Selasa, 15 Desember 2009

Layanan "Mirip Blackberry" Versi Indonesia Diperkenalkan

Layanan serupa Blackberry yakni aplikasi jejaring komunitas asli Indonesia bertajuk "mobinity.net" diperkenalkan untuk menyediakan berbagai layanan bagi komunitas mobile.

"Mobinity.net merupakan aplikasi jejaring sosial dengan kemampuan lengkap dan dilengkapi dengan APN (Acces Point Name) khusus," kata CEO PT inTouch innovate Indonesia, Kendro Hendra, di sela acara peluncuran mobinity di JCC Jakarta, Senin.

APN tersebut, kata dia, memungkinkan operator menyediakan paket data tak terbatas sehingga layanan dapat diakses oleh pengguna sepuasnya dengan harga mingguan atau bulanan tetap, yang terjangkau tanpa terkena biaya GPRS tambahan.

Mobile community network itu merupakan layanan asli buatan Indonesia yang diluncurkan oleh perusahaan IT; PT inTouch innovate Indonesia.

"Mobinity.net juga merupakan aplikasi `On Device Portal` (ODP) yang khusus dibuat untuk menyediakan berbagai layanan bagi komunitas mobel," katanya.

Komunitas mobile itu mencakup mobiFriends yang merupakan client untuk facebook, mobiChat; client untuk Yahoo!Messenger dan MSN; mobiGroup client untuk akses Facebook Groups; mobiNews client untuk akses berita lengkap dengan foto.

Di samping itu juga tersedia mobiReporter yang merupakan aplikasi warta warga yang memungkinkan pemakai menjadi wartawan dengan meng-upload foto dari kamera ponsel, merekam suara, dan mengetik berita yang dapat dilihat oleh pemakai mobinity lain.

Hasil reportase juga dapat dilihat dan didengar di forum InfoKita.

"Tersedia pula layanan mobiMarket yang merupakan aplikasi yang memungkinkan pemakai mencari dan memasang iklan baris di berbagai portal popular seperti sms iklan Kompas.com dan dalam waktu dekat juga kaskus FJB," katanya.

Layanan mobinity saat ini berjalan pada platform Symbian S60 dan Java-MIDP-2 dan membidik pasar pengguna ponsel yang sudah ada maupun pengguna baru.

"Kami telah menjalin kerja sama dengan semua operator GSM yakni 3, Axis, Indosat, Telkomsel, dan XL yang akan membantu memasarkan layanan mobinity kepada 100 juta pelanggan yang sudah ada," kata Kendro.

Untuk pengguna baru, pihaknya menjalin kerja sama dengan beberapa ponsel merek lokal utama yang menanamkan aplikasi dan APN mobinity dalam ponsel sehingga pengguna dapat langsung mengakses layanan.

Sementara itu, Menkominfo, Tifatul Sembiring, terkait kehadiran aplikasi itu berpendapat, mobinity yang 100 persen dibuat anak bangsa dan berjalan pada ponsel merek nasional dengan harga akses terjangkau akan meningkatkan demokratisasi terhadap informasi bangsa Indonesia.

"Slogan made in, by, for Indonesia sangatlah tepat sebagai semangat bagi semua pelaku industri komunikasi dan informatika untuk meningkatkan industrinya tanpa melupakan masyarakat menengah bawah," kata Menteri.


ANTARA News

Baca selengkapnya...

Membunuh Nafsu Korupsi Dengan Rp. 40.000,-

Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita tahunan AS pada 2008 adalah 46.716 dolar AS (Rp. 443,8 juta), Singapura 49.288 dolar AS (Rp. 468,2 juta), dan Indonesia 3.975 dolar AS atau Rp. 37,7 juta. Artinya, pendapatan orang Indonesia per hari Rp. 103 ribu, sedangkan AS dan Singapura masing-masing Rp. 1,215 juta dan Rp. 1,282 juta.

Jelas kedua negara lebih kaya karena mereka menghasilkan lebih banyak uang dari Indonesia, tapi itu tak berarti kerja orang Indonesia kalah keras dari mereka. Persoalannya malah mungkin karena Indonesia yang mempunyai pepatah "hemat pangkal kaya" itu, kalah efisien dari mereka.

Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura pandai menghargai uang, tapi itu bukan berarti mereka materialistis, sebaliknya mereka melihat uang adalah simbol usaha keras manusia.

Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Sebaliknya, menghamburkan uang sama dengan menghina kerja keras dan menyepelekan prestasi.

Untuk itu, penghinaan terhadap kerja keras harus disumbat rapat-rapat untuk memastikan mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan dan sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan.

Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.

Pada beberapa negara rambu etik itu bahkan ditegaskan secara gamblang, misalnya Office of Government Ethics (OGE) di AS.

OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi.

Salah satu etika itu adalah semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah dari pihak lain tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp. 200.000,-) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp. 500.000,-).

OGE juga menetapkan ketentuan, bahwa bawahan hanya boleh memberi hadiah kepada atasannya, sebanyak-banyaknya 10 dolar AS (Rp. 100.000,-).

Disiplin

Bagi masyarakat korup, batasan pemberian hadiah seperti AS itu terlihat aneh, tetapi negara-negara yang memiliki sistem pelayanan publik kredibel, batasan ini justru menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat antikorupsi.

Di samping membunuh budaya nyetor dan pungli, pedoman etik yang terang nan tegas membuat pejabat dan pegawai negeri menjadi sulit disogok oleh pihak-pihak yang memerlukan "rekomendasi" negara untuk kelancaran urusan-urusannya, termasuk soal bisnis.

