Senin, 13 Mei 2013

IMPLIKASI PENERAPAN BRANCHLESS BANKING DI INDONESIA

Bank Indonesia (BI) meluncurkan pedoman untuk layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking), yang akan dilakukan proyek uji coba (pilot project) dari Mei-November 2013. 

Pedoman tersebut molor sekitar satu bulan dari yang direncanakan terbit pada Maret 2013. Pedoman Umum Uji Coba Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan Terbatas Melalui Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) tersebut mengatur seluruh aktivitas yang dapat dilakukan perbankan dan perusahaan telekomunikasi (telko). Dalam branchless banking itu ada bank-led (dipimpin bank), telco-led (dipimpin telko), dan hybrid. Jadi BI membuka kemungkinan ketiganya dilaksanakan selama masa uji coba ini. Untuk model hybrid, pelaksanaannya didukung oleh sinergi yang lebih mendalam antara bank dan telko. 

Pelaksanaan proyek uji coba tersebut dilakukan secara terbatas di 8 provinsi yang dapat dipilih oleh bank. Kedelapan provinsi tersebut yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan pemilihan lokasi oleh setiap bank paling banyak di 2 provinsi dan untuk setiap provinsi paling banyak hanya 3 kecamatan. 

UPLK atau populernya disebut banking agent harus terdaftar di bank yang menjadi mitranya dan masuk dalam data BI. Sebab itu, para banking agent, yang dapat berbentuk individual maupun badan usaha, bertanggung jawab kepada bank mitranya. Adapun bank terkait wajib bertanggung jawab kepada BI. Namun, banking agent sebenarnya merupakan bisnis sampingan, sehingga pihak yang diperbolehkan adalah pihak yang telah memiliki bisnis utama minimal selama dua tahun. Maka dari itu, untuk sementara atau selama uji coba telah diperbolehkan untuk layanan penyimpanan (deposit) uang di banking agent. Namun, layanan tersebut baru boleh dilakukan oleh petugas bank yang akan rutin mendatangi para agen yang menjadi mitranya. Kenapa demikian, karena penyimpanan dana seperti ini dinilai terlalu berisiko, sehingga untuk masa ujicoba ini para agen hanya boleh untuk melayani keperluan pembayaran dahulu. Dalam masa ujicoba juga menjadi sarana bagi BI untuk melihat dahulu mana agen yang cocok. 

Berdasarkan komunikasi dan interaksi yang telah dilakukan selama ini, konon sudah ada beberapa bank yang berminat untuk terjun ke branchless banking. Dalam hal ini bank harus mengajukan permohonan izin tersebut dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dapat direvisi pada pertengahan tahun ini. 

Mengutip pedoman uji coba branchless banking, dikatakan bahwa tidak ada sanksi yang akan dikenakan selama masa uji coba branchless banking. Namun, BI dapat mengentikan proyek uji coba sebelum batas waktu pelaksanaan berakhir apabila bank dan telko tidak memenuhi hal-hal yang dicantumkan dalam pedoman umum, atau adanya kondisi tertentu yang menurut penilaian bank sentral dapat meningkatkan risiko bank dan telko serta merugikan masyarakat. 

Sehubungan dengan pengentian proyek uji coba ini, bank dan telko tetap wajib menyelesaikan kewajiban kepada nasabah dan pihak yang terkait dalam uji coba tersebut. Untuk bisa ikut dalam uji coba branchless banking, bank dan perusahaan telekomunikasi wajib memenuhi beberapa persyaratan, baik dari sisi kinerja dan aspek keuangan, kelembagaan dan administratif, serta kesiapan infrastruktur. Dari sisi manajemen risiko ada persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk bank antara lain: pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi serta satuan kerja level manajemen terkait lainnya; kecukupan kebijakan dan prosedur; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan sistem pengendalian intern. 

Sementara untuk perusahaan telekomunikasi, manajemen risiko harus mencakup aspek mempunyai mekanisme pemenuhan kewajiban sebagai penyelenggara e-money; mempunyai mekanisme failure to settle dalam hal penerbit mengalami gagal bayar; menggunakan proven technology; dan penerapan mitigasi risiko yang bersumber dari unit perantara layanan keuangan (UPLK). 

Adapun untuk produk yang dapat digunakan dalam proyek uji coba ini yakni, produk e-money untuk perusahaan telekomunikasi. Sementara untuk bank antara lain produk tabungan yang bebas biaya administrasi dan diberikan bunga, pun produk dan aktivitas e-banking dan penyaluran kredit mikro. 

