Selasa, 15 Desember 2009

Layanan "Mirip Blackberry" Versi Indonesia Diperkenalkan

Layanan serupa Blackberry yakni aplikasi jejaring komunitas asli Indonesia bertajuk "mobinity.net" diperkenalkan untuk menyediakan berbagai layanan bagi komunitas mobile.

"Mobinity.net merupakan aplikasi jejaring sosial dengan kemampuan lengkap dan dilengkapi dengan APN (Acces Point Name) khusus," kata CEO PT inTouch innovate Indonesia, Kendro Hendra, di sela acara peluncuran mobinity di JCC Jakarta, Senin.

APN tersebut, kata dia, memungkinkan operator menyediakan paket data tak terbatas sehingga layanan dapat diakses oleh pengguna sepuasnya dengan harga mingguan atau bulanan tetap, yang terjangkau tanpa terkena biaya GPRS tambahan.

Mobile community network itu merupakan layanan asli buatan Indonesia yang diluncurkan oleh perusahaan IT; PT inTouch innovate Indonesia.

"Mobinity.net juga merupakan aplikasi `On Device Portal` (ODP) yang khusus dibuat untuk menyediakan berbagai layanan bagi komunitas mobel," katanya.

Komunitas mobile itu mencakup mobiFriends yang merupakan client untuk facebook, mobiChat; client untuk Yahoo!Messenger dan MSN; mobiGroup client untuk akses Facebook Groups; mobiNews client untuk akses berita lengkap dengan foto.

Di samping itu juga tersedia mobiReporter yang merupakan aplikasi warta warga yang memungkinkan pemakai menjadi wartawan dengan meng-upload foto dari kamera ponsel, merekam suara, dan mengetik berita yang dapat dilihat oleh pemakai mobinity lain.

Hasil reportase juga dapat dilihat dan didengar di forum InfoKita.

"Tersedia pula layanan mobiMarket yang merupakan aplikasi yang memungkinkan pemakai mencari dan memasang iklan baris di berbagai portal popular seperti sms iklan Kompas.com dan dalam waktu dekat juga kaskus FJB," katanya.

Layanan mobinity saat ini berjalan pada platform Symbian S60 dan Java-MIDP-2 dan membidik pasar pengguna ponsel yang sudah ada maupun pengguna baru.

"Kami telah menjalin kerja sama dengan semua operator GSM yakni 3, Axis, Indosat, Telkomsel, dan XL yang akan membantu memasarkan layanan mobinity kepada 100 juta pelanggan yang sudah ada," kata Kendro.

Untuk pengguna baru, pihaknya menjalin kerja sama dengan beberapa ponsel merek lokal utama yang menanamkan aplikasi dan APN mobinity dalam ponsel sehingga pengguna dapat langsung mengakses layanan.

Sementara itu, Menkominfo, Tifatul Sembiring, terkait kehadiran aplikasi itu berpendapat, mobinity yang 100 persen dibuat anak bangsa dan berjalan pada ponsel merek nasional dengan harga akses terjangkau akan meningkatkan demokratisasi terhadap informasi bangsa Indonesia.

"Slogan made in, by, for Indonesia sangatlah tepat sebagai semangat bagi semua pelaku industri komunikasi dan informatika untuk meningkatkan industrinya tanpa melupakan masyarakat menengah bawah," kata Menteri.


ANTARA News

Baca selengkapnya...

Membunuh Nafsu Korupsi Dengan Rp. 40.000,-

Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita tahunan AS pada 2008 adalah 46.716 dolar AS (Rp. 443,8 juta), Singapura 49.288 dolar AS (Rp. 468,2 juta), dan Indonesia 3.975 dolar AS atau Rp. 37,7 juta. Artinya, pendapatan orang Indonesia per hari Rp. 103 ribu, sedangkan AS dan Singapura masing-masing Rp. 1,215 juta dan Rp. 1,282 juta.

Jelas kedua negara lebih kaya karena mereka menghasilkan lebih banyak uang dari Indonesia, tapi itu tak berarti kerja orang Indonesia kalah keras dari mereka. Persoalannya malah mungkin karena Indonesia yang mempunyai pepatah "hemat pangkal kaya" itu, kalah efisien dari mereka.

Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura pandai menghargai uang, tapi itu bukan berarti mereka materialistis, sebaliknya mereka melihat uang adalah simbol usaha keras manusia.

Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Sebaliknya, menghamburkan uang sama dengan menghina kerja keras dan menyepelekan prestasi.

Untuk itu, penghinaan terhadap kerja keras harus disumbat rapat-rapat untuk memastikan mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan dan sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan.

Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.

Pada beberapa negara rambu etik itu bahkan ditegaskan secara gamblang, misalnya Office of Government Ethics (OGE) di AS.

OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi.

Salah satu etika itu adalah semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah dari pihak lain tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp. 200.000,-) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp. 500.000,-).

OGE juga menetapkan ketentuan, bahwa bawahan hanya boleh memberi hadiah kepada atasannya, sebanyak-banyaknya 10 dolar AS (Rp. 100.000,-).

Disiplin

Bagi masyarakat korup, batasan pemberian hadiah seperti AS itu terlihat aneh, tetapi negara-negara yang memiliki sistem pelayanan publik kredibel, batasan ini justru menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat antikorupsi.

Di samping membunuh budaya nyetor dan pungli, pedoman etik yang terang nan tegas membuat pejabat dan pegawai negeri menjadi sulit disogok oleh pihak-pihak yang memerlukan "rekomendasi" negara untuk kelancaran urusan-urusannya, termasuk soal bisnis.

Lain dari itu, semua orang yang digaji negara, termasuk aparat penegakan hukum, tak bisa lagi sembarangan "didekati," apalagi oleh orang yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan.

Mengutip www.usoge.gov, sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

OGE, seperti umumnya negara yang hirau dengan penciptaan aparatur negara yang akuntabel, mengatur pula batasan benturan kepentingan. Bahwa pejabat dan pegawai negeri tak boleh turut pada proyek-proyek pemerintah yang dapat memperkaya dirinya atau menguntungkan keluarga, kerabat dan kedudukannya di luar kantor.

Pegawai negeri bahkan tak boleh memanfaatkan properti apa pun yang dibeli dengan uang negara, untuk kepentingan pribadi, keluarga dan koleganya. Properti itu bahkan termasuk ATK (alat tulis kantor), telepon, komputer, dan mesin fotokopi.

Sebegitu jauh, disiplin yang dimulai dari hal-hal kecil itu membuat negara berhasil menyumbat kebocoran dana publik dan mampu menciptakan sistem pelayanan publik yang terjaga integritasnya sehingga anteng mendistribusikan kesejahteraan sosial ke segala lapisan masyarakat.

Negara pun kian efisien dan makin mampu memerangi korupsi, terlihat dari tingginya kemampuan negara-negara makmur dalam mengatasi kebocoran dana publik dan dalam membersihkan sistem aparaturnya.

Indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency Internasional menjadi buktinya. Negara-negara hemat dan disiplin melayani publik seperti Singapura, Swedia dan Amerika Serikat, rata-rata memang mempunyai CPI tinggi.

Pada 2009, CPI ketiga negara ini berada pada antara 9,2 - 7,5, sedangkan Indonesia jauh di bawah, hanya 2,8.

Rp. 40.000,-!

Walaupun angka CPI Indonesia itu masih lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 2,6, sejumlah kalangan tidak mau cepat berpuas diri.

"Ini bukan indikator bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lebih baik," kata Manajer Riset dan Kebijakan Transparansi Internasional Indonesia Frenky Simanjuntak seperti dikutip ANTARA, pertengahan November lalu.

Namun apa pun itu, belakangan ini Indonesia memang kian aktif mengenalkan etika-etika antikorupsi untuk membangun sistem pelayanan publik yang bersih dari kongkalikong dan korosif.

UU Gratifikasi dan inisiatif KPK dalam melarang pejabat menerima parsel, adalah beberapa contoh dari pengenalan etika antikorupsi itu.

Langkah ini perlu diperluas lagi skalanya, dengan mengenalkan sebanyak mungkin pedoman etik bagi kerja sistem pelayanan publik.

Jika itu terlalu sulit ditempuh, setidaknya ada prinsip-prinsip etik eksplisit, seperti AS menetapkan batasan sumbangan pihak luar kepada pegawai negeri maksimal 50 dolar AS (Rp. 500.000,-) setahun, atau 0,11 persen dari pendapatan per kapita AS sebesar 46.716 dolar.

