Kamis, 05 September 2013

Kera dan Ikan

Pada suatu masa hiduplah 2 makhluk bersahabat, seekor kera dan seekor ikan. Sang kera hidup di atas sebatang pohon yang tumbuh di pinggir sungai, tempat hidup si ikan. Mereka sering meluangkan waktu untuk ngobrol dan bertukar pikiran bersama-sama. Sungguh persahabatan yang indah. 

Hingga pada suatu saat, kera melihat sesuatu di kejauhan. Ya! Banjir bandang di hulu sungai dan siap segera menerjang ke tempat yang lebih rendah! Tempat tinggal kera dan ikan! 

Segera sang kera melompat ke bawah, memanggil sang ikan seraya bekata, “Hoi ikan!! Dimana kau?” “Aku di sini kera”, jawab sang ikan. “Cepat kemari… Banjir bandang melanda dari hulu sungai sana. Cepatlah kau ikut aku. Biar kuselamatkan kau. Akan kuamankan kau bersamaku di puncak dahan tertinggi pohon ini”. 

“Tapi kera…” Jawab sang ikan… “Sudahlah!! Tak ada waktu untuk berdebat! Yang penting kau aman,” tegas sang kera tanpa menunggu penjelasan ikan. 

Tak lama, banjir bandang mendera semua benda di permukaan rendah di seputar sungai satu jam lamanya. Sampai akhirnya banjir surut. Selama itu pula kera memeluk erat ikan sahabatnya. 

Setelah reda, sang kera melompat kembali ke bawah, hendak mengembalikan sang ikan ke sungai. “Hai ikan, bangun!” serunya. Tapi ikan tetap diam, "Ikan… Ikan… bangunlah! Banjir bandang sudah berlalu. “IKAN!!!… IKAN!!” Kera berseru keras. 

Tersadarlah ia bahwa… Ikan telah mati. Mati akibat pelukannya. Manalah ada ikan biasa yang bisa hidup di luar air? Tapi kera tak memberi kesempatan sang ikan menjelaskan. Dengan cara pandangnya sendiri, ia hendak menyelamatkan ikan. Namun bukannya selamat, malah sang ikan malah mati kekeringan. 

Seringkali dalam kehidupan ini kita gegabah menentukan sesuatu yang terbaik bagi orang lain. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk orang lain. Mencoba menolong orang lain jika dilakukan dengan cara yang salah justru bisa menghancurkan orang yang kita tolong.

Baca selengkapnya...

Minggu, 01 September 2013

5 Tips Menghadapi Krisis Keuangan

Guna menghadapi segala kemungkinan dari situasi ekonomi yang kurang menggembirakan, kita perlu menata ulang keuangan kita. Jangan sampai kita kesulitan saat krisi terjadi. Berikut tipsnya: 

1 . Jangan putus asa. Jangan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri dan jangan meragukan diri sendiri. Ekonomi satu negara selalu bersiklus dan siklus ini akan berubah. Jika Anda terlibat dalam mencari pekerjaan, teruslah mencari. Jika Anda khawatir tentang pekerjaan Anda, tempatkan kekhawatiran ke belakang pikiran Anda dan fokus pada pekerjaan terbaik yang dapat Anda lakukan . 

2. Shift Tabungan. Salah satu penyakit jangka panjang ekonomi seperti AS adalah sangat rendahnya tingkat tabungan nasional. Kita harus belajar dari kisah Yusuf dan mimpi Firaun, pada saat paceklik terpenting adalah memiliki surplus untuk menjaga saat jatuh kembali. 

3 . Lunasi Utang. Sejauh yang Anda bisa, lunasi hutang untuk melindungi kredit Anda, tetapi dengan segala cara, lakukan hal yang strategis . Lunasi utang berbunga tinggi seperti kartu kredit . Banyak orang berpikir yang terbaik adalah untuk mempercepat pembayaran hipotek, tetapi tidak masuk akal untuk mempercepat melunasi utang yang berbunga rendah, utang pajak dikurangkan jika Anda memiliki jenis utang lain. 

4. Gunakan situasi saat ini sebagai kesempatan untuk mempertajam keterampilan atau untuk menjelajahi daerah baru. Misalnya pikirkan soal pendidikan profesional, baik untuk maju ke tingkat keterampilan yang lebih tinggi untuk pergeseran ke siklus yang positif. Jangan tinggal diam. Carilah kesempatan untuk menjadi sukarelawan, misalnya. Sebab banyak lembaga non-profit menghadapi pemotongan anggaran, waktu dan energi. Anda dapat membantu mereka mengatasi tantangan mereka . 

5. Tinjau anggaran Anda. Namun, melakukannya secara judicially. Selalu ada beberapa cara untuk mengurangi pengeluaran. Terutama pada apa yang disebut daerah marjinal – a.l. langganan majalah yang Anda sering sisihkan tapi tidak dibaca, saluran ekstra seperti televise berbayar di mana Anda ternyata tidak mengaksesnya, situs web langganan Anda, tetapi Anda tidak mengunjunginya. Memeriksa kembali semua yang Anda miliki di daftar tagihan abadi. Namun, jangan lupa kewajiban Anda untuk beramal. Ingat selalu ada seseorang yang tidak kaya seperti Anda . 


Sumber : bisnis.com

Baca selengkapnya...

Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengapa Manusia Melihat Cahaya Terang Saat Mendekati Kematian?

Orang yang mengalami mati suri atau mendekati kematian sering kali melaporkan bahwa dirinya melihat cahaya terang. Ilmuwan terus bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi. Benarkah cahaya terang itu terkait hal-hal di luar nalar? 

Dalam studi terbaru, seperti diberitakan BBC, Selasa (13/8/2013), ilmuwan mengungkapkan bahwa cahaya terang yang dilihat saat mendekati kematian mungkin saja dipicu oleh lonjakan aktivitas elektrik pada zona otak yang bertanggung jawab untuk penglihatan. 

"Banyak orang mengira otak tidak aktif atau ada dalam aktivitas rendah (hipoaktif) setelah seseorang dinyatakan meninggal secara medis. Kami menunjukkan jika bukan hal tersebut yang terjadi," ujar Dr Jimo Borjigin dari University of Michigan yang menjadi penulis utama studi ini. 

"Justru, maka otak menjadi lebih aktif saat menjelang kematian daripada ketika seseorang masih hidup," tambah Borjigin yang memublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. 

Borjigin dan rekannya memonitor aktivitas otak sembilan ekor tikus yang sekarat. Tiga puluh detik setelah jantung berhenti berdetak, gelombang otak frekuensi tinggi yang disebut osilasi gamma ternyata melonjak. 

Gelombang tersebut adalah salah satu dari fitur saraf yang diduga mendukung dengan kesadaran pada manusia, terutama saat berperan menggabungkan informasi dari bagian otak yang berbeda. Pada tikus, aktivitas otak ini justru lebih tinggi sesaat setelah jantung berhenti daripada saat sadar. 

Menurut Borjigin, hal yang sama mungkin juga terjadi pada manusia. Peningkatan aktivitas otak dan kesadaran bisa memicu penglihatan-penglihatan saat menjelang kematian atau ketika mengalami mati suri. 

"Ini dapat memberikan kerangka untuk membantu menjelaskan (pengalaman melihat cahaya saat mendekati kematian). Fakta bahwa seseorang melihat cahaya sebelum meninggal mengindikasikan bahwa korteks visual dalam otak memiliki aktivitas yang tinggi," kata Borjigin. 

Menanggapi hasil riset ini, Jason Braithwaite dari University of Birmingham berpendapat bahwa fenomena ini semacam "perayaan terakhir" yang dilakukan oleh otak. Temuan ini mendemonstrasikan pendapat yang diyakini sejak lama, yakni dalam kondisi tak biasa, aktivitas otak bisa melonjak. 

Dr Chris Chambers dari Cardiff University menyatakan, masih sangat sedikit yang diketahui tentang kematian pada manusia. Temuan menarik ini dapat membuka pintu untuk studi lebih jauh pada manusia sendiri. 

"Namun kita juga harus sangat berhati-hati sebelum menarik kesimpulan tentang pengalaman mendekati kematian pada manusia. Perlu dilakukan pengukuran aktivitas otak pada tikus selama proses jantungnya berhenti berdetak untuk mengetahui hubungan dengan pengalaman pada manusia," tambahnya. 


Dyah Arum Narwastu

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Agustus 2013

Pelajaran Berharga Dibalik Mengantri

Seorang guru di Australia pernah berkata,“Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai MATEMATIKA. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai MENGANTRI."

Sewaktu ditanya,“Mengapa? Inilah jawabannya, 

1. Karena hanya perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk melatih anak bisa matematika. Sementara perlu waktu 12 tahun atau lebih untuk melatih anak agar bisa mengantri dengan baik dan benar. 

2. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika, kecuali TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari siswa yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak. 

Memang ada pelajaran berharga dari MENGANTRI? Ya ! Banyak sekali pelajaran berharganya, yakni : 

1. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, harus datang lebih awal dan itu butuh persiapan lebih awal; 

2. Anak belajar bersabar. Menunggu giliran tiba, terutama jika ia di antrian paling belakang; 

3. Anak belajar menghormati hak orang lain. Yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu dan tidak merasa dirinya yang paling penting; 

4. Anak belajar berdisiplin. Aturan mengantri adalah tidak menyerobot dan itu berarti tidak mengambil hak orang lain; 

5. Anak belajar kreatif. Untuk mengatasi kebosanan saat mengantri merangsang berpikir untuk melakukan suatu aktivitas (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri); 

6. Anak bisa belajar bersosialisasi. Menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian; 

7. Anak belajar tabah. Menjalani proses dalam mencapai tujuannya, sehingga tidak melegalkan cara-cara kotor dalam mencapai tujuan.