Dari sisi BI meyakini bahwa masyarakat bisa mendapatkan akses perbankan dengan biaya yang lebih murah melalui layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking) tadi. Demikian pula biaya investasi yang dikeluarkan perbankan akan lebih murah ketimbang harus membuka kantor cabang. Sebagai perumpamaan, selama ini seorang warga di suatu desa kalau mau ke bank harus menggunakan angkutan umum dengan tarif Rp 5.000. Tapi, dengan branchless banking mungkin hanya mengeluarkan biaya Rp 1.000 atau bahkan gratis kalau pakai fasilitas pesan pendek (SMS). 

Sebelum dan selama masa uji coba hendaknya bank dan perusahaan telco yang menjadi peserta uji coba branchless banking harus memberikan edukasi kepada para agen mitra (banking agent) maupun nasabah. Layanan yang notabene masih baru tersebut harus benar-benar dipahami oleh masyarakat. Tidak cukup bank dan perusahaan telco hanya membagi brosur saja, namun tetap harus kegiatan edukasi insentif, sehingga masyarakat dan agen memahami yang mereka lakukan serta tugas dan kewajibannya. 

Diakui, persoalan branchless banking memang terkait dengan pola pemikiran dan kebiasaan perilaku masyarakat. Hingga kini, masih banyak masyarakat Indonesia, apalagi yang unbankable merasa belum ke bank jika tidak mendatangi kantor cabang bank. Sebab itu, perlu diyakinkan bahwa teknologi bisa membuat layanan perbankan menjadi praktis. Diyakini edukasi yang baik merupakan power of repetition sehingga akan diulang-ulang oleh masyarakat. Jadi, bank dan telko jangan lelah melakukan kegiatan edukasi ke publik agar tertanam mengenai proses branchless banking. Tak kalah pentingnya adalah BI berharap pihak perbankan dan perusahaan telko wajib menjaga sisi perlindungan konsumen untuk penerapan proyek uji coba branchless banking. 

Kelak, keberhasilan uji coba ini akan diperluas dan dinasionalisasi melalui kick off secara masif sehingga tujuan akhirnya berupa peningkatan akses masyarakat ke lembaga perbankan (access to banking industry) dapat terpenuhi. Ini sekaligus dapat memenuhi target dari program financial inclusion yang sudah tiga tahun terakhir ini dikampanyekan oleh pemerintah bersama dengan BI. 

Apabila tingkat literasi atau pemahaman masyarakat sudah meningkat, maka fungsi intermeasi oleh perbankan akan bergerak lebih cepat lagi karena penghimpunan dana menjadi lebih agresif, demikian pula dengan penyaluran kreditnya. Ujung-ujungnya peran perbankan dalam kegiatan perekonomian akan semakin efektif. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi juga akan lebih merata karena jangkauan layanan perbankan dan kegiatan sektor riil semakin menyebar, tidak lagi terkonsentrasi di daerah-daerah dengan kondisi overbanked. 

Dengan adanya branchless banking, maka daerah-daerah tertutup dan terisolir sehingga masuk kategori underbanked akan semakin ramai dengan kegiatan ekonomi dan perbankan. Dari sinilah pertumbuhan ekonomi akan semakin menyebar dan merata. 


Business News

Baca selengkapnya...

Senin, 06 Mei 2013

Cegah Faktur Pajak Fiktif, Penomorannya Diatur Ulang

Siang itu, Agus, bukan nama sebenarnya, duduk termenung. Tatapan matanya kosong menerawang menembus jendela kantornya. Beberapa kali terlihat dia menghela napas, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya. Teringat di benaknya suppliernya yang kabur beberapa bulan lalu, menyisakan cicilan yang harus dilunasinya hingga beberapa bulan. Alangkah terkejutnya Agus ketika pagi itu dia menerima secarik surat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaannya terdaftar. Setelah berkonsultasi dengan Account Representative-nya, Agus mendapatkan penjelasan yang mencengangkan: suppliernya ternyata penerbit faktur pajak fiktif, dan telah dihukum pidana! 

Surat tersebut menyatakan bahwa pengkreditan pajak masukan yang telah dilakukannya dengan faktur pajak yang diterbitkan oleh suppliernya tidak dapat dibenarkan. Selain harus mengembalikan uang Negara yang terlanjur direstitusikan, Agus juga diwajibkan membayar denda 100% dari nilai pajaknya. Artinya, Agus menanggung dua kerugian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut oleh suppliernya dinyatakan tidak sah, sehingga dia harus menyetor ulang PPN, serta jumlah denda yang mencapai 100%. Hal inilah yang membuatnya dia resah siang itu. 

PPN pada dasarnya dikenakan pada setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP), mulai pembelian bahan baku hingga penjualan. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dibebankan pada penjual yang disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual menerbitkan faktur pajak, disebut sebagai Pajak Keluaran (PK), dan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM). PKP akan menyetorkan PPN dari PK-nya sekaligus merestitusikan PM-nya. Dengan mekanisme ini, pajak yang dipungut oleh Negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dalam Undang-Undang Nomor 42/2009 tentang PPN, pada pasal 16F dinyatakan bahwa pembeli BKP dan penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak jika tidak bisa menunjukkan bukti pajak telah dibayar. Dengan adanya tanggung jawab renteng ini, penerbit maupun pengguna faktur pajak harus berhati-hati dalam setiap transaksinya. 

