistik, termasuk kemiskinan, pengangguran, inflasi, dan lain sebagainya. Ketika petugas BPS melakukan pencacahan, hasilnya tidak akan bias dengan apa yang dilakukan oleh institusi lain termasuk Kantor Menko Kesra. “Karena kami sudah menyepakati konsep, definisi dan metodenya. Angka toleransi kesalahan tetap dua persen. Sementara sisanya, 98 persen diharapkan akurat.”

Pada masa pemerintahan Orde Baru, tugas BPS dikendalikan oleh Departemen Penerangan. Berbagai data dan angka selalu diumumkan oleh Menteri Penerangan, dan hampir tidak pernah ada bantahan dan sanggahan. Sekarang, BPS mengumpulkan data dari berbagai kota besar di Indonesia. Pengumpulan dilakukan empat kali dalam satu bulan. Dari empat pencacahan, BPS mengolah dan mengompilasi. “Setelah itu, kami baru berani mengumumkan data dan informasi statistik kepada publik, biasanya melalui pers setiap tanggal 1. Bahkan sampai jam 12 malam, kami masih tetap menunggu data dari daerah supaya tetap objektif. Semua data dibeberkan tanpa ada intervensi dari lembaga manapun.”

BPS sempat mengklaim jumlah angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2011 mengalami penurunan di banding periode yang sama di tahun 2010. Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per bulannya sebesar atau kurang dari Rp 200.000 per kapita. BPS menghitung, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang. Jumlah ini mengalami penurunan 1 juta orang atau 3,2% dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret tahun lalu yang mencapai 31,02 juta orang. Faktor pendorong turunnya jumlah penduduk miskin di Indonesia disebabkan oleh tingkat inflasi yang rendah, membaiknya kondisi perekonomian Indonesia, upah buruh naik, dan adanya perbaikan penghasilan petani. “Kami sudah juga memiliki sistem registrasi dan pencatatan dari berbagai instansi mengenai angka kemiskinan. Jadi tidak ada lagi perbedaan sudut pandang untuk pencacahan, antara BKKBN, Menko Kesra, BPS. Karena semuanya sudah satu persepsi dengan metode, definisi yang sama, data pasti tidak sulit lagi.”

Peranan terbesar yang mempengaruhi garis kemiskinan di Indonesia adalah komoditi makanan. Misalnya saja, beras memberikan sumbangan sebesar 25,45% untuk penduduk di perkotaan dan 32,81% di perdesaan. Rokok kretek filter memberikan sumbangan terhadap angka kemiskinan kedua yakni sekitar 7,70% penduduk di perkotaan dan 6,23% di perdesaan. “Dari angka-angka tersebut, BPS merumuskan tiga kriteria kemiskinan, yaitu hampir miskin, yang miskin dan sangat miskin. Kategori ‘sangat miskin’ mencapai sekitar 30 persen dari sekitar 30 juta orang miskin di Indonesia. Kelompok tersebut yang perlu segera mendapat bantuan. Mereka juga rentan terhadap fluktuasi indikator ekonomi, terutama angka inflasi dan harga bahan pokok di pasar. Jumlahnya bisa turun dan naik secara drastis.”


BusinessNews

Baca selengkapnya...

Sabtu, 13 Agustus 2011

Suamiku Selingkuh Sudah Biasa . . . .

Setahun yang lalu……

Saya tersentak saat klien (Sebut saja Sandra) mengucapkan kalimat : “Suami saya selingkuh sudah biasa Pak…! Sebab kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa ekspresi. Wajahnya datar.

Saya penasaran dengan kalimat itu, berusaha menggali lebih lanjut:

“Maksud Ibu…bisa dijelaskan…?”

Wanita itu mulai menarik nafasnya dalam-dalam….lama saya menunggu penjelasan Sandra. Ia berusaha tegar dan tidak menangis, tapi ia tak mampu menahan Air matanya. Secara perlahan menetes lalu makin deras hingga menyentuh ke lehernya.

