Senin, 19 Maret 2012

Menyoal Fenomena Kelas Menengah Baru

Prospek perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun ke depan tetap menarik kendati barangkali masih akan dibayang-bayangi oleh perlambatan perekonomian global. Bahkan Indonesia tetap menarik bagi investor meski pemerintah berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi per 1 April 2012.

Dalam jangka pendek kenaikan harga BBM memang akan memberikan guncangan bagi perekonomian, tapi bila pemerintah dan Bank Indonesia melakukan upaya untuk menjaga inflasi, maka Indonesia tetap menjadi negara yang disukai investor. Itulah pernyataan menarik yang disampaikan oleh ekonom senior ASEAN research UBS, Edward Teather, di Jakarta belum lama ini.

Sebagaimana diketahui, Menteri ESDM Jero Wacik, Senin pekan lalu (5/3) mengatakan, pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi (Premium) sebesar Rp1.500 menjadi Rp6.000 per liter. Untuk kenaikan tersebut Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan inflasi langsung sekitar 0,93%, ditambah inflasi tidak langsung, maka kenaikan inflasi akan berada pada kisaran 2,5-3%. Sementara BI menargetkan inflasi 2012 ada pada level 3,5-5,5%.

Perubahan harga BBM adalah berita bagus untuk jangka panjang karena bila harga BBM terlalu murah, masyarakat akan mengonsumsi terlalu banyak bensin. Ini artinya Indonesia harus mengimpor lebih banyak minyak padahal lebih baik memperbesar belanja modal dalam jangka panjang.

Kalangan analis dan ekonom melihat selama ini investor lebih banyak berinvestasi di Cina karena untuk melakukan bisnis di Indonesia membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan di Cina karena Cina memiliki upah buruh yang rendah, infrastruktur yang lengkap dan produktif.

Bila investor diminta memilih antara insentif pajak atau penyediaan infrastruktur untuk berinvestasi di suatu negara, maka investor akan memilih infrastruktur sebagai insentif untuk melakukan bisnis. Namun para analis dan ekonom berharap agar BI memberikan sinyal bahwa kenaikan inflasi akibat meningkatnya harga BBM bersubsidi hanyalah kondisi sementara.

Yang menarik, para analis dan ekonom malah menuding pemerintah terlalu ambisius dengan memasang target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,5%. Pasalnya ekonomi beberapa negara mitra utama Indonesia saat ini mulai melambat akibat ketidakstabilan ekonomi dunia. Sebagai contoh, Cina telah mengumumkan secara resmi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi hanya 7,5% setelah mampu tumbuh 10,4 tahun 2010 dan 9,5% tahun 2011.

Para analis dan ekonom memprediksikan bahwa tahun ini ekonomi Indonesia masih akan tumbuh cukup kuat dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Namun, target pemerintah yang merevisi pertumbuhan ekonomi dari 6,7% ke 6,5% dalam rancangan APBN-P 2012 dinilai agak optimistis.

Mereka pada umumnya memprediksi tahun ini Indonesia berpotensi tumbuh 6%. Ini pertumbuhan yang relatif cukup bagus, karena akan ada sedikit perlambatan secara global. Salah satu penyebabnya adalah kinerja ekspor yang akan melambat karena melemahnya permintaan global.

Namun, mereka optimistis perlambatan ekspor dapat dikompensasi oleh konsumsi domestik yang akan tetap kuat seiring peningkatan investasi riil yang berpotensi menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan per kapita. Rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia terus meningkat, artinya ada lebih banyak modal yang mengalir ke sini dan para pekerjanya. Ini sangat baik untuk mendorong pertumbuhan.

Investasi dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) bukan hanya mengarah ke India dan Cina sebagai negara emerging terbesar, tetapi juga ke Asean, terutama Indonesia. Mereka optimistis meski pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi, namun arus FDI akan tetap tinggi terutama di sektor-sektor utama seperti otomotif dan permesinan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan ditopang oleh pertambahan jumlah masyarakat kelas menengah yang bertambah 8-9 juta per tahun. Itulah pernyataan resmi yang disamapikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Pertambahan kelas menengah terbukti mendongkrak konsumsi dalam negeri yang selanjutnya menjaga pertumbuhan ekonomi di level 6,5% pada 2011. Rupanya inilah yang mendasari optimisme pemerintah terkait dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Konsumsi diketahui menyumbang 70% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi sejumlah negara bergerak negatif akibat dampak krisis finansial di kawasan Eropa. Saat kondisi ekonomi global tidak menggembirakan, Indonesia justru tumbuh dengan baik, yakni 6,5%.

Daya beli meningkat. Lalu NTP (Nilai Tukar Petani) yang menjadi salah satu ukuran juga naik. Demikian pula indeks kepercayaan konsumen. Singkat kata, bakal tetap ada permintaan yang luar biasa dari kelas menengah baru ini.

Sementara itu Bank Dunia menyebutkan, 56,5% dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah, dengan nilai belanja USD2-USD20 per hari. Artinya, saat ini ada sekitar 134 juta warga kelas menengah di Indonesia. Inilah yang menjadi penggerak perekonomian sehingga masih berpeluang tumbuh setidaknya di atas 6% tahun ini. Hanya saja, dengan adanya kenaikan BBM bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) hampir secara bersamaan, pemerintah harus menyiapkan program khusus untuk menjaga agar daya beli masyarakat tidak anjlok.

Untuk kelompok miskin, program bantuan langsung tunai (BLT) dan sejenisnya masih memungkinkan dijalankan kembali dengan pemantauan yang lebih ketat di lapangan agar aliran bantuan tepat menuju sasarannya.


Business News