Lain dari itu, semua orang yang digaji negara, termasuk aparat penegakan hukum, tak bisa lagi sembarangan "didekati," apalagi oleh orang yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan.

Mengutip www.usoge.gov, sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

OGE, seperti umumnya negara yang hirau dengan penciptaan aparatur negara yang akuntabel, mengatur pula batasan benturan kepentingan. Bahwa pejabat dan pegawai negeri tak boleh turut pada proyek-proyek pemerintah yang dapat memperkaya dirinya atau menguntungkan keluarga, kerabat dan kedudukannya di luar kantor.

Pegawai negeri bahkan tak boleh memanfaatkan properti apa pun yang dibeli dengan uang negara, untuk kepentingan pribadi, keluarga dan koleganya. Properti itu bahkan termasuk ATK (alat tulis kantor), telepon, komputer, dan mesin fotokopi.

Sebegitu jauh, disiplin yang dimulai dari hal-hal kecil itu membuat negara berhasil menyumbat kebocoran dana publik dan mampu menciptakan sistem pelayanan publik yang terjaga integritasnya sehingga anteng mendistribusikan kesejahteraan sosial ke segala lapisan masyarakat.

Negara pun kian efisien dan makin mampu memerangi korupsi, terlihat dari tingginya kemampuan negara-negara makmur dalam mengatasi kebocoran dana publik dan dalam membersihkan sistem aparaturnya.

Indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency Internasional menjadi buktinya. Negara-negara hemat dan disiplin melayani publik seperti Singapura, Swedia dan Amerika Serikat, rata-rata memang mempunyai CPI tinggi.

Pada 2009, CPI ketiga negara ini berada pada antara 9,2 - 7,5, sedangkan Indonesia jauh di bawah, hanya 2,8.

Rp. 40.000,-!

Walaupun angka CPI Indonesia itu masih lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 2,6, sejumlah kalangan tidak mau cepat berpuas diri.

"Ini bukan indikator bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lebih baik," kata Manajer Riset dan Kebijakan Transparansi Internasional Indonesia Frenky Simanjuntak seperti dikutip ANTARA, pertengahan November lalu.

Namun apa pun itu, belakangan ini Indonesia memang kian aktif mengenalkan etika-etika antikorupsi untuk membangun sistem pelayanan publik yang bersih dari kongkalikong dan korosif.

UU Gratifikasi dan inisiatif KPK dalam melarang pejabat menerima parsel, adalah beberapa contoh dari pengenalan etika antikorupsi itu.

Langkah ini perlu diperluas lagi skalanya, dengan mengenalkan sebanyak mungkin pedoman etik bagi kerja sistem pelayanan publik.

Jika itu terlalu sulit ditempuh, setidaknya ada prinsip-prinsip etik eksplisit, seperti AS menetapkan batasan sumbangan pihak luar kepada pegawai negeri maksimal 50 dolar AS (Rp. 500.000,-) setahun, atau 0,11 persen dari pendapatan per kapita AS sebesar 46.716 dolar.

Andaikan ketentuan itu berlaku juga di Indonesia, maka dalam setahun, pejabat dan pegawai negeri hanya boleh menerima hadiah dari pihak luar senilai 4,04 dolar AS atau Rp. 40.000,-!

4,04 dolar AS adalah 0,11 persen dari pendapatan per kapita Indonesia sebesar 3.675 per dolar AS.

Memang, ada kekecualian untuk sumbangan bermotif sosial atau yang tak berkaitan dengan jabatan seseorang di kantor publik. Tapi itu tidak menutup fakta bahwa rambu etik yang terang tetapi memaksa, lebih efektif dalam menutup kebocoran dana ketimbang imbauan moral.

Tidak itu saja, hasrat orang Indonesia untuk mengkorupsi dan "memalak" uang rakyat pun bisa terkikis. Bagaimana tidak, jangankan memungut miliaran rupiah, menerima lebih sedikit dari Rp. 40.000,- saja sudah tidak etis dan melanggar ketentuan.

Andaikan ini terjadi, maka tikus-tikus korupsi akan punah dari Indonesia dan kosa kata konglomerat hitam, pejabat korup, atau makelar kasus menjadi terdengar sangat asing bagi telinga publik. Akhirnya, Singapura pun mungkin akan kalah makmur dari Indonesia. Semoga ini bukan lagi mimpi.


Jafar M. Sidik - Antara

Baca selengkapnya...

Senin, 14 Desember 2009

Hati Kecil Saya Untuk Sri Mulyani

Hati kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu tidak seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah, akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih sebagai menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Di dalam negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani mereformasi birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat mengendalikan anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat yang dia anggap tidak seharusnya dibela.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang benar. Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya bukan main itu. Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan pikirannya, dan pintar bersilat kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau lagi melihat cara dia mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya berada di tempat yang sama.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang tiba-tiba menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak akan kehilangan menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari Washington, AS, untuk berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu. Di Washington dia tahu bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Dia harus menghadiri KTT G-20 di Washington saat itu (kebetulan saya ikut di rombongan situ) saat rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. Dia harus tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang sudah membuat warga negara Indonesia panik semuanya.
Dialah menteri yang datang ke Washington hanya untuk mengemukakan pikiran briliannya dan harus langsung kembali ke tanah air pada hari yang sama untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi yang hampir bangkrut itu.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.
Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan bisa diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu dalam pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan uangnya yang Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia tidak mendapatkan bagian serupiah pun.
Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah. Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua masih mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia bersalah dalam mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan.


Dahlan Iskan

Baca selengkapnya...

