Tampilkan postingan dengan label Analisa dan Kiat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisa dan Kiat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Oktober 2017

Pensiun Dini, Tak Cuma Soal Berani

Tidak pernah terbersit sedikit pun di benak Luna untuk pensiun dini ketika bergabung jadi karyawan di salah satu bank swasta pada 2011 silam. Tapi, perempuan 32 tahun ini tidak bisa lagi memendam mimpi untuk tinggal dan berkelana di negeri orang. Setelah empat tahun bekerja sebagai bankir, Luna membulatkan tekad untuk berhenti bekerja dan mencari pengalaman hidup di Australia. Bulan pun jatuh dalam ribaan. Di saat yang sama, bank tempatnya bekerja menawarkan program pensiun dini ke semua karyawan.

“Waktu itu, laba perusahaan sedang turun, jadi perusahaan menawarkan pensiun dini yang berlaku untuk semua karyawan, bahkan bagi karyawan baru,” kisah Luna. Menurutnya, banyak karyawan yang menerima tawaran tersebut mengingat nilai pesangon yang besar. Kalau mengajukan pengunduran diri atau resign, besaran pesangon yang Luna terima tak sampai dua kali gaji. Sementara pesangon dari pensiun dini mencapai 11 kali gaji. “Tentu saja, saya ambil tawaran pensiun dini. Atasan saya waktu itu juga setuju,” kenangnya.

Pensiun dini alis pendi. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang berhenti bekerja sebagai karyawan sebelum usia 55 tahun. Musababnya beragam, bisa keinginan sendiri atau terpaksa lantaran kebijakan perusahaan seperti yang dialami Luna.

Apapun alasannya, sama seperti tujuan keuangan lainnya, pensiun dini pun harus dipersiapkan dengan matang. Jangan sampai menyesal tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari ketika sudah tak mendapat penghasilan rutin lagi.

Melunasi Utang

Menurut Prita H. Ghozie, Perencana Keuangan Zap Finance, tidak ada usia yang ideal untuk pensiun dini. Selama anggaran untuk kebutuhan hidup bisa terpenuhi, patokan usia ideal untuk pensiun dini menjadi tidak relevan lagi.

Tapi, berdasarkan pengamatan Prita, rata-rata usia pensiun dini ialah 45 tahun. “Alasan utama sebenarnya karena terpaksa terkait keputusan perusahaan,” kata dia. Umumnya aturan main tentang dana pensiun menetapkan usia 45 tahun sebagai masa seseorang sebagai karyawan bisa memulai pensiun dini. Di periode inilah sangat penting menghitung kebutuhan biaya hidup selama masa pensiun, sekaligus aset yang telah dimiliki.

Menurut Prita, ada empat pertanyaan yang harus dijawab lebih dulu sebelum memutuskan pensiun dini.
Pertama, apa kegiatan setelah pensiun?
Kedua, berapa jumlah kewajiban yang masih harus dibayar?
Ketiga, berapa jumlah tanggungan yang masih usia sekolah?
Keempat, berapa biaya hidup sampai masa perkiraan hidup?

Beragam pilihan menanti seseorang di masa pensiun. Anda bisa menikmati hidup dengan hanya mengelola keuangan, atau berbisnis agar tetap mendapatkan penghasilan. Tapi, beberapa orang tetap bekerja, baik bekerja sebagai karyawan tetap atau paruh waktu, setelah menerima tawaran pensiun dini dari perusahaan.

Di antara pilihan itu, menurut Prita, pengelolaan keuangan yang sudah ada, lebih tepat dipilih lantaran tidak semua karyawan mampu memiliki usaha. Bahkan enggak semua orang bisa mengubah perilaku atau mindset dari karyawan menjadi pengusaha. Tapi, “Jika masih bisa produktif, jadi pengusaha lebih baik,” imbuh dia.

Apa pun pilihannya, semua orang harus mampu mengelola keuangan dengan investasi. Ada sejumlah tahapan dalam mengelola keuangan sebelum memutuskan pensiun dini, yakni: evaluasi aset dan kewajiban, prioritas pengeluaran berdasarkan situasi rumahtangga, menghitung kebutuhan biaya hidup, serta menentukan alokasi aset investasi.

Yang harus dicamkan, ada satu prinsip yang tak boleh dilanggar begitu memasuki pensiun, yakni melunasi utang. “Haram ketika pensiun tapi masih punya cicilan. Kalau mau pensiun dini, pastikan tak ada utang,” tegas Pandji Harsanto, perencana keuangan independen.

Ketika mengambil tawaran pendi dari kantor, biasanya ada paket pensiun dini yang diberikan perusahaan, dikenal juga dengan golden shakehand. Nilainya bervariasi, tergantung lama bekerja, jabatan terakhir, dan kebijakan dari perusahaan. Pensiun dini juga memungkinkan seseorang memperoleh manfaat Program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Dengan catatan, manfaat Program JP baru bisa Anda rasakan setelah membayar iuran rutin selama 15 tahun bekerja.

Dana Cadangan

Masalahnya, banyak yang tidak paham memanfaatkan dan mengelola dana pensiun yang mereka dapat. Padahal, perencanaan dan persiapan pensiun sangat penting agar tetap sejahtera di masa pensiun. Untuk itu, utamakan penggunaan dana pensiun untuk melunasi seluruh utang.

Menurut hitungan Pandji, saat pensiun, pengeluaran seseorang bisa berkurang 30%– 50%. Salah satunya karena cicilan sudah terbayar. Di samping itu, biaya transportasi dan sosialisasi juga jauh berkurang. “Setelah membayar utang, hitung, apakah sisa paket pensiun cukup untuk kebutuhan sehari-hari sampai akhir usia,” kata Pandji.

Bila dana pendi yang ditawarkan tak cukup melunasi seluruh utang, sebaiknya Anda menunda pensiun dini. Soalnya, dengan ada beban utang, maka Anda tidak bisa menikmati masa pensiun dengan optimal. Kalau memang dana pendi dari perusahaan masih kurang, Anda bisa berpikir merintis bisnis sehingga tetap mendapat penghasilan setelah pensiun.

Pandji menyebutkan, untuk memodali bisnis, pertama-tama gunakan sekitar 10% dari paket pensiun. Pasalnya, setelah bertahun-tahun menjadi karyawan, belum tentu seseorang langsung sukses ketika berbisnis. Maka, jangan habiskan paket pensiun sebagai modal bisnis karena terlalu berisiko. Tidak sedikit yang kesejahteraannya berkurang setelah pensiun dini. Sebab, paket pensiun dari perusahaan ludes dalam “sekejap”.

Untuk menghindari hal ini, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan.

Pertama, memupuk dana cadangan. Prinsipnya sama seperti orang yang masih bekerja. Untuk keluarga tanpa tanggungan anak, siapkan dana cadangan enam kali dari kebutuhan bulanan rumahtangga. Sedang untuk keluarga dengan satu anak, simpan dana darurat sebanyak sembilan kali. Jumlah ini naik jadi 12 kali bagi keluarga dengan dua anak.

Kedua, berinvestasi. Setelah punya dana darurat, barulah Anda bisa berpikir untuk menginvestasikan dana yang ada. Para perencana keuangan menyarankan peserta pendi menempatkan dana di instrumen investasi yang resikonya kecil, meskipun imbal hasilnya relatif kecil. Contoh, deposito, reksadana pasar uang, logam mulia. Menurut Prita, Anda harus memaksimalkan aset investasi untuk menambah sumber penghasilan dan kekayaan sebagai modal pensiun. Anda bisa menempatkan sebagian dana di aset yang memberikan penghasilan pasif. Sisanya bisa Anda taruh di instrumen investasi yang cukup agresif. Contoh, sebagian dana pensiun Anda belikan properti yang berpotensi memberi penghasilan sewa, seperti rumah atau apartemen. Sebagian lagi dikelola di produk keuangan semisal reksadana untuk mengakumulasi potensi keuntungan.“Cermati perkembangan investasi setiap tahun, dan pastikan Anda memiliki dana darurat dalam jumlah ideal,” ujar Prita.

Sudah mantap mau pendi?


Sumber : Kontan

Baca selengkapnya...

Minggu, 04 Oktober 2015

Orang yang Suka Menakut-nakuti

Sejak kecil kita sering mendengar orang dewasa menakut-nakuti dengan setan. Dan akhirnya kita jadi urung melangkah. Malam hari kita bisa dicekam ketakutan, dan bermimpi yang aneh-aneh.
  
Sewaktu remaja, hal serupa juga berulang. Saat akan mendaki gunung misalnya, selalu ada saja yang mengatakan itu berbahaya, akan tersesat, kelaparan, dirampok, tersedak asap belerang, tergelincir dan seterusnya. Nyatanya, kita malah melihat puncak yang indah, dan hamparan bunga edelweis yang menakjubkan. 

Memang kaki kita babak belur, dan sepanjang perjalanan ada jalur yang licin dan membuat Anda terjatuh. Tetapi semuanya bisa diatasi. 

Sewaktu memasuki SLTA saya juga ditakut-takuti. Maklum ini SMA elit di tengah-tengah Menteng – Jakarta Pusat, yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan atas. Selain mahal rata-rata alumnusnya diterima di kampus-kampus elit menjadi dokter, insinyur atau ekonom. Dan bahkan banyak yang keluar negeri. Namun sewaktu diterima, semuanya terbelalak. 

Demikian juga sewaktu penentuan uang sekolah, tergantung pada kemampuan masing-masing. Dan orang tua saya hanya bisa mengatakan tak semenakutkan yang dikatakan banyak orang. 

Krisis Ekonomi? 

Demikianlah dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan orang-orang yang gemar menakut-nakuti yang tujuannya mungkin baik, tetapi mungkin juga tidak. Siapa yang akan mempercayai mereka?

Tentu orang-orang yang belum berpengalaman, yang punya harta banyak, yang takut kehilangan dan mereka yang tidak mau. Tidak mau apa? Ya tak mau kerja, tak mau berpikir. 