Andaikan ketentuan itu berlaku juga di Indonesia, maka dalam setahun, pejabat dan pegawai negeri hanya boleh menerima hadiah dari pihak luar senilai 4,04 dolar AS atau Rp. 40.000,-!

4,04 dolar AS adalah 0,11 persen dari pendapatan per kapita Indonesia sebesar 3.675 per dolar AS.

Memang, ada kekecualian untuk sumbangan bermotif sosial atau yang tak berkaitan dengan jabatan seseorang di kantor publik. Tapi itu tidak menutup fakta bahwa rambu etik yang terang tetapi memaksa, lebih efektif dalam menutup kebocoran dana ketimbang imbauan moral.

Tidak itu saja, hasrat orang Indonesia untuk mengkorupsi dan "memalak" uang rakyat pun bisa terkikis. Bagaimana tidak, jangankan memungut miliaran rupiah, menerima lebih sedikit dari Rp. 40.000,- saja sudah tidak etis dan melanggar ketentuan.

Andaikan ini terjadi, maka tikus-tikus korupsi akan punah dari Indonesia dan kosa kata konglomerat hitam, pejabat korup, atau makelar kasus menjadi terdengar sangat asing bagi telinga publik. Akhirnya, Singapura pun mungkin akan kalah makmur dari Indonesia. Semoga ini bukan lagi mimpi.


Jafar M. Sidik - Antara

Baca selengkapnya...

Senin, 14 Desember 2009

Hati Kecil Saya Untuk Sri Mulyani

Hati kecil saya masih berharap mudah-mudahan hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century itu tidak seluruhnya benar. Sebab, kalau memang tidak ada yang salah, akibatnya akan sangat dramatis: kita bisa kehilangan menteri keuangan yang sangat kita banggakan. Seorang menteri, Sri Mulyani, yang reputasinya begitu hebat. Baik di dunia internasional maupun dalam mengendalikan keuangan negara. Secara internasional dia terpilih sebagai menteri keuangan terbaik di dunia dua tahun berturut-turut. Di dalam negeri dia dikenal sebagai menteri pertama yang berani mereformasi birokrasi di departemennya. Juga menteri yang sangat ketat mengendalikan anggaran negara. Bahkan, dialah satu-satunya menteri yang berani minta berhenti ketika ada gelagat pemerintah akan membela seorang konglomerat yang dia anggap tidak seharusnya dibela.

Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada yang tiba-tiba mengatakan: kesimpulan BPK itu diperoleh dengan cara kerja yang kurang benar. Maka kita tidak akan kehilangan menteri keuangan yang pandainya bukan main itu. Pandai dalam ilmunya, pandai dalam menjelaskan pikirannya, dan pintar bersilat kata. Saya melihat kecepatan berpikirnya sama dengan kecepatan bicaranya. Kalau lagi melihat cara dia mengemukakan pikiran, seolah-olah otak dan bibirnya berada di tempat yang sama.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang tiba-tiba menemukan data bahwa BPK telah salah ketik. Maka, kita tidak akan kehilangan menteri yang mampu rapat dua hari dua malam nonstop untuk menyelamatkan keuangan negara. Rapat itu tidak boleh berhenti karena lengah sedikit berakibat pada kebangkrutan ekonomi nasional. Rapat itu tentu melelahkan karena angka-angkalah yang akan terus berseliweran. Angka-angka yang rumit: kurs, suku bunga, devisa, likuiditas, rush, neraca perdagangan, stimulus, dan seterusnya. Angak-angka itu saling bertentangan, tapi menteri tidak boleh memilih salah satunya. Dia harus membuat keputusan yang harus memenangkan semua angka yang saling merugikan itu. Padahal, dia baru saja tiba dari Washington, AS, untuk berbicara di forum KTT G-20 yang amat penting itu. Di Washington dia tahu bahayanya ekonomi dunia. Tapi, dia mampu memikirkan keuangan internasional sekaligus keuangan nasional dalam waktu yang sama di belahan dunia yang berbeda. Dia harus menghadiri KTT G-20 di Washington saat itu (kebetulan saya ikut di rombongan situ) saat rupiah tiba-tiba melonjak menjadi Rp 12.000 per dolar AS. Dia harus tampil cool di forum dunia yang Singapura pun tidak boleh ikut di dalamnya itu sambil tegang bagaimana harus mengendalikan rupiah yang sudah membuat warga negara Indonesia panik semuanya.
Dialah menteri yang datang ke Washington hanya untuk mengemukakan pikiran briliannya dan harus langsung kembali ke tanah air pada hari yang sama untuk mencurahkan perhatian pada ekonomi yang hampir bangkrut itu.
Hati kecil saya masih berharap, mudah-mudahan ada orang yang mengatakan bukan dia yang harus bertanggung jawab. Tapi, ada pihak lainlah yang harus mendapat hukuman. Kalau tidak, kita akan kehilangan seorang menteri yang di saat ibu kandungnya, Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko, sedang sakit keras menjelang ajalnya, dia tidak bisa menengok sekejap pun. Dia memilih mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan emosinya untuk menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dia tidak bisa menjenguk ibu kandungnya yang jaraknya hanya 45 menit penerbangan di Semarang sana. Dia harus mencucurkan air mata untuk dua kesedihan sekaligus: kesedihan karena ibundanya berada di detik-detik akhir hidupnya dan kesedihan melihat negara dalam bibir kehancuran ekonomi. Dua-duanya tidak bisa ditinggal sedetik pun. Rupiah lagi terus bergerak hancur dan detak jatung ibunya juga lagi terus melemah. Dan, Sri Mulyani memilih menunggui rupiah demi nyawa jutaan orang Indonesia.
Maka hati kecil saya masih berharap ada data di kemudian hari bahwa kebijaksanaan itu sendiri tidak salah. Sebab, sebuah kebijaksanaan bisa diperdebatkan salah benarnya. Saya masih berharap yang salah itu dalam pelaksanaan kebijaksanaannya. Yakni, saat mendistribusikan uangnya yang Rp 6,7 triliun itu. Dan saya sangat-sangat yakin dia tidak mendapatkan bagian serupiah pun.
Maka saya sangat bersedih karena sampai hari ini belum ada satu pihak pun yang berhasil mengatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK itu salah. Belum ada yang membantah bahwa hasil pemeriksaan BPK itu keliru. Semua masih mengatakan, hasil pemeriksaan BPK itu menunjukkan bahwa dia bersalah dalam mengambil keputusan. Dan hukum harus ditegakkan.


Dahlan Iskan

Baca selengkapnya...

Jumat, 04 Desember 2009

Cara Mudah Menjalani Kehidupan

“We spend too much time making a living and too little time making and living. – Kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memenuhi tuntutan kehidupan tetapi terlalu sedikit waktu untuk menikmati hidup dan menjadikannya lebih berarti.”
~ Rachei Dillon