Jumat, 04 Desember 2009

Cara Mudah Menjalani Kehidupan

“We spend too much time making a living and too little time making and living. – Kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memenuhi tuntutan kehidupan tetapi terlalu sedikit waktu untuk menikmati hidup dan menjadikannya lebih berarti.”
~ Rachei Dillon


Kita memang sering terjebak dengan bermacam kesibukan dan tak sempat menikmati kehidupan ini atau menjadikannya lebih berarti. Sehingga hidup ini serasa melelahkan. Untuk itu saya menulis sebuah buku yang membahas solusi mempermudah kehidupan, berjudul Simplify Your Life With Zen. Tidak saya sangka, para pembaca menyambut hangat kehadiran buku tersebut.
Kemudian muncul banyak pertanyaan. Intinya mereka menanyakan apakah mungkin kita menjalani kehidupan dengan mudah di jaman yang serba sulit ini? Jawabnya kita sangat mungkin menjalani hidup dengan mudah, asalkan kita memahami dan mengerti caranya.
Langkah pertama untuk menjalani kehidupan dengan mudah adalah sesering mungkin bersyukur kepada Tuhan YME atas segala karunia yang sedang kita nikmati saat ini. Jangan selalu berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak kita miliki. Banyak bersyukur kepada Tuhan YME akan membantu kita mendapatkan optimisme dan semangat untuk menjangkau impian yang belum berhasil kita wujudkan.
Rasa syukur terhadap Tuhan YME adalah sumber aura positif yang akan tercermin dalam sikap dan kalimat-kalimat kita. Aura positif tersebut merupakan magnet yang akan menarik segala sesuatu yang positif pula. Sehingga hal itu akan sangat mempengaruhi tingkat mudah dan tidaknya kita menjalani kehidupan ini.
Langkah kedua yang dapat memudahkan kita dalam menjalani kehidupan ini adalah tidak memaksakan diri seperti orang lain. Berbesarlah hati menerima bagaimanapun kondisi kita dengan segala tanggung jawab yang harus kita jalankan. Itu bukan berarti kita tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik, melainkan agar kita lebih mudah memfokuskan diri hanya untuk menunaikan tanggung jawab sebaik mungkin agar dapat menuai hasil semaksimal mungkin.
Sementara itu, sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan dan kekurangan, dalam kehidupan sehari-hari sering pula terbersit pikiran negatif. Jika hal itu terjadi, segeralah mengenyahkan pikiran negatif yang terlintas di dalam benak kita, agar kita senantiasa melihat sisi positif atau manfaat dibalik kejadian atau situasi yang sedang kita hadapi. Karena pikiran negatif itu hanya akan membebani langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.
Kemudian belajarlah untuk ikhlas melepaskan apa yang sudah pernah kita miliki, setelah kita puas berupaya maksimal. Hidup akan terasa lebih ringan jika kita menerima penurunan kondisi fisik akibat bertambahnya usia, penurunan omset bisnis akibat berbagai gejolak krisis, berkurangnya respon dari orang lain karena sudah memasuki masa pensiun, dan lain sebagainya. Hiduplah dalam realitas diri kita dengan lapang dada, dan jangan menganggapnya sebagai coban hidup yang berat. Dengan cara itu, hidup kita akan terasa lebih ringan dijalani. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sehingga kita harus mempunyai kemauan untuk terus belajar banyak hal melalui berbagai cara, misalnya lewat internet, orang lain, seminar, buku dan lain sebagainya. Jika kita mempunyai ilmu atau wawasan yang lebih luas, maka sikap kita akan lebih terbuka dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan. Sehingga kita tak hanya mudah menjalani kehidupan, melainkan menjadikan segala sesuatu dalam kehidupan kita menjadi jauh lebih baik.
Faktor lain yang dapat meringankan langkah kita dalam menjalani kehidupan ini adalah memiliki hubungan sosial yang baik dan luas. Bahkan dikatakan bahwa dalam jaringan sosial yang baik dan luas tersimpan berbagai peluang yang menguntungkan dan memungkinkan kita untuk mewujudkan bermacam impian. Sehingga langkah lain yang harus kita tempuh agar lebih mudah menjalani kehidupan ini adalah menciptakan hubungan sosial yang baik dengan siapa pun dan tanpa tendensi apa pun.
Sementara itu, luangkan waktu untuk bersama dan memberikan perhatian kepada orang-orang tercinta. Curahan kasih sayang bersama orang-orang tercinta dalam berbagai aktifitas sederhana sekalipun, misalnya; saat makan, berkebun, bermain dengan anak-anak, membantu pasangan menyelesaikan tugas, merupakan sumber kedamaian dan keteduhan. Pengalaman menyenangkan selama beraktifitas dengan orang-orang tercinta akan menjadi inspirasi dan semangat baru yang meringankan langkah-langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.
Jangan pula membiarkan stres atau depresi menggangu kesehatan dan ketentraman hidup kita. Hal itu akan menjadikan kehidupan kita serasa berat dan sulit. Oleh sebab itu, luangkanlah waktu untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan YME atau bermeditasi untuk introspeksi diri atau mengevaluasi langkah-langkah yang sudah kita lakukan. Kekuatan spiritual merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan hakiki, sehingga kita mampu bersikap lebih tabah, sabar, tenang dan optimis dalam menjalani kehidupan dengan langkah-langkah yang lebih baik.
Sebenarnya masih banyak langkah-langkah memudahkan kita menjalani kehidupan ini, yang secara garis besar menekankan pada keseimbangan kekuatan intelegensi, emosional dan spiritual serta keseimbangan pemenuhan kebutuhan materi, kesehatan, maupun hubungan sosial. Tetapi bila kita konsisten hanya dengan melaksanakan ke-9 langkah di atas, dipastikan kita dapat menjalani kehidupan ini dengan mudah. Lakukan saja tanpa menunda, dan rasakan dalam waktu relatif singkat kehidupan ini terasa jauh lebih mudah.


