Jumat, 28 September 2012

Sopan-santun Saat Memotret, Apa Itu?

Memotret merupakan kegiatan yang menyenangkan. Anda akan memperoleh kepuasan bila gambar yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Nah, untuk memperoleh kepuasan tersebut, pada dasarnya ada sopan santun yang sudah menjadi semacam hukum tidak tertulis selama bertahun-tahun. 

Sopan santun ini mengacu pada etika tata krama pada umumnya, namun sering dilupakan karena 'saking bernafsunya' memotret. Apa itu? 

1. Patuhi peraturan setempat. Bila ada larangan tertulis untuk tidak mengambil gambar, ada baiknya mematuhi. Sebab, larangan itu biasanya terkait dengan kerahasiaan atau keamanan seseorang/lembaga seperti institusi militer. Bila tidak ada larangan tertulis namun diberitahu petugas bahwa dilarang memotret di tempat itu, tidak perlu ngotot. Masih banyak hal lain yang bisa diabadikan bukan? 

2. Saat memotret seseorang yang belum dikenal, tidak harus langsung jepret. Perlu meminta izin dulu karena tidak semua orang suka dipotret. Anda juga perlu menjelaskan tujuan memotret untuk keperluan pribadi ataukah komersial. Buat subjek foto Anda senyaman mungkin untuk difoto dengan diajak berkomunikasi. Sehingga hasil foto terlihat luwes dan tidak canggung. 

3. Pada sebuah acara, ikuti arahan panitia dengan seksama. Kalaupun ada petunjuk yang keberatan, usahakan dinegosiasikan dengan baik. Biasanya, kasus ini sering terjadi saat panitia belum terbiasa memahami kebutuhan fotografi secara utuh seperti penempatan tempat yang buruk untuk fotografer. 

4. Saat hendak memotret agenda yang kira-kira akan didatangi banyak fotografer, datanglah lebih cepat untuk memperoleh posisi terbaik. Jangan menutupi juru potret yang sudah berada di posisi siap siaga, apalagi nyelonong di depannya. 

5. Bila waktunya cukup lama dan ketika memperoleh posisi yang bagus, berikan kesempatan fotografer lain memotret dari spot tersebut. 5 hingga 10 frame sudah cukup membuatnya senang dan Anda dapat kembali ke posisi itu setelahnya tanpa perlu dianggap arogan. Sebab, pada dasarnya setiap fotografer mempunyai hak sama memperoleh gambar. Perilaku yang santun sesama fotografer akan membentuk rasa persaudaraan yang kuat. 

6. Pada pemotretan yang memerlukan setting tertentu dan dilakukan beramai-ramai, jangan mengganti set tanpa permisi terlebih dahulu kepada yang lain. 

7. Saat memotret agenda religius ataupun adat/ritual, tidak perlu bertingkah over acting ataupun bolak-balik bergeser posisi seperti setrikaan. Cukup sekali-dua kali bergeser posisi guna menjaga ritual berjalan khidmat. Jangan terlihat grasa-grusu dan membuat peserta ritual ilfill melihat tingkah laku fotografer. 

Dengan membawa diri sesopan mungkin dan tepat pada ukurannya, Anda sebagai fotografer akan dihormati. Pandai-pandai menempatkan diri, posisi dan bersosialisasi menjadi bekal sukses seorang fotografer.  


Kompas

Baca selengkapnya...

Senin, 24 September 2012

Menyogoklah dengan kejujuran

Mungkin Anda pernah dengar, ada seorang sopir taksi begitu gemetar ketika menemukan sekantung berlian senilai sekitar Rp2 miliar yang ditinggalkan secara tak sengaja oleh penumpangnya. 

Anda barangkali akan mengira, di tengah lunturnya nilai-nilai etika dan moral yang banyak dikeluhkan akhir-akhir ini, si sopir akan menyimpan barang itu sebagai rejeki nomplok. 

Dalam realitas kehidupan, mungkin komentar seperti ini yang akan muncul: "Ah, bego [bodoh] amat kalau dikembalikan." "Hari gini," begitu kita-kira, "Kapan lagi bisa dapat duit sebanyak itu tanpa harus capek kerja, atau jadi menantu orang kaya." 

