Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengapa Manusia Melihat Cahaya Terang Saat Mendekati Kematian?

Orang yang mengalami mati suri atau mendekati kematian sering kali melaporkan bahwa dirinya melihat cahaya terang. Ilmuwan terus bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi. Benarkah cahaya terang itu terkait hal-hal di luar nalar? 

Dalam studi terbaru, seperti diberitakan BBC, Selasa (13/8/2013), ilmuwan mengungkapkan bahwa cahaya terang yang dilihat saat mendekati kematian mungkin saja dipicu oleh lonjakan aktivitas elektrik pada zona otak yang bertanggung jawab untuk penglihatan. 

"Banyak orang mengira otak tidak aktif atau ada dalam aktivitas rendah (hipoaktif) setelah seseorang dinyatakan meninggal secara medis. Kami menunjukkan jika bukan hal tersebut yang terjadi," ujar Dr Jimo Borjigin dari University of Michigan yang menjadi penulis utama studi ini. 

"Justru, maka otak menjadi lebih aktif saat menjelang kematian daripada ketika seseorang masih hidup," tambah Borjigin yang memublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. 

Borjigin dan rekannya memonitor aktivitas otak sembilan ekor tikus yang sekarat. Tiga puluh detik setelah jantung berhenti berdetak, gelombang otak frekuensi tinggi yang disebut osilasi gamma ternyata melonjak. 

Gelombang tersebut adalah salah satu dari fitur saraf yang diduga mendukung dengan kesadaran pada manusia, terutama saat berperan menggabungkan informasi dari bagian otak yang berbeda. Pada tikus, aktivitas otak ini justru lebih tinggi sesaat setelah jantung berhenti daripada saat sadar. 

Menurut Borjigin, hal yang sama mungkin juga terjadi pada manusia. Peningkatan aktivitas otak dan kesadaran bisa memicu penglihatan-penglihatan saat menjelang kematian atau ketika mengalami mati suri. 

"Ini dapat memberikan kerangka untuk membantu menjelaskan (pengalaman melihat cahaya saat mendekati kematian). Fakta bahwa seseorang melihat cahaya sebelum meninggal mengindikasikan bahwa korteks visual dalam otak memiliki aktivitas yang tinggi," kata Borjigin. 

Menanggapi hasil riset ini, Jason Braithwaite dari University of Birmingham berpendapat bahwa fenomena ini semacam "perayaan terakhir" yang dilakukan oleh otak. Temuan ini mendemonstrasikan pendapat yang diyakini sejak lama, yakni dalam kondisi tak biasa, aktivitas otak bisa melonjak. 

Dr Chris Chambers dari Cardiff University menyatakan, masih sangat sedikit yang diketahui tentang kematian pada manusia. Temuan menarik ini dapat membuka pintu untuk studi lebih jauh pada manusia sendiri. 

"Namun kita juga harus sangat berhati-hati sebelum menarik kesimpulan tentang pengalaman mendekati kematian pada manusia. Perlu dilakukan pengukuran aktivitas otak pada tikus selama proses jantungnya berhenti berdetak untuk mengetahui hubungan dengan pengalaman pada manusia," tambahnya. 


Dyah Arum Narwastu

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Agustus 2013

Pelajaran Berharga Dibalik Mengantri

Seorang guru di Australia pernah berkata,“Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai MATEMATIKA. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai MENGANTRI."

Sewaktu ditanya,“Mengapa? Inilah jawabannya, 

1. Karena hanya perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk melatih anak bisa matematika. Sementara perlu waktu 12 tahun atau lebih untuk melatih anak agar bisa mengantri dengan baik dan benar. 

2. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika, kecuali TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari siswa yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak. 