Kita memang sering terjebak dengan bermacam kesibukan dan tak sempat menikmati kehidupan ini atau menjadikannya lebih berarti. Sehingga hidup ini serasa melelahkan. Untuk itu saya menulis sebuah buku yang membahas solusi mempermudah kehidupan, berjudul Simplify Your Life With Zen. Tidak saya sangka, para pembaca menyambut hangat kehadiran buku tersebut.
Kemudian muncul banyak pertanyaan. Intinya mereka menanyakan apakah mungkin kita menjalani kehidupan dengan mudah di jaman yang serba sulit ini? Jawabnya kita sangat mungkin menjalani hidup dengan mudah, asalkan kita memahami dan mengerti caranya.
Langkah pertama untuk menjalani kehidupan dengan mudah adalah sesering mungkin bersyukur kepada Tuhan YME atas segala karunia yang sedang kita nikmati saat ini. Jangan selalu berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak kita miliki. Banyak bersyukur kepada Tuhan YME akan membantu kita mendapatkan optimisme dan semangat untuk menjangkau impian yang belum berhasil kita wujudkan.
Rasa syukur terhadap Tuhan YME adalah sumber aura positif yang akan tercermin dalam sikap dan kalimat-kalimat kita. Aura positif tersebut merupakan magnet yang akan menarik segala sesuatu yang positif pula. Sehingga hal itu akan sangat mempengaruhi tingkat mudah dan tidaknya kita menjalani kehidupan ini.
Langkah kedua yang dapat memudahkan kita dalam menjalani kehidupan ini adalah tidak memaksakan diri seperti orang lain. Berbesarlah hati menerima bagaimanapun kondisi kita dengan segala tanggung jawab yang harus kita jalankan. Itu bukan berarti kita tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik, melainkan agar kita lebih mudah memfokuskan diri hanya untuk menunaikan tanggung jawab sebaik mungkin agar dapat menuai hasil semaksimal mungkin.
Sementara itu, sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan dan kekurangan, dalam kehidupan sehari-hari sering pula terbersit pikiran negatif. Jika hal itu terjadi, segeralah mengenyahkan pikiran negatif yang terlintas di dalam benak kita, agar kita senantiasa melihat sisi positif atau manfaat dibalik kejadian atau situasi yang sedang kita hadapi. Karena pikiran negatif itu hanya akan membebani langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.
Kemudian belajarlah untuk ikhlas melepaskan apa yang sudah pernah kita miliki, setelah kita puas berupaya maksimal. Hidup akan terasa lebih ringan jika kita menerima penurunan kondisi fisik akibat bertambahnya usia, penurunan omset bisnis akibat berbagai gejolak krisis, berkurangnya respon dari orang lain karena sudah memasuki masa pensiun, dan lain sebagainya. Hiduplah dalam realitas diri kita dengan lapang dada, dan jangan menganggapnya sebagai coban hidup yang berat. Dengan cara itu, hidup kita akan terasa lebih ringan dijalani. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sehingga kita harus mempunyai kemauan untuk terus belajar banyak hal melalui berbagai cara, misalnya lewat internet, orang lain, seminar, buku dan lain sebagainya. Jika kita mempunyai ilmu atau wawasan yang lebih luas, maka sikap kita akan lebih terbuka dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan. Sehingga kita tak hanya mudah menjalani kehidupan, melainkan menjadikan segala sesuatu dalam kehidupan kita menjadi jauh lebih baik.
Faktor lain yang dapat meringankan langkah kita dalam menjalani kehidupan ini adalah memiliki hubungan sosial yang baik dan luas. Bahkan dikatakan bahwa dalam jaringan sosial yang baik dan luas tersimpan berbagai peluang yang menguntungkan dan memungkinkan kita untuk mewujudkan bermacam impian. Sehingga langkah lain yang harus kita tempuh agar lebih mudah menjalani kehidupan ini adalah menciptakan hubungan sosial yang baik dengan siapa pun dan tanpa tendensi apa pun.
Sementara itu, luangkan waktu untuk bersama dan memberikan perhatian kepada orang-orang tercinta. Curahan kasih sayang bersama orang-orang tercinta dalam berbagai aktifitas sederhana sekalipun, misalnya; saat makan, berkebun, bermain dengan anak-anak, membantu pasangan menyelesaikan tugas, merupakan sumber kedamaian dan keteduhan. Pengalaman menyenangkan selama beraktifitas dengan orang-orang tercinta akan menjadi inspirasi dan semangat baru yang meringankan langkah-langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.
Jangan pula membiarkan stres atau depresi menggangu kesehatan dan ketentraman hidup kita. Hal itu akan menjadikan kehidupan kita serasa berat dan sulit. Oleh sebab itu, luangkanlah waktu untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan YME atau bermeditasi untuk introspeksi diri atau mengevaluasi langkah-langkah yang sudah kita lakukan. Kekuatan spiritual merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan hakiki, sehingga kita mampu bersikap lebih tabah, sabar, tenang dan optimis dalam menjalani kehidupan dengan langkah-langkah yang lebih baik.
Sebenarnya masih banyak langkah-langkah memudahkan kita menjalani kehidupan ini, yang secara garis besar menekankan pada keseimbangan kekuatan intelegensi, emosional dan spiritual serta keseimbangan pemenuhan kebutuhan materi, kesehatan, maupun hubungan sosial. Tetapi bila kita konsisten hanya dengan melaksanakan ke-9 langkah di atas, dipastikan kita dapat menjalani kehidupan ini dengan mudah. Lakukan saja tanpa menunda, dan rasakan dalam waktu relatif singkat kehidupan ini terasa jauh lebih mudah.


Andrew Ho

Baca selengkapnya...

Kamis, 03 Desember 2009

Meditasi : Timur Bertemu Barat

Meditasi adalah jalan pintas untuk mencapai pencerahan. Ini kata para guru spiritual. Meditasi, dalam banyak tradisi, memang sangat dianjurkan. Terutama dalam Buddhisme.

Ada dua jenis meditasi, pertama Samatha Bhavana atau Meditasi Ketenangan, dan yang kedua adalah Vipassana Bhavana atau Meditasi Pandangan Terang.
Ada pandangan yang berbeda di kalangan pengajar meditasi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang harus melakukan dan mahir meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu. Baru setelah itu mereka masuk ke meditasi Vipassana Bhavana. Ada juga yang mengatakan bahwa untuk mencapai pencerahan tidak perlu dengan melakukan meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu tapi langsung meditasi Vipassana Bhavana.
Meditasi Samatha Bhavana adalah pemusatan konsentrasi atau perhatian pada objek tertentu, misalnya napas. Ada empat puluh objek yang bisa digunakan untuk menditasi. Napas hanya salah satunya.
Tujuan dari meditasi ini adalah untuk melatih pikiran sehingga terkendali dan akhirnya diam dan hening. Saat kondisi pikiran benar-benar terpusat sangat kuat, hening, diam, dan tercerap sepenuhnya pada objek meditasi maka pada saat itu meditator mencapai kondisi jhana.
Sedangkan meditasi Vipassana Bhavana adalah meditasi perhatian penuh, introspeksi, observasi realitas, kewaspadaan objektif, dan belajar dari pengalaman setiap momen. Inti dari meditasi ini adalah mengamati segala proses mental atau fisik yang paling dominan pada saat sekarang Dengan kata lain, menyadari, mencatat, ingat ketika lenyap.
Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan mana atau siapa yang benar. Apakah perlu Samatha dulu baru Vipassana ataukah tidak perlu Samatha tapi langsung Vipassana? Yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah apakah sebenarnya yang terjadi dalam pikiran seseorang yang melakukan meditasi, baik itu Samatha maupun Vipassana, ditinjau dari riset di barat, dengan mengukur pola gelombang otak.
Saat belajar kepada Anna Wise, satu hal yang sangat mencerahkan saya adalah saat Beliau berkata, “Meditation is a state of consciousness, a spesific brain-wave pattern, no a technique”. Anna juga berkata bahwa, “There is state of consciousness and content of consciousness”.
Wow… ini sungguh suatu pencerahan luar biasa. Anna Wise sampai pada kesimpulan ini setelah mengukur, dengan menggunakan Mind Mirror, begitu banyak pola gelombang otak orang, termasuk para master dan guru meditasi Zen.
Dari pengukuran Anna Wise didapat satu data yang sangat menarik yaitu semua master dan guru meditasi itu punya gelombang otak yang sama. Pola ini disebut dengan pola Awakened Mind (AM) yang terdiri dari beta, alfa, theta, dan delta dengan komposisi yang pas. Beta di sini adalah low beta dan hanya sedikit saja, karena hanya digunakan untuk menyadari, mengetahui, mencatat.
Alfa berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran sadar dan bawah sadar. Theta adalah pikiran bawah sadar dan delta adalah pikiran nirsadar.