Baca selengkapnya...

Rabu, 21 Agustus 2013

Three Differences Between Managers and Leaders

A young manager accosted me the other day. "I've been reading all about leadership, have implemented several ideas, and think I'm doing a good job at leading my team. How will I know when I've crossed over from being a manager to a leader?" he wanted to know. 

I didn't have a ready answer and it's a complicated issue, so we decided to talk the next day. I thought long and hard, and came up with three tests that will help you decide if you've made the shift from managing people to leading them. 

Counting value vs Creating value. You're probably counting value, not adding it, if you're managing people. Only managers count value; some even reduce value by disabling those who add value. If a diamond cutter is asked to report every 15 minutes how many stones he has cut, by distracting him, his boss is subtracting value. 

By contrast, leaders focuses on creating value, saying: "I'd like you to handle A while I deal with B." He or she generates value over and above that which the team creates, and is as much a value-creator as his or her followers are. Leading by example and leading by enabling people are the hallmarks of action-based leadership. 

Circles of influence vs Circles of power. Just as managers have subordinates and leaders have followers, managers create circles of power while leaders create circles of influence. 

The quickest way to figure out which of the two you're doing is to count the number of people outside your reporting hierarchy who come to you for advice. The more that do, the more likely it is that you are perceived to be a leader. 

Leading people vs Managing work. Management consists of controlling a group or a set of entities to accomplish a goal. Leadership refers to an individual's ability to influence, motivate, and enable others to contribute toward organizational success. Influence and inspiration separate leaders from managers, not power and control. 

In India, M.K. Gandhi inspired millions of people to fight for their rights, and he walked shoulder to shoulder with them so India could achieve independence in 1947. His vision became everyone's dream and ensured that the country's push for independence was unstoppable. The world needs leaders like him who can think beyond problems, have a vision, and inspire people to convert challenges into opportunities, a step at a time. 

I encouraged my colleague to put this theory to the test by inviting his team-mates for chats. When they stop discussing the tasks at hand — and talk about vision, purpose, and aspirations instead, that's when you will know you have become a leader. 

Agree? 


by Vineet Nayar

Baca selengkapnya...

Minggu, 18 Agustus 2013

Merdeka Dari Korupsi

Selalu ada kebanggaan yang datang menyelinap setiap merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah 68 tahun kita rayakan ini, pasti bukanlah harga yang murah. Bahkan di setiap tarikan napasnya, ada jejak pengorbanan, yang setiap saat pula mampu membangkitkan detak-detak nasionalisme. Tetapi sesungguhnya, arti kemerdekaan ini tidak hanya bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga memuat cita-cita luhur untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negeri ini dilahirkan untuk melindungi, mencerdaskan, dan mensejahterakan rakyatnya. 

Nikmat dari kemerdekaan sejatinya adalah adanya penghargaan terhadap hak yang sama bagi setiap warga negara untuk menghirup kebebasan, sekaligus memeroleh jaminan pendidikan, jaminan sosial, dan penghidupan yang layak. Publik juga berhak menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berpolitik tanpa disertai rasa takut. Dan yang tidak kalah pentingnya, negeri ini harus bebas dari korupsi. Korupsi yang telah sedemikian rupa menjajah kita, telah merampas hak-hak bangsa ini untuk sejahtera bersama-sama. 

Sungguh demokrasi yang kita bangun sebagai manisfestasi kemerdekaan, justru melupakan tujuan dasar filosofi yang telah ditanamkan pendiri bangsa ini, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akibatnya ketika keran keterbukaan dibuka lebar, yang terjadi adalah kebebasan yang melupakan kewajiban. Demokrasi dipahami sebatas prosedural untuk memburu kekuasaan dan kekayaan. 

Soal nilai inilah yang kita lupa. Kita tidak mengembangkan kultur dan etika demokrasi, karena kita hanya cenderung mengubah undang-undang, struktur, dan lembaga. Akibatnya bukan kultur yang membaik, tetapi justru budaya korupsi yang beranakpinak. Sungguh ironis, demokrasi yang dibangun untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan memberikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat negeri ini, justru melahirkan koruptor-koruptor yang datang silih berganti. 

Perayaan kemerdekaan ini semestinya memang tidak sekadar membangun nasionalisme, tetapi juga peneguhan tekad bersama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan tidak terus menerus merusak diri sendiri. Berhentilah korupsi. Karena korupsilah yang membuat Indonesia semakin miskin. Dan Indonesia tidak sepenuhnya merdeka jika korupsi belum benar-benar tumpas. Sungguh akan sangat membanggakan jika melihat negeri ini merdeka dari korupsi, dan kemerdekaan yang kita peringati ini membawa semua rakyat Indonesia sejahtera. 


smartfm jakarta

Baca selengkapnya...

Selasa, 13 Agustus 2013

Make Your Team More Creative

Throughout my career, I’ve heard many managers complain about the need for their teams to be more creative and to demonstrate innovative approaches. The conversations usually moved quickly to the topic of deficiencies of team members and what to do to get them to be more innovative. 

It wasn’t until I worked for someone who was amazing at fueling creativity throughout his team that I realized the root of the problem (and it’s one that managers who don’t have innovative teams generally ignore): It’s not the team’s behavior that’s the issue; it’s how the manager behaves that stifles creativity and innovation. 

With that in mind, if you’re challenged with a team charged with being more innovative in how it approaches business, look to yourself and work on these 15 items to improve your own performance first! 

1. Learn each team members’ distinctive talents – the areas (work-related or not) where someone best displays incredible performance and creates tremendous energy. People tend to be most naturally creative in these areas, even if the skills themselves wouldn’t typically be considered “creative.” 

2. Allow individuals to use their distinctive talents to contribute to business efforts, regardless of how the talents are tied to the job position they fill. 

3. Treat business like a game where you’re clearly the cheerleader for your team and not the referee. 

4. Provide training for your team on tools they can use to improve their creativity. 

5. When introducing a project, spend 90% of your time describing the intended goal and only 10% on how you expect it will be accomplished. 

6. Don’t answer all the questions your team may have. Instead, ask them questions right back so they’re thinking creatively and strategically. 

7. Give them more rope than they expect. Point out to them just how much rope they really have. 

8. Figure out the likely solution to a project and listen for when your team is on the right path, so you can provide lots of encouragement. That way, they have ownership of the ideas being developed. 

9. Always start a brainstorming session with a clear objective and a list of solid, probing questions. Better yet, have someone other than you facilitate the session to allow the maximum freedom to contribute creatively. 

10. Have a “Plagiarism Friday” where people bring in great ideas from outside your business category and ask them to share what makes the ideas innovative and creative. (And yes, I “borrowed” this idea.) 

11. Listen to new ideas before you start talking or even thinking about what you’re going to say. 

12. Make team members sell their new ideas and recommendations to you, and then let them sell these ideas to your boss too. 

13. Resolve to accept ideas and answers that work but are different from what you originally envisioned. 

14. Give the team members more than full credit for any successes the group has. 

15. When a team member makes a mistake, direct their focus to recovery (i.e., making things right for the external or internal customers) and to figuring out what can be learned to improve in the future. 

If you’re legitimately doing these things consistently and predictably over time, you’ll be amazed at how creative your same team becomes. 


by Mike Brown

Baca selengkapnya...

Sabtu, 10 Agustus 2013

Menjadi Ayah yang Sebenarnya

Ronny, 12 tahun, baru saja lulus sekolah dasar. Ia ingin sekali bercerita tentang sesuatu, tetapi bukan pada ibunya. Ia pun mencari pamannya, adik dari ibunya. Ronny bukan tidak punya ayah, tapi belakangan ayahnya jarang pulang dan sudah hidup lama terpisah dengan keluarganya. 

Ternyata, Ronny hanya sekadar ingin curhat tentang cewek yang lagi ditaksirnya. Mungkin dia risau karena setelah lulus sekolah dasar mereka tidak akan lagi bersama karena akan melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pilihannya masing-masing. 

Tapi, sang Ibu gusar ketika mengetahui anak sulungnya itu memilih bercerita kepada pamannya ketimbang dirinya. Fenomena apa ini? 

Menurut psikolog Tika Bisono, Ronny tengah tumbuh dan butuh sosok ayah untuk bercerita apapun tentang masalah-masalah pria. “Ronny menganggap hanya pria lah yang bisa diajak bicara soal lelaki. Sekali pun ada ibu, dia tetap membutuhkan pria, walaupun akhirnya dia mau membagi curahan hatinya pada pamannya. 

Sosok ayah memang penting berperan dalam diri seorang anak terutama yang sedang tumbuh dan berkembang,” ujarnya. Tika mengatakan seiring dengan kehidupan modern yang membuat manusia makin sibuk, banyak anak mengalami perasaan seperti Ronny, tidak merasa memiliki ayah karena ayahnya terlampau sibuk di luar. Jika pun ayah ada di rumah, mereka tidak sempat bermain atau berkomunikasi. “Padahal anak, selalu ingin mengikuti gaya ayahnya sebagai tokoh panutan,” sambung Tika. 

Ungkapan senada dilontarkan Irwan Rinaldi, seorang pendamping Fathering Skill dan sudah mendedikasikan pilihan hidupnya untuk mensosialisasikan peran ayah atau fathering. Menurut dia, peran ayah dibutuhkan manakala anak mencari jati diri. “Biasanya ayah dijadikan hero oleh anak lelakinya,” tegas dia. Melalui Sahabat Ayah, Irwan bersama Bendri Jaisyurrahman dan Yully Purwanti berupaya mensosialisasikan ‘keayahan’ yang dilakukannya setiap waktu, baik di dalam maupun luar kota, bahkan sampai ke luar negeri di berbagai komunitas ayah. 