Memang ada pelajaran berharga dari MENGANTRI? Ya ! Banyak sekali pelajaran berharganya, yakni : 

1. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, harus datang lebih awal dan itu butuh persiapan lebih awal; 

2. Anak belajar bersabar. Menunggu giliran tiba, terutama jika ia di antrian paling belakang; 

3. Anak belajar menghormati hak orang lain. Yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu dan tidak merasa dirinya yang paling penting; 

4. Anak belajar berdisiplin. Aturan mengantri adalah tidak menyerobot dan itu berarti tidak mengambil hak orang lain; 

5. Anak belajar kreatif. Untuk mengatasi kebosanan saat mengantri merangsang berpikir untuk melakukan suatu aktivitas (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri); 

6. Anak bisa belajar bersosialisasi. Menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian; 

7. Anak belajar tabah. Menjalani proses dalam mencapai tujuannya, sehingga tidak melegalkan cara-cara kotor dalam mencapai tujuan.

Baca selengkapnya...

Rabu, 21 Agustus 2013

Three Differences Between Managers and Leaders

A young manager accosted me the other day. "I've been reading all about leadership, have implemented several ideas, and think I'm doing a good job at leading my team. How will I know when I've crossed over from being a manager to a leader?" he wanted to know. 

I didn't have a ready answer and it's a complicated issue, so we decided to talk the next day. I thought long and hard, and came up with three tests that will help you decide if you've made the shift from managing people to leading them. 

Counting value vs Creating value. You're probably counting value, not adding it, if you're managing people. Only managers count value; some even reduce value by disabling those who add value. If a diamond cutter is asked to report every 15 minutes how many stones he has cut, by distracting him, his boss is subtracting value. 

By contrast, leaders focuses on creating value, saying: "I'd like you to handle A while I deal with B." He or she generates value over and above that which the team creates, and is as much a value-creator as his or her followers are. Leading by example and leading by enabling people are the hallmarks of action-based leadership. 

Circles of influence vs Circles of power. Just as managers have subordinates and leaders have followers, managers create circles of power while leaders create circles of influence. 

The quickest way to figure out which of the two you're doing is to count the number of people outside your reporting hierarchy who come to you for advice. The more that do, the more likely it is that you are perceived to be a leader. 

Leading people vs Managing work. Management consists of controlling a group or a set of entities to accomplish a goal. Leadership refers to an individual's ability to influence, motivate, and enable others to contribute toward organizational success. Influence and inspiration separate leaders from managers, not power and control. 

In India, M.K. Gandhi inspired millions of people to fight for their rights, and he walked shoulder to shoulder with them so India could achieve independence in 1947. His vision became everyone's dream and ensured that the country's push for independence was unstoppable. The world needs leaders like him who can think beyond problems, have a vision, and inspire people to convert challenges into opportunities, a step at a time. 

I encouraged my colleague to put this theory to the test by inviting his team-mates for chats. When they stop discussing the tasks at hand — and talk about vision, purpose, and aspirations instead, that's when you will know you have become a leader. 

Agree? 


by Vineet Nayar

Baca selengkapnya...

Minggu, 18 Agustus 2013

Merdeka Dari Korupsi

Selalu ada kebanggaan yang datang menyelinap setiap merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah 68 tahun kita rayakan ini, pasti bukanlah harga yang murah. Bahkan di setiap tarikan napasnya, ada jejak pengorbanan, yang setiap saat pula mampu membangkitkan detak-detak nasionalisme. Tetapi sesungguhnya, arti kemerdekaan ini tidak hanya bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga memuat cita-cita luhur untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negeri ini dilahirkan untuk melindungi, mencerdaskan, dan mensejahterakan rakyatnya. 

Nikmat dari kemerdekaan sejatinya adalah adanya penghargaan terhadap hak yang sama bagi setiap warga negara untuk menghirup kebebasan, sekaligus memeroleh jaminan pendidikan, jaminan sosial, dan penghidupan yang layak. Publik juga berhak menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berpolitik tanpa disertai rasa takut. Dan yang tidak kalah pentingnya, negeri ini harus bebas dari korupsi. Korupsi yang telah sedemikian rupa menjajah kita, telah merampas hak-hak bangsa ini untuk sejahtera bersama-sama. 