Sandra yang berusia 43 tahun ini mulai menampakkan tanda-tanda penderitaan batinnya. Beberapa kali ia menghela nafas dalam-dalam. Tampak dari wajahnya, cenderung depresi. Meski anaknya studi di luar negri dan berlimpah materi, kebahagiaan jauh dari jiwanya. Ia menikah masih muda sekali, 19 tahun.

“Hmmmm.. Pak…Saya itu rela dan menerima suami saya main perempuan. Sejak kami menikah itu sudah berulang kali dia punya WIL. Bentar minta maaf, dia ulangi lagi. Saya terus memaafkan. Sampai saya kebal Pak dengan kebiasaannya itu. Tapi……saya tidak kuat….(menangis lagi…)….saya sungguh tidak bisa terima Pak…….”

Sandra tak kuasa menahan kesedihannya. Ia hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Seperti biasa saya mengijinkan klien mengekspresikan kesedihannya.

Setelah agak reda Sandra melanjutkan :

“Pak, kali ini saya melihat sendiri…Suami saya selingkuh dengan Kakak kandung saya……Biadab…suami saya biadab Pak…Kakak saya jahat…dia tega……Apa yang harus saya lakukan Pak.… (menangis lagi sambil menundukkan kepalanya)”

Saya terhenyak…..mulut saya tak bisa menjawab. Sepatah katapun sulit terucap.

Sandra meneruskan :

“Pak, nampaknya Kakak saya tidak peduli dengan penderitaan batin saya. Dia egois…! Biasanya dia tempat curhat kalau saya ada masalah dengan Suamiku. Tapi justru dia kini menambah luka saya. Saya ingin bunuh saja Kakak saya…dia jahattttt!!!”

Otak saya beku…..pengalaman klien yang sungguh tidak biasa. Pertama kali saya mendengar kasus ini. Saya mencoba berempati :

“Bu, perjalanan hidup ibu seperti di lorong gelap yang panjanggggg tanpa ujung…Sulit saya membayangkannya bagaimana ibu harus menjalaninya…”

Sandra sejenak berusaha menahan tangisnya dan bertanya :

” Pak sebenarnya saya mau bercerai dengan suami saya. Tapi saya tidak berani, karena agama kami melarang Pak. Lagi pula saya juga takut, suami saya orangnya kasar dan suka memukul saya. Dia punya banyak teman-teman yang tidak karuan hidupnya… apa yang harus saya lakukan…Secara ekonomi saya juga tidak mandiri…saya juga takut anak-anak akan dia ambil, saya sudah sebatangkara...”

Mulut saya terkunci, dan pikiran saya mencoba memberi respon. Saya terdiam sejenak….lama ide baru muncul baru bisa menangapi:

“Bu, ini pilihan yang sangat sulit…Seperti makan buah simalakama. Membuat ibu terjepit. Saya sulit berkata apa…Saya tak pernah membayangkan, ada orang yang penderitaannya seperti Ibu….”

Sandra menjawab:

“benar Pak…saya benar-benar bingung. Rasanya saya mau labrak kakak saya. Sejak seorang teman menyatakan kecurigaannya, beberapa kali saya pergoki suami saya pulang dari Kantornya ada di rumah kakak Saya, sampai jauh malam. Suatu ketika saya mencoba memberanikan diri bertanya kenapa kakak tega selingkuh dengan suami saya. Waduhhh… kakak saya hanya menjawab enteng: “Kan suamimu yang mau dan menggoda aku”….. Pak…..entah setan apa yang merasuk pikiran kakak saya….”

Percakapan kami berlangsung dua jam. Tak banyak yang bisa saya sampaikan, saya lebih banyak mendengarkan. Berulangkali Sandra terisak menangis. Dalam situasi ini Nasehat tentu tidak akan mempan. Saya lebih banyak mendengar, berempati serta merespon.

