Sabtu, 27 April 2013

RENUNGAN UNTUK MANULA (Manusia Lanjut Usia) . . .

Hal-hal yang perlu direnungkan oleh orang-orang yang berusia 60 -70 tahun. 

Diatas gunung ada pohon yang berumur ribuan tahun, didalam dunia sulit menemukan oang yang berusia ratusan tahun. Batas maksimal, kita hanya dapat hidup seratus tahun lebih (itupun hanya ada satu diantara seratus ribu orang). 

Dalam hidup hingga usia 90, itu hanya tinggal 20 tahun lagi. Dapat hidup hingga 80 tahun, itu hanya tinggal 10 tahun lagi. Karena pada hari-hari yang tersisa ini sewaktu-waktu kita dapat jatuh sakit, maka kita harus menyisakan uang yang cukup untuk biaya berobat dan biaya layanan suster. 

Karena hari yang tersisa tidak banyak lagi, apalagi sewaktu kita meninggalkan dunia ini, apapun juga tidak ada yang dapat dibawa, maka kita tidak usah terlalu berhemat. Uang yang harus dikeluarkan keluarkanlah, apa yang dapat dinikmati nikmatilah, jika memiliki niat untuk beramal lakukanlah. 

Hanya satu hal yang jangan dilakukan, yaitu mewariskan harta kita pada anak cucu, karena akan membiasakan mereka menjadi “BENALU”... 

Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan yang akan terjadi setelah kematian. Karena saat kita telah menjadi abu, kita sudah tidak dapat lagi merasakan segala pujian dan kritikan orang lain. Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan anak anak, ”Anak cucu kita mempunyai rejeki mereka sendiri, berhentilah menjadi kuda tunggangan dan sapi perahan bagi anak cucu kita”. Setelah mereka mempunyai anak, biarkanlah mereka mengurus sendiri atau menggunakan uang mereka sendiri untuk mengundang suster guna mengurus anak- anaknya, jangan biarkan mereka merampas lagi Hak kesehatan, Hak istirahat, Hak kesenangan dan Hak liburan orang tua nya. 

Jangan terlalu banyak berharap pada anak anak kita. Anak yang berbakti, mememiliki niat untuk berbakti. Akan tetapi karena pekerjaannya terlalu sibuk, maka tidak akan dapat membantu kita juga. Anak yang tidak berbakti, sewaktu kita masih hidup saja sudah mengharapkan agar kita cepat mati, supaya mereka dapat cepat cepat mewarisi harta kita. Anak-anak beranggapan bahwa jika harta kita diberikan pada mereka itu adalah hal wajar. Tapi uang anak anak bukanlah uang kita, jika kita ingin minta uang itu akan sangatlah sulit. 

Kita yang berusia 70 tahun, jangan lagi menukarkan kesehatan kita dengan benda lain, karena saat ini, belum tentu kita dapat membeli kesehatan dengan harta kita. Mencari uang sampai kapan, sampai berapa banyak (seratus ribu, sejuta, sepuluh juta …....) baru dianggap cukup?. Memiliki sawah puluhan ribu hektar, sehari hanya dapat makan tiga liter saja. Memiliki ribuan buah gedung, untuk tidur dimalam hari hanya membutuhkan tempat dua setengah meter saja. 

Maka cukup makan, cukup uang ya sudahlah. Kita harus menjalani hidup ini dengan gembira, meskipun setiap keluarga mempunyai problem rumah tangga masing masing. Kita jangan lagi berebut nama dan kedudukan dengan orang lain, memikirkan bagaimana masa depan anak cucu kita dan hal lain-lain. Tetapi harus membandingkan dengan orang lain bahwa siapa lebih yang hidupnya lebih gembira, lebih berumur panjang. 