Sungguh demokrasi yang kita bangun sebagai manisfestasi kemerdekaan, justru melupakan tujuan dasar filosofi yang telah ditanamkan pendiri bangsa ini, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akibatnya ketika keran keterbukaan dibuka lebar, yang terjadi adalah kebebasan yang melupakan kewajiban. Demokrasi dipahami sebatas prosedural untuk memburu kekuasaan dan kekayaan. 

Soal nilai inilah yang kita lupa. Kita tidak mengembangkan kultur dan etika demokrasi, karena kita hanya cenderung mengubah undang-undang, struktur, dan lembaga. Akibatnya bukan kultur yang membaik, tetapi justru budaya korupsi yang beranakpinak. Sungguh ironis, demokrasi yang dibangun untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan memberikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat negeri ini, justru melahirkan koruptor-koruptor yang datang silih berganti. 

Perayaan kemerdekaan ini semestinya memang tidak sekadar membangun nasionalisme, tetapi juga peneguhan tekad bersama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan tidak terus menerus merusak diri sendiri. Berhentilah korupsi. Karena korupsilah yang membuat Indonesia semakin miskin. Dan Indonesia tidak sepenuhnya merdeka jika korupsi belum benar-benar tumpas. Sungguh akan sangat membanggakan jika melihat negeri ini merdeka dari korupsi, dan kemerdekaan yang kita peringati ini membawa semua rakyat Indonesia sejahtera. 


smartfm jakarta

Baca selengkapnya...

Selasa, 13 Agustus 2013

Make Your Team More Creative

Throughout my career, I’ve heard many managers complain about the need for their teams to be more creative and to demonstrate innovative approaches. The conversations usually moved quickly to the topic of deficiencies of team members and what to do to get them to be more innovative. 

It wasn’t until I worked for someone who was amazing at fueling creativity throughout his team that I realized the root of the problem (and it’s one that managers who don’t have innovative teams generally ignore): It’s not the team’s behavior that’s the issue; it’s how the manager behaves that stifles creativity and innovation. 

With that in mind, if you’re challenged with a team charged with being more innovative in how it approaches business, look to yourself and work on these 15 items to improve your own performance first! 

1. Learn each team members’ distinctive talents – the areas (work-related or not) where someone best displays incredible performance and creates tremendous energy. People tend to be most naturally creative in these areas, even if the skills themselves wouldn’t typically be considered “creative.” 

2. Allow individuals to use their distinctive talents to contribute to business efforts, regardless of how the talents are tied to the job position they fill. 

3. Treat business like a game where you’re clearly the cheerleader for your team and not the referee. 

4. Provide training for your team on tools they can use to improve their creativity. 

5. When introducing a project, spend 90% of your time describing the intended goal and only 10% on how you expect it will be accomplished. 

6. Don’t answer all the questions your team may have. Instead, ask them questions right back so they’re thinking creatively and strategically. 

7. Give them more rope than they expect. Point out to them just how much rope they really have. 

8. Figure out the likely solution to a project and listen for when your team is on the right path, so you can provide lots of encouragement. That way, they have ownership of the ideas being developed. 

9. Always start a brainstorming session with a clear objective and a list of solid, probing questions. Better yet, have someone other than you facilitate the session to allow the maximum freedom to contribute creatively. 

10. Have a “Plagiarism Friday” where people bring in great ideas from outside your business category and ask them to share what makes the ideas innovative and creative. (And yes, I “borrowed” this idea.) 

11. Listen to new ideas before you start talking or even thinking about what you’re going to say. 

12. Make team members sell their new ideas and recommendations to you, and then let them sell these ideas to your boss too. 

13. Resolve to accept ideas and answers that work but are different from what you originally envisioned. 

14. Give the team members more than full credit for any successes the group has. 

15. When a team member makes a mistake, direct their focus to recovery (i.e., making things right for the external or internal customers) and to figuring out what can be learned to improve in the future. 

If you’re legitimately doing these things consistently and predictably over time, you’ll be amazed at how creative your same team becomes. 


by Mike Brown

Baca selengkapnya...