Itulah probabilitas yang barangkali kerap terdengar dalam pembicaraan di sudut-sudut warung kopi pinggir jalan. Toh, banyak alasan yang bisa dibuat, jika penumpangnyma mencari kantung berlian itu. Misalnya saja, si supir bisa berdalih kantung berlian diambil penumpang lain yang dilayani berikutnya. Dan tahukah Anda, pengemudi taksi itu mengembalikan kantung berlian tersebut. 

Kebetulan ia bekerja di Blue Bird, operator taksi terbesar di Indonesia, yang kini mengelola lebih dari 25.000 armada, dengan lebih dari 28.000 sopir. Kini bisnis Blue Bird terus bertumbuh dengan pesat. Bahkan manajemen mengaku kewalahan untuk merekrut tenaga kerja yang kompeten karena pesatnya pertumbuhan bisnis yang tidak seiring dengan ketersediaan tenaga kerja yang mumpuni. 

Seperti dikisahkan Noni Purnomo, salah satu arsitek inovasi dan "otak perubahan" dalam manajemen Blue Bird, satu nilai dasar yang menjadi pondasi sukses perusahaan itu adalah Kejujuran. Di Blue Bird, kisah sekantung berlian itu hanyalah sepenggal cerita yang bisa jadi memperkuat keyakinan pelangganannya, bahwa perusahaan itu mempekerjakan profesional, yang benar-benar jujur. 

Sedikitnya 800 item barang yang tertinggal di taksi setiap bulan dalam berbagai bentuk, entah telepon genggam atau yang lain, dikembalikan sang pengemudi kepada penumpangnya. Maka, Jaya Suprana pernah menganugerahkan rekor Muri kepada operator taksi itu untuk rekor jumlah barang yang dikembalikan. 

Dalam budaya organisasi, nilai dasar yang dipegang individu-individu anggota organisasi, akan membentuk agregat nilai perusahaan yang disebut sebagai budaya perusahaan. Maka dalam industri jasa angkutan seperti taksi, hal itu tidak hanya termanifestasikan ke dalam kejujuran sang sopir dalam mengembalikan barang penumpang yang tertinggal, tetapi juga tercermin dalam seberapa akurat argometer mobil taksi yang dipasang oleh perusahaan. Ilustrasinya sederhana saja. Jika Anda naik taksi, tetapi argometer atau alat ukur ongkos taksi bergerak terlalu cepat dalam menghitung nilai rupiah yang harus dibayar, Anda tentu akan komplain besar. "Kok pakai "argo kuda" sih?" Begitu kira-kira. Dan cerita tentang argo kuda, sebagai olok-olok untuk sopir taksi --atau operator taksi-- yang memanipulasi mesin penghitung ongkos itu, beberapa tahun lalu kerap terdengar. 

Taksi argo kuda pun kini telah tiada, dan terpaksa mati-matian berusaha memoles citra, karena ditinggalkan pelanggannya. Intinya jelas, kejujuran memiliki korelasi kuat dengan kelangsungan bisnis jangka panjang. 

Saya ingat pesan ibu ketika minta doa restu hendak mencari pekerjaan begitu lepas kuliah sekitar tahun 1992 silam. "Mas, kowe [kamu] kerja apa saja silahkan. Yang penting jujur." Kakek saya serupa meski tak sama. "Mas, kamu jangan sekali-kali mencari pekerjaan dengan membayar [menyogok]." Begitu kurang lebih pesan yang terngiang sampai sekarang. Kakek saya benar. 

Apabila mencari kerja saja sudah nyogok, hampir dapat dipastikan akan sulit bekerja dengan jujur. Saya memaknainya dengan lebih jauh lagi: ada hak orang terhadap pekerjaan yang seharusnya didapatkan, tetapi diambil orang lain dengan cara paksa lewat mekanisme "sogokan". 