Andrew Ho

Baca selengkapnya...

Kamis, 03 Desember 2009

Meditasi : Timur Bertemu Barat

Meditasi adalah jalan pintas untuk mencapai pencerahan. Ini kata para guru spiritual. Meditasi, dalam banyak tradisi, memang sangat dianjurkan. Terutama dalam Buddhisme.

Ada dua jenis meditasi, pertama Samatha Bhavana atau Meditasi Ketenangan, dan yang kedua adalah Vipassana Bhavana atau Meditasi Pandangan Terang.
Ada pandangan yang berbeda di kalangan pengajar meditasi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang harus melakukan dan mahir meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu. Baru setelah itu mereka masuk ke meditasi Vipassana Bhavana. Ada juga yang mengatakan bahwa untuk mencapai pencerahan tidak perlu dengan melakukan meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu tapi langsung meditasi Vipassana Bhavana.
Meditasi Samatha Bhavana adalah pemusatan konsentrasi atau perhatian pada objek tertentu, misalnya napas. Ada empat puluh objek yang bisa digunakan untuk menditasi. Napas hanya salah satunya.
Tujuan dari meditasi ini adalah untuk melatih pikiran sehingga terkendali dan akhirnya diam dan hening. Saat kondisi pikiran benar-benar terpusat sangat kuat, hening, diam, dan tercerap sepenuhnya pada objek meditasi maka pada saat itu meditator mencapai kondisi jhana.
Sedangkan meditasi Vipassana Bhavana adalah meditasi perhatian penuh, introspeksi, observasi realitas, kewaspadaan objektif, dan belajar dari pengalaman setiap momen. Inti dari meditasi ini adalah mengamati segala proses mental atau fisik yang paling dominan pada saat sekarang Dengan kata lain, menyadari, mencatat, ingat ketika lenyap.
Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan mana atau siapa yang benar. Apakah perlu Samatha dulu baru Vipassana ataukah tidak perlu Samatha tapi langsung Vipassana? Yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah apakah sebenarnya yang terjadi dalam pikiran seseorang yang melakukan meditasi, baik itu Samatha maupun Vipassana, ditinjau dari riset di barat, dengan mengukur pola gelombang otak.
Saat belajar kepada Anna Wise, satu hal yang sangat mencerahkan saya adalah saat Beliau berkata, “Meditation is a state of consciousness, a spesific brain-wave pattern, no a technique”. Anna juga berkata bahwa, “There is state of consciousness and content of consciousness”.
Wow… ini sungguh suatu pencerahan luar biasa. Anna Wise sampai pada kesimpulan ini setelah mengukur, dengan menggunakan Mind Mirror, begitu banyak pola gelombang otak orang, termasuk para master dan guru meditasi Zen.
Dari pengukuran Anna Wise didapat satu data yang sangat menarik yaitu semua master dan guru meditasi itu punya gelombang otak yang sama. Pola ini disebut dengan pola Awakened Mind (AM) yang terdiri dari beta, alfa, theta, dan delta dengan komposisi yang pas. Beta di sini adalah low beta dan hanya sedikit saja, karena hanya digunakan untuk menyadari, mengetahui, mencatat.
Alfa berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran sadar dan bawah sadar. Theta adalah pikiran bawah sadar dan delta adalah pikiran nirsadar.