Diakhir percakapan saya sempat sedikit membagikan pengalaman Ibu kandung saya yang menderita 20 tahun akibat ulah Ayah kami. Meski tidak persis sama. ibu kami menderita karena ayah teradiksi judi dan alkohol. Tidak hanya ibu, tapi ketujuh anak ikut sengsara karena kelakuan Sang Ayah.

Derita Sandra menyadarkan kita, betapa dahsyatnya kuasa dosa atas manusia. Benarlah nasehat bijak ribuan tahun lalu: “Keinginan mata, keinginan daging (nafsu) dan keangkuhan manusia tidak saja menghancurkan dirinya sendiri, tetapi orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga dekatnya”.


Julianto Simanjuntak

Baca selengkapnya...

Jumat, 12 Agustus 2011

Melayani Sebagai Kebutuhan Tersembunyi

Kawan saya seorang direktur perusahaan terkemuka suatu ketika mengirimkan pesan melalui BlackBerry menanyakan kabar saya. “Saya sedang di luar kota,” kata saya seraya menyebutkan nama sebuah kota, “Saya sedang membantu teman-teman sebuah perusahaan, lokasinya di tengah hutan, sekitar 4 jam dari bandara.” Kawan saya menjawab, “Luar biasa Pak Arvan ini. Cari uangnya sampai sejauh itu. Hebat. Sukses ya.”

Saya terkesiap membaca pesan tadi. Cari uang? Apa benar saya sedang mencari uang sampai sejauh itu? Kalau hanya untuk mencari uang, buat apa saya bersusah-susah dating ke pelosok meninggalkan anak dan istri saya berhari-hari di rumah?

Pertanyaan-pertanyaan itu seakan tak sabar bermunculan di kepala saya. Seketika itu juga perasaan tidak nyaman menyergap diri saya. Apa benar saya bekerja untuk mencari uang? Mudah-mudahan tidak, walaupun bisa saja orang melihatnya seperti itu.

Sesungguhnya saya malah tidak pernah terpikir sama sekali bahwa saya bersedia mengunjungi tempat-tempat yang sunyi di berbagai pelosok Indonesia sekadar untuk mencari uang.

Bukannya saya tidak membutuhkan uang, tetapi kalau uang yang saya cari rasanya tawaran untuk pergi ke pelosok-pelosok ini akan saya tolak. Medannya seringkali cukup berat, waktu yang tersita juga cukup banyak, belum lagi harus meredam perasaan rindu karena berada jauh dari istri dan anak-anak. Tapi kenapa akhirnya saya memilih untuk melakukannya?

Karena ini memang misi hidup saya yaitu membantu para profesional, membuat mereka tercerahkan dan termotivasi, membuat mereka lebih sukses dalam pekerjaannya. Singkatnya, saya bekerja untuk melayani.

Saya tahu bahwa kalimat ‘bekerja untuk melayani’ masih terdengar asing bahkan aneh di mata sebagian besar profesional kita. Mungkin ada yang berpikir bahwa kalimat ini digunakan untuk menutupi motivasi yang sesungguhnya yaitu mencari uang.

Mungkin ada yang menyangka bahwa kalimat ini diperlukan agar pekerjaan lebih berkesan elegan. Bahkan mungkin juga ada yang menuduh saya munafik dengan mengatakan ini. Memangnya ada orang yang bekerja bukan karena mencari uang? Seorang peserta pelatihan bahkan pernah mengajukan pertanyaan langsung kepada saya: “Memangnya Anda mau bekerja kalau tidak dibayar?”

Ini sebuah pertanyaan yang bagus. Apakah saya dibayar oleh klien? Tentu saja itulah yang terjadi. Tapi bukankah klien saya juga dibayar oleh kliennya lagi? Dan bukankah kliennya klien saya itu juga dibayar oleh kliennya lagi? Demikian seterusnya. Jadi kalau saya tidak dibayar justru itu aneh dan menyalahi hukum keadilan.