Tindak pidana perpajakan dalam penerbitan faktur pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 39A, terkait penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau penerbitan faktur pajak oleh pihak yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Pada kasus di atas, supplier dinyatakan bersalah karena menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, sedangkan perusahaan milik Agus dinyatakan bersalah karena menggunakan faktur pajak tersebut dalam pengkreditan PM-nya. Inilah yang dimaksud dengan mekanisme tanggung renteng sebagaimana diatur dalam UU PPN. 

Situasi di atas terjadi, ketika semua perusahaan dapat dengan mudahnya menerbitkan faktur pajak. Sering ditemui faktur pajak tidak hanya diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun juga diterbitkan oleh Wajib Pajak yang non PKP. Bahkan ada kasus dimana perusahaan atau individu yang belum terdaftar (belum ber-NPWP) turut menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh non-PKP atau bahwa non-Wajib Pajak, inilah yang dinamakan faktur pajak fiktif. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, faktur pajak juga dilabeli sebagai fiktif. Sebagai contoh, toko pakaian menerbitkan faktur pajak atas transaksi penjualan bahan bangunan, yang mana tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. 

Akibat penerbitan faktur pajak fiktif, tidak hanya Negara yang dirugikan akibat restitusi pajak, namun juga banyak “Agus” lain, sebagai pengguna faktur pajak, yang turut terkena dampaknya. Sebagai contoh, salah satu kasus faktur fiktif yang diungkap oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Timur, mengakibatkan negara dirugikan sedikitnya Rp 7 miliar (Kompas, 9 November 2012). Dengan kerugian sebesar itu, dapat dipastikan para pengguna faktur pajak harus mengganti kerugian Negara sebesar 2 (dua) kali lipatnya (PPN + denda 100%). 

Mengatasi hal tersebut, DJP telah melakukan beberapa pembenahan terkait sistem administrasi PPN. Upaya pertama yang dilakukan DJP adalah penertiban terhadap PKP. Pada tahun 2012 lalu, seluruh KPP diharuskan melakukan pendaftaran ulang PKP dan melakukan verifikasi alamat PKP langsung ke lapangan. Apabila ternyata PKP tersebut tidak ditemukan di alamatnya, atau PKP tersebut sudah tidak melakukan kegiatan usaha, maka status PKPnya langsung dicabut, dan diumumkan melalui Situs Pajak (www.pajak.go.id). Pengumuman ini dimaksudkan agar PKP lainnya tidak bertransaksi dengan menerbitkan faktur pajak kepada PKP yang sudah dicabut ijinnya. 

Kegiatan tersebut membuahkan hasil berupa pencabutan status PKP terhadap lebih dari 300 ribu Wajib Pajak. Upaya ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari sektor PPN di tahun 2012, dari target sebesar Rp 336,1 triliun (APBN-P 2012) terealisasikan sebesar Rp 337,6 triliun. Selain membenahi data PKP, faktur pajakpun dibenahi dan diatur ulang tatacara penomorannya. Terhitung mulai 1 April 2013, penomoran faktur pajak dilakukan secara sentralisasi oleh DJP melalui KPP dimana PKP terdaftar. 

Agar dapat dipastikan hanya PKP patuh yang akan memperoleh nomor seri faktur pajak, DJP mensyaratkan agar sebelum memperoleh nomor seri faktur pajak, PKP diharuskan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password untuk memperoleh nomor seri faktur pajak. Kode aktivasi hanya sekali saja digunakan, yakni pada saat mengaktifkan akun, sedangkan password akan digunakan setiap kali pengambilan nomor seri faktur pajak. PKP yang diperbolehkan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password, hanyalah PKP yang telah melaporkan SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir. Kode aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP sesuai dengan alamat yang ada di database kantor pajak, sedangkan password akan dikirim melalui email PKP bersangkutan. 

Dengan cara tersebut, dipastikan hanya PKP patuh yang jelas keberadaanya akan memperoleh nomor seri faktur pajak yang bersifat unik. Nomor yang dikeluarkan oleh KPP juga bersifat acak, dan tidak perlu digunakan secara berurutan. Hal ini akan mempermudah identifikasi faktur pajak fiktif yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerbitkannya. Hal teknis terkait dengan penomoran faktur pajak yang baru ini dapat dilihat pada PER-24/PJ/2012 dan pembetulannya pada PER-08/PJ/2013. Terhitung mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP diharapkan sudah melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan terbaru tersebut. 


sumber : detikNews

Baca selengkapnya...