Ada pepatah mengatakan, “If you want to, you’ll find the way. If you don’t want to, you’ll find excuses.” Artinya, hanya orang-orang yang mau bergerak yang akan menemukan jalannya. Sedangkan yang tak menginginkannya, akan terus membuat-buat alasan, merangkai cerita dan mengirim berita negatif. 

Kehidupan ini sesungguhnya bukanlah kumpulan dari ramalan-ramalan perorangan yang berisi khayalan dan ocehan, melainkan sebuah akibat dari perbuatan jutaan manusia yang saling berinteraksi. Ada yang mengambil tindakan, dan ada yang bereaksi. Semua terpulang pada apa yang dipikirkan dan yang dipercayai. 

Semua gagasan dan opini bertarung untuk meyakinkan sesuatu sambil berharap menjadi langkah yang masif. 

Ekonomi adalah sebuah kumpulan perilaku yang outcome-nya akibat dari perbuatan manusia, yang akhirnya membentuk sebuah pola. Pola itu bisa bergerak ke atas, bisa juga ke bawah. Bila itu bergerak ke bawah, bisa saja ia menukik balik ke atas, menjadi anomali karena manusianya berpikir positif. 

Sebaliknya ia bisa bergerak makin liar, jatuh ke jurang (kendati fundamental ekonominya bagus), karena kita saling menyepak, menyalahkan, menakut-nakuti, dan menolak untuk bekerjasama karena mempercayai yang negatif. 

Sikap suatu bangsa terhadap krisis sesungguhnya tercemin dalam apa yang mereka definisikan pada kata krisis itu sendiri. Di Barat, krisis dimaknai sebagai “Sebuah titik belok” for better or for worse

Di China ia sebagai wei-ji yang artinya “kesempatan” atau ”peluang” dalam bahaya. Tetapi di sini, di Indonesia, John Echols dan Hassan Shadily (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan: krisis adalah sebuah situasi yang gawat, genting atau kemelut. 

Krisis akan benar-benar membuat para penakut kecut saat media sosial dan media massa ramai-ramai melaporkan suasana yang genting. Hanya karena dollar melambung seribu – dua ribu perak dalam sebulan ini. Pokoknya mencekam. Padahal pengusaha tahu, PHK butuh proses dan makan waktu berbulan-bulan dan amat mahal. Mana mungkin begitu dolar melambung pengusaha langsung PHK minggu depannya. 

Sekarang tampak betul adanya kelompok yang menakut-takuti masyarakat karena tidak ingin kita keluar dari kesulitan. Untuk keluar dari lembah terdalam, pertama-tama kita harus percaya pada kekuatan kita, lalu bekerjasama, saling membangun. Bukan saling mengejek dan menarik kaki mereka yang tangannya sudah menyentuh bibir jurang. 

Lantas siapa yang tidak mempan ditakut-takuti? Pertama, pasti kaum beriman. Mereka adalah orang yang percaya akan bantuan Allah dan terus berupaya. Kedua, mereka yang sudah berpengalaman, yang tahu bahwa susah tak akan berlansung selamanya. 


Konflik Etnis Kalbar 

Ini juga konflik yang mencekam. Saya teringat dengan konflik etnis di Kalbar 1999. Sebagai dosen terbang di Universitas Tanjung Pura, keluarga saya tentu terkejut ketika ada seseorang mengirimkan faksimili tentang kepala seorang petugas keamanan yang dipancung dan ditaruh di pagar hotel. 

Keluarga saya menjadi heboh dan minta agar saya tidak berangkat. Tapi saya katakan mengajar ini juga ibadah. Anak-anak gelisah karena tahu kalau soal pendidikan, ayahnya tak bisa menyurutkan langkah. Mereka menelfon Kampus. Mahasiswa yang menjawab berebut bicara. “Minta tolong agar ayahmu berangkat, kami sudah lengkap dan menunggu,” kata mahasiswa saya. 

Saya tak tahu percakapan selanjutnya, karena sudah harus segera berangkat. Di atas pesawat saya lihat bangku-bangku kosong ditinggalkan penumpang yang ketakutan. Purser yang bertugas, mengajak saya bicara dan bertanya-tanya mengapa saya nekat berangkat. Mereka menggunjingkan saya yang duduk di sudut jendela tanpa teman. 

Di Bandara Supadio, Pak Efi, pimpinan universitas menjemput saya dengan riang. Putra Melayu asli Kalbar itu bercerita panjang lebar tentang kejadian beberapa hari lalu. Tetapi selebihnya tak ada tanda-tanda kejadian yang mengerikan di sana. 

Pontianak aman dan mahasiswa saya bertepuk tangan saat menyambut saya karena kabarnya hanya satu dosen yang “berani” datang. Padahal mereka rata-rata berjuang 8 – 12 jam datang dari berbagai daerah pedalaman untuk mendengarkan kuliah saya. 

Saya pun memberi bonus waktu dan bermalam di sana bersama mereka. Esoknya kami menengok para pengungsi dan mereka mentraktir saya makan kwetiau Apolo yang terkenal itu. 

Saya katakan, sewaktu keadaan sulit kita justru harus belanja agar uang berputar. Mereka pun setuju dan pemilik warung gembira. Pegawainya pun bisa gajian. 

Kita Aktor Utamanya 

Belajar dari beragam peristiwa di atas, saya perlu mengajak Anda semua agar tidak tercekam dengan rasa takut yang berlebihan. Hidup bukanlah sebuah episode spekulasi seperti kita yang kini terperangkap menerka kurs dolar. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk meraih keberhasilan. 

Kita sudah membuktikan bahwa hasil yang kita capai adalah berasal dari kerja keras, kepercayaan dan kreativitas. Bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita semua sepakat. Tetapi kita perlu berusaha semaksimal mungkin. 

Benar, kita adalah aktor ekonomi, jadi hasil akhir dari episode kenaikan atau menguatnya dollar AS adalah juga karena peran kecil kita. Tetapi dalam usaha dan pekerjaan yang kita jalankan, kita adalah aktor utamanya. Mengapa ada pihak yang gemar menakut-nakuti? 

Tentu ada banyak jawaban. Ada yang terlalu sayang dengan anda, tetapi juga benar, ada yang tak mau anda berhasil. Bagi kaum pemalas ini adalah kesempatan untuk beristirahat. 

Bagi yang culas, setiap keberhasilan anda adalah tamparan besar bagi mereka. Itu sebabnya mereka akan terus menakut-nakuti, mencela, bahkan memasang perangkap dan beragam ranjau agar anda jatuh dan berhenti. Tetapi itu tak akan berarti kalau bangsa ini bukan penakut.  


Oleh : Rhenald Kasali

Baca selengkapnya...

Selasa, 30 September 2014

Menikmati Angsa Hitam

Saat memutuskan untuk membeli saham, investor dianjurkan melakukan analisis fundamental. Mereka harus memprediksi arus kas perusahaan di masa depan agar bisa memperkirakan nilai perusahaan. Namun benarkah kinerja perusahaan bisa diprediksi?

Suatu ketika, di kelas investasi, saya mengusulkan kepada mahasiswa, "Bagaimana kalau kita undang juga seorang paranormal sebagai pengajar tamu?" Mahasiswa langsung tertawa karena membayangkan diajar oleh paranormal di mata kuliah yang penuh logika.

Tentu saya bercanda. Bagaimana mungkin mahasiswa program S-2 belajar hal-hal yang tidak scientific? Namun pesan yang ingin saya sampaikan ke mereka adalah hal tersulit dalam valuasi saham atau perusahaan bukanlah memahami metode valuasinya. Metode populer seperti discounted cash flows bisa mereka telan secara cepat. Tetapi untuk mendapatkan valuasi dengan akurasi tinggi dibutuhkan kemampuan untuk "menerawang" masa depan. Kita harus bisa memprediksi kondisi perekonomian dunia, nasional, industri atau sektor hingga perusahaan.

Puluhan pertanyaan sulit bermunculan saat kita melakukan valuasi. Apakah The Fed akan mengurangi stimulus ekonomi? Apakah krisis utang Eropa bakal kumat lagi? Berapa pertumbuhan ekonomi Indonesia jika subsidi BBM dikurangi? Apa dampak Masyarakat Ekonomi ASEAN? Apakah harga batubara akan segera naik? Bagaimana integritas manajemen perusahaan? Apakah margin laba dan pertumbuhan penjualan bisa ditingkatkan? Apakah…

Sampai di sini seorang mahasiswa menyela dengan wajah serius, "Stop Pak, tampaknya kita memang perlu belajar ilmu penerawangan dari Ki Joko Bodo…" Kelas kembali grrrr.

Valuasi tidak semudah yang kita bayangkan. Antara lain karena ada kejadian-kejadian yang tidak terduga. Kita pikir hal itu mustahil terjadi, namun kenyataannya bisa terjadi. Masalahnya, kejadian langka ini bisa membawa dampak besar.

Nassim Nicholas Taleb, pakar keuangan dari New York University dan mantan trader saham di Wall Street, menyebut kejadian yang hampir mustahil tersebut sebagai "Black Swan." Istilah ini diambil dari cerita tentang keyakinan bahwa angsa semuanya berwarna putih. Angsa hitam adalah mustahil karena mereka tidak sadar bahwa di Australia terdapat angsa hitam. Maka angsa hitam adalah kejadian yang tak umum (unusual), namun bukan tak mungkin (impossible). Karena probabilitasnya amat kecil, kejadian angsa hitam sulit diprediksi.

Banyak contoh kejadian angsa hitam. Di Piala Dunia 2014, dalam mimpi yang terburuk-pun orang tidak berani meramal bahwa Brazil bakal kalah 1-7 dari Jerman. Brazil adalah mbah-nya sepakbola. Main di kandang sendiri lagi. Kalah 0-1 saja sudah merupakan bencana. Kalah 1-7? Itu "hil yang mustahal", meminjam celetukan terkenal legenda Srimulat, Asmuni.