Dibayar sesungguhnya adalah konsekuensi dari pelayanan yang kita berikan. Ia bukanlah tujuan bekerja, ia bukanlah sesuatu yang kita cari, tapi sesuatu yang kita dapatkan. Ia juga bukan satu-satunya yang kita dapatkan karena ada banyak hal lain yang saya dapatkan dengan bekerja yaitu kepuasan batin, perasaan bermakna, perasaan menjadi orang penting, kemajuan dalam intelektualitas dan kompetensi serta mendapatkan persahabatan dan relasi.

Kebutuhan Tersembunyi

Bekerja sesungguhnya memberikan banyak sekali keuntungan kepada kita. Namun di luar dugaan kebanyakan kita, manfaat terbesar yang kita dapatkan dari bekerja sesungguhnya bukanlah dari mendapatkan uang. Keuntungan terbesar dari bekerja justru adalah dari munculnya perasaan berharga, bermakna, berguna bagi orang lain.

Ketika Anda bekerja untuk uang maka Anda sedang berorientasi kepada diri sendiri. Dan semua kegiatan yang berorientasi pada diri sendiri memang dapat menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, tetapi kegiatan tersebut tidak akan menghasilkan perasaan berguna dan bermakna. Dan ketika Anda hanya mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, rasa bosan akan sering melanda diri Anda.

Bukankah kesenangan itu hanya bersifat sementara dan tidak langgeng? Hal ini berbeda dari perasaan bermakna yang akan bertahan lebih lama dari diri Anda dan senantiasa membakar semangat Anda secara terus menerus.

Sesungguhnya ini adalah rahasia di balik penciptaan manusia itu sendiri. Manusia diciptakan Tuhan memang untuk membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi alam semesta ini. Bukankah Tuhan selalu mengatakan bahwa Ia tidaklah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia? Ini berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan termasuk manusia adalah untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi alam semesta ini.

Karena itu ketika kita hidup hanya untuk kesenangan diri kita sendiri maka sesungguhnya kita sedang melawan hukum alam yaitu hukum manfaat. Orang yang melawan hukum alam tidak akan bahagia dan hidupnya jauh dari kepuasan yang sejati.

Ia memang bisa menikmati kesenangan dan kenikmatan tetapi karena hidupnya tidak ia abdikan kepada takdirnya maka ia tidak akan pernah merasa cukup. Sesungguhnya jiwa manusia selalu merasa haus dan lapar untuk memberikan manfaat kepada orang lain.

Hanya dengan menjadi bermanfaatlah orang bisa menjadi puas dan bahagia. Orang menjadi puas sesungguhnya karena jiwa mereka sudah menunaikan amanat yang dititipkan Tuhan kepadanya. Orang menjadi puas karena mereka sudah hidup sesuai dengan kodratnya sendiri. Inilah yang jarang kita sadari.

Kita sering kali beranggapan bahwa kepuasan dan kenikmatan yang tertinggi adalah kenikmatan fisik padahal sesungguhnya puncak dari kenikmatan itu adalah kenikmatan spiritual.

Kesadaran seperti ini sesungguhnya adalah penemuan yang paling menarik sekaligus yang paling indah. Ketika kita melayani orang lain kita sesungguhnya kita sedang memenuhi kebutuhan kita sendiri, yaitu kebutuhan spiritual. Hanya ketika melayani orang lainlah kita akan beroleh kenikmatan yang sejati yaitu kenikmatan spritual. Inilah rahasianya mengapa orang yang melayani orang lain tidak akan pernah merasa jenuh, bosan dan resah dalam pekerjaannya.

Sekarang cobalah Anda ingat-ingat. Pernahkah Anda merasa bosan dalam pekerjaan Anda? Bila Anda menjawab ‘Ya’ untuk pertanyaan tadi, cobalah Anda telusuri perasaan Anda yang terdalam. Saya berani menjamin, bahwa ketika rasa bosan muncul, Anda sedang berpikir untuk diri Anda sendiri. Anda sedang berpikir mengenai kenikmatan dan keuntungan Anda sendiri. Itulah yang membuat Anda merasa jenuh dan bosan.