Namun, kata Irwan, persoalan keayahan menjadi lintas segmen. Artinya, ini tidak mengenal kaya atau miskin, berpendidikan ataupun tidak. “Peran ayah demikian besar dalam membina watak anak sejak usia dini,” katanya. 

Bagian Ayah 

Berdasarkan sebuah penelitian, peran ayah sangat penting dalam membangun kecerdasan emosional anak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga, sekaligus pengambil keputusan utama dalam keluarga memiliki posisi penting mendidik anak. 

Seorang anak dibimbing ayah yang peduli, perhatian dan menjaga komunikasi akan cenderung berkembang menjadi anak lebih mandiri, kuat, dan memiliki pengendalian emosional baik dibandingkan anak yang tidak memiliki ayah seperti itu. 

Hal ini bukan berarti mengabaikan peran sama yang dimiliki oleh seorang ibu. Secara natural biasanya seorang ibu akan terlibat aktif dalam membesarkan anaknya, sedangkan seorang ayah belum tentu mengambil peran yang sama. 

Dalam masyarakat kita, disadari atau tidak ada semacam perbedaan antara peran ayah dan ibu. Sering kali seorang ayah dipersepsi cukup baik jika telah bertanggung jawab untuk pemenuhan urusan keuangan keluarga. Adapun urusan -pengasuhan dan pendidikan anak lebih banyak dipegang oleh seorang ibu. 

Secara umum tugas-tugas tadi dianggap sebagai kewajiban alami seorang ibu. Sedangkan ayah, cukup melakukannya sesekali dan itu pun kalau dia punya waktu di tengah kesibukan pekerjaannya. Tak jarang seorang ayah yang kelelahan dan tertekan di -pekerjaan malah membawa kemarahan dan ketidaknyamanan bagi anak-anaknya di rumah. 

Anak yang ingin mengajak bermain dianggap mengganggu istirahat, anak yang ingin dekat secara emosional dianggap terlalu manja, atau anak yang bertanya dijawab seadanya sehingga akhirnya akan timbul jarak antara seorang ayah dengan anaknya. 

Kampanye 

Yully Purwanti, Public Relations PT Mitra Adiperkasa, merasa terpanggil untuk mengampanyekan peran ayah. Di luar tugasnya sebagai sorang humas, ia keliling bersama dua rekannya Iwan Rinaldi dan Bendri Jaisyurrahman aktif mendekatkan diri ke berbagai komunitas. 

Ketiganya bahkan sempat ikut workshop tentang keayahan di Singapura. Irwan juga aktif menerbitkan buku-buku yang erat kaitannya dengan peran ayah di keluarga. Menurut Yully, beragam yang bisa dilakukan ayah untuk mempererat hubugan keluarga. Misalnya ayah dapat memberikan stimulasi keingintahuan anak. 

“Bantulah anak untuk berpikir tidak biasa (out of the box) dalam mengerjakan tugas sekolah atau non sekolah lebih kreatif dan menarik,” ungkapnya. Sebagai orang tua, ungkap dia, jangan terlalu mengatur kehidupan mereka. Orang tua sebaiknya mengajak anak berimajinasi dan membatasi waktu menonton televisi karena media tersebut dapat membatasi perkembangan imajinasi. 

“Ajaklah anak-anak lebih banyak membaca. Misalnya dengan melakukan kegiatan membaca bersama keluarga,” tutur Yully yang senang membaca buku-buku perkembangan anak ini. 

Selain itu, perhatikan passion mereka. Minat yang kuat, datang dari hati pada suatu aktivitas atau hobi. “Orang tua tentu tahu bahwa ada banyak bentuk passion, tapi bagi seorang anak, passion umumnya hadir dalam bentuk kecintaan pada hobi tertentu saja seperti olah raga, permainan atau aktivitas,” katanya. 

Sementara orang tua, kata Yully, belum bisa menduga atau menentukan apa yang menjadi passion anak. Maka, tugas orang tua menemukannya dengan memberikan kesempatan beraktivitas bersama. Yully menambahkan bahwa anak juga perlu dukungan. Anak-anak membutuhkan dukungam ayah dan ibu. 

Namun, sering kali mereka takut untuk meminta. Dalam kondisi ini, tugas orangtua menjelaskan bahwa sekecil apapun mampu membuat perbedaan yang sangat besar pada kehidupan seseorang. “Contohkan kepada anak-anak untuk memberikan dukungan pada orang-orang di sekitarnya,” ujarnya. 

Terakhir agar orangtua bisa lebih dekat dengan anak adalah mengucapkan kata maaf. Mengatakan kata maaf memang tidak mudah dilakukan siapapun, khususnya anak-anak. “Sebagai orangtua, tentu dapat mengajarinya meminta maaf dengan memberi contoh,” kata dia. 

 
Sulha Handayani

Baca selengkapnya...

Kamis, 08 Agustus 2013

Apa Itu Cadangan Devisa?

Cadangan devisa ( foreign exchange reserves) adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen dan digunakan untuk menjamin kewajibannya yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan. 

Dalam perkembangan ekonomi nasional Indonesia dikenal dua terminologi cadangan devisa, yaitu official foreign exchange reserve dan country foreign exchange reserve, yang masing-masing mempunyai cakupan yang berbeda. 

Pertama, merupakan cadangan devisa milik negara yang dikelola, diurus, dan ditatausahakan oleh bank sentral. 

Kedua, mencakup seluruh devisa yang dimiliki badan, perorangan, lembaga, terutama lembaga keuangan nasional yang secara moneter merupakan bagian dari kekayaan nasional (Halwani Hendra, 2005). 

Untuk mengukur suatu cadangan devisa dianggap memadai atau tidak, maka dipakai kriteria jumlah besarnya kemampuan cadangan devisa tersebut untuk menutup impor minimal selama 3 bulan. 

Hingga akhir Juni 2013 jumlah cadangan devisa Indonesia nilainya terus menyusut dan sudah mencapai US$ 98,1 miliar, jauh di bawah Mei lalu yang sebesar US$ 105,2 miliar. 

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Persero Tbk, Ryan Kriyanto, mengungkapkan ada tiga faktor penyebab turunnya cadangan devisa. 

Pertama, untuk pembayaran bunga utang luar negeri pemerintah, kedua pemenuhan kewajiban BUMN untuk pembayaran impor bahan baku, dan ketiga intervensi Bank Indonesia untuk meredam pelemehan nilai tukar. 


Martin Sihombing

Baca selengkapnya...

Selasa, 06 Agustus 2013

Gen Y At Work: Feedback Changes Everything

It’s often said that ”Millennials” (aka Gen Y — those born between the early 1980s and the late 1990s) are entering the workforce with extraordinarily high hopes for a rocket-like career progression. Even if you don’t yet work side-by-side with Gen Y colleagues, you’ve likely heard that is a common characteristic. 

What’s the reason for such high expectations? Some trend-spotters say it’s the result of constant positive reinforcement that Millennials have received at home and school, even when they’ve failed. In the workplace, this translates into an expectation that every action should be rewarded — or at the very least, it merits a comment. 

However, today’s work environment is also a factor. Gen Y is joining the job market at a time when global economies have been shrinking and stagnating for years. The prospect of landing a well-paid, high-flying job is increasingly slim. And banks are increasingly reluctant to issue credit for mortgages and other big-ticket purchases. So some might argue that Millennials must aim high in their careers just to reach the standard of living they’ve grown up with. To do that, they seek constant feedback and rewards for their work. 

Knowing that these motivations may be driving younger members of your organization, how can you help them grow and develop? Consider three ideas: 

1) Help Gen Y Establish And Achieve Goals — Or Else 

More than any other generation, Gen Y is driven by progress and achievement. This is the “trophy generation,” the first to grow up receiving awards, simply for participation. Workers in this generation need to know exactly what is required of them. And they need to know if their work is on-track. Otherwise, if they under-perform and lose their jobs, new opportunities aren’t easy to find. The lack of available jobs partly explains why there’s an unprecedented rise in the “entrepreneurial spirit” among Millennials — although another factor is the confidence instilled into them at home and at school, as they’ve grown up. 

How should employers handle this? Set concrete goals and benchmarks. Create career plans that show employees where they’re headed, and the key milestones along the way. To stay engaged and willing to give their best, Gen Y workers need to have big goals explained. In fact, wouldn’t we all benefit from that practice? 

2) Recognize That Gen Y Wants “Instant” Everything 

Gen Y is the “text message” generation. Communication is instantaneous. Because they’re always connected, they often don’t understand why managers don’t offer immediate feedback. However, that doesn’t mean they need constant ego-stroking. It means they desire immediate recognition for effort/performance, and likewise, they want immediate feedback if they’re falling behind. How should you respond? 

First: Step up the pace of feedback cycles. Annual and quarterly reviews have been the norm at work, but this practice isn’t particularly effective, and it’s quickly becoming outdated. Gen Y workers certainly value timely praise for a job well done, and regular feedback makes that possible. But regular reviews also provide an opportunity to correct mistakes, while developing skills and knowledge on a more continuous basis. More frequent monitoring and feedback helps avoid or redirect missteps, ensuring that performance quality remains high. 

Second: Encourage formal or informal mentoring relationships — not just for Gen Y, but for any workers who want to participate. Mentoring can augment traditional performance review processes, or replace them altogether. 