Kita tetap membutuhkan beta, walaupun hanya sedikit saja, untuk bisa mengetahui atau menyadari apa yang sedang kita alami. Bila tidak ada beta maka kita sama sekali tidak akan tahu atau ingat yang terjadi atau alami saat meditasi.
Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Samatha dan Vipassana?
Meditasi Samatha, bila dilihat dari pola gelombang otak, bertujuan untuk meng-OFF-kan gelombang beta. Beta adalah gelombang pikiran sadar dan berkisar pada kisaran frekuensi 12-25 Hz. Gelombang ini aktif bila kita berpikir, memberikan penilaian (judgement) atau memberikan makna pada sesuatu, mengkritik, membuat daftar, menganalisa, atau berbicara pada diri sendiri (self talk).
High Beta, frekuensi di atas 25 Hz berhubungan dengan stress dan kecemasan. Semakin aktif high beta seseorang maka semakin “liar” pikirannya. Pikiran akan lari ke sana ke mari, melompat dari satu hal ke hal lain, tidak bisa diam, sulit atau hampir tidak mungkin untuk dikendalikan. Kesulitan ini yang dialami oleh semua meditator pemula.
Banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk belajar mendiamkan pikirannya mereka namun tidak berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bermeditasi karena tidak merasakan manfaat.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seseorang mahir meng-OFF-kan pikirannya? Ini semua bergantung pada waktu dan teknik yang digunakan. Umumnya, untuk meng-OFF-kan pikiran sadar, orang menggunakan objek napas.
Pikiran dilatih untuk diam dengan cara difokuskan pada napas. Dan pada saat pikiran lari ke objek lain maka pikiran ditarik kembali ke napas dan demikian selanjutnya sampai dicapai kekuatan konsentrasi yang sangat tinggi.
Sulitnya meditator mendiamkan pikirannya, selain karena aktifnya high beta, juga disebabkan tubuh yang tegang. Posisi duduk yang tidak tepat, apa lagi kalau sampai melakukan postur full lotus, membuat otot paha dan tubuh menjadi begitu tegang sehingga adalah tidak mungkin untuk bisa mencapai kondisi pikiran yang rileks.
Masih berdasar riset Anna Wise, untuk bisa merilekskan pikiran, menurunkan beta dengan cepat, bisa dilakukan dengan merilekskan tubuh terlebih dahulu. Ada teknik spesifik yang Beliau kembangkan untuk bisa mendiamkan pikiran dalam waktu yang sangat singkat.
Saat seseorang telah mampu meng-OFF-kan pikiran sadarnya (gelombang beta) maka pada saat itu ia telah masuk ke kondisi meditatif yang sangat dalam. Jadi, meditasi sebenarnya adalah gelombang otak yang terdiri dari alfa, theta, dan atau tanpa delta. Di sini tampak jelas bahwa beta tidak dibutuhkan untuk meditasi. Justru beta perlu dihilangkan.
Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Vipassana?
Dari pengalaman saya pribadi adalah cukup sulit atau bahkan tidak mungkin bisa melakukan pengamatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau sensasi fisik yang muncul saat pikiran sadar masih sangat aktif. Apalagi jika yang aktif adalah high beta.
Jelas sangat sulit melakukan pengamatan jika piranti yang digunakan untuk melakukan pengamatan atau observasi, yaitu pikiran sadar, masih sangat aktif dan sibuk sendiri.
Yang diamati dalam meditasi Vipassana, khususnya pada aspek bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul, sebenarnya berasal dari pikiran bawah sadar dan nirsadar.
Dari pikiran bawah sadar biasanya muncul memori atau ingatan mengenai kejadian tertentu, yang berasal dari pengalaman di kehidupan saat ini, dan biasanya berisi muatan emosi dengan intensitas yang tinggi, baik positif maupun negatif.
Jadi, saat memori ini muncul, baik dalam bentuk gambar atau film, maka sebenarnya pada saat yang sama emosi yang berhubungan dengan memori ini juga aktif. Sedangkan dari pikiran nirsadar akan muncul memori dan emosi yang berasal dari kehidupan lampau.
Itulah sebabnya adalah sangat penting bagi seorang meditator untuk tidak masuk ke dalam pengalaman itu, karena biasanya mengandung emosi yang intens, dan cukup hanya mengetahui, menyadari, mencatat, dan mengingatnya ketika lenyap atau hilang.
Meditator tidak larut ke dalamnya. Akan sangat riskan bila meditator masuk ke dalam pengalaman itu, terutama jika pengalaman itu mengandung emosi negatif yang intens, misalnya akibat dari trauma masa lalu.
Jika sampai terjadi hal ini maka meditator akan mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu. Istilah teknisnya revivification dan akan berdampak negatif pada kondisi mental dan emosinya.
Kemampuan untuk bisa menjadi pengamat (observer) dan tidak masuk ke dalam objek yang diamati hanya bisa dicapai bila pengendalian diri kita baik dan juga pikiran sadar (baca: beta) tidak terlalu aktif dan tidak memberikan penilaian atau penghakiman.
Saat kita mampu melihat atau hanya menjadi pengamat maka kita telah mampu melakukan disosiasi sehingga tidak dipengaruhi emosi yang melekat pada suatu memori. Saat kita mampu tenang hanya menyadari, mencatat, dan mengingat kejadian atau pengalaman yang muncul, maka kita akan tahu dan sadar bahwa kita bukanlah pengalaman atau emosi kita. Pengalaman atau emosi itu muncul dan tenggelam/hilang. Dan saat kita memberi jarak atau memisahkan diri dari pengalaman atau emosi itu maka mereka tidak bisa mempengaruhi diri kita.
Banyak yang berpikir, “Jika tidak ada beta, lalu bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan insight atau mengerti?”
Insight atau kebijaksanaan yang sesungguhnya berasal dari theta atau pikiran bawah sadar. Kedalamam meditasi ditentukan oleh kedalaman theta yang berhasil kita capai. Theta adalah tempat terjadinya koneksi spiritual paling dalam. Saat seseorang berada dalam deep theta maka ia akan merasakan ketenanga, kedamaian, dan kebahagiaan yang luar biasa.
Pikiran bawah sadar mempunyai proses berpikir sendiri yang terpisah dari pikiran sadar. Jadi, saat kita bermeditasi Vipassana, saat pikiran sadar yang tidak terlalu aktif, maka informasi atau insight yang berasal dari pikiran bawah sadar akan naik, melalui jembatan alfa, ke pikiran sadar (beta) dan kita menyadari atau tahu (ingat) informasi ini.
Jadi, yang dilakukan oleh meditator yang bertahun-tahun melakukan meditasi Samatha sebenarnya adalah persiapan untuk awakening atau pencerahan. Para meditator ini biasanya, setelah bertahun-tahun berlatih meditasi, berhasil mengembangkan pola gelombang otak Awakened Mind.
Namun meditasi Samatha, walaupun telah lama dilakukan, walaupun telah berhasil mencapai pola Awakened Mind, tidak mampu memfasilitasi pencapaian pencerahan.
Mengapa? Karena meditasi Samatha sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi kesadaran (state of consciousness) yang spesifik. Kondisi kesadaran ini selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melatih meditasi Vipassana karena Vipassana sebenarnya adalah content-based meditation atau meditasi berdasarkan isi.

Yang dimaksud dengan isi, selain sensasi fisik yang dirasakan, juga adalah konten dari pikiran bawah sadar dalam bentuk-bentuk pikiran dan emosi yang muncul, dirasakan, atau dialami pada saat meditasi berlangsung, pada momen here and now.
Contoh yang paling populer adalah koan dalam meditasi Zen. Saat seorang master Zen bertanya pada muridnya, “Bagaimana bunyinya bila tepuk tangan dilakukan hanya dengan satu tangan?”, maka pada saat itu sang master memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab bila si murid hanya menggunakan pikiran sadar atau beta.
Saat berpikir keras untuk menemukan jawabannya maka pikiran murid yang terlatih akan begitu fokus, dan ini sebenarnya adalah meditasi Samatha, akan mendapatkan pemahaman atau pengetahuan, yang berasal dari pikiran bawah sadarnya, yang mampu memfasilitasi tercapainya pencerahan.
Ini bukan meditasi dengan “pikiran kosong”. Sebaliknya, ini adalah meditasi dengan konten yang sangat spesifik yang dilakukan oleh praktisi dengan kondisi pikiran yang telah disiapkan dengan sangat baik dan hati-hati sekali, dengan menggunakan teknik yang spesifik.
Pembaca, setelah membaca sejauh ini, jika anda bermeditasi, teknik mana yang akan anda gunakan? Samatha atau Vipassana? Semua saya kembalikan pada diri anda sendiri. Saat bermeditasi kenalilah diri anda sendiri. Anda akan tahu apakah anda akan langsung ke Vipassana ataukah perlu melatih Samatha dulu.
Dan yang paling penting adalah anda perlu belajar di bawah bimbingan seorang guru meditasi yang berpengalaman. Hanya duduk dan memperhatikan napas memperhatikan pikiran belum tentu bisa disebut meditasi. Meditasi, seperti yang didefisinikan oleh Anna Wise adalah kondisi kesadaran spesifik bukan sekedar teknik.
Jika anda telah melakukan meditasi sekian lama namun belum bisa masuk atau mengalami kondisi kesadaran (state of consciousness) yang spesifik itu maka meditasi anda bisa dibilang belum berhasil.
Anna Wise pernah membantu seorang kliennya, seorang meditator. Keluhan klien ini adalah walaupun ia telah meditasi Samatha selama 12 tahun non stop, setiap hari 1 jam, ia masih belum bisa masuk ke kondisi meditatif yang dalam.
Saat dilihat pola gelombang otaknya, dengan menggunakan Mind Mirror, tampak bahwa selama 12 tahun meditasi klien ini tidak bisa mendiamkan pikirannya. Hal ini tampak dari high beta yang sangat aktif saat ia melakukan meditasi.
Dengan teknik yang spesifik Anna berhasil membantu klien ini mendiamkan pikirannya sehingga menjadi tenang dan hening dalam waktu yang relatif singkat. Sungguh sayang bila ketekunan selama 12 tahun ini ternyata tidak berbuah hasil seperti yang diinginkan.
Selamat bermeditasi……….