Lain kali kalau perasan bosan itu muncul, cobalah Anda merenung dalam-dalam bahwa sesungguhnya Anda berada di dunia ini untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Renungkan dan resapilah dalam-dalam. Anda akan merasakan hal yang ajaib.

Seketika itu juga rasa malas, jenuh dan bosan akan pergi jauh-jauh dari diri kita. Kita sedang mengalahkan kejenuhan fisik kita dengan kekuatan spiritual, dan Anda akan benarbenar merasakan bahwa kekuatan spiritual itu jauh lebih ampuh, jauh lebih tinggi daripada apapun juga di dunia ini. Hal ini semakin mengukuhkan kenyataan bahwa manusia sesungguhnya bukanlah makhluk fisik melainkan makhluk spiritual.


Oleh Arvan Pradiansyah

Baca selengkapnya...

Selasa, 09 Agustus 2011

Demokrasi Di Kursi Goyang

Seorang jenderal polisi senior bercerita, ia pernah ditanya dalam sebuah seminar oleh ibu-ibu setengah baya. Kata si Ibu, pusing melihat Indonesia sekarang ini, seperti tidak aman dan tidak te­­nang.

Bagaimana caranya polisi bisa membantu membuat warga lebih tenang dan merasa nyaman?

Begitu kurang lebih pertanyaan si ibu yang dikutip sang Jenderal. Maka dijawablah pertanyaan itu dengan santai. “Ibu tak usah baca surat kabar dan matikan televisi seminggu saja. Maka Ibu akan merasa tenang dan tenteram,” kata Jenderal polisi itu.

Tanpa bermaksud menempatkan media di kursi terdakwa, saya senang dan mencoba memahami ide cerita Jenderal polisi tersebut.

Intinya, di tengah arus utama demokrasi, di mana media menjadi pemain utama yang tengah asyik menjalankan kebebasannya, para “aktor demokrasi” di negeri ini memiliki medium dalam menjalankan perannya melalui media, sehingga dampaknya Indonesia begitu noisy, gaduh bukan main. Saban hari ada saja cerita yang membuat kita tidak semakin paham, tetapi semakin bingung atas sebuah untaian peristiwa. Sekadar contoh adalah kisah Om Nazaruddin.

Namun, satu hal, Anda jangan bicara dampaknya ke ekonomi atau bisnis, seperti pada akhir dasawarsa 1990-an silam, ketika kegaduhan demokrasi berkorelasi langsung dengan kerapuhan ekonomi.

Justru saat ini, kegaduhan demokrasi dan kerapuhan politik tak membuat ekonomi menjadi sontoloyo. Tampaknya, pelaku ekonomi dan bisnis sudah mulai sadar dan makin mampu membaca tanda-tanda jaman: biarkan demokrasi dan politik gaduh, ekonomi jalan sendiri.

“Semakin jelas adanya decoupling antara politik dan ekonomi kita,” kata seorang ekonom.

Betul. Perceraian politik dengan ekonomi memang kian nyata. Bahkan kini perceraian antara ekonomi-bisnis dengan kebijakan pemerintah pun semakin jelas pula.

Maka istilah autopilot menjadi sering terdengar, karena pelaku bisnis makin merasa bahwa tanpa kebijakan pemerintah pun ekonomi jalan, meskipun jalan hanya sekadarnya.

Dengan kebijakan yang baik, seharusnya ekonomi jalan lebih kencang lagi dan tidak tersumbat oleh ketidaklincahan birokrasi.

Contoh yang nyata adalah berita baik akhir-akhir ini, di mana banyak perusahaan di Indonesia ternyata mampu membukukan ke­­naikan laba bersih secara spek­takuler, di atas 20% dibandingkan tahun lalu.

Sektor perbankan rata-rata mampu mengantongi pertumbuhan laba di atas 23%, dan sektor properti bahkan di atas 30%. Intinya, kita sedang dalam momentum yang sangat baik, di tengah redupnya ekonomi Amerika dan Eropa.