Many of us know that formal reviews can be extremely stressful and ineffective. Sometimes, it can even cause antagonism between employees and their bosses. Mentoring can remove much of the pressure associated with formal reviews. And it needn’t take up hours of a manager’s day. Small, frequent, focused interactions can ensure that valuable feedback is absorbed in digestible “bite-sized” nuggets. Sharing ongoing advice and guidance promotes a stronger level of trust between managers and their employees, and helps managers understand more directly with what’s happening among their teams. 

3) Embrace The “Good Guy” In Gen Y 

Millennials tend to focus on the greater good. They’re more community-minded than their Gen X counterparts, and they want to know how their efforts contribute to a larger mission. They’re accustomed to volunteering, and expect employers to treat everyone fairly. If they can’t work for a purpose, they’ll typically find somewhere else to work. 

Socially responsible companies can benefit from a workforce that is inspired to stay when they can chip-in and support the cause. How? It’s wise to connect the dots between employee contributions and your organization’s broader mission. Millennials may become disenchanted about their ability to change the world when they enter the workforce, but that doesn’t necessarily mean they’re disengaged. If employers align the mission and values of their organization with those of employees, they can help fulfill Gen Y’s desire to contribute to the greater good. 

Gen Y: Driving A Healthy Business Evolution 

To attract, develop and retain a productive workforce, employers must adapt to new generations as they enter the business scene. Gen Y brings new expectations that challenge the status quo. But addressing those challenges can strengthen workforce performance — for Gen Y, as well as everyone else in an organization. 

It’s not about the pursuit of unjustified praise, meaningless prizes and undeserved titles. It’s about a clear purpose, continuous learning and professional fulfillment. With changes like this, the future of business looks bright, indeed.  


Written by David Hassell

Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Agustus 2013

Moment of Truth

Di sebuah resto di San Francisco, ada seorang konsultan yang heran melihat keramaian Chinese Restaurant Lie Po. Dia mencoba makan di sana pada sebuah siang yg ramai sekali. 

Pelayan dengan ramah melayaninya dengan bahasa Inggris yang masih saja tidak fasih. Sang konsultan memesan Orange Chicken with rice dan meminta minuman Coke Zero. 

Pelayan berkata, “Maaf, kami kontrak dengan Pepsi dan tidak menjual produk Coca Cola. Apakah dapat kami tawarkan Diet Pepsi?” Sang konsultan menolak dan meminta air putih saja. 

Ketika dia sedang makan, tiba-tiba ada seorang berpakaian rapi membawa Coke Zero dan es batu dan menaruh di depan pelanggan itu dan berkata sambil tersenyum, “Tadi anda menginginkan Coke Zero kan?” Lalu berlalu. 

Sang konsultan meminum dengan puas dan memanggil pelayan yang tadi melayaninya. Pelayan datang dan tersenyum melihat Coke Zero ada di sana. Pelayan: “Nah sudah ada minuman kesukaan Bapak kan?” Pelanggan: “Tadi katanya tidak ada? Ini kok ada?” 

Pelayan: "Benar, baru saja kami belikan di pasar swalayan seberang.” “Restoran lagi ramai, siapa yang membelikan?” “Manager kami, dia tidak terlalu sibuk di belakang.” 

“Lho, katanya kontrak dengan Pepsi?” “Ya, kalau menjual Coca-Cola tidak boleh, tapi kalau memberi gratis kepada pelanggan, saya kira boleh,” jawabnya sambil tersenyum. 

Memberi pelayanan yang baik adalah hal yang umum dan dilakukan semua perusahaan. Memberikan hal yang lebih, yang tidak terduga bisa menjadi kunci sukses di jaman ini. Ciptakan “Moment of Truth”, yang memberikan impresi luar biasa, yang akan selalu diingat oleh pelanggan anda, sehingga dia akan setia pada perusahaan anda dan merekomendasikan produk anda kepada orang lain. 

Moment of Truth tidak hanya berlaku pada pelangan penjualan saja. Hal yang sama berlalu untuk sebuah kepemimpinan, teamwork ataupun dalam kehidupan sosial kita. Melakukan hal lebih yang menyentuh adalah kesempatan kita unttk diingat, dicinta, dihormati dan diikuti oleh orang lain.

Baca selengkapnya...

Senin, 13 Mei 2013

IMPLIKASI PENERAPAN BRANCHLESS BANKING DI INDONESIA

Bank Indonesia (BI) meluncurkan pedoman untuk layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking), yang akan dilakukan proyek uji coba (pilot project) dari Mei-November 2013. 

Pedoman tersebut molor sekitar satu bulan dari yang direncanakan terbit pada Maret 2013. Pedoman Umum Uji Coba Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan Terbatas Melalui Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) tersebut mengatur seluruh aktivitas yang dapat dilakukan perbankan dan perusahaan telekomunikasi (telko). Dalam branchless banking itu ada bank-led (dipimpin bank), telco-led (dipimpin telko), dan hybrid. Jadi BI membuka kemungkinan ketiganya dilaksanakan selama masa uji coba ini. Untuk model hybrid, pelaksanaannya didukung oleh sinergi yang lebih mendalam antara bank dan telko. 

Pelaksanaan proyek uji coba tersebut dilakukan secara terbatas di 8 provinsi yang dapat dipilih oleh bank. Kedelapan provinsi tersebut yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan pemilihan lokasi oleh setiap bank paling banyak di 2 provinsi dan untuk setiap provinsi paling banyak hanya 3 kecamatan. 

UPLK atau populernya disebut banking agent harus terdaftar di bank yang menjadi mitranya dan masuk dalam data BI. Sebab itu, para banking agent, yang dapat berbentuk individual maupun badan usaha, bertanggung jawab kepada bank mitranya. Adapun bank terkait wajib bertanggung jawab kepada BI. Namun, banking agent sebenarnya merupakan bisnis sampingan, sehingga pihak yang diperbolehkan adalah pihak yang telah memiliki bisnis utama minimal selama dua tahun. Maka dari itu, untuk sementara atau selama uji coba telah diperbolehkan untuk layanan penyimpanan (deposit) uang di banking agent. Namun, layanan tersebut baru boleh dilakukan oleh petugas bank yang akan rutin mendatangi para agen yang menjadi mitranya. Kenapa demikian, karena penyimpanan dana seperti ini dinilai terlalu berisiko, sehingga untuk masa ujicoba ini para agen hanya boleh untuk melayani keperluan pembayaran dahulu. Dalam masa ujicoba juga menjadi sarana bagi BI untuk melihat dahulu mana agen yang cocok. 

Berdasarkan komunikasi dan interaksi yang telah dilakukan selama ini, konon sudah ada beberapa bank yang berminat untuk terjun ke branchless banking. Dalam hal ini bank harus mengajukan permohonan izin tersebut dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dapat direvisi pada pertengahan tahun ini. 

Mengutip pedoman uji coba branchless banking, dikatakan bahwa tidak ada sanksi yang akan dikenakan selama masa uji coba branchless banking. Namun, BI dapat mengentikan proyek uji coba sebelum batas waktu pelaksanaan berakhir apabila bank dan telko tidak memenuhi hal-hal yang dicantumkan dalam pedoman umum, atau adanya kondisi tertentu yang menurut penilaian bank sentral dapat meningkatkan risiko bank dan telko serta merugikan masyarakat. 

Sehubungan dengan pengentian proyek uji coba ini, bank dan telko tetap wajib menyelesaikan kewajiban kepada nasabah dan pihak yang terkait dalam uji coba tersebut. Untuk bisa ikut dalam uji coba branchless banking, bank dan perusahaan telekomunikasi wajib memenuhi beberapa persyaratan, baik dari sisi kinerja dan aspek keuangan, kelembagaan dan administratif, serta kesiapan infrastruktur. Dari sisi manajemen risiko ada persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk bank antara lain: pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi serta satuan kerja level manajemen terkait lainnya; kecukupan kebijakan dan prosedur; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan sistem pengendalian intern. 

Sementara untuk perusahaan telekomunikasi, manajemen risiko harus mencakup aspek mempunyai mekanisme pemenuhan kewajiban sebagai penyelenggara e-money; mempunyai mekanisme failure to settle dalam hal penerbit mengalami gagal bayar; menggunakan proven technology; dan penerapan mitigasi risiko yang bersumber dari unit perantara layanan keuangan (UPLK). 

Adapun untuk produk yang dapat digunakan dalam proyek uji coba ini yakni, produk e-money untuk perusahaan telekomunikasi. Sementara untuk bank antara lain produk tabungan yang bebas biaya administrasi dan diberikan bunga, pun produk dan aktivitas e-banking dan penyaluran kredit mikro. 

Dari sisi BI meyakini bahwa masyarakat bisa mendapatkan akses perbankan dengan biaya yang lebih murah melalui layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking) tadi. Demikian pula biaya investasi yang dikeluarkan perbankan akan lebih murah ketimbang harus membuka kantor cabang. Sebagai perumpamaan, selama ini seorang warga di suatu desa kalau mau ke bank harus menggunakan angkutan umum dengan tarif Rp 5.000. Tapi, dengan branchless banking mungkin hanya mengeluarkan biaya Rp 1.000 atau bahkan gratis kalau pakai fasilitas pesan pendek (SMS). 

Sebelum dan selama masa uji coba hendaknya bank dan perusahaan telco yang menjadi peserta uji coba branchless banking harus memberikan edukasi kepada para agen mitra (banking agent) maupun nasabah. Layanan yang notabene masih baru tersebut harus benar-benar dipahami oleh masyarakat. Tidak cukup bank dan perusahaan telco hanya membagi brosur saja, namun tetap harus kegiatan edukasi insentif, sehingga masyarakat dan agen memahami yang mereka lakukan serta tugas dan kewajibannya. 