Dalam bukunya, The Black Swan: The Impact of Highly Improbable (2007), Nassem Taleb memberikan contoh kejadian angsa hitam. Mulai dari penggunaan internet, komputer pribadi, Perang Dunia I, pecahnya negara Uni Sovyet hingga serangan 11 September.

Di bidang ekonomi, beberapa contoh angsa hitam misalnya, market crash di Wall Street 1929, kebangkrutan Lehman Brothers, raksasa keuangan berusia 150 tahun, Long Term Capital Management (LTCM), hedge fund terkenal di AS. LTCM awalnya sukses dan mustahil jika bangkrut karena dikelola oleh dua pemenang Nobel bidang ekonomi, Myron Scholes dan Robert Merton. Namun akhirnya gulung tikar juga akibat gagal bayar obligasi pemerintah Rusia.

LTCM gagal memprediksi default pemerintah Rusia beserta dampaknya. Ini mirip dengan kejadian 11 September di New York. Pemerintah AS tidak mampu membaca kemungkinan serangan ke gedung tinggi menggunakan roket pesawat komersial.

Di bursa saham kita, kejadian mana yang bakal termasuk angsa hitam dan mana yang termasuk mustahil? Apakah perusahaan blue chip seperti Astra International, Semen Indonesia dan Bank Mandiri tidak mungkin bangkrut? Apakah harga saham Bumi Resources bisa kembali ke level Rp 8.000 per saham? Apakah Tiga Pilar Sejahtera bisa lebih hebat daripada Indofood?

Dalam bukunya, Nassem Taleb tidak mengajarkan bagaimana memprediksi kejadian Black Swan. Namun ia menasehati agar pembaca membangun pertahanan yang solid terhadap dampak negatif yang ditimbulkan angsa hitam dan mampu memanfaatkan dampak positifnya. Dampak kejadian angsa hitam tergantung pada observer-nya. Kejutan angsa hitam bagi seekor ayam kalkun berbeda dari kejutan untuk si pemotong ayam kalkun. Keberhasilan iPhone adalah angsa hitam bagi kompetitor, namun pasti tidak untuk pemegang saham Apple. Maka, pembaca harus menghindari posisi sebagai ayam kalkun dengan cara mengidentifikasi kelemahan-kelemahan sehingga bisa menjadikan angsa hitam menjadi angsa putih.

Jika kita siap menghadapi kejadian angsa hitam, kita tidak mudah panik ketika ia tiba-tiba muncul di antara kerumunan angsa putih. Kejadian angsa hitam tidak bisa dihindari, namun bukan berarti tidak bisa dinikmati.

Oleh : Lukas Setia Atmaja

Baca selengkapnya...

Selasa, 21 Januari 2014

Mempersiapkan Dana Pensiun

“Siapa yang menanam, dia-lah yang akan menuai.” Peribahasa ini nampaknya sesuai untuk menggambarkan bagaimana kualitas kehidupan pensiun setiap orang nantinya. Semakin dini Anda mempersiapkan dana pensiun, semakin siap Anda menghadapi masa pensiun. 

Jangan Tunggu Sampai Terlambat 

Masa pensiun merupakan fase perubahan yang besar dalam hidup Anda. Jika dulu Anda terbiasa disibukkan dengan berbagai aktivitas di kantor, maka sekarang Anda memiliki lebih banyak waktu luang dan tentu saja Anda tidak lagi mendapati rekening Anda terisi oleh sejumlah nominal gaji yang biasa Anda terima dari kantor. Bagi sebagian orang, terkadang kondisi seperti ini menjadi kurang menyenangkan karena jika ternyata uang pensiun yang Anda terima jauh berbeda dari gaji Anda, maka mau tidak mau Anda harus mengubah gaya hidup Anda secara drastis. Tentu Anda tidak ingin hal ini terjadi pada Anda, bukan? 

Rencanakan Sejak Dini 

Meskipun masa pensiun Anda masih lama, jangan ragu untuk mulai membuat perencanaan dana pensiun mulai dari sekarang. Langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah menghitung besarnya kebutuhan selama masa pensiun Anda di masa depan. Anda pun bisa menentukan gaya hidup seperti apa yang Anda inginkan saat pensiun nanti. 

Langkah kedua adalah menentukan strategi yang tepat untuk mencapai target dana pensiun tersebut. Jika masa pensiun Anda masih lima tahun lagi atau lebih, sebaiknya tempatkan dana Anda di instrumen-instrumen investasi. Namun, jika masa pensiun Anda sudah di bawah lima tahun, jangan paksakan diri untuk melakukan investasi. Jika Anda mengikuti iuran pensiun di kantor Anda, masukkan juga nilainya ke dalam perhitungan dana pensiun Anda. 

Jangan ragu untuk membuat janji dengan perencana keuangan independen untuk berkonsultasi seputar perencanaan pensiun Anda.Semua orang pasti menginginkan kehidupan pensiun yang bahagia. Dengan mempersiapkan pensiun sejak dini, bukan tidak mungkin Anda memiliki kemandirian finansial di masa tua nanti sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga Anda. Anda pun tak sekadar bisa membiayai kebutuhan pensiun, tetapi juga menjadi kakek-nenek yang bisa memanjakan cucu-cucu Anda. 


Ratih Nurmalasari

Baca selengkapnya...

Kamis, 16 Januari 2014

Ini 6 Poin untuk Jaga Stabilitas Perekonomian 2014

Berikut ini 6 poin penting yang menjadi fokus utama pemerintah untuk menjaga stabilitas pertumbuhan perekonomian nasional pada 2014. 

Keenam pon itu yaitu kualitas belanja negara, daya beli masyarakat, investasi, daya saing produk dalam negeri, pengelolaan impor, dan perdagangan dalam negeri. 

Hal itu dikemukakan Menko bidang Perekonomian Hatta Rajasa usai mengikuti rapat kabinet paripurna pertama pada 2014 bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (16/1/2014). 

Menurut Hatta, menjaga kualitas belanja negara sangat penting untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. "Selalu harus ada ruang fiskal di 2014 ini untuk belanja modal," katanya. Dia menuturkan sebagian besar belanja modal adalah untuk keperluan infrastruktur. Pada 2014, ujarnya, terjadi kenaikan belanja modal sebesar 6,7% menjadi Rp206 triliun. "Perlu reformasi birokrasi untuk mengembalikan agar belanja yang lebih berkualitas ini jadi sangat penting," katanya. 

Hatta melanjutkan fokus kedua pemerintah yaitu menjaga daya beli masyarakat dengan mengendalikan laju inflasi. Pemerintah, lanjutnya, sudah bertekad untuk mengendalikan inflasi pada angka 4,5% plus minus 1%. 

Fokus ketiga, ujarnya, mendorong pertumbuhan investasi karena hal itu berkaitan dengan ketersediaan lapangan kerja. "Penting menjaga seluruh investasi yang ada di Tanah Air untuk tidak kolaps apalagi pindah karena suatu alasan," katanya. 

Fokus keempat, lanjut Hatta, peningkat daya saing, terutama untuk produk nonmigas yang diekspor ke luar negeri. Pemerintah, ujarnya, berkomitmen meningkatkan diversifikasi pasar tujuan ekspor dengan meningkatkan keberagaman dan kualitas produk. "Saudara tahu, kebijakan mineral dan batu bara kita cukup baik direspon pasar. Kita bertekad untuk tidak lagi mengekspor bahan mentah," ujar Hatta. 

Fokus kelima, lanjut Hatta, mengendalikan impor produk-produk yang berpotensi menurunkan daya saing produk domestik di pasar dalam negeri sambil memperluas pasar domestik. 

Adapun fokus keenam pemerintah yaitu memperkuat perdagangan dalam negeri karena sangat berpengaruh dalam menjaga kestabilan harga, kelancaran barang, dan menciptakan iklim usaha. "Dalam kaitan ini, maka sistem logistik nasional kita menjadi sangat penting," katanya. Dia menegaskan pemerintah telah berkomitmen untuk mempercepat seluruh hal-hal yang berkaitan dengan konektivitas seperti pelabuhan, bandara, dan moda transportasi, termasuk pembangunan double track, sejumlah ruas jalan tol, dan pembangkit listrik tambahan 49.000 mega watt. 

"Sehingga, walaupun kita perlu hati-hati karena faktor eksternal masih akan terasa, kami menghadapi 2014 dengan lebih optimis," ujarnya. 


Sumber : Bisnis Indonesia

Baca selengkapnya...

Minggu, 01 September 2013

5 Tips Menghadapi Krisis Keuangan

Guna menghadapi segala kemungkinan dari situasi ekonomi yang kurang menggembirakan, kita perlu menata ulang keuangan kita. Jangan sampai kita kesulitan saat krisi terjadi. Berikut tipsnya: 

1 . Jangan putus asa. Jangan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri dan jangan meragukan diri sendiri. Ekonomi satu negara selalu bersiklus dan siklus ini akan berubah. Jika Anda terlibat dalam mencari pekerjaan, teruslah mencari. Jika Anda khawatir tentang pekerjaan Anda, tempatkan kekhawatiran ke belakang pikiran Anda dan fokus pada pekerjaan terbaik yang dapat Anda lakukan . 

2. Shift Tabungan. Salah satu penyakit jangka panjang ekonomi seperti AS adalah sangat rendahnya tingkat tabungan nasional. Kita harus belajar dari kisah Yusuf dan mimpi Firaun, pada saat paceklik terpenting adalah memiliki surplus untuk menjaga saat jatuh kembali. 

3 . Lunasi Utang. Sejauh yang Anda bisa, lunasi hutang untuk melindungi kredit Anda, tetapi dengan segala cara, lakukan hal yang strategis . Lunasi utang berbunga tinggi seperti kartu kredit . Banyak orang berpikir yang terbaik adalah untuk mempercepat pembayaran hipotek, tetapi tidak masuk akal untuk mempercepat melunasi utang yang berbunga rendah, utang pajak dikurangkan jika Anda memiliki jenis utang lain. 