Yang lebih mencengangkan adalah sektor otomotif. Anda tentu tahu, meski sempat terpukul oleh dampak tsunami Jepang Maret lalu, penjualan mobil di Indonesia ternyata pulih lebih cepat.

Juli lalu bahkan tercatat 88.000 lebih unit mobil terjual. Ini adalah rekor baru sepanjang sejarah Republik ini. Itu pun belum mengal­kulasi penjualan selama pameran Indonesia International Motor Show di Kemayoran, yang dilapor­kan berhasil mencatat transaksi pen­­jualan sebanyak 11.585 unit mobil.

Akan tetapi sayangnya, kita selalu dice­koki dengan kabar kemacetan jalanan di berbagai kota. Gemilang bisnis otomotif dituding sebagai salah satu biang keladi kemacetan, terutama di Jakarta.

Tentu, tudingan itu sangat mudah diperdebatkan dari berbagai sudut pandang. Menurut kalangan pelaku bisnis, jumlah pajak yang disetor industri otomotif nasional mencapai Rp88 triliun setahun.

Namun, dari jumlah itu tak banyak yang kembali kepada pembangunan infrastruktur khususnya jalan raya. “Kurang dari 10% saja,” kata seorang pelaku industri otomotif papan atas di Indonesia.

Tentu ini fakta yang mengejutkan, meski sebenarnya bukan sama sekali baru.

***

Infrastruktur adalah soal klasik yang terus dibincangkan. Presiden pernah bilang, pembangunan infrastruktur yang disampaikan oleh para menteri dan gubernur yang membantunya “Cuma pepesan kosong”. Tapi saya heran, setelah keluar pernyataan yang katanya teguran keras itu kok sampai sekarang tetap saja sedikit kemajuan dalam pembangunan infrastruktur kita. Bahkan, kesannya, pepesan itu tetap kosong sampai sekarang, nggak juga segera diisi.

Maka, kalau kita bandingkan dengan memori masa lalu, terlihat kontras sekali. Seorang sahabat yang lahir di Padang bilang, jalan lintas Sumatra tak akan pernah terwujud tanpa tekad yang kuat pemerintahan Orde Baru.

Padahal, jalan raya yang membentang dari Utara sampai Selatan Pulau Sumatra, dari Banda Aceh hingga Pelabuhan Bakauheni, Lampung, itu memiliki total panjang jalan lintas Sumatra mencapai lebih dari 2.508 km.

Pada era itu pulalah terbangun jalan tol, terutama di Jawa, sepanjang lebih dari 600 km.

Pemerintah berkeinginan memper­cepat pembangunan jalan tol baru sepanjang 1.600 km pada pe­­riode 2005-2010, tetapi sampai saat ini baru seujung kuku ruas yang direncanakan itu berhasil di bangun.

Masalahnya klasik, kesulitan membebaskan lahan. Padahal, pembiayaan kini lebih mudah, setelah swasta banyak yang berpartisipasi dengan dukungan sejumlah lembaga perbankan termasuk Bank BUMN.

Lantas mengapa tak mampu membebaskan lahan? Di Malaysia, panjang jalan tol sudah jauh melampaui Indonesia. Padahal, negeri itu awalnya belajar dari Jasa Marga. Lalu di China, jalan tol sudah seperti jaring laba-laba, yang didukung jaringan kereta api, pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Maka, ekonomi China terus tumbuh kencang, meski orang banyak yang bilang kini negeri itu menghadapi ancaman kepanasan.

Maka, seorang kawan, jurnalis senior protes keras ketika saya bilang: kita perlu sedikit melakukan koreksi terhadap demokrasi dengan pemimpin yang, harap ditekankan, sedikit otoriter, “tetapi baik”.