Kita tetap membutuhkan beta, walaupun hanya sedikit saja, untuk bisa mengetahui atau menyadari apa yang sedang kita alami. Bila tidak ada beta maka kita sama sekali tidak akan tahu atau ingat yang terjadi atau alami saat meditasi.
Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Samatha dan Vipassana?
Meditasi Samatha, bila dilihat dari pola gelombang otak, bertujuan untuk meng-OFF-kan gelombang beta. Beta adalah gelombang pikiran sadar dan berkisar pada kisaran frekuensi 12-25 Hz. Gelombang ini aktif bila kita berpikir, memberikan penilaian (judgement) atau memberikan makna pada sesuatu, mengkritik, membuat daftar, menganalisa, atau berbicara pada diri sendiri (self talk).
High Beta, frekuensi di atas 25 Hz berhubungan dengan stress dan kecemasan. Semakin aktif high beta seseorang maka semakin “liar” pikirannya. Pikiran akan lari ke sana ke mari, melompat dari satu hal ke hal lain, tidak bisa diam, sulit atau hampir tidak mungkin untuk dikendalikan. Kesulitan ini yang dialami oleh semua meditator pemula.
Banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk belajar mendiamkan pikirannya mereka namun tidak berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bermeditasi karena tidak merasakan manfaat.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seseorang mahir meng-OFF-kan pikirannya? Ini semua bergantung pada waktu dan teknik yang digunakan. Umumnya, untuk meng-OFF-kan pikiran sadar, orang menggunakan objek napas.
Pikiran dilatih untuk diam dengan cara difokuskan pada napas. Dan pada saat pikiran lari ke objek lain maka pikiran ditarik kembali ke napas dan demikian selanjutnya sampai dicapai kekuatan konsentrasi yang sangat tinggi.
Sulitnya meditator mendiamkan pikirannya, selain karena aktifnya high beta, juga disebabkan tubuh yang tegang. Posisi duduk yang tidak tepat, apa lagi kalau sampai melakukan postur full lotus, membuat otot paha dan tubuh menjadi begitu tegang sehingga adalah tidak mungkin untuk bisa mencapai kondisi pikiran yang rileks.
Masih berdasar riset Anna Wise, untuk bisa merilekskan pikiran, menurunkan beta dengan cepat, bisa dilakukan dengan merilekskan tubuh terlebih dahulu. Ada teknik spesifik yang Beliau kembangkan untuk bisa mendiamkan pikiran dalam waktu yang sangat singkat.
Saat seseorang telah mampu meng-OFF-kan pikiran sadarnya (gelombang beta) maka pada saat itu ia telah masuk ke kondisi meditatif yang sangat dalam. Jadi, meditasi sebenarnya adalah gelombang otak yang terdiri dari alfa, theta, dan atau tanpa delta. Di sini tampak jelas bahwa beta tidak dibutuhkan untuk meditasi. Justru beta perlu dihilangkan.
Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Vipassana?
Dari pengalaman saya pribadi adalah cukup sulit atau bahkan tidak mungkin bisa melakukan pengamatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau sensasi fisik yang muncul saat pikiran sadar masih sangat aktif. Apalagi jika yang aktif adalah high beta.
Jelas sangat sulit melakukan pengamatan jika piranti yang digunakan untuk melakukan pengamatan atau observasi, yaitu pikiran sadar, masih sangat aktif dan sibuk sendiri.
Yang diamati dalam meditasi Vipassana, khususnya pada aspek bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul, sebenarnya berasal dari pikiran bawah sadar dan nirsadar.
Dari pikiran bawah sadar biasanya muncul memori atau ingatan mengenai kejadian tertentu, yang berasal dari pengalaman di kehidupan saat ini, dan biasanya berisi muatan emosi dengan intensitas yang tinggi, baik positif maupun negatif.
Jadi, saat memori ini muncul, baik dalam bentuk gambar atau film, maka sebenarnya pada saat yang sama emosi yang berhubungan dengan memori ini juga aktif. Sedangkan dari pikiran nirsadar akan muncul memori dan emosi yang berasal dari kehidupan lampau.
Itulah sebabnya adalah sangat penting bagi seorang meditator untuk tidak masuk ke dalam pengalaman itu, karena biasanya mengandung emosi yang intens, dan cukup hanya mengetahui, menyadari, mencatat, dan mengingatnya ketika lenyap atau hilang.
Meditator tidak larut ke dalamnya. Akan sangat riskan bila meditator masuk ke dalam pengalaman itu, terutama jika pengalaman itu mengandung emosi negatif yang intens, misalnya akibat dari trauma masa lalu.
Jika sampai terjadi hal ini maka meditator akan mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu. Istilah teknisnya revivification dan akan berdampak negatif pada kondisi mental dan emosinya.
Kemampuan untuk bisa menjadi pengamat (observer) dan tidak masuk ke dalam objek yang diamati hanya bisa dicapai bila pengendalian diri kita baik dan juga pikiran sadar (baca: beta) tidak terlalu aktif dan tidak memberikan penilaian atau penghakiman.
Saat kita mampu melihat atau hanya menjadi pengamat maka kita telah mampu melakukan disosiasi sehingga tidak dipengaruhi emosi yang melekat pada suatu memori. Saat kita mampu tenang hanya menyadari, mencatat, dan mengingat kejadian atau pengalaman yang muncul, maka kita akan tahu dan sadar bahwa kita bukanlah pengalaman atau emosi kita. Pengalaman atau emosi itu muncul dan tenggelam/hilang. Dan saat kita memberi jarak atau memisahkan diri dari pengalaman atau emosi itu maka mereka tidak bisa mempengaruhi diri kita.
Banyak yang berpikir, “Jika tidak ada beta, lalu bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan insight atau mengerti?”
Insight atau kebijaksanaan yang sesungguhnya berasal dari theta atau pikiran bawah sadar. Kedalamam meditasi ditentukan oleh kedalaman theta yang berhasil kita capai. Theta adalah tempat terjadinya koneksi spiritual paling dalam. Saat seseorang berada dalam deep theta maka ia akan merasakan ketenanga, kedamaian, dan kebahagiaan yang luar biasa.
Pikiran bawah sadar mempunyai proses berpikir sendiri yang terpisah dari pikiran sadar. Jadi, saat kita bermeditasi Vipassana, saat pikiran sadar yang tidak terlalu aktif, maka informasi atau insight yang berasal dari pikiran bawah sadar akan naik, melalui jembatan alfa, ke pikiran sadar (beta) dan kita menyadari atau tahu (ingat) informasi ini.
Jadi, yang dilakukan oleh meditator yang bertahun-tahun melakukan meditasi Samatha sebenarnya adalah persiapan untuk awakening atau pencerahan. Para meditator ini biasanya, setelah bertahun-tahun berlatih meditasi, berhasil mengembangkan pola gelombang otak Awakened Mind.
Namun meditasi Samatha, walaupun telah lama dilakukan, walaupun telah berhasil mencapai pola Awakened Mind, tidak mampu memfasilitasi pencapaian pencerahan.
Mengapa? Karena meditasi Samatha sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi kesadaran (state of consciousness) yang spesifik. Kondisi kesadaran ini selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melatih meditasi Vipassana karena Vipassana sebenarnya adalah content-based meditation atau meditasi berdasarkan isi.