4. Gunakan situasi saat ini sebagai kesempatan untuk mempertajam keterampilan atau untuk menjelajahi daerah baru. Misalnya pikirkan soal pendidikan profesional, baik untuk maju ke tingkat keterampilan yang lebih tinggi untuk pergeseran ke siklus yang positif. Jangan tinggal diam. Carilah kesempatan untuk menjadi sukarelawan, misalnya. Sebab banyak lembaga non-profit menghadapi pemotongan anggaran, waktu dan energi. Anda dapat membantu mereka mengatasi tantangan mereka . 

5. Tinjau anggaran Anda. Namun, melakukannya secara judicially. Selalu ada beberapa cara untuk mengurangi pengeluaran. Terutama pada apa yang disebut daerah marjinal – a.l. langganan majalah yang Anda sering sisihkan tapi tidak dibaca, saluran ekstra seperti televise berbayar di mana Anda ternyata tidak mengaksesnya, situs web langganan Anda, tetapi Anda tidak mengunjunginya. Memeriksa kembali semua yang Anda miliki di daftar tagihan abadi. Namun, jangan lupa kewajiban Anda untuk beramal. Ingat selalu ada seseorang yang tidak kaya seperti Anda . 


Sumber : bisnis.com

Baca selengkapnya...

Rabu, 21 Agustus 2013

Three Differences Between Managers and Leaders

A young manager accosted me the other day. "I've been reading all about leadership, have implemented several ideas, and think I'm doing a good job at leading my team. How will I know when I've crossed over from being a manager to a leader?" he wanted to know. 

I didn't have a ready answer and it's a complicated issue, so we decided to talk the next day. I thought long and hard, and came up with three tests that will help you decide if you've made the shift from managing people to leading them. 

Counting value vs Creating value. You're probably counting value, not adding it, if you're managing people. Only managers count value; some even reduce value by disabling those who add value. If a diamond cutter is asked to report every 15 minutes how many stones he has cut, by distracting him, his boss is subtracting value. 

By contrast, leaders focuses on creating value, saying: "I'd like you to handle A while I deal with B." He or she generates value over and above that which the team creates, and is as much a value-creator as his or her followers are. Leading by example and leading by enabling people are the hallmarks of action-based leadership. 

Circles of influence vs Circles of power. Just as managers have subordinates and leaders have followers, managers create circles of power while leaders create circles of influence. 

The quickest way to figure out which of the two you're doing is to count the number of people outside your reporting hierarchy who come to you for advice. The more that do, the more likely it is that you are perceived to be a leader. 

Leading people vs Managing work. Management consists of controlling a group or a set of entities to accomplish a goal. Leadership refers to an individual's ability to influence, motivate, and enable others to contribute toward organizational success. Influence and inspiration separate leaders from managers, not power and control. 

In India, M.K. Gandhi inspired millions of people to fight for their rights, and he walked shoulder to shoulder with them so India could achieve independence in 1947. His vision became everyone's dream and ensured that the country's push for independence was unstoppable. The world needs leaders like him who can think beyond problems, have a vision, and inspire people to convert challenges into opportunities, a step at a time. 

I encouraged my colleague to put this theory to the test by inviting his team-mates for chats. When they stop discussing the tasks at hand — and talk about vision, purpose, and aspirations instead, that's when you will know you have become a leader. 

Agree? 


by Vineet Nayar

Baca selengkapnya...

Selasa, 13 Agustus 2013

Make Your Team More Creative

Throughout my career, I’ve heard many managers complain about the need for their teams to be more creative and to demonstrate innovative approaches. The conversations usually moved quickly to the topic of deficiencies of team members and what to do to get them to be more innovative. 

It wasn’t until I worked for someone who was amazing at fueling creativity throughout his team that I realized the root of the problem (and it’s one that managers who don’t have innovative teams generally ignore): It’s not the team’s behavior that’s the issue; it’s how the manager behaves that stifles creativity and innovation. 

With that in mind, if you’re challenged with a team charged with being more innovative in how it approaches business, look to yourself and work on these 15 items to improve your own performance first! 

1. Learn each team members’ distinctive talents – the areas (work-related or not) where someone best displays incredible performance and creates tremendous energy. People tend to be most naturally creative in these areas, even if the skills themselves wouldn’t typically be considered “creative.” 

2. Allow individuals to use their distinctive talents to contribute to business efforts, regardless of how the talents are tied to the job position they fill. 

3. Treat business like a game where you’re clearly the cheerleader for your team and not the referee. 

4. Provide training for your team on tools they can use to improve their creativity. 

5. When introducing a project, spend 90% of your time describing the intended goal and only 10% on how you expect it will be accomplished. 

6. Don’t answer all the questions your team may have. Instead, ask them questions right back so they’re thinking creatively and strategically. 

7. Give them more rope than they expect. Point out to them just how much rope they really have. 

8. Figure out the likely solution to a project and listen for when your team is on the right path, so you can provide lots of encouragement. That way, they have ownership of the ideas being developed. 

9. Always start a brainstorming session with a clear objective and a list of solid, probing questions. Better yet, have someone other than you facilitate the session to allow the maximum freedom to contribute creatively. 

10. Have a “Plagiarism Friday” where people bring in great ideas from outside your business category and ask them to share what makes the ideas innovative and creative. (And yes, I “borrowed” this idea.) 

11. Listen to new ideas before you start talking or even thinking about what you’re going to say. 

12. Make team members sell their new ideas and recommendations to you, and then let them sell these ideas to your boss too. 

13. Resolve to accept ideas and answers that work but are different from what you originally envisioned. 

14. Give the team members more than full credit for any successes the group has. 

15. When a team member makes a mistake, direct their focus to recovery (i.e., making things right for the external or internal customers) and to figuring out what can be learned to improve in the future. 

If you’re legitimately doing these things consistently and predictably over time, you’ll be amazed at how creative your same team becomes. 


by Mike Brown

Baca selengkapnya...

Kamis, 08 Agustus 2013

Apa Itu Cadangan Devisa?

Cadangan devisa ( foreign exchange reserves) adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter. Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen dan digunakan untuk menjamin kewajibannya yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau lembaga keuangan. 

Dalam perkembangan ekonomi nasional Indonesia dikenal dua terminologi cadangan devisa, yaitu official foreign exchange reserve dan country foreign exchange reserve, yang masing-masing mempunyai cakupan yang berbeda. 

Pertama, merupakan cadangan devisa milik negara yang dikelola, diurus, dan ditatausahakan oleh bank sentral. 

Kedua, mencakup seluruh devisa yang dimiliki badan, perorangan, lembaga, terutama lembaga keuangan nasional yang secara moneter merupakan bagian dari kekayaan nasional (Halwani Hendra, 2005). 

Untuk mengukur suatu cadangan devisa dianggap memadai atau tidak, maka dipakai kriteria jumlah besarnya kemampuan cadangan devisa tersebut untuk menutup impor minimal selama 3 bulan. 

Hingga akhir Juni 2013 jumlah cadangan devisa Indonesia nilainya terus menyusut dan sudah mencapai US$ 98,1 miliar, jauh di bawah Mei lalu yang sebesar US$ 105,2 miliar. 

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Persero Tbk, Ryan Kriyanto, mengungkapkan ada tiga faktor penyebab turunnya cadangan devisa. 

Pertama, untuk pembayaran bunga utang luar negeri pemerintah, kedua pemenuhan kewajiban BUMN untuk pembayaran impor bahan baku, dan ketiga intervensi Bank Indonesia untuk meredam pelemehan nilai tukar. 


Martin Sihombing

Baca selengkapnya...

Selasa, 06 Agustus 2013

Gen Y At Work: Feedback Changes Everything

It’s often said that ”Millennials” (aka Gen Y — those born between the early 1980s and the late 1990s) are entering the workforce with extraordinarily high hopes for a rocket-like career progression. Even if you don’t yet work side-by-side with Gen Y colleagues, you’ve likely heard that is a common characteristic. 

What’s the reason for such high expectations? Some trend-spotters say it’s the result of constant positive reinforcement that Millennials have received at home and school, even when they’ve failed. In the workplace, this translates into an expectation that every action should be rewarded — or at the very least, it merits a comment. 

However, today’s work environment is also a factor. Gen Y is joining the job market at a time when global economies have been shrinking and stagnating for years. The prospect of landing a well-paid, high-flying job is increasingly slim. And banks are increasingly reluctant to issue credit for mortgages and other big-ticket purchases. So some might argue that Millennials must aim high in their careers just to reach the standard of living they’ve grown up with. To do that, they seek constant feedback and rewards for their work. 

Knowing that these motivations may be driving younger members of your organization, how can you help them grow and develop? Consider three ideas: 

1) Help Gen Y Establish And Achieve Goals — Or Else 

More than any other generation, Gen Y is driven by progress and achievement. This is the “trophy generation,” the first to grow up receiving awards, simply for participation. Workers in this generation need to know exactly what is required of them. And they need to know if their work is on-track. Otherwise, if they under-perform and lose their jobs, new opportunities aren’t easy to find. The lack of available jobs partly explains why there’s an unprecedented rise in the “entrepreneurial spirit” among Millennials — although another factor is the confidence instilled into them at home and at school, as they’ve grown up. 

How should employers handle this? Set concrete goals and benchmarks. Create career plans that show employees where they’re headed, and the key milestones along the way. To stay engaged and willing to give their best, Gen Y workers need to have big goals explained. In fact, wouldn’t we all benefit from that practice? 

2) Recognize That Gen Y Wants “Instant” Everything 

Gen Y is the “text message” generation. Communication is instantaneous. Because they’re always connected, they often don’t understand why managers don’t offer immediate feedback. However, that doesn’t mean they need constant ego-stroking. It means they desire immediate recognition for effort/performance, and likewise, they want immediate feedback if they’re falling behind. How should you respond? 