Sabtu, 10 Agustus 2013

Menjadi Ayah yang Sebenarnya

Ronny, 12 tahun, baru saja lulus sekolah dasar. Ia ingin sekali bercerita tentang sesuatu, tetapi bukan pada ibunya. Ia pun mencari pamannya, adik dari ibunya. Ronny bukan tidak punya ayah, tapi belakangan ayahnya jarang pulang dan sudah hidup lama terpisah dengan keluarganya. 

Ternyata, Ronny hanya sekadar ingin curhat tentang cewek yang lagi ditaksirnya. Mungkin dia risau karena setelah lulus sekolah dasar mereka tidak akan lagi bersama karena akan melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pilihannya masing-masing. 

Tapi, sang Ibu gusar ketika mengetahui anak sulungnya itu memilih bercerita kepada pamannya ketimbang dirinya. Fenomena apa ini? 

Menurut psikolog Tika Bisono, Ronny tengah tumbuh dan butuh sosok ayah untuk bercerita apapun tentang masalah-masalah pria. “Ronny menganggap hanya pria lah yang bisa diajak bicara soal lelaki. Sekali pun ada ibu, dia tetap membutuhkan pria, walaupun akhirnya dia mau membagi curahan hatinya pada pamannya. 

Sosok ayah memang penting berperan dalam diri seorang anak terutama yang sedang tumbuh dan berkembang,” ujarnya. Tika mengatakan seiring dengan kehidupan modern yang membuat manusia makin sibuk, banyak anak mengalami perasaan seperti Ronny, tidak merasa memiliki ayah karena ayahnya terlampau sibuk di luar. Jika pun ayah ada di rumah, mereka tidak sempat bermain atau berkomunikasi. “Padahal anak, selalu ingin mengikuti gaya ayahnya sebagai tokoh panutan,” sambung Tika. 

Ungkapan senada dilontarkan Irwan Rinaldi, seorang pendamping Fathering Skill dan sudah mendedikasikan pilihan hidupnya untuk mensosialisasikan peran ayah atau fathering. Menurut dia, peran ayah dibutuhkan manakala anak mencari jati diri. “Biasanya ayah dijadikan hero oleh anak lelakinya,” tegas dia. Melalui Sahabat Ayah, Irwan bersama Bendri Jaisyurrahman dan Yully Purwanti berupaya mensosialisasikan ‘keayahan’ yang dilakukannya setiap waktu, baik di dalam maupun luar kota, bahkan sampai ke luar negeri di berbagai komunitas ayah. 

Namun, kata Irwan, persoalan keayahan menjadi lintas segmen. Artinya, ini tidak mengenal kaya atau miskin, berpendidikan ataupun tidak. “Peran ayah demikian besar dalam membina watak anak sejak usia dini,” katanya. 

Bagian Ayah 

Berdasarkan sebuah penelitian, peran ayah sangat penting dalam membangun kecerdasan emosional anak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga, sekaligus pengambil keputusan utama dalam keluarga memiliki posisi penting mendidik anak. 

Seorang anak dibimbing ayah yang peduli, perhatian dan menjaga komunikasi akan cenderung berkembang menjadi anak lebih mandiri, kuat, dan memiliki pengendalian emosional baik dibandingkan anak yang tidak memiliki ayah seperti itu. 

Hal ini bukan berarti mengabaikan peran sama yang dimiliki oleh seorang ibu. Secara natural biasanya seorang ibu akan terlibat aktif dalam membesarkan anaknya, sedangkan seorang ayah belum tentu mengambil peran yang sama. 

Dalam masyarakat kita, disadari atau tidak ada semacam perbedaan antara peran ayah dan ibu. Sering kali seorang ayah dipersepsi cukup baik jika telah bertanggung jawab untuk pemenuhan urusan keuangan keluarga. Adapun urusan -pengasuhan dan pendidikan anak lebih banyak dipegang oleh seorang ibu. 

Secara umum tugas-tugas tadi dianggap sebagai kewajiban alami seorang ibu. Sedangkan ayah, cukup melakukannya sesekali dan itu pun kalau dia punya waktu di tengah kesibukan pekerjaannya. Tak jarang seorang ayah yang kelelahan dan tertekan di -pekerjaan malah membawa kemarahan dan ketidaknyamanan bagi anak-anaknya di rumah. 