Untuk hal yang tidak mampu kita rubah, janganlah terlalu dicemaskan, karena cemas juga tidak ada gunanya, malah akan menpengaruhi kesehatan diri sendiri. Menciptakan kebahagiaan tergantung pada usaha keras kita sendiri, harus diupayakan untuk mencari kesenangan. Asalkan suasana hati kita bagus, setiap hari dengan mencari kesenangan sendiri, setiap hari kita pasti dapat menjalani hidup ini dengan perasaan gembira. Lewat sehari, berkuranglah sehari, lewat sehari, bergembiralah sehari, bergembira sehari, untunglah sehari. 

Memiliki semangat yang tinggi tidak akan jatuh sakit. 
Memiliki semangat yang tinggi penyakit dapat disembuhkan. 
Memiliki semangat yang tinggi akan cepat sembuh dari sakit. 

Suasana hati yang gembira, olahraga yang cukup, sering terkena sinar matahari, makan jenis makanan yang beragam, menyerap bermacam-macam vitamin dan sedikit elemen logam yang seimbang diharap dapat hidup sehat sampai dua, tiga puluh tahun lagi.

Baca selengkapnya...

Minggu, 07 April 2013

7 Alasan yang Membuat Pengusaha Khawatir dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) rencananya berlangsung mulai Desember 2015. Kalangan pengusaha menilai apabila tidak segera disiapkan, AEC dapat menjadi lonceng kematian bagi industri nasional. 

Demikian disampaikan oleh Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/4/2013) Franky menuturkan ada beberapa alasan, yang membuat industri dalam negeri akan semakin tertekan dengan adanya AEC jika tanpa persiapan matang dari pemerintah. 

Pertama, potensi AEC dan daya saing Indonesia. Dalam ACFTA, Indonesia merasakan manfaat dengan terbukanya potensi akses pasar ke China yang memiliki 1,4 miliar orang, lebih besar dari populasi seluruh negara Eropa. "Sementara dalam AEC, Indonesia berpotensi menjadi pasar besar bagi negara ASEAN lainnya. AEC bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal, di mana Indonesia merupakan pasar terbesar dengan populasi penduduk mencapai 40% dari populasi ASEAN lainnya" jelas Franky. 

Ia menuturkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya mayoritas deficit. Perdagangan Indonesia dengan Brunei Darussalam deficit sebesar US$ 281, 7 juta, Indonesia dengan Malaysia deficit US$ 511,3 juta, Indonesia dengan Singapura deficit US$ 707,9 juta, Indonesia dengan Thailand deficit US$ 721,4 juta, serta Indonesia dengan Vietnam deficit sebesar US$ 157, 5 juta. Neraca perdagangan Indonesia hanya positif dengan empat (4) negara lainnya, masing-masing: dengan Kamboja surplus sebesar US$ 233,9 juta, Indonesia dengan Laos surplus US$ 17,9 juta, dengan Myanmar surplus sebesar US$ 238,6 juta serta dengan Filipina surplus US$ 2448,55 juta. 

Menurutnya daya saing Indonesia juga berada dalam posisi bawah di antara negara ASEAN lainnya. 
Daya saing Indonesia, menurut Indeks Daya Saing Global 2010 berada pada urutan 75. Posisi ini di bawah Singapura yang menduduki posisi ke-2, Malaysia pada posisi 29, Filipina pada posisi 44 dan Vietnam pada posisi 53. Daya saing Indonesia hanya di atas Laos yang berada pada posisi 129 dan Myanmar pada posisi 133. Frany mencatat biaya logistik di Indonesia mencapai porsi 16% dari seluruh biaya produksi dari angka normal sebesar 8-9%. Daya saing logistic Indonesia juga termasuk rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Indonesia hanya menduduki posisi 46 secara global, di bawah Singapura pada posisi 2, Malaysia peringkat 21, Brunei Darusalam peringkat 28 dan Thailand pada peringkat 38. 

Kedua, tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislative (pileg) dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. Dengan fokus pada persoalan-persoalan politik, saya yakin pemerintah tidak akan terfokus untuk menguatkan daya saing industri nasional menghadapi implementasi AEC 2015. Meski pun secara matematis masih ada waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri, jika pemerintah terfokus kepada persoalan politik, waktu tersebut juga tidak akan termanfaatkan. 