First: Step up the pace of feedback cycles. Annual and quarterly reviews have been the norm at work, but this practice isn’t particularly effective, and it’s quickly becoming outdated. Gen Y workers certainly value timely praise for a job well done, and regular feedback makes that possible. But regular reviews also provide an opportunity to correct mistakes, while developing skills and knowledge on a more continuous basis. More frequent monitoring and feedback helps avoid or redirect missteps, ensuring that performance quality remains high. 

Second: Encourage formal or informal mentoring relationships — not just for Gen Y, but for any workers who want to participate. Mentoring can augment traditional performance review processes, or replace them altogether. 

Many of us know that formal reviews can be extremely stressful and ineffective. Sometimes, it can even cause antagonism between employees and their bosses. Mentoring can remove much of the pressure associated with formal reviews. And it needn’t take up hours of a manager’s day. Small, frequent, focused interactions can ensure that valuable feedback is absorbed in digestible “bite-sized” nuggets. Sharing ongoing advice and guidance promotes a stronger level of trust between managers and their employees, and helps managers understand more directly with what’s happening among their teams. 

3) Embrace The “Good Guy” In Gen Y 

Millennials tend to focus on the greater good. They’re more community-minded than their Gen X counterparts, and they want to know how their efforts contribute to a larger mission. They’re accustomed to volunteering, and expect employers to treat everyone fairly. If they can’t work for a purpose, they’ll typically find somewhere else to work. 

Socially responsible companies can benefit from a workforce that is inspired to stay when they can chip-in and support the cause. How? It’s wise to connect the dots between employee contributions and your organization’s broader mission. Millennials may become disenchanted about their ability to change the world when they enter the workforce, but that doesn’t necessarily mean they’re disengaged. If employers align the mission and values of their organization with those of employees, they can help fulfill Gen Y’s desire to contribute to the greater good. 

Gen Y: Driving A Healthy Business Evolution 

To attract, develop and retain a productive workforce, employers must adapt to new generations as they enter the business scene. Gen Y brings new expectations that challenge the status quo. But addressing those challenges can strengthen workforce performance — for Gen Y, as well as everyone else in an organization. 

It’s not about the pursuit of unjustified praise, meaningless prizes and undeserved titles. It’s about a clear purpose, continuous learning and professional fulfillment. With changes like this, the future of business looks bright, indeed.  


Written by David Hassell

Baca selengkapnya...

Senin, 13 Mei 2013

IMPLIKASI PENERAPAN BRANCHLESS BANKING DI INDONESIA

Bank Indonesia (BI) meluncurkan pedoman untuk layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking), yang akan dilakukan proyek uji coba (pilot project) dari Mei-November 2013. 

Pedoman tersebut molor sekitar satu bulan dari yang direncanakan terbit pada Maret 2013. Pedoman Umum Uji Coba Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan Terbatas Melalui Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) tersebut mengatur seluruh aktivitas yang dapat dilakukan perbankan dan perusahaan telekomunikasi (telko). Dalam branchless banking itu ada bank-led (dipimpin bank), telco-led (dipimpin telko), dan hybrid. Jadi BI membuka kemungkinan ketiganya dilaksanakan selama masa uji coba ini. Untuk model hybrid, pelaksanaannya didukung oleh sinergi yang lebih mendalam antara bank dan telko. 

Pelaksanaan proyek uji coba tersebut dilakukan secara terbatas di 8 provinsi yang dapat dipilih oleh bank. Kedelapan provinsi tersebut yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan pemilihan lokasi oleh setiap bank paling banyak di 2 provinsi dan untuk setiap provinsi paling banyak hanya 3 kecamatan. 

UPLK atau populernya disebut banking agent harus terdaftar di bank yang menjadi mitranya dan masuk dalam data BI. Sebab itu, para banking agent, yang dapat berbentuk individual maupun badan usaha, bertanggung jawab kepada bank mitranya. Adapun bank terkait wajib bertanggung jawab kepada BI. Namun, banking agent sebenarnya merupakan bisnis sampingan, sehingga pihak yang diperbolehkan adalah pihak yang telah memiliki bisnis utama minimal selama dua tahun. Maka dari itu, untuk sementara atau selama uji coba telah diperbolehkan untuk layanan penyimpanan (deposit) uang di banking agent. Namun, layanan tersebut baru boleh dilakukan oleh petugas bank yang akan rutin mendatangi para agen yang menjadi mitranya. Kenapa demikian, karena penyimpanan dana seperti ini dinilai terlalu berisiko, sehingga untuk masa ujicoba ini para agen hanya boleh untuk melayani keperluan pembayaran dahulu. Dalam masa ujicoba juga menjadi sarana bagi BI untuk melihat dahulu mana agen yang cocok. 

Berdasarkan komunikasi dan interaksi yang telah dilakukan selama ini, konon sudah ada beberapa bank yang berminat untuk terjun ke branchless banking. Dalam hal ini bank harus mengajukan permohonan izin tersebut dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dapat direvisi pada pertengahan tahun ini. 

Mengutip pedoman uji coba branchless banking, dikatakan bahwa tidak ada sanksi yang akan dikenakan selama masa uji coba branchless banking. Namun, BI dapat mengentikan proyek uji coba sebelum batas waktu pelaksanaan berakhir apabila bank dan telko tidak memenuhi hal-hal yang dicantumkan dalam pedoman umum, atau adanya kondisi tertentu yang menurut penilaian bank sentral dapat meningkatkan risiko bank dan telko serta merugikan masyarakat. 

Sehubungan dengan pengentian proyek uji coba ini, bank dan telko tetap wajib menyelesaikan kewajiban kepada nasabah dan pihak yang terkait dalam uji coba tersebut. Untuk bisa ikut dalam uji coba branchless banking, bank dan perusahaan telekomunikasi wajib memenuhi beberapa persyaratan, baik dari sisi kinerja dan aspek keuangan, kelembagaan dan administratif, serta kesiapan infrastruktur. Dari sisi manajemen risiko ada persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk bank antara lain: pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi serta satuan kerja level manajemen terkait lainnya; kecukupan kebijakan dan prosedur; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan sistem pengendalian intern. 

Sementara untuk perusahaan telekomunikasi, manajemen risiko harus mencakup aspek mempunyai mekanisme pemenuhan kewajiban sebagai penyelenggara e-money; mempunyai mekanisme failure to settle dalam hal penerbit mengalami gagal bayar; menggunakan proven technology; dan penerapan mitigasi risiko yang bersumber dari unit perantara layanan keuangan (UPLK). 

Adapun untuk produk yang dapat digunakan dalam proyek uji coba ini yakni, produk e-money untuk perusahaan telekomunikasi. Sementara untuk bank antara lain produk tabungan yang bebas biaya administrasi dan diberikan bunga, pun produk dan aktivitas e-banking dan penyaluran kredit mikro. 

Dari sisi BI meyakini bahwa masyarakat bisa mendapatkan akses perbankan dengan biaya yang lebih murah melalui layanan perbankan tanpa kantor cabang (branchless banking) tadi. Demikian pula biaya investasi yang dikeluarkan perbankan akan lebih murah ketimbang harus membuka kantor cabang. Sebagai perumpamaan, selama ini seorang warga di suatu desa kalau mau ke bank harus menggunakan angkutan umum dengan tarif Rp 5.000. Tapi, dengan branchless banking mungkin hanya mengeluarkan biaya Rp 1.000 atau bahkan gratis kalau pakai fasilitas pesan pendek (SMS). 

Sebelum dan selama masa uji coba hendaknya bank dan perusahaan telco yang menjadi peserta uji coba branchless banking harus memberikan edukasi kepada para agen mitra (banking agent) maupun nasabah. Layanan yang notabene masih baru tersebut harus benar-benar dipahami oleh masyarakat. Tidak cukup bank dan perusahaan telco hanya membagi brosur saja, namun tetap harus kegiatan edukasi insentif, sehingga masyarakat dan agen memahami yang mereka lakukan serta tugas dan kewajibannya. 

Diakui, persoalan branchless banking memang terkait dengan pola pemikiran dan kebiasaan perilaku masyarakat. Hingga kini, masih banyak masyarakat Indonesia, apalagi yang unbankable merasa belum ke bank jika tidak mendatangi kantor cabang bank. Sebab itu, perlu diyakinkan bahwa teknologi bisa membuat layanan perbankan menjadi praktis. Diyakini edukasi yang baik merupakan power of repetition sehingga akan diulang-ulang oleh masyarakat. Jadi, bank dan telko jangan lelah melakukan kegiatan edukasi ke publik agar tertanam mengenai proses branchless banking. Tak kalah pentingnya adalah BI berharap pihak perbankan dan perusahaan telko wajib menjaga sisi perlindungan konsumen untuk penerapan proyek uji coba branchless banking. 

Kelak, keberhasilan uji coba ini akan diperluas dan dinasionalisasi melalui kick off secara masif sehingga tujuan akhirnya berupa peningkatan akses masyarakat ke lembaga perbankan (access to banking industry) dapat terpenuhi. Ini sekaligus dapat memenuhi target dari program financial inclusion yang sudah tiga tahun terakhir ini dikampanyekan oleh pemerintah bersama dengan BI. 

Apabila tingkat literasi atau pemahaman masyarakat sudah meningkat, maka fungsi intermeasi oleh perbankan akan bergerak lebih cepat lagi karena penghimpunan dana menjadi lebih agresif, demikian pula dengan penyaluran kreditnya. Ujung-ujungnya peran perbankan dalam kegiatan perekonomian akan semakin efektif. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi juga akan lebih merata karena jangkauan layanan perbankan dan kegiatan sektor riil semakin menyebar, tidak lagi terkonsentrasi di daerah-daerah dengan kondisi overbanked. 