Anak yang ingin mengajak bermain dianggap mengganggu istirahat, anak yang ingin dekat secara emosional dianggap terlalu manja, atau anak yang bertanya dijawab seadanya sehingga akhirnya akan timbul jarak antara seorang ayah dengan anaknya. 

Kampanye 

Yully Purwanti, Public Relations PT Mitra Adiperkasa, merasa terpanggil untuk mengampanyekan peran ayah. Di luar tugasnya sebagai sorang humas, ia keliling bersama dua rekannya Iwan Rinaldi dan Bendri Jaisyurrahman aktif mendekatkan diri ke berbagai komunitas. 

Ketiganya bahkan sempat ikut workshop tentang keayahan di Singapura. Irwan juga aktif menerbitkan buku-buku yang erat kaitannya dengan peran ayah di keluarga. Menurut Yully, beragam yang bisa dilakukan ayah untuk mempererat hubugan keluarga. Misalnya ayah dapat memberikan stimulasi keingintahuan anak. 

“Bantulah anak untuk berpikir tidak biasa (out of the box) dalam mengerjakan tugas sekolah atau non sekolah lebih kreatif dan menarik,” ungkapnya. Sebagai orang tua, ungkap dia, jangan terlalu mengatur kehidupan mereka. Orang tua sebaiknya mengajak anak berimajinasi dan membatasi waktu menonton televisi karena media tersebut dapat membatasi perkembangan imajinasi. 

“Ajaklah anak-anak lebih banyak membaca. Misalnya dengan melakukan kegiatan membaca bersama keluarga,” tutur Yully yang senang membaca buku-buku perkembangan anak ini. 

Selain itu, perhatikan passion mereka. Minat yang kuat, datang dari hati pada suatu aktivitas atau hobi. “Orang tua tentu tahu bahwa ada banyak bentuk passion, tapi bagi seorang anak, passion umumnya hadir dalam bentuk kecintaan pada hobi tertentu saja seperti olah raga, permainan atau aktivitas,” katanya. 

Sementara orang tua, kata Yully, belum bisa menduga atau menentukan apa yang menjadi passion anak. Maka, tugas orang tua menemukannya dengan memberikan kesempatan beraktivitas bersama. Yully menambahkan bahwa anak juga perlu dukungan. Anak-anak membutuhkan dukungam ayah dan ibu. 

Namun, sering kali mereka takut untuk meminta. Dalam kondisi ini, tugas orangtua menjelaskan bahwa sekecil apapun mampu membuat perbedaan yang sangat besar pada kehidupan seseorang. “Contohkan kepada anak-anak untuk memberikan dukungan pada orang-orang di sekitarnya,” ujarnya. 

Terakhir agar orangtua bisa lebih dekat dengan anak adalah mengucapkan kata maaf. Mengatakan kata maaf memang tidak mudah dilakukan siapapun, khususnya anak-anak. “Sebagai orangtua, tentu dapat mengajarinya meminta maaf dengan memberi contoh,” kata dia. 

 
Sulha Handayani

Baca selengkapnya...

Kamis, 08 Agustus 2013

Apa Itu Cadangan Devisa?

Cadangan devisa ( foreign exchange reserves) adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen dan digunakan untuk menjamin kewajibannya yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan. 

Dalam perkembangan ekonomi nasional Indonesia dikenal dua terminologi cadangan devisa, yaitu official foreign exchange reserve dan country foreign exchange reserve, yang masing-masing mempunyai cakupan yang berbeda. 

Pertama, merupakan cadangan devisa milik negara yang dikelola, diurus, dan ditatausahakan oleh bank sentral. 

Kedua, mencakup seluruh devisa yang dimiliki badan, perorangan, lembaga, terutama lembaga keuangan nasional yang secara moneter merupakan bagian dari kekayaan nasional (Halwani Hendra, 2005). 