Diakui, persoalan branchless banking memang terkait dengan pola pemikiran dan kebiasaan perilaku masyarakat. Hingga kini, masih banyak masyarakat Indonesia, apalagi yang unbankable merasa belum ke bank jika tidak mendatangi kantor cabang bank. Sebab itu, perlu diyakinkan bahwa teknologi bisa membuat layanan perbankan menjadi praktis. Diyakini edukasi yang baik merupakan power of repetition sehingga akan diulang-ulang oleh masyarakat. Jadi, bank dan telko jangan lelah melakukan kegiatan edukasi ke publik agar tertanam mengenai proses branchless banking. Tak kalah pentingnya adalah BI berharap pihak perbankan dan perusahaan telko wajib menjaga sisi perlindungan konsumen untuk penerapan proyek uji coba branchless banking. 

Kelak, keberhasilan uji coba ini akan diperluas dan dinasionalisasi melalui kick off secara masif sehingga tujuan akhirnya berupa peningkatan akses masyarakat ke lembaga perbankan (access to banking industry) dapat terpenuhi. Ini sekaligus dapat memenuhi target dari program financial inclusion yang sudah tiga tahun terakhir ini dikampanyekan oleh pemerintah bersama dengan BI. 

Apabila tingkat literasi atau pemahaman masyarakat sudah meningkat, maka fungsi intermeasi oleh perbankan akan bergerak lebih cepat lagi karena penghimpunan dana menjadi lebih agresif, demikian pula dengan penyaluran kreditnya. Ujung-ujungnya peran perbankan dalam kegiatan perekonomian akan semakin efektif. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi juga akan lebih merata karena jangkauan layanan perbankan dan kegiatan sektor riil semakin menyebar, tidak lagi terkonsentrasi di daerah-daerah dengan kondisi overbanked. 

Dengan adanya branchless banking, maka daerah-daerah tertutup dan terisolir sehingga masuk kategori underbanked akan semakin ramai dengan kegiatan ekonomi dan perbankan. Dari sinilah pertumbuhan ekonomi akan semakin menyebar dan merata. 


Business News

Baca selengkapnya...

Senin, 06 Mei 2013

Cegah Faktur Pajak Fiktif, Penomorannya Diatur Ulang

Siang itu, Agus, bukan nama sebenarnya, duduk termenung. Tatapan matanya kosong menerawang menembus jendela kantornya. Beberapa kali terlihat dia menghela napas, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya. Teringat di benaknya suppliernya yang kabur beberapa bulan lalu, menyisakan cicilan yang harus dilunasinya hingga beberapa bulan. Alangkah terkejutnya Agus ketika pagi itu dia menerima secarik surat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaannya terdaftar. Setelah berkonsultasi dengan Account Representative-nya, Agus mendapatkan penjelasan yang mencengangkan: suppliernya ternyata penerbit faktur pajak fiktif, dan telah dihukum pidana! 

Surat tersebut menyatakan bahwa pengkreditan pajak masukan yang telah dilakukannya dengan faktur pajak yang diterbitkan oleh suppliernya tidak dapat dibenarkan. Selain harus mengembalikan uang Negara yang terlanjur direstitusikan, Agus juga diwajibkan membayar denda 100% dari nilai pajaknya. Artinya, Agus menanggung dua kerugian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut oleh suppliernya dinyatakan tidak sah, sehingga dia harus menyetor ulang PPN, serta jumlah denda yang mencapai 100%. Hal inilah yang membuatnya dia resah siang itu. 

PPN pada dasarnya dikenakan pada setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP), mulai pembelian bahan baku hingga penjualan. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dibebankan pada penjual yang disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual menerbitkan faktur pajak, disebut sebagai Pajak Keluaran (PK), dan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM). PKP akan menyetorkan PPN dari PK-nya sekaligus merestitusikan PM-nya. Dengan mekanisme ini, pajak yang dipungut oleh Negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dalam Undang-Undang Nomor 42/2009 tentang PPN, pada pasal 16F dinyatakan bahwa pembeli BKP dan penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak jika tidak bisa menunjukkan bukti pajak telah dibayar. Dengan adanya tanggung jawab renteng ini, penerbit maupun pengguna faktur pajak harus berhati-hati dalam setiap transaksinya. 

Tindak pidana perpajakan dalam penerbitan faktur pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 39A, terkait penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau penerbitan faktur pajak oleh pihak yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Pada kasus di atas, supplier dinyatakan bersalah karena menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, sedangkan perusahaan milik Agus dinyatakan bersalah karena menggunakan faktur pajak tersebut dalam pengkreditan PM-nya. Inilah yang dimaksud dengan mekanisme tanggung renteng sebagaimana diatur dalam UU PPN. 

Situasi di atas terjadi, ketika semua perusahaan dapat dengan mudahnya menerbitkan faktur pajak. Sering ditemui faktur pajak tidak hanya diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun juga diterbitkan oleh Wajib Pajak yang non PKP. Bahkan ada kasus dimana perusahaan atau individu yang belum terdaftar (belum ber-NPWP) turut menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh non-PKP atau bahwa non-Wajib Pajak, inilah yang dinamakan faktur pajak fiktif. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, faktur pajak juga dilabeli sebagai fiktif. Sebagai contoh, toko pakaian menerbitkan faktur pajak atas transaksi penjualan bahan bangunan, yang mana tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. 

Akibat penerbitan faktur pajak fiktif, tidak hanya Negara yang dirugikan akibat restitusi pajak, namun juga banyak “Agus” lain, sebagai pengguna faktur pajak, yang turut terkena dampaknya. Sebagai contoh, salah satu kasus faktur fiktif yang diungkap oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Timur, mengakibatkan negara dirugikan sedikitnya Rp 7 miliar (Kompas, 9 November 2012). Dengan kerugian sebesar itu, dapat dipastikan para pengguna faktur pajak harus mengganti kerugian Negara sebesar 2 (dua) kali lipatnya (PPN + denda 100%). 

Mengatasi hal tersebut, DJP telah melakukan beberapa pembenahan terkait sistem administrasi PPN. Upaya pertama yang dilakukan DJP adalah penertiban terhadap PKP. Pada tahun 2012 lalu, seluruh KPP diharuskan melakukan pendaftaran ulang PKP dan melakukan verifikasi alamat PKP langsung ke lapangan. Apabila ternyata PKP tersebut tidak ditemukan di alamatnya, atau PKP tersebut sudah tidak melakukan kegiatan usaha, maka status PKPnya langsung dicabut, dan diumumkan melalui Situs Pajak (www.pajak.go.id). Pengumuman ini dimaksudkan agar PKP lainnya tidak bertransaksi dengan menerbitkan faktur pajak kepada PKP yang sudah dicabut ijinnya. 

Kegiatan tersebut membuahkan hasil berupa pencabutan status PKP terhadap lebih dari 300 ribu Wajib Pajak. Upaya ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari sektor PPN di tahun 2012, dari target sebesar Rp 336,1 triliun (APBN-P 2012) terealisasikan sebesar Rp 337,6 triliun. Selain membenahi data PKP, faktur pajakpun dibenahi dan diatur ulang tatacara penomorannya. Terhitung mulai 1 April 2013, penomoran faktur pajak dilakukan secara sentralisasi oleh DJP melalui KPP dimana PKP terdaftar. 

Agar dapat dipastikan hanya PKP patuh yang akan memperoleh nomor seri faktur pajak, DJP mensyaratkan agar sebelum memperoleh nomor seri faktur pajak, PKP diharuskan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password untuk memperoleh nomor seri faktur pajak. Kode aktivasi hanya sekali saja digunakan, yakni pada saat mengaktifkan akun, sedangkan password akan digunakan setiap kali pengambilan nomor seri faktur pajak. PKP yang diperbolehkan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password, hanyalah PKP yang telah melaporkan SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir. Kode aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP sesuai dengan alamat yang ada di database kantor pajak, sedangkan password akan dikirim melalui email PKP bersangkutan. 

Dengan cara tersebut, dipastikan hanya PKP patuh yang jelas keberadaanya akan memperoleh nomor seri faktur pajak yang bersifat unik. Nomor yang dikeluarkan oleh KPP juga bersifat acak, dan tidak perlu digunakan secara berurutan. Hal ini akan mempermudah identifikasi faktur pajak fiktif yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerbitkannya. Hal teknis terkait dengan penomoran faktur pajak yang baru ini dapat dilihat pada PER-24/PJ/2012 dan pembetulannya pada PER-08/PJ/2013. Terhitung mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP diharapkan sudah melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan terbaru tersebut. 


sumber : detikNews

Baca selengkapnya...

Sabtu, 27 April 2013

RENUNGAN UNTUK MANULA (Manusia Lanjut Usia) . . .

Hal-hal yang perlu direnungkan oleh orang-orang yang berusia 60 -70 tahun. 

Diatas gunung ada pohon yang berumur ribuan tahun, didalam dunia sulit menemukan oang yang berusia ratusan tahun. Batas maksimal, kita hanya dapat hidup seratus tahun lebih (itupun hanya ada satu diantara seratus ribu orang). 

Dalam hidup hingga usia 90, itu hanya tinggal 20 tahun lagi. Dapat hidup hingga 80 tahun, itu hanya tinggal 10 tahun lagi. Karena pada hari-hari yang tersisa ini sewaktu-waktu kita dapat jatuh sakit, maka kita harus menyisakan uang yang cukup untuk biaya berobat dan biaya layanan suster. 

Karena hari yang tersisa tidak banyak lagi, apalagi sewaktu kita meninggalkan dunia ini, apapun juga tidak ada yang dapat dibawa, maka kita tidak usah terlalu berhemat. Uang yang harus dikeluarkan keluarkanlah, apa yang dapat dinikmati nikmatilah, jika memiliki niat untuk beramal lakukanlah. 