Dengan adanya branchless banking, maka daerah-daerah tertutup dan terisolir sehingga masuk kategori underbanked akan semakin ramai dengan kegiatan ekonomi dan perbankan. Dari sinilah pertumbuhan ekonomi akan semakin menyebar dan merata. 


Business News

Baca selengkapnya...

Minggu, 07 April 2013

7 Alasan yang Membuat Pengusaha Khawatir dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) rencananya berlangsung mulai Desember 2015. Kalangan pengusaha menilai apabila tidak segera disiapkan, AEC dapat menjadi lonceng kematian bagi industri nasional. 

Demikian disampaikan oleh Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/4/2013) Franky menuturkan ada beberapa alasan, yang membuat industri dalam negeri akan semakin tertekan dengan adanya AEC jika tanpa persiapan matang dari pemerintah. 

Pertama, potensi AEC dan daya saing Indonesia. Dalam ACFTA, Indonesia merasakan manfaat dengan terbukanya potensi akses pasar ke China yang memiliki 1,4 miliar orang, lebih besar dari populasi seluruh negara Eropa. "Sementara dalam AEC, Indonesia berpotensi menjadi pasar besar bagi negara ASEAN lainnya. AEC bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal, di mana Indonesia merupakan pasar terbesar dengan populasi penduduk mencapai 40% dari populasi ASEAN lainnya" jelas Franky. 

Ia menuturkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya mayoritas deficit. Perdagangan Indonesia dengan Brunei Darussalam deficit sebesar US$ 281, 7 juta, Indonesia dengan Malaysia deficit US$ 511,3 juta, Indonesia dengan Singapura deficit US$ 707,9 juta, Indonesia dengan Thailand deficit US$ 721,4 juta, serta Indonesia dengan Vietnam deficit sebesar US$ 157, 5 juta. Neraca perdagangan Indonesia hanya positif dengan empat (4) negara lainnya, masing-masing: dengan Kamboja surplus sebesar US$ 233,9 juta, Indonesia dengan Laos surplus US$ 17,9 juta, dengan Myanmar surplus sebesar US$ 238,6 juta serta dengan Filipina surplus US$ 2448,55 juta. 

Menurutnya daya saing Indonesia juga berada dalam posisi bawah di antara negara ASEAN lainnya. 
Daya saing Indonesia, menurut Indeks Daya Saing Global 2010 berada pada urutan 75. Posisi ini di bawah Singapura yang menduduki posisi ke-2, Malaysia pada posisi 29, Filipina pada posisi 44 dan Vietnam pada posisi 53. Daya saing Indonesia hanya di atas Laos yang berada pada posisi 129 dan Myanmar pada posisi 133. Frany mencatat biaya logistik di Indonesia mencapai porsi 16% dari seluruh biaya produksi dari angka normal sebesar 8-9%. Daya saing logistic Indonesia juga termasuk rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Indonesia hanya menduduki posisi 46 secara global, di bawah Singapura pada posisi 2, Malaysia peringkat 21, Brunei Darusalam peringkat 28 dan Thailand pada peringkat 38. 

Kedua, tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, di mana energi pemerintah seluruhnya terfokus kepada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya dimajukan pada tahun 2013 untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2014, serta pemilihan legislative (pileg) dan pemilihan Presiden (pilpres) pada tahun 2014. Dengan fokus pada persoalan-persoalan politik, saya yakin pemerintah tidak akan terfokus untuk menguatkan daya saing industri nasional menghadapi implementasi AEC 2015. Meski pun secara matematis masih ada waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri, jika pemerintah terfokus kepada persoalan politik, waktu tersebut juga tidak akan termanfaatkan. 

Ketiga, pemerintah sampai sekarang belum terlihat serius mempersiapkan daya saing industri nasional menghadapi AEC. Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki kebijakan untuk menghadapo AEC, yaitu: Inpres No 5 Tahun 2008, Inpres No 11 Tahun 2011, dan Rancangan Inpres 2012 tentang peningkatan daya saing nasional menghadapi AEC. Tapi, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum terlihat, sehingga tidak heran seorang Menteri Perindustrian menyatakan kegugupannya di media. Menurutnya kebijakan pemerintah yang ada sekarang justru menurunkan daya saing industri nasional. Pemerintah seperti menjadikan industri tekstil sebagai sapi perah dengan pengenaan biaya bisnis yang cukup tinggi terutama untuk komponen kenaikan tarif dasar listrik, pajak sesuai otonomi daerah dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Franky mencontohkan industri tekstil juga menghadapi persoalan perizinan yang cukup menyulitkan. Terdapat 172 surat yang selalu harus diregistrasi oleh kalangan pengusaha dan rata-rata berujung pengenaan pungutan bagi pengusaha. Misalnya izin usaha yang pada awalnya berlaku untuk seumur hidup, sekarang harus diperbarui setiap 2 tahun. Demikian juga izin gangguan (Izin HO) yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Persoalan tersebut memperparah daya saing industry nasional yang sudah menghadapi kendala infrastruktur minim serta persoalan kebijakan energy yang tidak berpihak kepada ketersediaan pasokan untuk industry nasional. 

Keempat, kalangan industry nasional belum menyadari (aware) terhadap kondisi mengkhawatirkan menjelang pelaksanaan AEC. Belum ada dialog antara pemerintah dan dunia industry mendiskusikan implementasi peningkatan daya saing menghadapi ancaman yang dapat muncul dari implementasi AEC. 

Kelima, produktivitas pekerja Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, menggunakan ukuran perbandingan dengan jam kerja pekerja di Amerika Serikat. Ia menjelaskan produktivitas pekerja Indonesia dibandingkan dengan produktivitas pekerja Amerika Serikat hanya mencapai 36 %. Artinya, jam kerja yang dihabiskan pekerja Indonesia hanya 36% di atas pekerja Amerika. Sementara pekerja Kamboja mencapai 46%, Malaysia mencapai 43%, Thailand 37% dan Singapura 36%. Pekerja Indonesia hanya lebih produktif dibandingkan Filipian 30% dan Vietnam 13%. 

Keenam, negara ASEAN lainnya cukup agresif mengantisipasi serta mempersiapkan diri menghadapi AEC. Strategi mereka adalah menjadikan Indonesia sebagai pasar besar bagi produknya. Beberapa perusahaan Thailand sudah melirik untuk berekspansi ke Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan ritel Central yang akan berinvestasi sebesar US$ 19 juta. Malaysia dan Singapura juga sudah bekerjasama mengelola kawasan Industri di Johor guna menjaring pengusaha untuk berinvestasi dengan pasar ASEAN. Indonesia oleh kedua negara tersebut akan diposisikan sebagai pasar besar. Kecenderungan ekspansi juga dimiliki oleh negara ddi luar ASEAN. Seribu (1000) UKM Jepang sudah berencana merelokasi pabriknya ke Indonesia sehingga menjadi ancaman bagi UKM di Indonesia. Perusahaan China juga memiliki kecenderungan tinggi untuk berekspnasi, di mana investasi China ke luar negeri pada tahun 2012 mencapai US$ 74,7 miliar. 

Ketujuh, terkait potensi investasi Kementrian Perindustrian sudah membaca investor tidak terlalu berminat menanamkan modalnya ke Indonesia karena persoalan daya saing investasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya. Franky menuturkan meski tercatat beberapa potensi investasi masuk, seperti 1000 UKM (usaha kecil menengah) Jepang, tapi potensi investasi yang akan masuk ke negara ASEAN lainnya jauh lebih besar, mengingat beberapa factor daya saing, seperti produktivitas pekerja Indonesia yang masih di bawah Kamboja, Malaysia, Thailand dan Singapura. Selain tentunya persoalan infrastruktur, ketersediaan pasokan energy, serta jaminan hukum dan keamanan.

Indikator Daya Saing Usaha di Indonesia menurut World Bank Group tahun 2011, juga tidak terlalu menggembirakan, dengan perincian sebagai berikut: 
- pada aspek memulai bisnis daya saing Indonesia berada di peringkat 155 dari 183 negara. 
- pada aspek ijin konstruksi berada di posisi 71 dari 183 negara, 
- pasokan listrik (ketersediaan energy) pada peringkat 161 dari 183 negara, 
- aspek perlindungan investasi posisi 46 dari 183 negara, 
- serta aspek kemudahan berbisnis pada peringkat 129 dari 183 negara. 

"Pemerintah perlu segera mengajak kalangan industri untuk mendiskusikan langkah strategis yang harus diambil guna mendorong daya saing industri nasional agar tidak terlibas oleh masuknya industri negara lain sehingga Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk mereka," katanya. 


Suhendra - detikfinance

Baca selengkapnya...

Kamis, 04 April 2013

DENGAN BERSATU, PEREKONOMIAN INDONESIA BISA TUMBUH LEBIH BAIK

Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, perekonomian Indonesia semakin berkembang pesat. Kondisi itu memberikan fondasi yang kuat bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi baru yang disegani negara-negara di dunia. Bukan mustahil Indonesia berubah dari posisi regional power di kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu global power pada tahun 2025. 

Kepada sejumlah pemimpin redaksi saat perjalanan dari Budapest ke Jakarta belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Indonesia kini sudah menjadi regional power dan global player. Posisi global power, bisa dicapai Indonesia pada tahun 2025 dan selambatnya tahun 2045. Untuk itu, Presiden mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan politik agar negeri berpenduduk 240 juta jiwa ini agar tidak kehilangan momentum pembangunan. 

Pernyataan Presiden itu bukan tanpa dasar alasan yang kuat. Belakangan ini, pihak asing semakin tertarik menanamkan modal di Indonesia. Ketertarikan itu dipicu oleh fakta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kurun waktu tahun 2010-2014 sebesar 6,3% hingga 6,8%. Sejumlah analis dan ekonom memprediksi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia menjadi 10 besar negara ekonomi dunia pada tahun 2025. Bahkan, Indonesia bisa menjadi enam besar negara dengan perekonomian terbesar dunia pada tahun 2050. 