Anda tentu tahu, di musim rekrutmen pegawai negeri seperti bulan-bulan ini, mekanisme sogok-menyogok atau prinsip "orang terdekat" bukan "orang terbaik" masih [atau bahkan makin] marak terjadi. Maka, bagi yang menyogok untuk mendapatkan pekerjaan, kurang lebih telah menghilangkan kesempatan orang lain mendapatkan pekerjaan, alias menafkahi keluarganya seumur hidup. Itu sama saja dengan merampas kemakmuran orang lain! 

Itu filosofi moral, yang barangkali terdengar aneh bagi kebanyakan orang sekarang. Repotnya, perilaku menghalalkan segala cara tidak hanya merasuki jiwa individu, tetapi juga banyak organisasi. Ini tidak hanya organisasi bisnis, tetapi juga organisasi politik; bahkan yang mengklaim sebagai organsasi keagamaan. 

Maka, tidak heran jika "daftar tunggu" para tersangka di KPK atau komisi antikorupsi begitu panjang. Ada pejabat pemerintah yang sedang menunggu menjadi tertuduh kasus korupsi, atau pejabat partai politik yang diadili karena menjadi mafia proyek. Lalu ada lagi anggota DPR yang menjadi bandar anggaran, dan ada pula pelaku bisnis yang menjadi calon terdakwa. Sayangnya, itulah potret negeri ini. 

Kita belum sepenuhnya menjadi bangsa yang jujur. Padahal nilai kunci (key values) jujur, kerja keras dan disiplin, telah mengantarkan sukses tak hanyma korporasi tetapi juga negara. Tak perusahaan yang sudah tercatat di lantai bursa tetapi juga perusahaan keluarga. 

Di era modern sekarang, nilai dasar semacam itu banyak disebut sebagai prinsip good governance. Jiwanya adalah transparan dan akuntabel; patuh pada regulasi dan pajak, serta memiliki kepedulian dan tanggungjawab sosial yang tinggi.

Seandainya governance yang baik bisa menjadi gerakan nyata, saya percaya bangsa ini akan jauh lebih makmur dibandingkan dengan tingkat kemakmuran yang selalu dibangga-banggakan sekarang. Sebab masih banyak, dengan memakai analogi sopir taksi tadi, yang "tidak mengembalikan kantung berlian" kepada pemilik aslinya, atau bahkan "mengambil kantung berlian" milik orang lain secara sengaja. 

Masih banyak praktik sogok dan suap untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, proyek bisnis, yang pada gilirannya hanya mempertebal kantung segelintir orang yang punya jabatan atau otoritas yang mengambil keputusan atau membuat aturan. Itulah yang sesungguhnya mengancam "sustainabilitas" kita. Tentu tidak ada resep yang bisa menjadi penyembuh dengan cepat. Tetapi jika berkenan meresapi nasihat penggiat ekonomi syariah, Adiwarman A. Karim, barangkali ada manfaatnya. 

Izinkan saya mengutip tiga nasihat Karim sebagai pegangan profesional, birokrat ataupun pebisnis yang ingin sukses tanpa khawatir dicokok KPK. Pertama, keluarkan hal-hal yang buruk/ haram (jujur) dari kehidupan kita; lalu isi hidup dengan hal-hal yang baik alias proper dan ikuti aturan (cerdas), serta hiasi hidup dengan yang indah-indah (hubungan baik, jiwa besar, peduli). 

Kedengarannya puitis memang. Tetapi nasihat itu aplicable alias sangat bisa diterapkan jika Anda ingin berhasil, termasuk dalam menjalankan bisnis. Intinya, jujur saja tidak cukup, tetapi juga perlu lebih cerdas dan berhubungan secara baik dengan relasi kita. 

Maka seperti contoh kisah Blue Bird dan banyak perusahaan yang menjalankan filosofi itu, hasilnya Anda tidak hanya sukses "doing business", tetapi yang lebih penting adalah sukses "doing good business" yang berkesinambungan. Jadi, bolehlah Anda menyogok, tetapi sogoklah dengan kejujuran, kecerdasan, dan hubungan baik. Bukan dengan uang. Bagaimana menurut Anda? 


Arief Budisusilo

Baca selengkapnya...