Yang dimaksud dengan isi, selain sensasi fisik yang dirasakan, juga adalah konten dari pikiran bawah sadar dalam bentuk-bentuk pikiran dan emosi yang muncul, dirasakan, atau dialami pada saat meditasi berlangsung, pada momen here and now.
Contoh yang paling populer adalah koan dalam meditasi Zen. Saat seorang master Zen bertanya pada muridnya, “Bagaimana bunyinya bila tepuk tangan dilakukan hanya dengan satu tangan?”, maka pada saat itu sang master memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab bila si murid hanya menggunakan pikiran sadar atau beta.
Saat berpikir keras untuk menemukan jawabannya maka pikiran murid yang terlatih akan begitu fokus, dan ini sebenarnya adalah meditasi Samatha, akan mendapatkan pemahaman atau pengetahuan, yang berasal dari pikiran bawah sadarnya, yang mampu memfasilitasi tercapainya pencerahan.
Ini bukan meditasi dengan “pikiran kosong”. Sebaliknya, ini adalah meditasi dengan konten yang sangat spesifik yang dilakukan oleh praktisi dengan kondisi pikiran yang telah disiapkan dengan sangat baik dan hati-hati sekali, dengan menggunakan teknik yang spesifik.
Pembaca, setelah membaca sejauh ini, jika anda bermeditasi, teknik mana yang akan anda gunakan? Samatha atau Vipassana? Semua saya kembalikan pada diri anda sendiri. Saat bermeditasi kenalilah diri anda sendiri. Anda akan tahu apakah anda akan langsung ke Vipassana ataukah perlu melatih Samatha dulu.
Dan yang paling penting adalah anda perlu belajar di bawah bimbingan seorang guru meditasi yang berpengalaman. Hanya duduk dan memperhatikan napas memperhatikan pikiran belum tentu bisa disebut meditasi. Meditasi, seperti yang didefisinikan oleh Anna Wise adalah kondisi kesadaran spesifik bukan sekedar teknik.
Jika anda telah melakukan meditasi sekian lama namun belum bisa masuk atau mengalami kondisi kesadaran (state of consciousness) yang spesifik itu maka meditasi anda bisa dibilang belum berhasil.
Anna Wise pernah membantu seorang kliennya, seorang meditator. Keluhan klien ini adalah walaupun ia telah meditasi Samatha selama 12 tahun non stop, setiap hari 1 jam, ia masih belum bisa masuk ke kondisi meditatif yang dalam.
Saat dilihat pola gelombang otaknya, dengan menggunakan Mind Mirror, tampak bahwa selama 12 tahun meditasi klien ini tidak bisa mendiamkan pikirannya. Hal ini tampak dari high beta yang sangat aktif saat ia melakukan meditasi.
Dengan teknik yang spesifik Anna berhasil membantu klien ini mendiamkan pikirannya sehingga menjadi tenang dan hening dalam waktu yang relatif singkat. Sungguh sayang bila ketekunan selama 12 tahun ini ternyata tidak berbuah hasil seperti yang diinginkan.
Selamat bermeditasi……….


Adi W. Gunawan

Baca selengkapnya...

Rabu, 02 Desember 2009

Mari Jaga Kesehatan Tulang Belakang

Salah satu bagian tubuh yang sering kali diabaikan kesehatannya adalah tulang punggung. Padahal, di bagian inilah terdapat segala pusat saraf yang menghubungkan bagian-bagian tubuh dengan otak.

Sadarkah Anda bahwa setiap kegiatan dan aktivitas yang salah bisa menyakiti tulang belakang kita? Melakukan aktivitas untuk menjaga tulang belakang tetap bagus tak hanya berguna untuk kebaikan dan kesehatan, tetapi juga untuk menjaga postur tubuh tegak dan sehat.

Berikut adalah tips untuk menjaga postur untuk menjaga tulang belakang Anda

1. Ketika akan mengangkat barang atau bayi dari lantai, tekuk lutut Anda, jangan membungkuk. Ketika Anda membungkuk dan mengangkat barang berat dari lantai, hal ini bisa menyakiti dan membebani tulang punggung dengan beban terberat. Salah-salah, malah bisa terjadi kram atau dislokasi. Ketika akan mengangkat barang berat dari lantai, usahakan untuk menjaga tulang belakang tetap lurus. Tekuk kaki Anda untuk menyejajarkan diri dengan barang tersebut. Angkat barang tersebut dekat dengan tubuh, lalu perlahan berdiri kembali.

2. Begitu pula ketika Anda akan menaruh barang berat ke tempat yang tingginya di atas kepala Anda, usahakan jangan mengangkat barang tersebut lebih tinggi dari pundak Anda. Jika Anda akan menyimpan barang berat di tempat yang tinggi, gunakan tangga atau kursi. Mengangkat beban berat di atas batas pundak Anda bisa menyebabkan tulang belakang mendapat tekanan yang sangat besar.

3. Ganti posisi sesering mungkin jika Anda harus berdiri dalam waktu lama. Misalnya saat Anda berdiri sambil menyetrika baju, gunakan dingklik atau kursi kecil untuk menaruh kaki Anda bergantian. Ini perlu untuk menyeimbangkan dan mengganti tumpuan berat badan. Berdirilah tegak, jangan membungkuk dengan kepala tegak.

4. Berjalanlah dengan tegak, dengan kepala menatap ke depan dan punggung lurus. Berjalanlah dengan postur tegak, pandangan ke depan, dan ujung-ujung kaki menunjuk ke lurus ke depan. Gunakan sepatu yang nyaman dan berhak tipis. Hindari berdiri dengan posisi yang sama dalam waktu lama. Jangan berjalan membungkuk, hindari menggunakan sepatu berhak tinggi dalam waktu lama.

5. Ketika di dalam mobil, duduklah tegak, majukan tempat duduk pengendara agar kaki Anda lebih dekat dengan pedal. Usahakan kedua lutut Anda sejajar dengan pinggul. Sokong punggung bagian bawah dengan handuk gulung atau penyokong tulang belakang khusus. Jangan duduk terlalu jauh dari setir. Perhatikan kaki Anda ketika menginjak pedal. Jika terlalu jauh, dekatkan, karena ketika otot kaki tiba-tiba meregang tanpa pemanasan bisa menyebabkan kram dan tekanan di tulang punggung.