Hanya satu hal yang jangan dilakukan, yaitu mewariskan harta kita pada anak cucu, karena akan membiasakan mereka menjadi “BENALU”... 

Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan yang akan terjadi setelah kematian. Karena saat kita telah menjadi abu, kita sudah tidak dapat lagi merasakan segala pujian dan kritikan orang lain. Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan anak anak, ”Anak cucu kita mempunyai rejeki mereka sendiri, berhentilah menjadi kuda tunggangan dan sapi perahan bagi anak cucu kita”. Setelah mereka mempunyai anak, biarkanlah mereka mengurus sendiri atau menggunakan uang mereka sendiri untuk mengundang suster guna mengurus anak- anaknya, jangan biarkan mereka merampas lagi Hak kesehatan, Hak istirahat, Hak kesenangan dan Hak liburan orang tua nya. 

Jangan terlalu banyak berharap pada anak anak kita. Anak yang berbakti, mememiliki niat untuk berbakti. Akan tetapi karena pekerjaannya terlalu sibuk, maka tidak akan dapat membantu kita juga. Anak yang tidak berbakti, sewaktu kita masih hidup saja sudah mengharapkan agar kita cepat mati, supaya mereka dapat cepat cepat mewarisi harta kita. Anak-anak beranggapan bahwa jika harta kita diberikan pada mereka itu adalah hal wajar. Tapi uang anak anak bukanlah uang kita, jika kita ingin minta uang itu akan sangatlah sulit. 

Kita yang berusia 70 tahun, jangan lagi menukarkan kesehatan kita dengan benda lain, karena saat ini, belum tentu kita dapat membeli kesehatan dengan harta kita. Mencari uang sampai kapan, sampai berapa banyak (seratus ribu, sejuta, sepuluh juta …....) baru dianggap cukup?. Memiliki sawah puluhan ribu hektar, sehari hanya dapat makan tiga liter saja. Memiliki ribuan buah gedung, untuk tidur dimalam hari hanya membutuhkan tempat dua setengah meter saja. 

Maka cukup makan, cukup uang ya sudahlah. Kita harus menjalani hidup ini dengan gembira, meskipun setiap keluarga mempunyai problem rumah tangga masing masing. Kita jangan lagi berebut nama dan kedudukan dengan orang lain, memikirkan bagaimana masa depan anak cucu kita dan hal lain-lain. Tetapi harus membandingkan dengan orang lain bahwa siapa lebih yang hidupnya lebih gembira, lebih berumur panjang. 

Untuk hal yang tidak mampu kita rubah, janganlah terlalu dicemaskan, karena cemas juga tidak ada gunanya, malah akan menpengaruhi kesehatan diri sendiri. Menciptakan kebahagiaan tergantung pada usaha keras kita sendiri, harus diupayakan untuk mencari kesenangan. Asalkan suasana hati kita bagus, setiap hari dengan mencari kesenangan sendiri, setiap hari kita pasti dapat menjalani hidup ini dengan perasaan gembira. Lewat sehari, berkuranglah sehari, lewat sehari, bergembiralah sehari, bergembira sehari, untunglah sehari. 

Memiliki semangat yang tinggi tidak akan jatuh sakit. 
Memiliki semangat yang tinggi penyakit dapat disembuhkan. 
Memiliki semangat yang tinggi akan cepat sembuh dari sakit. 

Suasana hati yang gembira, olahraga yang cukup, sering terkena sinar matahari, makan jenis makanan yang beragam, menyerap bermacam-macam vitamin dan sedikit elemen logam yang seimbang diharap dapat hidup sehat sampai dua, tiga puluh tahun lagi.

Baca selengkapnya...

Minggu, 07 April 2013

7 Alasan yang Membuat Pengusaha Khawatir dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) rencananya berlangsung mulai Desember 2015. Kalangan pengusaha menilai apabila tidak segera disiapkan, AEC dapat menjadi lonceng kematian bagi industri nasional. 

Demikian disampaikan oleh Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/4/2013) Franky menuturkan ada beberapa alasan, yang membuat industri dalam negeri akan semakin tertekan dengan adanya AEC jika tanpa persiapan matang dari pemerintah. 

Pertama, potensi AEC dan daya saing Indonesia. Dalam ACFTA, Indonesia merasakan manfaat dengan terbukanya potensi akses pasar ke China yang memiliki 1,4 miliar orang, lebih besar dari populasi seluruh negara Eropa. "Sementara dalam AEC, Indonesia berpotensi menjadi pasar besar bagi negara ASEAN lainnya. AEC bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal, di mana Indonesia merupakan pasar terbesar dengan populasi penduduk mencapai 40% dari populasi ASEAN lainnya" jelas Franky. 

Ia menuturkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya mayoritas deficit. Perdagangan Indonesia dengan Brunei Darussalam deficit sebesar US$ 281, 7 juta, Indonesia dengan Malaysia deficit US$ 511,3 juta, Indonesia dengan Singapura deficit US$ 707,9 juta, Indonesia dengan Thailand deficit US$ 721,4 juta, serta Indonesia dengan Vietnam deficit sebesar US$ 157, 5 juta. Neraca perdagangan Indonesia hanya positif dengan empat (4) negara lainnya, masing-masing: dengan Kamboja surplus sebesar US$ 233,9 juta, Indonesia dengan Laos surplus US$ 17,9 juta, dengan Myanmar surplus sebesar US$ 238,6 juta serta dengan Filipina surplus US$ 2448,55 juta. 

Menurutnya daya saing Indonesia juga berada dalam posisi bawah di antara negara ASEAN lainnya. 
Daya saing Indonesia, menurut Indeks Daya Saing Global 2010 berada pada urutan 75. Posisi ini di bawah Singapura yang menduduki posisi ke-2, Malaysia pada posisi 29, Filipina pada posisi 44 dan Vietnam pada posisi 53. Daya saing Indonesia hanya di atas Laos yang berada pada posisi 129 dan Myanmar pada posisi 133. Frany mencatat biaya logistik di Indonesia mencapai porsi 16% dari seluruh biaya produksi dari angka normal sebesar 8-9%. Daya saing logistic Indonesia juga termasuk rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Indonesia hanya menduduki posisi 46 secara global, di bawah Singapura pada posisi 2, Malaysia peringkat 21, Brunei Darusalam peringkat 28 dan Thailand pada peringkat 38. 

Kedua, tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislative (pileg) dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. Dengan fokus pada persoalan-persoalan politik, saya yakin pemerintah tidak akan terfokus untuk menguatkan daya saing industri nasional menghadapi implementasi AEC 2015. Meski pun secara matematis masih ada waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri, jika pemerintah terfokus kepada persoalan politik, waktu tersebut juga tidak akan termanfaatkan. 

Ketiga, pemerintah sampai sekarang belum terlihat serius mempersiapkan daya saing industri nasional menghadapi AEC. Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki kebijakan untuk menghadapo AEC, yaitu: Inpres No 5 Tahun 2008, Inpres No 11 Tahun 2011, dan Rancangan Inpres 2012 tentang peningkatan daya saing nasional menghadapi AEC. Tapi, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum terlihat, sehingga tidak heran seorang Menteri Perindustrian menyatakan kegugupannya di media. Menurutnya kebijakan pemerintah yang ada sekarang justru menurunkan daya saing industri nasional. Pemerintah seperti menjadikan industri tekstil sebagai sapi perah dengan pengenaan biaya bisnis yang cukup tinggi terutama untuk komponen kenaikan tarif dasar listrik, pajak sesuai otonomi daerah dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Franky mencontohkan industri tekstil juga menghadapi persoalan perizinan yang cukup menyulitkan. Terdapat 172 surat yang selalu harus diregistrasi oleh kalangan pengusaha dan rata-rata berujung pengenaan pungutan bagi pengusaha. Misalnya izin usaha yang pada awalnya berlaku untuk seumur hidup, sekarang harus diperbarui setiap 2 tahun. Demikian juga izin gangguan (Izin HO) yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Persoalan tersebut memperparah daya saing industry nasional yang sudah menghadapi kendala infrastruktur minim serta persoalan kebijakan energy yang tidak berpihak kepada ketersediaan pasokan untuk industry nasional. 

Keempat, kalangan industry nasional belum menyadari (aware) terhadap kondisi mengkhawatirkan menjelang pelaksanaan AEC. Belum ada dialog antara pemerintah dan dunia industry mendiskusikan implementasi peningkatan daya saing menghadapi ancaman yang dapat muncul dari implementasi AEC. 

Kelima, produktivitas pekerja Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, menggunakan ukuran perbandingan dengan jam kerja pekerja di Amerika Serikat. Ia menjelaskan produktivitas pekerja Indonesia dibandingkan dengan produktivitas pekerja Amerika Serikat hanya mencapai 36 %. Artinya, jam kerja yang dihabiskan pekerja Indonesia hanya 36% di atas pekerja Amerika. Sementara pekerja Kamboja mencapai 46%, Malaysia mencapai 43%, Thailand 37% dan Singapura 36%. Pekerja Indonesia hanya lebih produktif dibandingkan Filipian 30% dan Vietnam 13%. 