Ketiga, pemerintah sampai sekarang belum terlihat serius mempersiapkan daya saing industri nasional menghadapi AEC. Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki kebijakan untuk menghadapo AEC, yaitu: Inpres No 5 Tahun 2008, Inpres No 11 Tahun 2011, dan Rancangan Inpres 2012 tentang peningkatan daya saing nasional menghadapi AEC. Tapi, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum terlihat, sehingga tidak heran seorang Menteri Perindustrian menyatakan kegugupannya di media. Menurutnya kebijakan pemerintah yang ada sekarang justru menurunkan daya saing industri nasional. Pemerintah seperti menjadikan industri tekstil sebagai sapi perah dengan pengenaan biaya bisnis yang cukup tinggi terutama untuk komponen kenaikan tarif dasar listrik, pajak sesuai otonomi daerah dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Franky mencontohkan industri tekstil juga menghadapi persoalan perizinan yang cukup menyulitkan. Terdapat 172 surat yang selalu harus diregistrasi oleh kalangan pengusaha dan rata-rata berujung pengenaan pungutan bagi pengusaha. Misalnya izin usaha yang pada awalnya berlaku untuk seumur hidup, sekarang harus diperbarui setiap 2 tahun. Demikian juga izin gangguan (Izin HO) yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Persoalan tersebut memperparah daya saing industry nasional yang sudah menghadapi kendala infrastruktur minim serta persoalan kebijakan energy yang tidak berpihak kepada ketersediaan pasokan untuk industry nasional. 

Keempat, kalangan industry nasional belum menyadari (aware) terhadap kondisi mengkhawatirkan menjelang pelaksanaan AEC. Belum ada dialog antara pemerintah dan dunia industry mendiskusikan implementasi peningkatan daya saing menghadapi ancaman yang dapat muncul dari implementasi AEC. 

Kelima, produktivitas pekerja Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, menggunakan ukuran perbandingan dengan jam kerja pekerja di Amerika Serikat. Ia menjelaskan produktivitas pekerja Indonesia dibandingkan dengan produktivitas pekerja Amerika Serikat hanya mencapai 36 %. Artinya, jam kerja yang dihabiskan pekerja Indonesia hanya 36% di atas pekerja Amerika. Sementara pekerja Kamboja mencapai 46%, Malaysia mencapai 43%, Thailand 37% dan Singapura 36%. Pekerja Indonesia hanya lebih produktif dibandingkan Filipian 30% dan Vietnam 13%. 

Keenam, negara ASEAN lainnya cukup agresif mengantisipasi serta mempersiapkan diri menghadapi AEC. Strategi mereka adalah menjadikan Indonesia sebagai pasar besar bagi produknya. Beberapa perusahaan Thailand sudah melirik untuk berekspansi ke Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan ritel Central yang akan berinvestasi sebesar US$ 19 juta. Malaysia dan Singapura juga sudah bekerjasama mengelola kawasan Industri di Johor guna menjaring pengusaha untuk berinvestasi dengan pasar ASEAN. Indonesia oleh kedua negara tersebut akan diposisikan sebagai pasar besar. Kecenderungan ekspansi juga dimiliki oleh negara ddi luar ASEAN. Seribu (1000) UKM Jepang sudah berencana merelokasi pabriknya ke Indonesia sehingga menjadi ancaman bagi UKM di Indonesia. Perusahaan China juga memiliki kecenderungan tinggi untuk berekspnasi, di mana investasi China ke luar negeri pada tahun 2012 mencapai US$ 74,7 miliar. 