Adi W. Gunawan

Baca selengkapnya...

Rabu, 02 Desember 2009

Mari Jaga Kesehatan Tulang Belakang

Salah satu bagian tubuh yang sering kali diabaikan kesehatannya adalah tulang punggung. Padahal, di bagian inilah terdapat segala pusat saraf yang menghubungkan bagian-bagian tubuh dengan otak.

Sadarkah Anda bahwa setiap kegiatan dan aktivitas yang salah bisa menyakiti tulang belakang kita? Melakukan aktivitas untuk menjaga tulang belakang tetap bagus tak hanya berguna untuk kebaikan dan kesehatan, tetapi juga untuk menjaga postur tubuh tegak dan sehat.

Berikut adalah tips untuk menjaga postur untuk menjaga tulang belakang Anda

1. Ketika akan mengangkat barang atau bayi dari lantai, tekuk lutut Anda, jangan membungkuk. Ketika Anda membungkuk dan mengangkat barang berat dari lantai, hal ini bisa menyakiti dan membebani tulang punggung dengan beban terberat. Salah-salah, malah bisa terjadi kram atau dislokasi. Ketika akan mengangkat barang berat dari lantai, usahakan untuk menjaga tulang belakang tetap lurus. Tekuk kaki Anda untuk menyejajarkan diri dengan barang tersebut. Angkat barang tersebut dekat dengan tubuh, lalu perlahan berdiri kembali.

2. Begitu pula ketika Anda akan menaruh barang berat ke tempat yang tingginya di atas kepala Anda, usahakan jangan mengangkat barang tersebut lebih tinggi dari pundak Anda. Jika Anda akan menyimpan barang berat di tempat yang tinggi, gunakan tangga atau kursi. Mengangkat beban berat di atas batas pundak Anda bisa menyebabkan tulang belakang mendapat tekanan yang sangat besar.

3. Ganti posisi sesering mungkin jika Anda harus berdiri dalam waktu lama. Misalnya saat Anda berdiri sambil menyetrika baju, gunakan dingklik atau kursi kecil untuk menaruh kaki Anda bergantian. Ini perlu untuk menyeimbangkan dan mengganti tumpuan berat badan. Berdirilah tegak, jangan membungkuk dengan kepala tegak.

4. Berjalanlah dengan tegak, dengan kepala menatap ke depan dan punggung lurus. Berjalanlah dengan postur tegak, pandangan ke depan, dan ujung-ujung kaki menunjuk ke lurus ke depan. Gunakan sepatu yang nyaman dan berhak tipis. Hindari berdiri dengan posisi yang sama dalam waktu lama. Jangan berjalan membungkuk, hindari menggunakan sepatu berhak tinggi dalam waktu lama.

5. Ketika di dalam mobil, duduklah tegak, majukan tempat duduk pengendara agar kaki Anda lebih dekat dengan pedal. Usahakan kedua lutut Anda sejajar dengan pinggul. Sokong punggung bagian bawah dengan handuk gulung atau penyokong tulang belakang khusus. Jangan duduk terlalu jauh dari setir. Perhatikan kaki Anda ketika menginjak pedal. Jika terlalu jauh, dekatkan, karena ketika otot kaki tiba-tiba meregang tanpa pemanasan bisa menyebabkan kram dan tekanan di tulang punggung.

6. Saat duduk di depan komputer atau di depan televisi yang biasanya akan berlangsung lama, pastikan paha Anda sejajar dengan lantai, jangan sampai kaki menekuk terlalu tinggi (berarti lutut Anda lebih tinggi dari paha) atau kaki Anda menggantung jauh dari lantai. Biarkan kedua telapak kaki Anda rata di lantai dan punggung Anda mendapatkan dukungan dari belakang kursi.

Untuk lebih amannya, berikan gulungan handuk di bagian punggung bawah. Pastikan pandangan Anda lurus ke depan, tidak menunduk atau melihat ke atas. Posisi yang tak nyaman dalam waktu lama bisa menyebabkan kram otot.

7. Saat tidur, manusia memang memiliki kebiasaan dan posisi nyamannya masing-masing. Namun, untuk menjaga agar tulang punggung tetap baik, pastikan tempat tidurnya cukup keras dan rata. Ketika tidur dengan posisi menyamping, tekuk sedikit lutut, biarkan kedua lutut tersebut bertumpukan.

Jika Anda tidur telentang, berikan bantal kecil di bawah lutut. Hindari tidur telungkup, karena ini bisa menyakiti tulang belakang Anda. Hindari tidur di media yang terlalu lembut, seperti sofa, karena hal ini tidak bisa menyokong tulang punggung.


DNA Berita

Baca selengkapnya...

Are You an In or an Out Leader?

I have just spent an intensive week coaching executives in a global organisation, asking my clients the simple question: are you an "In" or an "Out" leader?

By that, I mean, how much time and energy are you spending in (or with) your team and how much time out in the wider organisation? It might seem like a simple question, but executives rarely take the time to think about it. It's important to do though, because this single question could answer many other questions that you — or your boss — have about your style and effectiveness.
Executives usually have a preference for one arena, which can be reinforced by their role, their personality, or even the corporate culture. A quality control manager, for example, would naturally be more inwardly focused while a communications director would roam across the business. Both roles would attract different personalities. Similarly, some organisations are structured as, or have developed into, silos due to the nature of their business or markets. Examples might include law firms, where separate practices evolve to serve clients in specific areas.

My suggestion is that executives need to balance the time they spend in both the In and Out arenas if they are to be effective. They also need to find a third place — between the two arenas — where they can reflect on this. My post earlier this year about scheduling a regular meeting with yourself is one way to do this.
Let me outline some of the activities and tasks associated with each arena so you can assess for yourself where you are spending your time:
In Leaders:
• Focus on results and deliverables
• Coach and support their people
• Build team spirit
• Offer expert knowledge or share experience
• Monitor performance/quality control
• Are present and available
• Surface and deal with conflict
Out Leaders:
• Get involved in cross-organisational initiatives
• Build networks
• Delegate extensively
• Manage their profiles and visibility
• Engage with peers inside and outside their companies
• Look after their careers
• Engage in organisational politics
• Join committees
• Attend or speak at industry conferences
So why is balance so important? I have worked with many executives who exist only in the In space. They argue that they are doing "real" work: finishing projects, delivering results and building strong teams. They often distrust (or even despise) peers who focus on the Out space, branding them as attention seekers, political operators, or "committee people." Not surprisingly, the outwardly focused leaders describe their inward-facing peers as uncooperative, naïve, or poor corporate citizens.
Of course, I am describing extremes of behaviour here, but I hope you see my point. The best approach is to know your default setting and then to make sure that it is not turning into your comfort zone. All of the positive aspects of each point above can turn into negatives if they are overplayed. So focusing too much on results can mean you neglect strategy and vision, and always being on hand with an answer for your team can mean they become lazy or de-motivated. Equally, too many cross-organisational initiatives can detract from your real job, while looking after yourself and your career alone can mean you lose supporters.
One client I remember received some very clear feedback about where he should be focusing his energy. An individualistic and politically savvy North American executive, he had been posted to Switzerland, where his team were unimpressed by what they viewed as his selfish and pointless manoeuvrings across the organisation. "Come back into your team where you belong," they demanded. He recognised that Swiss culture is based on team work and the leader's role is more primus inter pares than boss. Fortunately he adapted his style and focused heavily inwards, spending time building relationships and supporting his team. Interestingly, when I caught up with him three years later, the feedback he was receiving was the opposite: "You are here too much," they said. "You have disappeared as a leader. We need you to go out and fight for us. Be our North star." Clearly, it was time for him to venture outwards again.
As always, I am eager to hear your thoughts and comments. Do you prefer one arena or the other? Have you been pushed outside your comfort zone or area of responsibility? Have you noticed any preferences among colleagues or bosses to be In or Out? What do you think is a good balance of activity?


Gill Corkindale

Baca selengkapnya...

Selasa, 01 Desember 2009

Pembangunan Ekonomi yang Ramah Lingkungan

Nunun (bukan nama sebenarnya), seorang yang penuh dedikasi pada pekerjaannya, bekerja keras, tidak pantang lelah. Kalau pun dia merasa letih, dia atasi dengan minum kopi. Nunun lalu merasa segar kembali dan siap bekerja keras lagi.