Keenam, negara ASEAN lainnya cukup agresif mengantisipasi serta mempersiapkan diri menghadapi AEC. Strategi mereka adalah menjadikan Indonesia sebagai pasar besar bagi produknya. Beberapa perusahaan Thailand sudah melirik untuk berekspansi ke Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan ritel Central yang akan berinvestasi sebesar US$ 19 juta. Malaysia dan Singapura juga sudah bekerjasama mengelola kawasan Industri di Johor guna menjaring pengusaha untuk berinvestasi dengan pasar ASEAN. Indonesia oleh kedua negara tersebut akan diposisikan sebagai pasar besar. Kecenderungan ekspansi juga dimiliki oleh negara ddi luar ASEAN. Seribu (1000) UKM Jepang sudah berencana merelokasi pabriknya ke Indonesia sehingga menjadi ancaman bagi UKM di Indonesia. Perusahaan China juga memiliki kecenderungan tinggi untuk berekspnasi, di mana investasi China ke luar negeri pada tahun 2012 mencapai US$ 74,7 miliar. 

Ketujuh, terkait potensi investasi Kementrian Perindustrian sudah membaca investor tidak terlalu berminat menanamkan modalnya ke Indonesia karena persoalan daya saing investasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya. Franky menuturkan meski tercatat beberapa potensi investasi masuk, seperti 1000 UKM (usaha kecil menengah) Jepang, tapi potensi investasi yang akan masuk ke negara ASEAN lainnya jauh lebih besar, mengingat beberapa factor daya saing, seperti produktivitas pekerja Indonesia yang masih di bawah Kamboja, Malaysia, Thailand dan Singapura. Selain tentunya persoalan infrastruktur, ketersediaan pasokan energy, serta jaminan hukum dan keamanan.

Indikator Daya Saing Usaha di Indonesia menurut World Bank Group tahun 2011, juga tidak terlalu menggembirakan, dengan perincian sebagai berikut: 
- pada aspek memulai bisnis daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara. 
- pada aspek ijin konstruksi berada di posisi 71 dari 183 negara, 
- pasokan listrik (ketersediaan energy) pada peringkat 161 dari 183 negara, 
- aspek perlindungan investasi posisi 46 dari 183 negara, 
- serta aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129 dari 183 negara. 

"Pemerintah perlu segera mengajak kalangan industri untuk mendiskusikan langkah strategis yang harus diambil guna mendorong daya saing industri nasional agar tidak terlibas oleh masuknya industri negara lain sehingga Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk mereka," katanya. 


Suhendra - detikfinance

Baca selengkapnya...

Sabtu, 06 April 2013

Mengapa Harus Membakar Uang Kertas

Dalam ritual orang Tionghoa, sering kali kita melihat ada tradisi membakar uang kertas. Apakah maknanya? Sejak kapan?
 
Tradisi terkait dengan budaya yang terlebih dulu lahir sebelum adanya agama dan bermakna penghormatan kepada leluhur. Dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, diyakini hanya ada dua alam di semesta ini, yaitu alam langit dan alam manusia. Alam langit dipercaya sebagai tempat para dewa-dewi dimuliakan. Namun, dalam perkembangan peradaban manusia, masuknya Buddhisme membuat hadirnya sebuah konsep baru yaitu alam baka, menjadikan konsep alam memjadi tiga.
 
Bertambahnya kepercayaan tradisional ini membuat masyarakat Tionghoa percaya manusia setelah meninggal akan menuju alam baka. Namun, terdapat pengecualian bagi manusia yang memiliki kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat selama hidupnya. Orang-orang tersebut dipercaya akan berdomisili di alam langit. Alam langit dan alam baka diyakini memiliki pemerintahan sendiri, di mana terjadi juga interaksi layaknya alam manusia. Atas dasar inilah, uanga emas dan perak diciptakan. Uang emas (kim cua) diperuntukan kepada dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukan kepada roh manusia yang gentayangan di alam manusia (hantu).
 
Lalu, mengapa dibakar? Masyarakat Tionghoa percaya dengan keberadaan dewa api yang menjadi penghubung ketiga alam tersebut. Catatan sejarah mencatat pembakaran uang kertas pertama kali dilakukan pada zaman Dinasti Jin (265-420). Kegiatan ini lantas menjadi tradisi umum di zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song.
 
Pembakaran uang kertas sebenarnya menjadi semacam simbolis penghormatan atas leluhur dan dewa-dewi yang dipercaya juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Namun lebih dalam lagi, tradisi ini merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk menghormati leluhur dengan memaaafkan segala kesalahan yang dulu pernah diperbuat semasa hidup. Barang yang dibakar menjadi representasi pembersihan segala hal yang berbau duniawi.
 
Hingga kini, pembakaran uang kertas tetap dilaksanakan sebagian kalangan Tionghoa Indonesia. Namun, pergeseran nilai tidak bisa dihindari seiring perkembangan peradaban manusia yang kian modern. Negara seperti Taiwan, Hong Kong atau Singapura mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jumlah pembakaran kertas dengan memusatkan di kelenteng-kelenteng.
 
 
Sumber : Kompas

Baca selengkapnya...

Kamis, 04 April 2013

DENGAN BERSATU, PEREKONOMIAN INDONESIA BISA TUMBUH LEBIH BAIK

Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, perekonomian Indonesia semakin berkembang pesat. Kondisi itu memberikan fondasi yang kuat bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani negara-negara di dunia. Bukan mustahil Indonesia berubah dari posisi regional power di kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu global power pada tahun 2025. 

Kepada sejumlah pemimpin redaksi saat perjalanan dari Budapest ke Jakarta belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Indonesia kini sudah menjadi regional power dan global player. Posisi global power, bisa dicapai Indonesia pada tahun 2025 dan selambatnya tahun 2045. Untuk itu, Presiden mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan politik agar negeri berpenduduk 240 juta jiwa ini agar tidak kehilangan momentum pembangunan. 

Pernyataan Presiden itu bukan tanpa dasar alasan yang kuat. Belakangan ini, pihak asing semakin tertarik menanamkan modal di Indonesia. Ketertarikan itu dipicu oleh fakta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kurun waktu tahun 2010-2014 sebesar 6,3% hingga 6,8%. Sejumlah analis dan ekonom memprediksi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia menjadi 10 besar negara ekonomi dunia pada tahun 2025. Bahkan, Indonesia bisa menjadi enam besar negara dengan perekonomian terbesar dunia pada tahun 2050. 

Tahun lalu, Morgan Stanley memprediksi Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi dunia. Mereka mengusulkan nama Indonesia masuk dalam BRIC, akronim dari nama empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia. BRIC terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China. Istilah ini dipopulerkan oleh Goldman Sachs Group pada tahun 2001. Morgan Stanley mengusulkan agar BRIC menjadi BRICI dengan huruf “I” terakhir adalah Indonesia. Alasan nama Indonesia masuk karena lembaga investasi itu memperkirakan PDB negara ini bakal mencapai USD800 miliar dalam lima tahun mendatang. 

Di luar aspek ekonomi, yakni di bidang pertahanan, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden SBY juga bertekad untuk menunjukkan kebolehan, tidak hanya dari segi jumlah dan kualitas alat utama sistem persenjataan (alutsista). Indonesia juga bertekad untuk menjadi negara dengan industri pertahanan yang tidak dipandang remeh. Upaya itu terus dilakukan dengan meningkatkan anggaran pertahanan. Pada tahun 2009, anggaran pertahanan Indonesia Rp33,67 triliun yang terus meningkat dan pada tahun 2012 sebesar Rp72,54 triliun, pada tahun 2013 akan menjadi Rp77 triliun. Kekuatan di bidang pertahanan ini ternyata turut memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Pertahanan dan keamanan negara yang semakin kuat dapat menciptakan iklim usaha yang baik akan menjadi stimulus masuknya pemodal asing. Selain itu, jika Indonesia berhasil mengembangkan industri pertahanan, maka itu berarti memberikan pemasukan bagi keuangan negara. 

Tercatat Indonesia sudah memulai kerja sama jangka panjang di bidang pertahanan dengan sejumlah negara. Perusahaan BUMN di sektor strategis, seperti PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia, juga semakin menunjukkan kinerja mereka. PT Pindad, misalnya, kebanjiran order dari negara tetangga Malaysia yang memesan panser Anoa. Belum lagi senjata serbu buatan perusahaan itu yang sudah teruji keandalannya dengan menjadi juara di sejumlah kejuaraan menembak. Dengan fakta-fakta itu, rasanya keinginan Indonesia untuk menjadi kekuatan global pada tahun 2025 tidak sulit terwujud. 

Namun, semua itu bisa dicapai bila seluruh elemen masyarakat, terutama para elite bangsa, memiliki visi yang sama, yakni sepakat menjadikan Indonesia bangsa yang besar. Seluruh elite politik harus bisa bersatu padu untuk menjadi contoh bagi rakyat bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama membangun bangsa yang bermartabat. Para elite harus bergotong royong tanpa pamrih dan tanpa dilandasi kepentingan individu atau kelompok untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. 

Usulan Presiden SBY agar setiap akhir masa jabatan presiden dilakukan serah terima jabatan patut dipertimbangkan. Jabat tangan presiden dan mantan presiden pada serah terima jabatan itu akan memperlihatkan kepada rakyat bahwa tidak ada “dendam politik” di antara elite. Rakyat pun akan tergugah untuk bersama-sama pemimpinnya, meski tidak satu partai atau golongan, bahu-membahu membangun negeri ini. 

Kedamaian dalam konteks iklim investasi yang kondusif menjadi penting diciptakan di negara ini. Isu-isu seputar kudeta hendaknya dapat dikendalikan dengan baik karena isu-isu tadi tetap saja tidak produktif dan bahkan mengganggu ekspektasi dan iklim investasi yang sedang bagus-bagusnya. Isu tersebut pasti tidak baik untuk dunia usaha, dan tak nyaman bagi para investor. Oleh karena itu, kepada mereka yang mengaku sebagai bagian dari kalangan elit dan tokoh masyarakat hendaknya menampilkan sikap dan watak yang damai dan santun. Tidak boleh gegabah mengumbar kalimat-kalimat provokatif yang tidak produktif bagi bangsa ini. Kalau pun mereka tidak suka dengan pemerintahan sekarang ini, tetap mereka harus memberikan rasa respek atau hormat. 