Ketujuh, terkait potensi investasi Kementrian Perindustrian sudah membaca investor tidak terlalu berminat menanamkan modalnya ke Indonesia karena persoalan daya saing investasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya. Franky menuturkan meski tercatat beberapa potensi investasi masuk, seperti 1000 UKM (usaha kecil menengah) Jepang, tapi potensi investasi yang akan masuk ke negara ASEAN lainnya jauh lebih besar, mengingat beberapa factor daya saing, seperti produktivitas pekerja Indonesia yang masih di bawah Kamboja, Malaysia, Thailand dan Singapura. Selain tentunya persoalan infrastruktur, ketersediaan pasokan energy, serta jaminan hukum dan keamanan.

Indikator Daya Saing Usaha di Indonesia menurut World Bank Group tahun 2011, juga tidak terlalu menggembirakan, dengan perincian sebagai berikut: 
- pada aspek memulai bisnis daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara. 
- pada aspek ijin konstruksi berada di posisi 71 dari 183 negara, 
- pasokan listrik (ketersediaan energy) pada peringkat 161 dari 183 negara, 
- aspek perlindungan investasi posisi 46 dari 183 negara, 
- serta aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129 dari 183 negara. 

"Pemerintah perlu segera mengajak kalangan industri untuk mendiskusikan langkah strategis yang harus diambil guna mendorong daya saing industri nasional agar tidak terlibas oleh masuknya industri negara lain sehingga Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk mereka," katanya. 


Suhendra - detikfinance

Baca selengkapnya...

Sabtu, 06 April 2013

Mengapa Harus Membakar Uang Kertas

Dalam ritual orang Tionghoa, sering kali kita melihat ada tradisi membakar uang kertas. Apakah maknanya? Sejak kapan?
 
Tradisi terkait dengan budaya yang terlebih dulu lahir sebelum adanya agama dan bermakna penghormatan kepada leluhur. Dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, diyakini hanya ada dua alam di semesta ini, yaitu alam langit dan alam manusia. Alam langit dipercaya sebagai tempat para dewa-dewi dimuliakan. Namun, dalam perkembangan peradaban manusia, masuknya Buddhisme membuat hadirnya sebuah konsep baru yaitu alam baka, menjadikan konsep alam memjadi tiga.
 
Bertambahnya kepercayaan tradisional ini membuat masyarakat Tionghoa percaya manusia setelah meninggal akan menuju alam baka. Namun, terdapat pengecualian bagi manusia yang memiliki kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat selama hidupnya. Orang-orang tersebut dipercaya akan berdomisili di alam langit. Alam langit dan alam baka diyakini memiliki pemerintahan sendiri, di mana terjadi juga interaksi layaknya alam manusia. Atas dasar inilah, uanga emas dan perak diciptakan. Uang emas (kim cua) diperuntukan kepada dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukan kepada roh manusia yang gentayangan di alam manusia (hantu).
 
Lalu, mengapa dibakar? Masyarakat Tionghoa percaya dengan keberadaan dewa api yang menjadi penghubung ketiga alam tersebut. Catatan sejarah mencatat pembakaran uang kertas pertama kali dilakukan pada zaman Dinasti Jin (265-420). Kegiatan ini lantas menjadi tradisi umum di zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song.
 
Pembakaran uang kertas sebenarnya menjadi semacam simbolis penghormatan atas leluhur dan dewa-dewi yang dipercaya juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Namun lebih dalam lagi, tradisi ini merupakan suatu bentuk keikhlasan untuk menghormati leluhur dengan memaaafkan segala kesalahan yang dulu pernah diperbuat semasa hidup. Barang yang dibakar menjadi representasi pembersihan segala hal yang berbau duniawi.
 
Hingga kini, pembakaran uang kertas tetap dilaksanakan sebagian kalangan Tionghoa Indonesia. Namun, pergeseran nilai tidak bisa dihindari seiring perkembangan peradaban manusia yang kian modern. Negara seperti Taiwan, Hong Kong atau Singapura mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jumlah pembakaran kertas dengan memusatkan di kelenteng-kelenteng.
 
 
Sumber : Kompas

Baca selengkapnya...