Untuk mengukur suatu cadangan devisa dianggap memadai atau tidak, maka dipakai kriteria jumlah besarnya kemampuan cadangan devisa tersebut untuk menutup impor minimal selama 3 bulan. 

Hingga akhir Juni 2013 jumlah cadangan devisa Indonesia nilainya terus menyusut dan sudah mencapai US$ 98,1 miliar, jauh di bawah Mei lalu yang sebesar US$ 105,2 miliar. 

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Persero Tbk, Ryan Kriyanto, mengungkapkan ada tiga faktor penyebab turunnya cadangan devisa. 

Pertama, untuk pembayaran bunga utang luar negeri pemerintah, kedua pemenuhan kewajiban BUMN untuk pembayaran impor bahan baku, dan ketiga intervensi Bank Indonesia untuk meredam pelemehan nilai tukar. 


Martin Sihombing

Baca selengkapnya...

Selasa, 06 Agustus 2013

Gen Y At Work: Feedback Changes Everything

It’s often said that ”Millennials” (aka Gen Y — those born between the early 1980s and the late 1990s) are entering the workforce with extraordinarily high hopes for a rocket-like career progression. Even if you don’t yet work side-by-side with Gen Y colleagues, you’ve likely heard that is a common characteristic. 

What’s the reason for such high expectations? Some trend-spotters say it’s the result of constant positive reinforcement that Millennials have received at home and school, even when they’ve failed. In the workplace, this translates into an expectation that every action should be rewarded — or at the very least, it merits a comment. 

However, today’s work environment is also a factor. Gen Y is joining the job market at a time when global economies have been shrinking and stagnating for years. The prospect of landing a well-paid, high-flying job is increasingly slim. And banks are increasingly reluctant to issue credit for mortgages and other big-ticket purchases. So some might argue that Millennials must aim high in their careers just to reach the standard of living they’ve grown up with. To do that, they seek constant feedback and rewards for their work. 

Knowing that these motivations may be driving younger members of your organization, how can you help them grow and develop? Consider three ideas: 

1) Help Gen Y Establish And Achieve Goals — Or Else 

More than any other generation, Gen Y is driven by progress and achievement. This is the “trophy generation,” the first to grow up receiving awards, simply for participation. Workers in this generation need to know exactly what is required of them. And they need to know if their work is on-track. Otherwise, if they under-perform and lose their jobs, new opportunities aren’t easy to find. The lack of available jobs partly explains why there’s an unprecedented rise in the “entrepreneurial spirit” among Millennials — although another factor is the confidence instilled into them at home and at school, as they’ve grown up. 

How should employers handle this? Set concrete goals and benchmarks. Create career plans that show employees where they’re headed, and the key milestones along the way. To stay engaged and willing to give their best, Gen Y workers need to have big goals explained. In fact, wouldn’t we all benefit from that practice? 

2) Recognize That Gen Y Wants “Instant” Everything 

Gen Y is the “text message” generation. Communication is instantaneous. Because they’re always connected, they often don’t understand why managers don’t offer immediate feedback. However, that doesn’t mean they need constant ego-stroking. It means they desire immediate recognition for effort/performance, and likewise, they want immediate feedback if they’re falling behind. How should you respond? 

First: Step up the pace of feedback cycles. Annual and quarterly reviews have been the norm at work, but this practice isn’t particularly effective, and it’s quickly becoming outdated. Gen Y workers certainly value timely praise for a job well done, and regular feedback makes that possible. But regular reviews also provide an opportunity to correct mistakes, while developing skills and knowledge on a more continuous basis. More frequent monitoring and feedback helps avoid or redirect missteps, ensuring that performance quality remains high. 

Second: Encourage formal or informal mentoring relationships — not just for Gen Y, but for any workers who want to participate. Mentoring can augment traditional performance review processes, or replace them altogether. 