Suka atau tidak suka, pemerintahan sekarang ini juga mampu menunjukkan kinerja di bidang ekonomi yang baik. Jadi, memberikan sedikit apresiasi dan respek kepada pemerintahan atas hasil kinerjanya itu tak akan merendahkan diri mereka. Ibarat gelas yang terisi setengah dan setengahnya kosong, janganlah dipandang Indonesia ini semata dari setengahnya yang kosong itu. Ini benar-benar sangat tidak adil, tidak objektif. 

Jadi masyarakat pun harus sportif melihat semua perkembangan yang terjadi. Sekali lagi, di bidang ekonomi, selain petumbuhan yang terus beranjak naik berkisar 6% setiap tahun, juga tercatat cukup banyak kemajuan di bidang ekonomi yang berhasil diraih. Investasi mengalir deras, kelas menengah tumbuh subur dan kini mencapai sekitar 60 juta orang, yang berarti sepuluh kali lipat dari penduduk Singapura yang berjumlah 5,7 juta orang. Mereka inilah mesin dan lokomotif ekonomi Indonesia di masa depan. Dengan tingkat pendapatan yang cukup tinggi, mereka adalah konsumen utama untuk produk-produk yang dihasilkan. Kemajuan Indonesia saat ini juga diakui dengan tulus oleh dunia internasional. 

Masuknya Indonesia dalam G-20 bukan hasil mengemis para pemimpin nasional ke negara-negara maju. Pengakuan dunia internasional atas kemajuan Indonesia juga terekspresi dari penilaian sejumlah lembaga pemeringkat yang memberikan status layak investasi (investment grade) pada negeri ini. Lantas, kalau dunia internasional mengakui kemajuan Indonesia, lalu mengapa ada sebagian elemen bangsa sendiri justru memandang itu semua dengan sebelah mata? Ke depan, dengan iklim demokrasi yang kian maju, ekonomi Indonesia pasti akan terus melaju. 

Kalau ada yang memprediksi Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi nomor enam di dunia pada tahun 2030, itu bukan pepesan kosong belaka. Dengan dianugerahi wilayah yang begitu luas dan subur, kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, impian raksasa ekonomi dunia bukan sesuatu yang tak bisa tercapai. Asalkan semua pihak menjaga momentum yang sudah dicapai selama ini. Semua itu mensyaratkan adanya persatuan dan kesatuan yang kuat di seluruh elemen bangsa ini. 


Business News

Baca selengkapnya...

Jumat, 15 Maret 2013

Doa dalam Sepiring Nasi

Hubungan nasi dengan kehidupan manusia Indonesia sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan. Nasi hadir sebagai bahan makanan pokok untuk mencukupi kebutuhan gizi manusia Indonesia. Nasib nasi memang baik. Sejak mula, nasi mendapat tempat yang lebih baik dari kawan-kawannya, yang memiliki kandungan gizi yang mirip: umbi-umbian, tales, sagu dan jagung. Ketika masih menjadi padi selalu dijaga oleh seorang Dewi Sri. 

Mitos Dewi Sri ini sangat memiliki kaitan yang erat dengan padi daripada tumbuhan-tumbuhan lainnya. Nasib nasi terus bergerak mengiringi kisah kehidupan kita. Nasi begitu diagungkan, sedangkan bahan makanan lain menjadi begitu minor nasibnya. Mungkin sudah nasib padi yang menjadi cikal bakal nasi itu begitu baik. Selain dijaga oleh seorang dewi, padi juga dihubungkan dengan hal-hal yang dianggap baik bagi kehidupan. Padi menjadi simbol kebijaksanaan bagi manusia. Bentuknya yang menunduk sepertinya telah memberikan ajaran kepada manusia tentang makna ketidaksombongan atau mawas diri. 

Melihat hal tersebut, sepertinya sempurnalah nasib nasi di tangan kita. Secara kesehatan dan kedokteran, gizi nasi cukup. Nasi hadir dan kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang sempurna. Bahkan, pada wilayah spiritual, nasi menjadi simbol sebagai penghantar hubungan terhadap Tuhan, hal itu ada dalam tumpeng nasi. 

Makna

Padi yang menjadi cikal bakal nasi ditanam dengan ketulusan, sehingga ada upacara-upacara yang berhubungan dengan perjalanan padi tersebut. Para petani percaya apa yang ditanam akan ditumbuhkan oleh Tuhan dan ia hanya diberi kepercayaan untuk merawat tanaman tersebut dan menggunakannya dengan tidak berlebihan. Muncullah pesta-pesta panen yang merupakan ucapan syukur atas hasil yang telah diberikan Tuhan kepada petani. Dari hal ini ada kesadaran kosmis pada proses penanaman padi. Menanam padi menjadi ibadah untuk melanjutkan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan sekadar tercukupinya kebutuhan atau bahkan penggalian sebesar-besarnya pada alam. Manusia dan alam menyatu dalam laku dan saling memberikan kepercayaan kepada peran yang harus dijalankan. 

Masuknya revolusi hijau pada pertanian di Indonesia, secara tidak langsung petani mengikhlaskan dirinya untuk direnggut dan mengabdi pada kapitalisme global. Orientasinya sudah berbeda, pada awalnya mencukupi kebutuhan di dunia sebagai bekal untuk ibadah kepada Tuhan selaku makhluk yang telah diberi kehidupan di dunia ini, berubah menjadi penumpukan kekayaan sebesar-besarnya untuk mendapatkan kemakmuran versi kapitalisme. Sehingga, persoalan modal menjadi persoalan yang penting setiap kali hendak tanam kembali. Ketergantungan terhadap modal menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia pertanian modern di Indonesia. Meminjam istilah Marx, bahwa petani sudah diasingkan dari tanah dan tanamannya. 

Masuknya pupuk kimia dan bahan kimia lain, serta lahirnya berbagai benih padi yang merupakan hasil penelitian, mengubah pola pikir petani dalam menggarap sawah. Meningkatkan hasil pertanian dengan berbagai cara dengan melupakan kelestarian alam yang telah memberikannya penghidupan selama ini. Hal ini dipicu dari munculnya kebutuhan-kebutuhan yang mungkin bukan menjadi prioritas bagi dunia petani. Petani sudah masuk dalam kehidupan global di mana aktivitas yang dilakukan sudah ditentukan oleh pasar. 

Padi hanya menjadi komoditas pasar belaka. Petani hanya menjadi buruh yang bekerja di sawahnya sendiri. Petani masih merasa dan percaya bahwa apa yang dilakukan adalah kehendaknya sendiri, yaitu menanam padi di sawahnya sendiri. Petani tidak sadar bahwa apa yang dilakukan merupakan tindakan yang mesti dilakukan guna memenuhi kebutuhan pasar, yang sudah tidak lagi ditentukan oleh petani tersebut. Hari ini petani hanya menjadi obyek untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi saja. Padi dan maknanya telah lepas dari jagad religiusitas agraris. Padi ditanam tidak lagi dengan harapan dan doa, namun dengan modal dan perhitungan ekonomi belaka. 

Doa

Nasi yang tersaji di piring kita, ternyata memiliki sejarah yang lumayan panjang. Nasi dari awalnya telah membawa kepentingan, yang mempengaruhi bagaimana sikap kita dalam menghadapi nasi hari ini dengan kepentingan yang kita bawa. Sepertinya, kita tidak bisa lagi menikmati nasi dengan sikap-sikap kultural. Setiap agama telah mengajarkan bagaimana sikap dalam menghadapi makanan yang etis dan beradab. Ucapan syukur menjadi hal yang utama bahwa kita masih bisa makan dengan baik, sehingga doa-doa diucapkan bagi orang-orang yang telah menjadikan makanan itu hadir di hadapan kita. Perubahan nilai makanan yang kita hadapi mengindikasikan adanya perubahan makna dan sikap. Masihkah doa-doa itu layak diucapkan? Kita sulit mengimajinasikan, bahwa nasi di hadapan kita mengandung doa dari para petani sebagai sebuah rantai makanan yang saling menguntungkan. Nasi adalah harga yang harus kita bayar untuk hidup. 

Nasi dalam lingkaran kapitalisme merupakan komoditas. Tergambar dalam pamflet di pinggir jalan dan iklan televisi di tengah keluarga. Nasi bersanding dengan ayam Amerika ataupun nasi dalam bungkus instan. Instanisasi nasi hadir di tengah keluarga dalam berbagai bentuk dan rupa. Bahkan, hanya dengan menekan angka-angka di telepon, nasi yang kita inginkan akan mengetuk rumah kita setiap saat. Sakralitas nasi hilang dalam nilai efisiensi dan percepatan. 

Dulu nasi tumpeng hanya akan hadir dalam peristiwa yang penting dan sakral, serta tidak sembarangan orang untuk menikmatinya. Sekarang nasi tumpeng dapat kita pesan dalam hitungan detik pada restoran cepat saji dan bebas digunakan dalam peristiwa apapun. Masihkah doa-doa layak diucapkan di depan sepiring nasi di meja makan kita? Intinya, kita kehilangan nasi di piring, padahal itulah tanda kehidupan yang diharapkan. Kita telah mendustai nasi karena kerakusan dan kesombongan yang menyebabkan dunia hancur, serta kehidupan yang kita jalani terasa hampa.  


Salman Ali Masturi

Baca selengkapnya...