Minggu, 23 September 2012

MENTERI AGUS, MENTERI DAHLAN, DAN MENTERI GITA

Apa persamaan ketiga menteri ini? Pertama, kelihatannya ketiga Menteri yang terhormat ini tidak punya kepentingan politik, paling tidak mereka tidak ngaku-ngaku anggota partai politik tertentu. Persamaan lainnya, ketiganya tidak pernah masuk birokrasi pemerintahan, kecuali Agus Martowardoyo, mantan Direktur Utama Bank Mandiri yang mayoritas dimiliki pemerintah Indonesia. Kedua, dari pemberitaan media, ketiga menteri ini paling moncer kinerjanya. Paling tidak kalau diukur dari pemberitaan, jarang mereka kena isu negatif, baik kinerja maupun perilaku menyimpang seperti tersangkut isu korupsi. 

Menteri Dahlan paling nyeleneh, bersih-bersih toilet airport, membuka pintu tol supaya kendaraan yang antri bisa masuk dengan cepat, tanpa harus bayar. Beliau pun ikut menjual kartu E-Toll Bank Mandiri, seakan menyindir si bos Bank kurang giat menjual dan mempromosikan kartu Toll tersebut. 

Menteri Agus lebih dari nyeleneh. Beliau ngotot membeli saham Newmont untuk pemerintah, membawa perkaranya ke Mahkamah Agung, dan menyatakan akan mundur kalau kalah dan tidak berhasil membeli saham tersebut. Pak Agus terakhir menggebrak meja karena kesal dengan para anggota MPR yang terhormat karena tidak selesai-selesai menyetujui asumsi RAPBN 2013, pembicaraan anggaran menjadi bertele-tele sementara diskusi substansi menjadi terhambat. 

Sebaliknya Pak Gita, jauh dari nyeleneh, malah sangat santun. Tapi beliau waktu menjadi Kepala BKPM sangat rajin promosi peluang usaha investasi di Indonesia, sampai-sampai bikin iklan yang tidak kalah bagusnya dengan iklan pariwisata Malaysia. 

Tetapi persamaan yang paling penting, ma­sing-masing punya sikap nothing to lose. Para menteri ini seakan tidak perduli, mau dipecat atau tidak, mereka jalankan saja tugasnya walau harus berlawanan dengan kehendak para partner legislatif, malah kadang-kadang menantang sikap para anggota legislatif yang dipandang tidak elok. 

Ini mungkin merupakan hasil tempaan me­reka selama bertahun-tahun. Pak Dahlan dan Pak Gita, dua-duanya pengusaha. Mereka terbiasa melakukan rencana kerja di awal periode, membuat kisi-kisi batasan kinerja, menaati rambu-rambu aturan bisnis, baik internal maupun eksternal. Mereka berdua berhasil membangun bisnisnya dengan sukses tanpa rente, Pak Dahlan dengan bisnis medianya, Pak Gita dengan bisnis keuangan. 

Pak Agus, merupakan figur paling konservatif dari menteri lainnya, pasalnya seorang banker pada dasarnya risk averse, menghindar risiko, karena bank pada intinya memberikan kredit pada usaha yang paling rendah risikonya. Jadi, kelakuannya sebagai Menteri seharusnya sudah menghitung semua risiko, termasuk di hujat dan di pecat. 

Pak Agus, Pak Dahlan, dan Pak Gita menjadi bukti nyata yang merubuhkan dogma bahwa Menteri non politik tidak akan efektif kinerjanya karena tidak mempunyai pondasi dukungan partai di lembaga legislatif. Walau mereka pilihan Presiden SBY, dan mendapat suara di parlemen dalam setiap debat ang­garan, Partai Demokrat tetap bukan pemilik suara mayoritas di parlemen yang cukup untuk mengaman­kan suara pemerintah di parlemen. 

Intinya bukan disitu. Para Menteri ini jelas bisa efektif karena setiap langkah mereka dapat diperkuat dengan argumentasi yang logis dan masuk akal, sama sekali jauh dari bisik-bisik dibelakang layar. Apalagi me­reka punya sikap nothing to lose, jabatan Menteri jauh dari usaha mencari harta, karena pendapatan mereka di sektor swasta jauh dari pada gaji Menteri plus fasilitasnya. Mereka berhenti menjadi Menteri, kapan saja me­reka bisa mencari nafkah lebih besar di sektor swasta. 