Kata “tetapi baik” sengaja saya tebalkan, untuk membedakan dengan pengalaman masa lalu dengan pemimpin otoriter yang dianggap “tidak baik”. Dia bilang, otoriter tetaplah otoriter, dan demokrasi tetaplah yang terbaik.

Tentu saja, saya tidak ingin berdebat soal itu. Terserah saja menggunakan istilah yang Anda suka. Intinya, kita perlu sikap yang firm dan tough, kalau boleh pinjam istilah orang bule sana. Jangan berdalih demi demokrasi lalu lembek seperti kerupuk basah yang tersiram air.

Maka, saya senang ketika seorang ekonom senior, sambil menikmati buka bersama, bilang: “Fokus sajalah dulu pada tujuan-tujuan penting. Kalau memang ingin selesaikan infrastruktur dulu, selesaikanlah. Tak perlu bercabang-cabang dan ingin menyelesaikan segala urusan. Mana yang dianggap terpenting, segerakanlah. Yang tak terlalu penting, tunda sajalah.”

Bagi saya, untuk bisa seperti itu butuh seorang yang otoriter. Tetapi otoriter yang baik: Tidak membunuh rakyat, tidak menipu masyarakat.

Percuma menjadi negara demokrasi yang dipuji-puji negara lain, kalau kita justru tidak mendapatkan banyak manfaat. Lebih percuma lagi, kalau keagung­an demokrasi justru ditunggangi atau menjadi sarana untuk menipu masyarakat yang hidup di negara yang seolah-olah menjalankan etika demokrasi.

***

Ah, saya kok jadi ingat cerita seorang eksekutif BUMN yang je­­bol­an Institut Teknologi Bandung. Katanya, saat ini susah merekrut lulusan perguruan tinggi yang benar-benar kapabel.

Katanya, meski Indeks Prestasi-nya 3,5, tetapi “nggak ada isinya”. Ya, mau bagaimana, wong masuk kuliah saja sudah harus bayar Rp1 miliar, tuturnya sambil menyebut sebuah perguruan tinggi negeri ternama. Karena sudah beli kursi yang mahal, tak beranilah para dosen kasih nilai tak bagus. Nanti diprotes orang tuanya, kata eksekutif ini mengutip dosen perguruan tinggi itu.

Itulah. Perguruan tinggi pun lebih mengedepankan tujuan komersial. Maka, kompetensi lulusannya menjadi urusan nomor dua. Ironisnya, meski anggaran pemerintah untuk pendidikan besar, karena plafon 20% sesuai undang-undang, sekolah justru semakin mahal.

Padahal, generasi terdidik saat inilah yang sebenarnya diharapkan menjadi tulang punggung dalam meluruskan demokrasi di negeri ini. Merekalah yang kita harapkan menjadi tulang punggung membangun kembali peradaban bangsa ini, yang bakal mengemudikan kapal besar bernama Indonesia Raya ini.

Jadi, kalau ceritanya seperti itu, percayalah, untuk sementara ini, negeri kita tak akan ke mana-mana. Ibaratnya, demokrasi kita sedang mencoba duduk dengan benar di kursi goyang. Tapi belum benar-benar bisa duduk, kursi itu terus bergoyang-goyang, sehingga selalu hilang keseimbangan.

Karena itu, banyak muncul yang aneh-aneh belakangan ini. Ikhlaskan saja mendengar Om Nazaruddin “menyanyi” setiap hari di televisi. Kita harus siap mendengar ide membubarkan Komite Antikorupsi dari seorang pimpinan parlemen pilihan Anda sendiri.

“Anehnya, yang aneh-aneh seperti itu dibiarkan saja…Tampaknya para pemimpin negara lebih sibuk ngurus partai ketimbang ngurusin rakyatnya…” kata eksekutif BUMN ini berseloroh kepada saya saat berkesempatan ngopi di sebuah kafe hotel di kawasan segitiga emas Jakarta. Ya, dalam hati saya sangat setuju dengan selorohnya.


Oleh Arif Budisusilo, Wartawan Bisnis Indonesia

Baca selengkapnya...