Tahun lalu, Morgan Stanley memprediksi Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi dunia. Mereka mengusulkan nama Indonesia masuk dalam BRIC, akronim dari nama empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia. BRIC terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China. Istilah ini dipopulerkan oleh Goldman Sachs Group pada tahun 2001. Morgan Stanley mengusulkan agar BRIC menjadi BRICI dengan huruf “I” terakhir adalah Indonesia. Alasan nama Indonesia masuk karena lembaga investasi itu memperkirakan PDB negara ini bakal mencapai USD800 miliar dalam lima tahun mendatang. 

Di luar aspek ekonomi, yakni di bidang pertahanan, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden SBY juga bertekad untuk menunjukkan kebolehan, tidak hanya dari segi jumlah dan kualitas alat utama sistem persenjataan (alutsista). Indonesia juga bertekad untuk menjadi negara dengan industri pertahanan yang tidak dipandang remeh. Upaya itu terus dilakukan dengan meningkatkan anggaran pertahanan. Pada tahun 2009, anggaran pertahanan Indonesia Rp33,67 triliun yang terus meningkat dan pada tahun 2012 sebesar Rp72,54 triliun, pada tahun 2013 akan menjadi Rp77 triliun. Kekuatan di bidang pertahanan ini ternyata turut memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Pertahanan dan keamanan negara yang semakin kuat dapat menciptakan iklim usaha yang baik akan menjadi stimulus masuknya pemodal asing. Selain itu, jika Indonesia berhasil mengembangkan industri pertahanan, maka itu berarti memberikan pemasukan bagi keuangan negara. 

Tercatat Indonesia sudah memulai kerja sama jangka panjang di bidang pertahanan dengan sejumlah negara. Perusahaan BUMN di sektor strategis, seperti PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia, juga semakin menunjukkan kinerja mereka. PT Pindad, misalnya, kebanjiran order dari negara tetangga Malaysia yang memesan panser Anoa. Belum lagi senjata serbu buatan perusahaan itu yang sudah teruji keandalannya dengan menjadi juara di sejumlah kejuaraan menembak. Dengan fakta-fakta itu, rasanya keinginan Indonesia untuk menjadi kekuatan global pada tahun 2025 tidak sulit terwujud. 

Namun, semua itu bisa dicapai bila seluruh elemen masyarakat, terutama para elite bangsa, memiliki visi yang sama, yakni sepakat menjadikan Indonesia bangsa yang besar. Seluruh elite politik harus bisa bersatu padu untuk menjadi contoh bagi rakyat bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama membangun bangsa yang bermartabat. Para elite harus bergotong royong tanpa pamrih dan tanpa dilandasi kepentingan individu atau kelompok untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. 

Usulan Presiden SBY agar setiap akhir masa jabatan presiden dilakukan serah terima jabatan patut dipertimbangkan. Jabat tangan presiden dan mantan presiden pada serah terima jabatan itu akan memperlihatkan kepada rakyat bahwa tidak ada “dendam politik” di antara elite. Rakyat pun akan tergugah untuk bersama-sama pemimpinnya, meski tidak satu partai atau golongan, bahu-membahu membangun negeri ini. 

Kedamaian dalam konteks iklim investasi yang kondusif menjadi penting diciptakan di negara ini. Isu-isu seputar kudeta hendaknya dapat dikendalikan dengan baik karena isu-isu tadi tetap saja tidak produktif dan bahkan mengganggu ekspektasi dan iklim investasi yang sedang bagus-bagusnya. Isu tersebut pasti tidak baik untuk dunia usaha, dan tak nyaman bagi para investor. Oleh karena itu, kepada mereka yang mengaku sebagai bagian dari kalangan elit dan tokoh masyarakat hendaknya menampilkan sikap dan watak yang damai dan santun. Tidak boleh gegabah mengumbar kalimat-kalimat provokatif yang tidak produktif bagi bangsa ini. Kalau pun mereka tidak suka dengan pemerintahan sekarang ini, tetap mereka harus memberikan rasa respek atau hormat. 

Suka atau tidak suka, pemerintahan sekarang ini juga mampu menunjukkan kinerja di bidang ekonomi yang baik. Jadi, memberikan sedikit apresiasi dan respek kepada pemerintahan atas hasil kinerjanya itu tak akan merendahkan diri mereka. Ibarat gelas yang terisi setengah dan setengahnya kosong, janganlah dipandang Indonesia ini semata dari setengahnya yang kosong itu. Ini benar-benar sangat tidak adil, tidak objektif. 

Jadi masyarakat pun harus sportif melihat semua perkembangan yang terjadi. Sekali lagi, di bidang ekonomi, selain petumbuhan yang terus beranjak naik berkisar 6% setiap tahun, juga tercatat cukup banyak kemajuan di bidang ekonomi yang berhasil diraih. Investasi mengalir deras, kelas menengah tumbuh subur dan kini mencapai sekitar 60 juta orang, yang berarti sepuluh kali lipat dari penduduk Singapura yang berjumlah 5,7 juta orang. Mereka inilah mesin dan lokomotif ekonomi Indonesia di masa depan. Dengan tingkat pendapatan yang cukup tinggi, mereka adalah konsumen utama untuk produk-produk yang dihasilkan. Kemajuan Indonesia saat ini juga diakui dengan tulus oleh dunia internasional. 

Masuknya Indonesia dalam G-20 bukan hasil mengemis para pemimpin nasional ke negara-negara maju. Pengakuan dunia internasional atas kemajuan Indonesia juga terekspresi dari penilaian sejumlah lembaga pemeringkat yang memberikan status layak investasi (investment grade) pada negeri ini. Lantas, kalau dunia internasional mengakui kemajuan Indonesia, lalu mengapa ada sebagian elemen bangsa sendiri justru memandang itu semua dengan sebelah mata? Ke depan, dengan iklim demokrasi yang kian maju, ekonomi Indonesia pasti akan terus melaju. 

Kalau ada yang memprediksi Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi nomor enam di dunia pada tahun 2030, itu bukan pepesan kosong belaka. Dengan dianugerahi wilayah yang begitu luas dan subur, kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, impian raksasa ekonomi dunia bukan sesuatu yang tak bisa tercapai. Asalkan semua pihak menjaga momentum yang sudah dicapai selama ini. Semua itu mensyaratkan adanya persatuan dan kesatuan yang kuat di seluruh elemen bangsa ini. 


Business News

Baca selengkapnya...

Sabtu, 16 Februari 2013

MENUNTASKAN PEKERJAAN RUMAH DI BIDANG EKONOMI

Senin lalu (28/1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Rapat Kerja Pemerintah (RKP) pertama pada tahun ini. Dalam rapat tersebut, Presiden membeberkan evaluasi kinerja pemerintah pada tahun 2012.

Presiden SBY menilai, kinerja pemerintahan pada tahun lalu berjalan baik. Meskipun ada beberapa sasaran pemerintah yang belum tercapai, karena kompleksibilitas permasalahan atau kinerja jajaran pemerintahan yang kurang maksimal. Yang menarik, kendati evaluasi akan disampaikan secara rinci, Presiden memiliki evaluasi berdasarkan observasi dan pemantauan sendiri.

Di bidang ekonomi, Presiden mengingatkan Indonesia pada tahun ini masih diselimuti oleh dampak resesi ekonomi dunia. Meskipun, dirinya bersyukur perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh dengan baik dibanding negara-negara lain di kawasan.

Menurut Presiden, ada lima poin utama yang harus diperhatikan pemerintah untuk meredam dampak dari krisis tersebut.

Pertama, meminimalkan dampak resesi ekonomi dengan tetap dan terus menjaga pertumbuhan ekonomi.

Kedua, menjaga kesehatan fiskal dengan mencegah dan memperkecil defisit anggaran.

Ketiga, memastikan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) benar, subsidi tepat sasaran, dan penyerapan anggaran yang produktif dan berkualitas.

Keempat, pemerintah dituntut harus bisa menjaga inflasi rendah, terutama yang didorong stabilitas harga bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Maklum inflasi dinilai sebagai musuh rakyat dan musuh perekonomian.
 
Kelima, penciptaan lapangan kerja yang lebih besar lagi, sehingga mendorong perekonomian ke arah yang lebih maju.
 
Secara tersirat maupun tersurat, kelima poin arahan Presiden itu mengingatkan publik kepada strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada empat Pilar, yaitu “pro growth, pro jobs, pro poor and pro environment”, yang sejak awal kerap dikemukakan oleh Presiden dan jajarannya.
 
Secara substansial, lima poin yang disampaikan Presiden itu valid, karena poin-poin tersebut memang sangat penting untuk ekonomi domestik, sehingga investor bisa nyaman dan tentram berinvestasi di Indonesia.
 
Yang tak kalah pentingnya adalah perbaikan infrastruktur untuk menghela kegiatan perekonomian secara lebih efisien dan efektif lagi. Ini harus menjadi prioritas di sisa usia pemerintahan ini.
 
Juga yang tak kalah pentingnya adalah memperbaiki kualitas serapan anggaran untuk dapat menciptakan kegiatan perekonomian yang lebih dinamis. Sebab, sebenarnya defisit fiskal Indonesia sedikit, sehingga penyerapannya harus lebih bijaksana. Disiplin serapan anggaran menjadi penting karena disinilah letak kelemahan pemerintahan selama ini.
 
Sementara itu, di bidang kesejahteraan rakyat, Presiden SBY mengatakan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar.
Menurut Presiden, masih kurang kuatnya kebijakan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat membuat pemerintah semakin kesulitan dalam mencapai target penurunan kemiskinan setiap tahunnya.
 