Kalau Wakil Presiden Boediono, dalam pidatonya di Universitas Gajah Mada baru-baru ini, me­ngatakan jabatan publik di pemerintahan adalah pe­ngabdian, bukan untuk mencari harta, maka ketiga Menteri ini bisa menjadi acuan. Mereka ini bekerja semata untuk pengabdian, memberikan sumbangan kepada negara, mencari pahala untuk rakyat. Dari contoh ketiga Menteri ini, seharusnya Presiden SBY cepat mengganti para Menterinya de­ngan kriteria yang tidak jauh dari ketiga Menteri ini. Apalagi sebentar lagi Menteri-Menteri titipan partai politik akan sibuk berkampanye untuk Pemilu 2014. Presiden seharusnya ikut terbawa dengan sikap no­thing to lose.  


Businessnews

Baca selengkapnya...

Minggu, 02 September 2012

Belum ke Palembang, jika belum melintasi Jembatan Ampera

Anda pernah berkunjung ke Palembang, Sumatera Selatan? Terasa kurang sempurna bila tidak menginjakkan kaki di jembatan kebanggaan warga setempat, yakni Jembatan Ampera. Bahkan, ada yang berceloteh, “Belum ke Palembang, jika belum menapaki Jembatan Ampera.”

Celotehan itu bukan isapan jempol belaka. Sebab, Anda bisa melihat antero kota dari atas jembatan itu, mulai dari gedung-gedung yang berdiri megah hingga puluhan ketek atau kapal besar yang bersandar menunggu penumpang dan barang yang akan di bawa ke pulau lain. 

Jembatan Ampera menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Bila melihat ke arah utara (Seberang Ilir), Anda akan menyaksikan peninggalan bersejarah Kota Palembang, seperti Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) dan Mesjid Agung Palembang. Sebaliknya, bila menoleh kea rah selatan (Seberang Ulu), Anda akan melihat bangunan megah Gelora Sriwijaya, Jakabaring, yakni stadion kebanggaan warga Sumatera Selatan. 

Terlepas dari itu, jembatan ini juga merupakan bukti sejarah perjuangan masyarakat setempat dalam memperjuangkan harga diri Indonesia dari tangan penjajah. Sebelum ada jembatan ini, masyarakat yang ingin pergi ke ulu atau sebaliknya, cukup kerepotan karena harus menyeberang sungai dengan ketek. Nama ketek merupakan perahu bermotor khas Palembang. Dalam bahasa Indonesia, ketek lebih dikenal ‘getek’. Namun, orang Palembang lebih mengenalnya sebagai sebutan ketek. 

Adanya Jembatan Ampera itu memudahkan masyarakat sekitar untuk mendukung kegiatan sehari-hari, baik untuk belanja maupun bekerja. Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palemvbang melalui pembangunan jembatan sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, pada 1906. Pada 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha merealisasikannya, saat jabatan Wali Kota Pelembang dijabat Le Cocq de Ville. Akan tetapi, proyek itu tidak pernah terealisasi sampai masa jabatan Le Cocq berakhir. Bahkan, hingga Belanda hengkang dari Indonesia. 

Seperti dikutip dari Wikipedia.org, gagasan itu kembali mencuat pada masa kemerdekaan. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu. Awalnya, jembatan itu dinamai Jambatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasnya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat, sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp. 30.000. 

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/ Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Soekarno yang menjabat sebagai presiden saat itu menyetujui usulan pembangunan jembatan. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir – yang berarti posisinya di pusat kota – lalu Bung Karno mengajukan syarat, seperti penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Setelah itu dilakukanlah penunjukkan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar US$4,5 juta (kurs saat itu, US$1 = Rp. 200). 

Pembangunan jembatan ini dimulai pada April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana rampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan ini juga menggunakan tenaga ahli dari Negara tersebut. Pada awalnya, jembatan ini dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejumlah sejarahwan, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. 

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada 1966, nama jembatan itupun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), ketika gerakan anti Soekarno sangat kuat. Sekitar 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Akan tetapi, usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.


Herdiyan

Baca selengkapnya...