Setelah pekerjaan selesai, dia baru istirahat. Di saat lain, muncul lagi kegiatan yang sangat menyita waktu dan tenaga dia. Lagi-lagi dia atasi semua ini dengan minum kopi. Namun, tubuh tidak dapat terus dipaksa. Kopi hanya dapat mempertahankan kesegaran Nunun untuk sementara. Akhirnya, akibat kebiasaannya minum kopi itu, dia pun sakit. Dia tidak bisa bekerja lagi, pekerjaannya berantakan.

Itu pula yang terjadi dengan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dan mengabaikan kondisi lingkungan ibarat Nunun, si pekerja keras yang tidak memperhatikan kondisi tubuhnya. Ekonomi yang dibangun dengan merusak lingkungan hanya akan bertahan sementara.

Akhirnya, setelah lingkungan benar-benar rusak, ekonomi pun akan ikut hancur. Fungsi lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi bagaikan fungsi kesehatan untuk pekerjaan kita. Kita perlu sehat agar pekerjaan kita berhasil. Berhasil bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi untuk waktu yang lebih lama.

Pertanyaannya adalah apakah kita mau mengorbankan kesehatan kita demi pekerjaan, seperti yang terjadi dengan Nunun? Apakah kita mau mengorbankan kondisi lingkungan hidup kita demi pertumbuhan ekonomi? Sayangnya, sebagian ekonom tidak mau "mengorbankan" pertumbuhan ekonomi demi lingkungan hidup yang baik. Buat mereka, pertumbuhan ekonomi adalah panglima.

Lihat saja, program ekonomi sering dimulai dengan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini persis yang dikerjakan Nunun, yang bekerja keras tanpa memperhitungkan kondisi kesehatan. Inilah yang terjadi dengan berbagai program ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan tinggi dengan merusak lingkungan. Mungkin, pertanyaan konkretnya adalah bagaimana melaksanakan hal ini.

Salah satu contoh, adalah bagaimana mengembangkan proyek turisme bebas dari asap rokok. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kesadaran terhadap bebas asap rokok sudah makin meningkat.Daerah yang bebas asap rokok ini pun dapat menarik turis asing karena saat ini kecintaan pada udara yang bebas asap rokok telah meningkat dengan luar biasa. Namun ironis, kadang-kadang kita mendengar bahwa orang ingin berkunjung ke Indonesia karena Indonesia adalah ?surga para perokok?.

Orang dapat dengan mudah merokok dan merusak mutu udara kita. Alasan yang kita dengar, kita membutuhkan uang mereka. Tetapi, apakah kita rela kondisi lingkungan kita dirusak dengan arus rokok yang terus berdatangan ke Indonesia,semata demi uang jangka pendek? Sesungguhnya, berupaya menciptakan turisme tanpa rokok tidak harus berarti menurunkan penghasilan.

Sekarang, kesadaran tentang pentingnya bebas dari asap rokok makin meningkat. Para perokok memang akan menjauh dari kita, tetapi, turis lain, yang mencintai udara bebas asap rokok,akan berdatangan. Ekonomi pun tumbuh, bersamaan dengan peningkatan mutu udara kita. Kesadaran perlunya lingkungan hidup yang baik (bukan hanya bebas dari asap rokok) pun telah terus meningkat, termasuk di dunia internasional.

Gaya hidup yang ramah lingkungan makin dicari orang dan makin trendi.Permintaan akan barang dan jasa yang ramah lingkungan pun akan meningkat. Kita pun kemudian menciptakan barang dan jasa yang ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat ini. Mari kita laksanakan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.

Pertumbuhan ekonomi antara 4?5% sudah bagus asalkan terjadi perbaikan dalam kondisi lingkungan hidup. Adalah bonus, bahwa ekonomi dapat tumbuh di atas 5%. Pemerintah seyogianya menjadikan kemajuan lingkungan hidup sebagai salah satu indikator utama keberhasilan pemerintah setempat dan pemerintah Indonesia. Statistik lingkungan hidup dapat dilaporkan setiap tiga bulan bersamaan dengan laporan pertumbuhan ekonomi.

Kita telah menciptakan kawasan ekonomi khusus di Batam, Bintan, dan Karimun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Indonesia, dan Pemerintah Singapura berusaha membuat ketiga daerah ini melonjak dengan cepat dalam pembangunan ekonomi,dalam arti mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berbagai fasilitas khusus diberikan untuk tiga daerah ini. Kalau berhasil, program semacam ini akan diperluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Namun, masalah lingkungan hidup tampaknya belum mendapatkan perhatian khusus dalam proyek Kawasan Ekonomi Khusus itu.Apakah ketiga daerah itu akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengorbankan kondisi lingkungan hidup di daerah itu?

Kalau hal itu yang terjadi, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut akan berkelanjutan? Semoga perencanaan dan pelaksanaan Kawasan Ekonomi Khusus di Batam, Bintan, dan Karimun telah memperhatikan kondisi lingkungan hidup. Sudah saatnya kita menciptakan proyek "Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan". Tekanannya bukan pada pengejaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi,tetapi pada pencapaian kondisi lingkungan hidup yang baik.

Tentu saja, ekonomi di kawasan ini harus tumbuh, tetapi pertumbuhan yang tinggi bukanlah target utama pembangunan di daerah ini. Pemerintah dapat membuat eksperimen dengan menciptakan Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan, yang bertujuan utama meningkatkan kondisi lingkungan hidup. Kita pilih daerah yang dapat dijadikan pilot project. Kita berikan fasilitas khusus agar daerah itu dapat berkembang dengan kondisi lingkungan yang bagus.

Kalau berhasil, proyek ini diperluas ke daerah lain. Kita pun dapat bekerja sama dengan pemerintah negara lain untuk menciptakan Kawasan Ekonomi Ramah Lingkungan di Indonesia. Mungkin, Bali dapat dijadikan sebagai salah satu kawasan tersebut. Bali memiliki banyak potensi untuk menjadi contoh keberhasilan dalam pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.


ARIS ANANTA - Ekonom

Baca selengkapnya...

Senin, 30 November 2009

Clean your computer

I have a dirty secret. I've never cleaned my computer. Sure, I've dusted my monitor, but I haven't taken off the cover or tried to reach the crumbs lurking inside my keyboard.

"Your computer could fry if you don't keep it clean," says Jonathon Millman, chief technology officer for Hooplah Interactive.
Dust clogs the vents behind your computer, which causes your CPU to heat up—and heat is the biggest cause of component failure in computers. Regular cleaning could save you costly maintenance fees down the road.
Keep your computer in tip-top shape by following Millman's guide to a spotless computer system.

Preparation
You'll need:
• screwdriver
• can of compressed air (available from computer dealers or office-supply stores)
• cotton swabs (do not use a cotton ball)
• rubbing alcohol
• paper towels or anti-static cloths
• water
Always turn your computer off before you begin and unplug all the cords.
Step 1: Inside the case
Using a screwdriver, remove the side of the case that's opposite your motherboard. Touch as little as possible inside the computer, keeping fingers away from cards and cords.
Blow air around all of the components and along the bottom of the case, keeping the nozzle four inches away from the machine. Blow air into the power supply box and into the fan (from the back of the case). Lastly, blow air into the floppy disk and CD drives. Wipe the inside of the cover with a lightly moistened cloth before replacing it.
Millman recommends doing this every three months if your case sits on the floor, if you have pets that shed, or if you smoke. Otherwise, every six to eight months is fine.
Step 2: Outside the case
Run a cotton swab dipped in rubbing alcohol around all of the openings on the back of your case. Give them one swipe with the damp end of the swab and one swipe with the dry end. Do this as often as you clean the inside of your computer.
Step 3: Keyboard
Turn the keyboard upside down and gently shake it. Most of the crumbs and dust will fall out. Take a can of compressed air and blow into and around the keys. Next, take a cotton swab and dip it in rubbing alcohol. It should be damp, but not wet. Run the cotton swab around the outside of the keys. Rub the tops of the keys. If you have a laptop, follow the same procedure but take extra care with your machine. Do this monthly.

Spills — If you have kids, you're worried about spills. If it happens, disconnect the keyboard immediately and flip it over. Blot the top with a paper towel, blow compressed air between the keys and leave it to air dry overnight. For laptops, liquid can easily penetrate the hard drive so turn the computer over immediately and leave it in that position until it dries.
Step 4: Mouse
Rub the top and bottom of your mouse with a paper towel dipped in rubbing alcohol. Open the back and remove the ball. Wash the ball with water and let it air dry. To clean inside the mouse, dip a cotton swab in rubbing alcohol and rub all of the components. Scrape hard-to-remove grime with your fingernail. Finally, blow air into the opening. Replace the ball and the cover. Do this monthly.
Step 5: Monitor
Moisten a paper towel or a soft, lint-free cloth with water. (You can also buy monitor cleaning products at computer-supply stores.) Don't spray liquid directly onto the screen—spray the cloth instead. Wipe the screen gently to remove dust and fingerprints. Never touch the back of the monitor.
For laptop screens, Millman suggests buying a special cleaning solution available at computer stores. Do this weekly.
Finally, make sure that everything is dry before you plug your computer back in.


by Alyson Munroe and adapted from an original piece from Microsoft Home Magazine.