6. Saat duduk di depan komputer atau di depan televisi yang biasanya akan berlangsung lama, pastikan paha Anda sejajar dengan lantai, jangan sampai kaki menekuk terlalu tinggi (berarti lutut Anda lebih tinggi dari paha) atau kaki Anda menggantung jauh dari lantai. Biarkan kedua telapak kaki Anda rata di lantai dan punggung Anda mendapatkan dukungan dari belakang kursi.

Untuk lebih amannya, berikan gulungan handuk di bagian punggung bawah. Pastikan pandangan Anda lurus ke depan, tidak menunduk atau melihat ke atas. Posisi yang tak nyaman dalam waktu lama bisa menyebabkan kram otot.

7. Saat tidur, manusia memang memiliki kebiasaan dan posisi nyamannya masing-masing. Namun, untuk menjaga agar tulang punggung tetap baik, pastikan tempat tidurnya cukup keras dan rata. Ketika tidur dengan posisi menyamping, tekuk sedikit lutut, biarkan kedua lutut tersebut bertumpukan.

Jika Anda tidur telentang, berikan bantal kecil di bawah lutut. Hindari tidur telungkup, karena ini bisa menyakiti tulang belakang Anda. Hindari tidur di media yang terlalu lembut, seperti sofa, karena hal ini tidak bisa menyokong tulang punggung.


DNA Berita

Baca selengkapnya...

Are You an In or an Out Leader?

I have just spent an intensive week coaching executives in a global organisation, asking my clients the simple question: are you an "In" or an "Out" leader?

By that, I mean, how much time and energy are you spending in (or with) your team and how much time out in the wider organisation? It might seem like a simple question, but executives rarely take the time to think about it. It's important to do though, because this single question could answer many other questions that you — or your boss — have about your style and effectiveness.
Executives usually have a preference for one arena, which can be reinforced by their role, their personality, or even the corporate culture. A quality control manager, for example, would naturally be more inwardly focused while a communications director would roam across the business. Both roles would attract different personalities. Similarly, some organisations are structured as, or have developed into, silos due to the nature of their business or markets. Examples might include law firms, where separate practices evolve to serve clients in specific areas.

My suggestion is that executives need to balance the time they spend in both the In and Out arenas if they are to be effective. They also need to find a third place — between the two arenas — where they can reflect on this. My post earlier this year about scheduling a regular meeting with yourself is one way to do this.
Let me outline some of the activities and tasks associated with each arena so you can assess for yourself where you are spending your time:
In Leaders:
• Focus on results and deliverables
• Coach and support their people
• Build team spirit
• Offer expert knowledge or share experience
• Monitor performance/quality control
• Are present and available
• Surface and deal with conflict
Out Leaders:
• Get involved in cross-organisational initiatives
• Build networks
• Delegate extensively
• Manage their profiles and visibility
• Engage with peers inside and outside their companies
• Look after their careers
• Engage in organisational politics
• Join committees
• Attend or speak at industry conferences
So why is balance so important? I have worked with many executives who exist only in the In space. They argue that they are doing "real" work: finishing projects, delivering results and building strong teams. They often distrust (or even despise) peers who focus on the Out space, branding them as attention seekers, political operators, or "committee people." Not surprisingly, the outwardly focused leaders describe their inward-facing peers as uncooperative, naïve, or poor corporate citizens.
Of course, I am describing extremes of behaviour here, but I hope you see my point. The best approach is to know your default setting and then to make sure that it is not turning into your comfort zone. All of the positive aspects of each point above can turn into negatives if they are overplayed. So focusing too much on results can mean you neglect strategy and vision, and always being on hand with an answer for your team can mean they become lazy or de-motivated. Equally, too many cross-organisational initiatives can detract from your real job, while looking after yourself and your career alone can mean you lose supporters.
One client I remember received some very clear feedback about where he should be focusing his energy. An individualistic and politically savvy North American executive, he had been posted to Switzerland, where his team were unimpressed by what they viewed as his selfish and pointless manoeuvrings across the organisation. "Come back into your team where you belong," they demanded. He recognised that Swiss culture is based on team work and the leader's role is more primus inter pares than boss. Fortunately he adapted his style and focused heavily inwards, spending time building relationships and supporting his team. Interestingly, when I caught up with him three years later, the feedback he was receiving was the opposite: "You are here too much," they said. "You have disappeared as a leader. We need you to go out and fight for us. Be our North star." Clearly, it was time for him to venture outwards again.
As always, I am eager to hear your thoughts and comments. Do you prefer one arena or the other? Have you been pushed outside your comfort zone or area of responsibility? Have you noticed any preferences among colleagues or bosses to be In or Out? What do you think is a good balance of activity?


Gill Corkindale

Baca selengkapnya...

Selasa, 01 Desember 2009

Pembangunan Ekonomi yang Ramah Lingkungan

Nunun (bukan nama sebenarnya), seorang yang penuh dedikasi pada pekerjaannya, bekerja keras, tidak pantang lelah. Kalau pun dia merasa letih, dia atasi dengan minum kopi. Nunun lalu merasa segar kembali dan siap bekerja keras lagi.

Setelah pekerjaan selesai, dia baru istirahat. Di saat lain, muncul lagi kegiatan yang sangat menyita waktu dan tenaga dia. Lagi-lagi dia atasi semua ini dengan minum kopi. Namun, tubuh tidak dapat terus dipaksa. Kopi hanya dapat mempertahankan kesegaran Nunun untuk sementara. Akhirnya, akibat kebiasaannya minum kopi itu, dia pun sakit. Dia tidak bisa bekerja lagi, pekerjaannya berantakan.