Kamis, 04 April 2013

DENGAN BERSATU, PEREKONOMIAN INDONESIA BISA TUMBUH LEBIH BAIK

Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, perekonomian Indonesia semakin berkembang pesat. Kondisi itu memberikan fondasi yang kuat bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani negara-negara di dunia. Bukan mustahil Indonesia berubah dari posisi regional power di kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu global power pada tahun 2025. 

Kepada sejumlah pemimpin redaksi saat perjalanan dari Budapest ke Jakarta belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Indonesia kini sudah menjadi regional power dan global player. Posisi global power, bisa dicapai Indonesia pada tahun 2025 dan selambatnya tahun 2045. Untuk itu, Presiden mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan politik agar negeri berpenduduk 240 juta jiwa ini agar tidak kehilangan momentum pembangunan. 

Pernyataan Presiden itu bukan tanpa dasar alasan yang kuat. Belakangan ini, pihak asing semakin tertarik menanamkan modal di Indonesia. Ketertarikan itu dipicu oleh fakta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kurun waktu tahun 2010-2014 sebesar 6,3% hingga 6,8%. Sejumlah analis dan ekonom memprediksi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia menjadi 10 besar negara ekonomi dunia pada tahun 2025. Bahkan, Indonesia bisa menjadi enam besar negara dengan perekonomian terbesar dunia pada tahun 2050. 

Tahun lalu, Morgan Stanley memprediksi Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi dunia. Mereka mengusulkan nama Indonesia masuk dalam BRIC, akronim dari nama empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia. BRIC terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China. Istilah ini dipopulerkan oleh Goldman Sachs Group pada tahun 2001. Morgan Stanley mengusulkan agar BRIC menjadi BRICI dengan huruf “I” terakhir adalah Indonesia. Alasan nama Indonesia masuk karena lembaga investasi itu memperkirakan PDB negara ini bakal mencapai USD800 miliar dalam lima tahun mendatang. 

Di luar aspek ekonomi, yakni di bidang pertahanan, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden SBY juga bertekad untuk menunjukkan kebolehan, tidak hanya dari segi jumlah dan kualitas alat utama sistem persenjataan (alutsista). Indonesia juga bertekad untuk menjadi negara dengan industri pertahanan yang tidak dipandang remeh. Upaya itu terus dilakukan dengan meningkatkan anggaran pertahanan. Pada tahun 2009, anggaran pertahanan Indonesia Rp33,67 triliun yang terus meningkat dan pada tahun 2012 sebesar Rp72,54 triliun, pada tahun 2013 akan menjadi Rp77 triliun. Kekuatan di bidang pertahanan ini ternyata turut memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Pertahanan dan keamanan negara yang semakin kuat dapat menciptakan iklim usaha yang baik akan menjadi stimulus masuknya pemodal asing. Selain itu, jika Indonesia berhasil mengembangkan industri pertahanan, maka itu berarti memberikan pemasukan bagi keuangan negara. 

Tercatat Indonesia sudah memulai kerja sama jangka panjang di bidang pertahanan dengan sejumlah negara. Perusahaan BUMN di sektor strategis, seperti PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia, juga semakin menunjukkan kinerja mereka. PT Pindad, misalnya, kebanjiran order dari negara tetangga Malaysia yang memesan panser Anoa. Belum lagi senjata serbu buatan perusahaan itu yang sudah teruji keandalannya dengan menjadi juara di sejumlah kejuaraan menembak. Dengan fakta-fakta itu, rasanya keinginan Indonesia untuk menjadi kekuatan global pada tahun 2025 tidak sulit terwujud. 

Namun, semua itu bisa dicapai bila seluruh elemen masyarakat, terutama para elite bangsa, memiliki visi yang sama, yakni sepakat menjadikan Indonesia bangsa yang besar. Seluruh elite politik harus bisa bersatu padu untuk menjadi contoh bagi rakyat bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama membangun bangsa yang bermartabat. Para elite harus bergotong royong tanpa pamrih dan tanpa dilandasi kepentingan individu atau kelompok untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. 