Baca selengkapnya...

4 Kesalahan Pengguna Facebook

Jika ingin tahu 4 hal menyebalkan yang dilakukan pengguna Facebook, intip survei ini!

Melalui facebook kita bisa mendapatkan banyak hal, tidak hanya yang menyenangkan tetapi juga menyebalkan. Termasuk, bisa melihat bagaimana menyebalkannya sikap pria. Jika Anda ingin tahu hal menyebalkan yang dilakukan pria di Facebook, tengoklah survei yang dilakukan AskMen.com.

1. Tidak mencantumkan status hubungan
Seni dari Facebook adalah bisa mengetahui status seseorang apakah masih lajang atau tidak. Jika tidak ada info tersebut, maka bagi Anda yang sedang mengincar pria tersebut akan sedikit bingung dan penasaran. Belum lagi jika, Anda yang memiliki pasangan tetapi dia tidak mencantumkan statusnya. Pasti hal itu bisa mengundang tanda tanya besar dan rasa curiga yang bisa berujung pada masalah.

2. Memblok foto-fotonya
Sebagian orang memblok galeri fotonya di Facebook dengan alasan privasi dan keamanan. Foto-foto tersebut biasanya hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja. Nah, jika Anda sedang dekat dengan seorang dan tetap tidak bisa melihat galeri fotonya di Facebook, pasti akan merasa aneh. Hal itu mengesankan ada yang ingin ditutup-tutupinya dari Anda. Apalagi jika Anda sudah berpacaran dan ia tetap tidak ingin galeri fotonya terlihat. Pasti hal itu sangat menyebalkan

3. Mengirimkan pesan pribadi
Banyak pria sering mengirimkan pesan pribadi baik melalui wall atau message, meskipun ia sudah memiliki nomor ponsel wanita yang dikirimkan pesan tersebut. Padahal wanita cenderung berharap dihubungi secara langsung melalui ponsel dari pada pesan melalui Facebook.

4. Melepaskan 'tag' foto
Perasaan kesal pasti muncul jika foto dirinya bersama Anda di-'detag' (melepaskan 'tag' atau tidak ingin foto tersebut di akunnya). Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa ia tidak ingin seseorang tahu bahwa Anda pernah menghabiskan waktu bersamanya. Jika ditanyakan hal tersebut, jawaban aman pria biasanya, terjadi masalah teknis dengan Facebooknya.


Petti Lubis, Mutia Nugraheni - VIVAnews

Baca selengkapnya...

Menyelesaikan Kasus Bank Century Secara Elegan

Setelah kasus Bibit dan Chandra (pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif) sudah ada kejelasan karena tidak lagi dilanjutkan ke pengadilan, maka sekarang perhatian masyarakat akan lebih terfokus ke kasus Bank Century.

Apalagi setelah ada laporan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan adanya beberapa dugaan pelanggaran pada penyaluran dana talangan (bailout) sebesar Rp6,7 triliun.

Berdasarkan temuan BPK pengucuran dana sebesar Rp2,8 triliun dinilai tidak sah karena terjadi setelah Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak DPR. Di samping itu audit BPK juga menemukan beberapa tindakan Bank Indonesia yang patut diduga dinilai menyimpang.
Seperti ketidaktegasan sikapnya menghadapi Bank Century. Di samping itu BI dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) tidak mempunyai kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century yang menjadi dasar kebijakan penyelamatan. Semua didasarkan atas judgement semata. Berarti sudah banyak alasan untuk menggelindingkan kasus Bank Century baik melalui langkah politik maupun terutama hukum.
Penyelesaian politik lewat hak angket yang digalang DPR hampir dipastikan terwujud setelah Partai Demokrat (partai yang berkuasa) juga mendukung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mempersilakan pengusutan tuntas kasus tersebut agar segala sesuatunya menjadi jelas, walaupun kasus itu terkait langsung dengan dua orang kepercayaannya, yakni Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tampaknya SBY yakin tidak ada masalah yang perlu ditutup-tutupi. Sekaligus membantah rumor yang menyudutkan dirinya maupun Partai Demokrat.
Tampaknya penyelesaian politik yang akan didahulukan sebelum ada proses hukum yang lebih mengarah pada masalah pengambilan kebijaksanaan. Namun ibarat bola liar, arah penyelesaian kasus ini masih belum jelas. Langkah politik tentu bisa menimbulkan dinamika luar biasa.
Kini masyarakat menunggu dengan tidak sabar untuk segera mengetahui bagaimana duduk perkara yang sebenarnya. Apakah benar ada rekayasa keuangan dan juga aliran dana untuk kepentingan politik. Sejauh ini semua membantah, namun tentu tidak selesai hanya dengan bantahan. Target yang tidak kalah penting, kembalinya dana talangan sebesar Rp6,7 triliun karena itu diambil dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Secara nurani tentu disayangkan bahwa momentum 100 hari pemerintahan baru ini harus diwarnai oleh masalah-masalah yang sangat menyita energi dan perhatian. Praktis program 100 hari sudah terkurangi waktunya dan tinggal dua bulan lagi. Sementara fokus penyelesaian kasus Bank Century masih akan membuat sibuk dalam beberapa waktu mendatang.
Semua berharap agar penggunaan hak angket dan juga langkah penyelesaian kasus ini tidak memakan waktu terlampau lama dan diselesaikan secara transparan dan adil. Yang terpenting kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan.
Di tengah sorotan tajam atas tindakan pemerintah menyelematkan Bank Century, ada baiknya publik dengan kepala jernih juga melihat dengan jeli proses diambilnya keputusan itu. Dalam berbagai kesempatan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai Menkeu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I berulang kali menekankan bahwa proses pengambilan keputusan untuk menalangi bank bermasalah secara sistemik itu berdasarkan data, informasi, analisa makro dan mikro ekonomi serta didukung oleh proffesional judgement yang kuat.
Pada waktu itu terdapat 23 bank yang kadar ukurannya setara dengan Bank Century sehingga apabila Bank Century tidak diselamatkan segera sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, maka akan berpotensi menimbulkan efek domino ke-23 bank yang lain sebagai respon atas efek psikologis yang terjadi waktu itu.
Pengalaman program rekapitalisasi perbankan pascakrisis tahun 1997/1998 lalu menunjukkan bahwa pengambil keputusan itu dilakukan melalui kalkulasi yang matang. Terbukti kini bank-bank yang dulu diselamatkan melalui program rekapitalisasi sudah mampu menunjukkan perbaikan kinerja. Cerita akan menjadi sama sekali berbeda apabila pemerintah waktu itu tidak menyelamatkan ban-bank yang memiliki modal negatif (termasuk bank BUMN). Barangkali depresi yang meluas bisa terjadi waktu itu karena erosi kepercayaan yang meluas dan akut.
Jadi, terkait penyelamatan sebuah bank, intinya adalah kalau waktu itu Bank Century tidak diselamatkan, maka akan terjadi gangguan serius terhadap sistem perbankan nasional yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup perekonomian nasional. Maklum, situasi waktu itu tengah terjadi gejolak krisis keuangan global yang hebat menyusul krisis subprime mortgage di Amerika yang nyaris menamatkan riwayat sejumlah perusahaan keuangan skala besar yang memaksa pemerintah AS di bawah Presiden Barack Obama menyelamatkannya dengan dana bailout sekitar USD800 miliar.
Keputusan pemerintah AS untuk menyelamatkan sektor keuangan (juga ditambah penyelamatan sektor otomotif) dilakukan melalui analisa data dan informasi yang menghasilkan suatu proffesional judgement untuk keputusan final, yakni program penyelamatan.
Dalam kasus Bank Century, muncul pro dan kontra antara dampak apabila bank ini diselamatkan dan dibiarkan mati. Konon, saat Bank Century nyaris collaps, jumlah simpanan milik nasabah kecil (di bawah Rp 2 miliar) mencapai Rp 5,2 triliun. Artinya, jika bank dilikuidasi, jumlah itulah yang harus dibayar LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Jika itu dibayarkan, maka dana LPS akan hilang.
Pada akhirnya LPS memang harus menyuntikkan dana hingga Rp6,7 triliun. Namun, dana LPS tersebut tidak serta merta hilang karena dihitung sebagai penyertaan modal. Selain itu, dana sebesar Rp2,3 triliun di antaranya masih utuh dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Karena itu, biaya yang sebenarnya digunakan adalah Rp4,3 triliun. Perlu dicatat, inipun bukan bailout, tetapi Penyertaan Modal Sementara (PMS). Dananya pun bukan dari pemerintah (APBN), tetapi hasil pembayaran premi perbankan nasional.
Dari konstruksi penjelasan di atas, mudah-mudahan dapat menjawab duduk perkara dari mencuatnya kebijakan penyelamatan bank bermasalah secara sistemik. Parameter secara ekonomi bisnis yang diambil oleh para pengambil kebijakan waktu itu hendaknya bisa diselaraskan dengan parameter para hamba hukum dalam memotret kasus ini secara jernih. Tidak boleh ada kesenjangan pandangan karena akan menyulitkan pengambilan keputusan hukum secara adil.
Hal ini perlu dikemukakan mengingat kerap kali tindakan dan kebijakan yang diambil oleh para pelaku bisnis maupun regulator yang terkait dengan kegiatan perekonomian mendasarkan pada proffesional judgement yang mengacu kepada analisa data, informasi serta situasi yang terjadi saat ini. Yang penting ditekankan di sini adalah pengambilan keputusan atas dasar proffesional judgement tersebut tidak dilakukan secara perorangan atau individual, melainkan kolektif atau lokegial, serta diperkuat dengan dokumen yang otentik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam situasi krisis, genting dan mendesak, sebuah keputusan harus diambil dengan segala ongkosnya. Tentu dengan ongkos sosial, ekonomi dan politik yang paling minimal. Pakar manajemen terkenal, Warren Bennis, pernah mengatakan bahwa dalam situasi kritikal seorang pemimpin sejati harus mengambil keputusan dengan ketersediaan data dan informasi yang ada saat itu.
Menurutnya, lebih baik seorang pemimpin mengambil keputusan salah, namun di kemudian hari keputusan itu bisa diperbaiki, ketimbang seorang pemimpin tidak pernah atau tidak berani mengambil keputusan apapun karena justru hal ini akan berdampak lebih buruk pada perusahaan atau lembaganya.