Many of us know that formal reviews can be extremely stressful and ineffective. Sometimes, it can even cause antagonism between employees and their bosses. Mentoring can remove much of the pressure associated with formal reviews. And it needn’t take up hours of a manager’s day. Small, frequent, focused interactions can ensure that valuable feedback is absorbed in digestible “bite-sized” nuggets. Sharing ongoing advice and guidance promotes a stronger level of trust between managers and their employees, and helps managers understand more directly with what’s happening among their teams. 

3) Embrace The “Good Guy” In Gen Y 

Millennials tend to focus on the greater good. They’re more community-minded than their Gen X counterparts, and they want to know how their efforts contribute to a larger mission. They’re accustomed to volunteering, and expect employers to treat everyone fairly. If they can’t work for a purpose, they’ll typically find somewhere else to work. 

Socially responsible companies can benefit from a workforce that is inspired to stay when they can chip-in and support the cause. How? It’s wise to connect the dots between employee contributions and your organization’s broader mission. Millennials may become disenchanted about their ability to change the world when they enter the workforce, but that doesn’t necessarily mean they’re disengaged. If employers align the mission and values of their organization with those of employees, they can help fulfill Gen Y’s desire to contribute to the greater good. 

Gen Y: Driving A Healthy Business Evolution 

To attract, develop and retain a productive workforce, employers must adapt to new generations as they enter the business scene. Gen Y brings new expectations that challenge the status quo. But addressing those challenges can strengthen workforce performance — for Gen Y, as well as everyone else in an organization. 

It’s not about the pursuit of unjustified praise, meaningless prizes and undeserved titles. It’s about a clear purpose, continuous learning and professional fulfillment. With changes like this, the future of business looks bright, indeed.  


Written by David Hassell

Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Agustus 2013

Moment of Truth

Di sebuah resto di San Francisco, ada seorang konsultan yang heran melihat keramaian Chinese Restaurant Lie Po. Dia mencoba makan di sana pada sebuah siang yg ramai sekali. 

Pelayan dengan ramah melayaninya dengan bahasa Inggris yang masih saja tidak fasih. Sang konsultan memesan Orange Chicken with rice dan meminta minuman Coke Zero. 

Pelayan berkata, “Maaf, kami kontrak dengan Pepsi dan tidak menjual produk Coca Cola. Apakah dapat kami tawarkan Diet Pepsi?” Sang konsultan menolak dan meminta air putih saja. 

Ketika dia sedang makan, tiba-tiba ada seorang berpakaian rapi membawa Coke Zero dan es batu dan menaruh di depan pelanggan itu dan berkata sambil tersenyum, “Tadi anda menginginkan Coke Zero kan?” Lalu berlalu. 

Sang konsultan meminum dengan puas dan memanggil pelayan yang tadi melayaninya. Pelayan datang dan tersenyum melihat Coke Zero ada di sana. Pelayan: “Nah sudah ada minuman kesukaan Bapak kan?” Pelanggan: “Tadi katanya tidak ada? Ini kok ada?” 

Pelayan: "Benar, baru saja kami belikan di pasar swalayan seberang.” “Restoran lagi ramai, siapa yang membelikan?” “Manager kami, dia tidak terlalu sibuk di belakang.” 

“Lho, katanya kontrak dengan Pepsi?” “Ya, kalau menjual Coca-Cola tidak boleh, tapi kalau memberi gratis kepada pelanggan, saya kira boleh,” jawabnya sambil tersenyum. 

Memberi pelayanan yang baik adalah hal yang umum dan dilakukan semua perusahaan. Memberikan hal yang lebih, yang tidak terduga bisa menjadi kunci sukses di jaman ini. Ciptakan “Moment of Truth”, yang memberikan impresi luar biasa, yang akan selalu diingat oleh pelanggan anda, sehingga dia akan setia pada perusahaan anda dan merekomendasikan produk anda kepada orang lain. 

Moment of Truth tidak hanya berlaku pada pelangan penjualan saja. Hal yang sama berlalu untuk sebuah kepemimpinan, teamwork ataupun dalam kehidupan sosial kita. Melakukan hal lebih yang menyentuh adalah kesempatan kita unttk diingat, dicinta, dihormati dan diikuti oleh orang lain.

Baca selengkapnya...