Itu pula yang terjadi dengan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dan mengabaikan kondisi lingkungan ibarat Nunun, si pekerja keras yang tidak memperhatikan kondisi tubuhnya. Ekonomi yang dibangun dengan merusak lingkungan hanya akan bertahan sementara.

Akhirnya, setelah lingkungan benar-benar rusak, ekonomi pun akan ikut hancur. Fungsi lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi bagaikan fungsi kesehatan untuk pekerjaan kita. Kita perlu sehat agar pekerjaan kita berhasil. Berhasil bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi untuk waktu yang lebih lama.

Pertanyaannya adalah apakah kita mau mengorbankan kesehatan kita demi pekerjaan, seperti yang terjadi dengan Nunun? Apakah kita mau mengorbankan kondisi lingkungan hidup kita demi pertumbuhan ekonomi? Sayangnya, sebagian ekonom tidak mau "mengorbankan" pertumbuhan ekonomi demi lingkungan hidup yang baik. Buat mereka, pertumbuhan ekonomi adalah panglima.

Lihat saja, program ekonomi sering dimulai dengan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini persis yang dikerjakan Nunun, yang bekerja keras tanpa memperhitungkan kondisi kesehatan. Inilah yang terjadi dengan berbagai program ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan tinggi dengan merusak lingkungan. Mungkin, pertanyaan konkretnya adalah bagaimana melaksanakan hal ini.

Salah satu contoh, adalah bagaimana mengembangkan proyek turisme bebas dari asap rokok. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kesadaran terhadap bebas asap rokok sudah makin meningkat.Daerah yang bebas asap rokok ini pun dapat menarik turis asing karena saat ini kecintaan pada udara yang bebas asap rokok telah meningkat dengan luar biasa. Namun ironis, kadang-kadang kita mendengar bahwa orang ingin berkunjung ke Indonesia karena Indonesia adalah ?surga para perokok?.

Orang dapat dengan mudah merokok dan merusak mutu udara kita. Alasan yang kita dengar, kita membutuhkan uang mereka. Tetapi, apakah kita rela kondisi lingkungan kita dirusak dengan arus rokok yang terus berdatangan ke Indonesia,semata demi uang jangka pendek? Sesungguhnya, berupaya menciptakan turisme tanpa rokok tidak harus berarti menurunkan penghasilan.

Sekarang, kesadaran tentang pentingnya bebas dari asap rokok makin meningkat. Para perokok memang akan menjauh dari kita, tetapi, turis lain, yang mencintai udara bebas asap rokok,akan berdatangan. Ekonomi pun tumbuh, bersamaan dengan peningkatan mutu udara kita. Kesadaran perlunya lingkungan hidup yang baik (bukan hanya bebas dari asap rokok) pun telah terus meningkat, termasuk di dunia internasional.

Gaya hidup yang ramah lingkungan makin dicari orang dan makin trendi.Permintaan akan barang dan jasa yang ramah lingkungan pun akan meningkat. Kita pun kemudian menciptakan barang dan jasa yang ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat ini. Mari kita laksanakan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.

Pertumbuhan ekonomi antara 4?5% sudah bagus asalkan terjadi perbaikan dalam kondisi lingkungan hidup. Adalah bonus, bahwa ekonomi dapat tumbuh di atas 5%. Pemerintah seyogianya menjadikan kemajuan lingkungan hidup sebagai salah satu indikator utama keberhasilan pemerintah setempat dan pemerintah Indonesia. Statistik lingkungan hidup dapat dilaporkan setiap tiga bulan bersamaan dengan laporan pertumbuhan ekonomi.

Kita telah menciptakan kawasan ekonomi khusus di Batam, Bintan, dan Karimun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Indonesia, dan Pemerintah Singapura berusaha membuat ketiga daerah ini melonjak dengan cepat dalam pembangunan ekonomi,dalam arti mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berbagai fasilitas khusus diberikan untuk tiga daerah ini. Kalau berhasil, program semacam ini akan diperluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Namun, masalah lingkungan hidup tampaknya belum mendapatkan perhatian khusus dalam proyek Kawasan Ekonomi Khusus itu.Apakah ketiga daerah itu akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengorbankan kondisi lingkungan hidup di daerah itu?

Kalau hal itu yang terjadi, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut akan berkelanjutan? Semoga perencanaan dan pelaksanaan Kawasan Ekonomi Khusus di Batam, Bintan, dan Karimun telah memperhatikan kondisi lingkungan hidup. Sudah saatnya kita menciptakan proyek "Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan". Tekanannya bukan pada pengejaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi,tetapi pada pencapaian kondisi lingkungan hidup yang baik.

Tentu saja, ekonomi di kawasan ini harus tumbuh, tetapi pertumbuhan yang tinggi bukanlah target utama pembangunan di daerah ini. Pemerintah dapat membuat eksperimen dengan menciptakan Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan, yang bertujuan utama meningkatkan kondisi lingkungan hidup. Kita pilih daerah yang dapat dijadikan pilot project. Kita berikan fasilitas khusus agar daerah itu dapat berkembang dengan kondisi lingkungan yang bagus.

Kalau berhasil, proyek ini diperluas ke daerah lain. Kita pun dapat bekerja sama dengan pemerintah negara lain untuk menciptakan Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan di Indonesia. Mungkin, Bali dapat dijadikan sebagai salah satu kawasan tersebut. Bali memiliki banyak potensi untuk menjadi contoh keberhasilan dalam pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.


ARIS ANANTA - Ekonom

Baca selengkapnya...