Guna mengatasi persoalan itu, Presiden mengatakan, ada dua hal yang harus dipertajam pemerintah tahun ini. Pertama, memperkuat koordinasi seluruh jajaran pemerintah pusat maupun daerah agar dapat menjangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Upaya yang sangat serius, terintegrasi dan sinergis, antara pemerintah pusat dan daerah, juga antara sektoral dan regional, diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan. Koordinasi menjadi barang mahal dan penting yang musti diterapkan dalam setiap melakukan tugas pekerjaan karena tidak bisa sebuah kementerian atau lembaga bekerja sendiri-sendiri tanpa melalui koordinasi dengan kementerian atau lembaga lainnya.
 
Kedua, pengelolaan inflasi yang baik, khususnya dengan menjaga stabilitas ekonomi, terutama harga-harga bahan pokok yang erat kaitannya dengan masyarakat. Jika hal tersebut dapat dijaga pemerintah, Presiden optimistis bahwa inflasi tidak akan mengerus kesejahteraan masyarakat, khususnya warga miskin. Tim pengendali inflasi di tingkat pusat dan daerah yang dibentuk oleh Bank Indonesia bersama dengan unsur pemerintah harus dioptimalkan perannya.
 
Yang menarik adalah sorotan atas kinerja investasi langsung. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang 2012 lalu, yang mencapai Rp313,2 triliun merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah investasi di Indonesia. Angka ini jauh melonjak dari target 2012 sebesar Rp283,5 triliun atau sekitar 110,5% dari target.
 
Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 2012, tercatat sebesar Rp92,2 triliun, melebihi target yang sebesar Rp76,7 triliun dan realisasi investasi PMDN 2011 yang hanya Rp76 triliun.
 
Sementara realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) juga ikut meningkat, dari Rp175,3 triliun pada 2011 menjadi Rp221 triliun pada 2012. Angka ini juga melewati target yang ditetapkan BKPM sebesar Rp206 triliun.
 
Nilai investasi yang dihitung adalah investasi di luar bidang migas, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, dan industri rumah tangga. Sedangkan realisasi investasi proyek penanaman modal triwulan keempat 2012 mencapai Rp83,3 triliun, naik 18,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp70,2 triliun. Kinerja investasi yang bagus ini diyakini masih akan berlanjut tahun ini dan ditargetkan bisa menyentuh kisaran Rp350 triliun. Terbayangkan betapa akan semakin banyak pabrik-pabrik baru dibangun dan pabrik-pabrik lama diperluas atau diperbaiki. Ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sinilah peran perbankan untuk dapat memfasilitas kebutuhan pembiayaan dalam bentuk kredit produktif, yaitu kredit modal kerja dan kredit investasi.
 
Sektor pasar modal juga bisa mengambil peran dengan memfasilitasi korporasi yang akan menggali dana melalui penjualan saham perdana (IPO) di pasar modal. Keberhasilan pemerintah menata perekonomian nasional di tahun lalu bakal menjadi modal berharga memasuki tahun 2013 yang masih diliputi oleh ketidakpastian ekonomi dunia.
 
Pasar domestik harus tetap dapat dijaga jangan sampai kebanjiran oleh barang-barang buata asing. Konsumsi rumah tangga tetap akan menjadi magnet pertumbuhan ekonomi. Sementara investasi langsung akan melengkapi kekuatan konsumsi publik tadi. Tinggal pemerintah masih punya pekerjaan yang tidak ringan, yakni bagaimana mendorong ekspor sekuat-kuatnya di tengah melemahnya permintaan pasar dunia seraya menekan impor bahan baku dan bahan penolong sekencang-kencangnya.
 
Last but not least, pemerintah juga masih punya pekerjaan utama, yakni bagaimana memperbaiki serapan anggaran di jajaran kementerian dan lembaga agar mampu memperkuat topangan Produk Domestik Bruto (PDB) menembus level Rp8.000 triliun tahun ini yang dengan sendirinya akan mendongkrak pendapatan per kapita masyatrakar pada kisaran 3.500 dolar AS. Terakhir, pemerintah tidak boleh terlena dan cepat berpuas diri atas capaian kinerja ekonomi di tahun lalu karena tugas-tugas ke depan jauh lebih menantang.
 
 
Business News

Baca selengkapnya...

Jumat, 25 Januari 2013

Pelajaran Dari Jurang Fiskal AS

Satu dari banyak hal yang saya pelajari dari Milton Friedman adalah biaya sebenarnya dari pemerintah adalah pengeluaran, bukan pajaknya. Dengan kata lain, pengeluaran dibiayai baik oleh pajak saat ini atau melalui pinjaman, dan jumlah pinjaman membebani pajak masa depan, yang memiliki dampak yang hampir sama pada kinerja ekonomi dengan pajak saat ini. Kita bisa menerapkan penalaran ini untuk defisit fiskal yang tidak berkelanjutan di Amerika Serikat. Pandangan konvensionalnya adalah bahwa pendekatan yang wajar dan seimbang diperlukan oleh tiap pilihan. Namun, sebagaimana Friedman akan berpendapat, dua metode tersebut harus dikelompokkan sebagai kubu yang saling berlawanan. Sedikit pengeluaran berarti pemerintah akan lebih kecil. Banyak pajak berarti pemerintah akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu, orang-orang yang mendukung pemerintahan yang lebih kecil (misalnya, beberapa anggota Partai Republik) ingin defisit ditutup seluruhnya dengan memotong pengeluaran, sedangkan mereka yang mendukung pemerintah yang lebih besar (misalnya, Presiden Barack Obama dan sebagian besar anggota Partai Demokrat) akan ingin defisit ditutup seluruhnya dengan menaikkan pajak. Menurut penelitian atas stabilisasi fiskal yang dilakukan ahli ekonomi Alberto Alesina di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), memangkas defisit fiskal dengan cara mengurangi belanja cenderung jauh lebih baik bagi perekonomian daripada menguranginya melalui kenaikan pajak. Ini artinya penyesuaian belanja lebih baik karena itu artinya negara menjanjikan pemerintahan yang lebih kecil yang tentu saja mendorong pertumbuhan ekonomi. Bagi beberapa negara, menaikkan pajak tentu akan menjadi masalah tersendiri. Contohnya, kita bisa memilih berapa banyak yang bisa dikumpulkan melalui pajak penghasilan, pajak gaji, pajak konsumsi (seperti penjualan atau pajak pertambahan nilai), dan sebagainya. Kita juga bisa memilih berapa banyak peningkatan pendapatan saat ini, bukan di masa depan (dengan membuat variasi defisit fiskal). Sebuah prinsip umum untuk sistem pajak yang efisien adalah mengumpulkan jumlah tertentu dari pendapatan (sesuai dengan belanja jangka panjang pemerintah) dengan cara yang memicu distorsi sesedikit mungkin kepada perekonomian. Biasanya, prinsip ini berarti bahwa pengenaan tarif pajak marjinal harus serupa pada berbagai tingkat pendapatan tenaga kerja, untuk berbagai jenis konsumsi, serta untuk pengeluaran untuk hari ini versus besok, dan seterusnya. Dari sudut pandang ini, satu kelemahan dari sistem individual pajak penghasilan AS adalah bahwa tarif pajak marginal yang tinggi di bagian bawah (karena pengujian sarana program kesejahteraan) dan bagian atas (karena struktur berkelas). Oleh karena itu, pemerintah telah bergerak ke arah yang salah sejak 2009, secara signifikan menaikkan tarif pajak marjinal di bagian bawah (dengan secara dramatis meningkatkan program transfer) dan, baru-baru ini, di bagian atas (dengan menaikkan tarif pajak bagi orang kaya). Salah satu metode efisien dalam peningkatan pajak di AS adalah melalui pajak pendapatan di mana suku bunga marjinal pajak mendekati suku bunga rerata (karena tidak adanya pemotongan dan hanya ada sedikit pengurangan pada struktur). Oleh karena itu memotong nilai pajak pendapatan pada 2011-2012 dan membuat tingkat pajak berdasarkan penghasilan (untuk sisi perawatan kesehatan) adalah sebuah kesalahan dari sudut pandang efisiensi pajak. Para Republikan seharusnya mempertimbangkan ide ini ketika mengevaluasi pajak dan pengeluaran tahun 2013. Melalui "jurang fiskal" akan banyak memotong belanja pemerintah, walaupun komposisi pemotongannya- apa-apa dari hak dan terlalu banyak dari pertahanan- dinilai tidak menarik. Peningkatan pendapatan adalah, setidaknya, terjadi di seluruh level, daripada kenaikan tak seimbang di tarif pajak marjinal di bagian atas yang diberlakukan. Namun bagian yang paling penting untuk menghindari jurang fiskal adalah pemulihan pajak gaji yang efisien. Saya memperkirakan kenaikan 2 persen poin atas jumlah yang dikumpulkan dari karyawan sama dengan sekitar US$1,4 triliun pada pendapatan lebih dari sepuluh tahun. Peningkatan pendapatan yang signifikan itu tidak tercatat pada laporan-laporan standar, karena fasilitas keringanan pajak penghasilan pada 2011-2012 dinilai sebagai sesuatu yang sementara. Beberapa pemodel makroekonomi, termasuk Kantor Anggaran Kongres, memperkirakan bahwa melalui jurang fiskal akan memicu resesi. Namun hasil tersebut muncul melalui model ekonomi Keynesian yang selalu memperkirakan pertumbuhan PDB seiring dengan perkembangan pemerintah. Sayangnya, model ini mengindahkan pengaruh negatif dan ketidakpastian atas bagaimana masalah fiskal dapat terurai. Bukanlah hal yang mengejutkan bila AS kembali terhantam resesi namun kini bisa ditambah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang buruk serta kepentingan-kepentingan lain, bukan untuk memotong ukuran pemerintah. Bukanlah hal yang bijaksana untuk memotong belanja negara demi mengurangi risiko resesi. Apabila ide pemerintahan yang lebih sesuai untuk jangka panjang (seperti apa yang saya yakini), hal itu pun bisa berlaku untuk jangka pendek. Robert J. Barro, Guru Besar Ekonomi Harvard University

Baca selengkapnya...