Jumat, 15 Maret 2013

Doa dalam Sepiring Nasi

Hubungan nasi dengan kehidupan manusia Indonesia sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan. Nasi hadir sebagai bahan makanan pokok untuk mencukupi kebutuhan gizi manusia Indonesia. Nasib nasi memang baik. Sejak mula, nasi mendapat tempat yang lebih baik dari kawan-kawannya, yang memiliki kandungan gizi yang mirip: umbi-umbian, tales, sagu dan jagung. Ketika masih menjadi padi selalu dijaga oleh seorang Dewi Sri. 

Mitos Dewi Sri ini sangat memiliki kaitan yang erat dengan padi daripada tumbuhan-tumbuhan lainnya. Nasib nasi terus bergerak mengiringi kisah kehidupan kita. Nasi begitu diagungkan, sedangkan bahan makanan lain menjadi begitu minor nasibnya. Mungkin sudah nasib padi yang menjadi cikal bakal nasi itu begitu baik. Selain dijaga oleh seorang dewi, padi juga dihubungkan dengan hal-hal yang dianggap baik bagi kehidupan. Padi menjadi simbol kebijaksanaan bagi manusia. Bentuknya yang menunduk sepertinya telah memberikan ajaran kepada manusia tentang makna ketidaksombongan atau mawas diri. 

Melihat hal tersebut, sepertinya sempurnalah nasib nasi di tangan kita. Secara kesehatan dan kedokteran, gizi nasi cukup. Nasi hadir dan kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang sempurna. Bahkan, pada wilayah spiritual, nasi menjadi simbol sebagai penghantar hubungan terhadap Tuhan, hal itu ada dalam tumpeng nasi. 

Makna

Padi yang menjadi cikal bakal nasi ditanam dengan ketulusan, sehingga ada upacara-upacara yang berhubungan dengan perjalanan padi tersebut. Para petani percaya apa yang ditanam akan ditumbuhkan oleh Tuhan dan ia hanya diberi kepercayaan untuk merawat tanaman tersebut dan menggunakannya dengan tidak berlebihan. Muncullah pesta-pesta panen yang merupakan ucapan syukur atas hasil yang telah diberikan Tuhan kepada petani. Dari hal ini ada kesadaran kosmis pada proses penanaman padi. Menanam padi menjadi ibadah untuk melanjutkan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan sekadar tercukupinya kebutuhan atau bahkan penggalian sebesar-besarnya pada alam. Manusia dan alam menyatu dalam laku dan saling memberikan kepercayaan kepada peran yang harus dijalankan. 

Masuknya revolusi hijau pada pertanian di Indonesia, secara tidak langsung petani mengikhlaskan dirinya untuk direnggut dan mengabdi pada kapitalisme global. Orientasinya sudah berbeda, pada awalnya mencukupi kebutuhan di dunia sebagai bekal untuk ibadah kepada Tuhan selaku makhluk yang telah diberi kehidupan di dunia ini, berubah menjadi penumpukan kekayaan sebesar-besarnya untuk mendapatkan kemakmuran versi kapitalisme. Sehingga, persoalan modal menjadi persoalan yang penting setiap kali hendak tanam kembali. Ketergantungan terhadap modal menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia pertanian modern di Indonesia. Meminjam istilah Marx, bahwa petani sudah diasingkan dari tanah dan tanamannya. 

Masuknya pupuk kimia dan bahan kimia lain, serta lahirnya berbagai benih padi yang merupakan hasil penelitian, mengubah pola pikir petani dalam menggarap sawah. Meningkatkan hasil pertanian dengan berbagai cara dengan melupakan kelestarian alam yang telah memberikannya penghidupan selama ini. Hal ini dipicu dari munculnya kebutuhan-kebutuhan yang mungkin bukan menjadi prioritas bagi dunia petani. Petani sudah masuk dalam kehidupan global di mana aktivitas yang dilakukan sudah ditentukan oleh pasar. 

Padi hanya menjadi komoditas pasar belaka. Petani hanya menjadi buruh yang bekerja di sawahnya sendiri. Petani masih merasa dan percaya bahwa apa yang dilakukan adalah kehendaknya sendiri, yaitu menanam padi di sawahnya sendiri. Petani tidak sadar bahwa apa yang dilakukan merupakan tindakan yang mesti dilakukan guna memenuhi kebutuhan pasar, yang sudah tidak lagi ditentukan oleh petani tersebut. Hari ini petani hanya menjadi obyek untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi saja. Padi dan maknanya telah lepas dari jagad religiusitas agraris. Padi ditanam tidak lagi dengan harapan dan doa, namun dengan modal dan perhitungan ekonomi belaka. 

Doa

Nasi yang tersaji di piring kita, ternyata memiliki sejarah yang lumayan panjang. Nasi dari awalnya telah membawa kepentingan, yang mempengaruhi bagaimana sikap kita dalam menghadapi nasi hari ini dengan kepentingan yang kita bawa. Sepertinya, kita tidak bisa lagi menikmati nasi dengan sikap-sikap kultural. Setiap agama telah mengajarkan bagaimana sikap dalam menghadapi makanan yang etis dan beradab. Ucapan syukur menjadi hal yang utama bahwa kita masih bisa makan dengan baik, sehingga doa-doa diucapkan bagi orang-orang yang telah menjadikan makanan itu hadir di hadapan kita. Perubahan nilai makanan yang kita hadapi mengindikasikan adanya perubahan makna dan sikap. Masihkah doa-doa itu layak diucapkan? Kita sulit mengimajinasikan, bahwa nasi di hadapan kita mengandung doa dari para petani sebagai sebuah rantai makanan yang saling menguntungkan. Nasi adalah harga yang harus kita bayar untuk hidup. 

Nasi dalam lingkaran kapitalisme merupakan komoditas. Tergambar dalam pamflet di pinggir jalan dan iklan televisi di tengah keluarga. Nasi bersanding dengan ayam Amerika ataupun nasi dalam bungkus instan. Instanisasi nasi hadir di tengah keluarga dalam berbagai bentuk dan rupa. Bahkan, hanya dengan menekan angka-angka di telepon, nasi yang kita inginkan akan mengetuk rumah kita setiap saat. Sakralitas nasi hilang dalam nilai efisiensi dan percepatan. 

Dulu nasi tumpeng hanya akan hadir dalam peristiwa yang penting dan sakral, serta tidak sembarangan orang untuk menikmatinya. Sekarang nasi tumpeng dapat kita pesan dalam hitungan detik pada restoran cepat saji dan bebas digunakan dalam peristiwa apapun. Masihkah doa-doa layak diucapkan di depan sepiring nasi di meja makan kita? Intinya, kita kehilangan nasi di piring, padahal itulah tanda kehidupan yang diharapkan. Kita telah mendustai nasi karena kerakusan dan kesombongan yang menyebabkan dunia hancur, serta kehidupan yang kita jalani terasa hampa.  


Salman Ali Masturi

Baca selengkapnya...

Selasa, 12 Maret 2013

Nyepi


 Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.  



Pengertian Nyepi  

Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
  
Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan 

Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.  

Puncak acara Nyepi 

Keesokan harinya, yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi. Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.  

Ngembak Geni (Ngembak Api)  

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai. 


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Baca selengkapnya...