Rabu, 07 Maret 2012

CEPA Tidak Mengulangi Kesalahan ACFTA

Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) akan merumuskan kemitraan ekonomi dengan EU (Uni Eropa), yaitu CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) melalui berbagai tahapan yang intens. Kadin berharap CEPA tidak seperti mengulangi kesalahan penerapan ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement). Sehingga rumusan CEPA harus terlebih dahulu melalui sosialisasi, research,pembahasan dengan semua stakeholders, dan lain sebagainya. “Saat ACFTA diterapkan, ternyata dampak negatifnya yang lebih mengena. Kita harus belajar agar CEPA tidak seperti itu,” Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kepada Business News (29/2).

CEPA adalah skema yang diharapkan bisa meningkatkan perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Eropa. Perjalanan pembentukan CEPA diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 1–2 tahun. Indonesia diharapkan bisa mendapat benefit dari CEPA. Hal yang paling memungkinkan adalah menjadikan Indonesia sebagai basis produksi sejumlah perusahaan otomotif asal Eropa. “Sedari awal EU sudah terbuka agar CEPA bisa berhasil. Kalaupun ada investasi, kita harus mendapat benefit nya. Sebetulnya, investasi itu diperlukan sejauh memberi keuntungan bagi industri dalam negeri.”

Kadin tidak langsung mengatakan bahwa ACFTA seperti harus kembali lagi dari 0 (nol). Tetapi hal yang lebih penting, kesiapan pelaku usaha di dalam negeri sebelum penerapan skema tersebut. Kadin melihat bahwa CEPA harus dibarengi dengan kesiapan industri dalam negeri. Pelaku usaha harus sudah bisa menghitung manfaat dalam skema kerjasama tersebut.

Kadin tidak bisa merumuskan kebijakan hanya sebatas krisis di Eropa yang sedang berlangsung, terutama Yunani. Tetapi secara simultan, Indonesia harus bisa mendorong pelaku usaha dalam negeri lebih dulu siap. “Banyak yang menjadi pekerjaan kita untuk menerapkan CEPA. Sosialisasi juga harus sampai ke daerah-daerah.”

Terkait dengan rencana pemberian insentif untuk green investment, termasuk industri perkebunan kelapa sawit, Kadin belum melihat ada langkah kongkrit dari berbagai pihak. Berdasarkan pengalaman, Kadin yang mewadahi berbagai pelaku usaha tidak bisa lagi mengandalkan proposal. “Kalau kami hanya memasukkan proposal, tidak ada diskusi untuk langkah kongkrit, buang waktu percuma.”

Indonesia, salah satu negara produsen kelapa sawit diminta untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Situasi sekarang, dimana minyak sawit semakin dibutuhkan, EU melihat perlu ada kesinambungan produksi yang berorientasi pada lingkungan. Kebutuhan sawit meningkat dari 45 juta ton pada 2010 menjadi 63 juta ton pada 2015.

Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara produsen terbesar di dunia untuk kelapa sawit. Beberapa perusahaan swasta nasional pernah beberapa kali mendapat kritik pedas atas dampak dari perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan. Melihat hal itu, Kadin ancang-ancang dengan Vision 2050 untuk mengajak semua pelaku usaha yang terlibat di sektor perkebunan kelapa sawit. “Kami buat road map nya bersama Pemerintah, terutama Kementerian Pertanian. Semuanya ikut, tetapi saya melihat dasarnya tetap business to business. Karena pelaku usaha juga tidak bisa jalan sendiri-sendiri.”

Program jangka pendek, Pemerintah dan Kadin sudah mempersiapkan white papers. Implementasinya, yaitu green banking untuk pembiayaan green project termasuk infrastruktur. Semua permasalahan tetap bersandar di pembiayaan. “Kami sangat senang, ternyata BNI (Bank Negara Indonesia) sudah mau ikut dalam pembiayaan. Ini merupakan satu langkah awal yang signifikan untuk pembiayaan green projects.”

Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan bahwa green projects diprioritaskan untuk sektor perkebunan dulu, terutama kelapa sawit. Pemerintah tentunya mau agar green projects bisa diterapkan untuk komoditi lainnya dari sektor perkebunan. “Tetapi nanti lah kami berharap sabar, pelan-pelan. Sementara itu, palm oil dulu,” Rusman mengatakan kepada Business News (29/2).

Tetapi kalau untuk masalah pangan, Pemerintah tentunya harus lebih konsentrasi pada peningkatan produksi. Pemerintah tidak mungkin langsung mengalihkan konsentrasi green projects untuk produk pangan. Karena kapasitas produksi pangan, termasuk beras tidak bisa dibantah, harus mencapai tingkat ketercukupan dulu. “Palm oil ini yang paling kontroversial. Nanti ada road map nya. Tetapi kalau masalah pangan, kita tidak bisa tidak, kecuali mengejar produksi organic maupun non organic. Kalau semuanya sudah cukup, kita akan kejar green projects untuk komoditi lain termasuk coklat, karet, dan lain sebagainya. Perkebunan sudah sangat established dan commercial. Tetapi kalau pertanian untuk pangan, masih menjadi top priority.”


Business News