Usulan Presiden SBY agar setiap akhir masa jabatan presiden dilakukan serah terima jabatan patut dipertimbangkan. Jabat tangan presiden dan mantan presiden pada serah terima jabatan itu akan memperlihatkan kepada rakyat bahwa tidak ada “dendam politik” di antara elite. Rakyat pun akan tergugah untuk bersama-sama pemimpinnya, meski tidak satu partai atau golongan, bahu-membahu membangun negeri ini. 

Kedamaian dalam konteks iklim investasi yang kondusif menjadi penting diciptakan di negara ini. Isu-isu seputar kudeta hendaknya dapat dikendalikan dengan baik karena isu-isu tadi tetap saja tidak produktif dan bahkan mengganggu ekspektasi dan iklim investasi yang sedang bagus-bagusnya. Isu tersebut pasti tidak baik untuk dunia usaha, dan tak nyaman bagi para investor. Oleh karena itu, kepada mereka yang mengaku sebagai bagian dari kalangan elit dan tokoh masyarakat hendaknya menampilkan sikap dan watak yang damai dan santun. Tidak boleh gegabah mengumbar kalimat-kalimat provokatif yang tidak produktif bagi bangsa ini. Kalau pun mereka tidak suka dengan pemerintahan sekarang ini, tetap mereka harus memberikan rasa respek atau hormat. 

Suka atau tidak suka, pemerintahan sekarang ini juga mampu menunjukkan kinerja di bidang ekonomi yang baik. Jadi, memberikan sedikit apresiasi dan respek kepada pemerintahan atas hasil kinerjanya itu tak akan merendahkan diri mereka. Ibarat gelas yang terisi setengah dan setengahnya kosong, janganlah dipandang Indonesia ini semata dari setengahnya yang kosong itu. Ini benar-benar sangat tidak adil, tidak objektif. 

Jadi masyarakat pun harus sportif melihat semua perkembangan yang terjadi. Sekali lagi, di bidang ekonomi, selain petumbuhan yang terus beranjak naik berkisar 6% setiap tahun, juga tercatat cukup banyak kemajuan di bidang ekonomi yang berhasil diraih. Investasi mengalir deras, kelas menengah tumbuh subur dan kini mencapai sekitar 60 juta orang, yang berarti sepuluh kali lipat dari penduduk Singapura yang berjumlah 5,7 juta orang. Mereka inilah mesin dan lokomotif ekonomi Indonesia di masa depan. Dengan tingkat pendapatan yang cukup tinggi, mereka adalah konsumen utama untuk produk-produk yang dihasilkan. Kemajuan Indonesia saat ini juga diakui dengan tulus oleh dunia internasional. 

Masuknya Indonesia dalam G-20 bukan hasil mengemis para pemimpin nasional ke negara-negara maju. Pengakuan dunia internasional atas kemajuan Indonesia juga terekspresi dari penilaian sejumlah lembaga pemeringkat yang memberikan status layak investasi (investment grade) pada negeri ini. Lantas, kalau dunia internasional mengakui kemajuan Indonesia, lalu mengapa ada sebagian elemen bangsa sendiri justru memandang itu semua dengan sebelah mata? Ke depan, dengan iklim demokrasi yang kian maju, ekonomi Indonesia pasti akan terus melaju. 

Kalau ada yang memprediksi Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi nomor enam di dunia pada tahun 2030, itu bukan pepesan kosong belaka. Dengan dianugerahi wilayah yang begitu luas dan subur, kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, impian raksasa ekonomi dunia bukan sesuatu yang tak bisa tercapai. Asalkan semua pihak menjaga momentum yang sudah dicapai selama ini. Semua itu mensyaratkan adanya persatuan dan kesatuan yang kuat di seluruh elemen bangsa ini. 


Business News

Baca selengkapnya...