Business News

Baca selengkapnya...

Minggu, 29 November 2009

Confucius & Yan Hui


Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?" Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi"

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"
Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?" Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."
Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tau duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia."

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya.

Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur.

Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya.

Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh". Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.

Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu." Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita: Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.

Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
>
>
> Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.
>
>
> Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)
>
>
> Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)
>
>
> Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")
>
>
> Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman)
>
>





Baca selengkapnya...

Kamis, 26 November 2009

Bersyukur, Kunci Kebahagiaan

Yakinkah Anda bila para orang tua yang hidup sehat pada usia lanjut dapat menjadi salah satu sumber pelajaran tentang kebahagian? Saya yakin sekali, terutama terhadap mereka, pasangan lanjut usia yang telah menjalani rumah tangga puluhan tahun.

Ibarat kamus, mereka adalah sekumpulan perbendaharaan kosa-kata kehidupan yang tak pernah habis. Saya senang berada dekat mereka, saya yakin Anda juga. Mari temukan hikmah dan banyak keajaiban dari pengalaman hidup mereka.

Saat menginjak usia kepala empat sekitar tiga tahun lalu, saya punya kebiasaan baru. Ada dua pertanyaan yang sering saya ajukan kepada para orang tua berusia di atas 70 tahun, tentunya yang sudah saya kenal baik.

Sungguh menarik, jawaban mereka ternyata sering sama. Pilihan kata-kata saja yang terkadang sedikit berbeda. Menakjubkan!

Pertanyaan pertama adalah; "Apakah Bapak atau Ibu bahagia saat ini?". Tidak jarang banyak di antara mereka terkejut dengan pertanyaan itu. Ada di antara mereka yang menyatakan baru pertama kalinya seseorang "berani" menanyakan hal itu. "Berani" dan "tidak sopan" boleh jadi beda tipis dalam soal ini.

Biasanya, saya segera memberikan tambahan penjelasan sembari minta maaf. Saya katakan ingin belajar hidup dari pengalaman orang yang dianugerahi hidup lanjut.Biasanya mereka mau menjawab pertanyaan itu.

Pada beberapa kesempatan, banyak di antara mereka terharu menjawabnya.. Bahkan, ada yang menjawab sambil berlinang air mata, Masya Allah.

Pertanyaan kedua adalah "Apa yang membuat Bapak atau Ibu bahagia?" Pertanyaan ini umumnya tidak memperoleh respon "sedramatis" pertanyaan pertama, namun jawaban kedua inilah yang menjadi esensi tulisan Jeda kali ini.

Husodo Darusalam Dirdjokusumo (74 tahun), ayahanda sahabat saya, Heru Dewanto, misalnya. Pak Husodo dikaruniai tiga putra yang semuanya sudah dewasa dan berkeluarga. Kini, beliau dikarunia dua cucu.

Semua anaknya berpendidikan tinggi, bahkan sahabat saya ini sempat memperoleh dua beasiswa di Leeds (UK) dan Wina (Austria). Kini, Heru juga sedang menyelesaikan program PhD di Stocholm (Swedia).

Sahabat saya ini sempat jadi eksekutif beberapa perusahaan nasional dan multinasional, dan hidup harmonis dengan istri dan putranya. Kedua adik Heru juga juga tidak jauh berbeda. Saya bersyukur dapat menjadi sahabat mereka sekeluarga.

Pak Husodo menyatakan ia merasa bahagia, dan mensyukuri semua karunia yang diperolehnya. Beliau merasakan nikmat melimpah dari Allah SWT, bahkan termasuk saat-saat menghadapi kesulitan sekalipun. Pak Husodo bersyukur diberikan usia lanjut agar dapat terus menambah tabungan amaliah untuk kehidupan selanjutnya.

Beliau menyatakan sumber ketenangan dan kebahagiaan hidupnya adalah menerima semua yang dihadapinya sebagai ketentuan terbaik dari Allah SWT, sembari terus melakukan ikhtiar sebaik-baiknya. Kesulitan dan kemudahan katanya datang silih berganti. Itulah ketentuan hidup semua orang, sunatullah.

Sebagai karyawan PJKA (sekarang PT KA), beliau menyatakan hidupnya tidaklah berlebihan, namun ia berusaha mengajarkan nilai-nilai kerja keras, ketekunan, syukur yang diiringi dengan tawakal kepada Allah SWT pada diri dan keluarganya pada saat sulit, terlebih lagi memperoleh kemudahan dalam hidup.

Nilai-nilai itu, menurutnya, telah membawanya pada ketenangan batin dalam menjalani hari-harinya sebagai pekerja dan kepala keluarga. Ia bersama istrinya (Suhermien, 69 tahun) begitu antusias membesarkan ketiga putra dengan penuh cinta. Pak Husodo semakin bahagia saat menyaksikan anak-anaknya bersuka cita menamatkan studinya, memperoleh pekerjaan, menikah dan dikaruniai keturunan.

Contoh kedua adalah Tengku Nathan Mahmud (75) tahun. Saya menganggap beliau sebagai salah satu mentor yang mengajarkan nilai-nilai integritas dan totalitas dalam memulai dan menyelesaikan pekerjaan. Kami ernah sama-sama mengelola dan mengajar di BINUS Business School. Berada di sekitar Pak Mahmud, kami turut terbawa semangatnya. Kata-katanya selalu menggetarkan.

Tahun lalu, Pak Mahmud merayakan pernikahan emas bersama Sri Siddharti (75 tahun), isterinya. Sebagai seorang PhD dan sempat menjadi CEO ARCO, Pak Mahmud selalu antusias menjalani hari-harinya baik sebagai kepala keluarga dan profesional. Kini, beliau dikaruniai tiga anak dan 10 cucu.

Saya mengagumi etos kerja, integritas dan sikapnya yang selalu rendah hati. Berbeda usia lebih dari 30 tahun tidak membuatnya berjarak dengan para koleganya yang jauh yunior. Kebiasaan mendengar efektifnya membuat kami para yunior semakin menghormatinya.

Dia tidak pernah lelah memotivasi para kolega yang dipimpinnya. Dia ladeni pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa kelas eksekutif yang sering melewati jatah jam mengajarnya. Dia baru berhenti, saat tidak ada pertanyaan lain dari para mahasiswanya. "Saya semakin bahagia, saat para mahasiswa antusias", katanya.

Menurutnya, dia melakukannya karena ingin berbagi ilmu dan pengalaman dengan anak didiknya. Berbagi ilmu dan pengalaman adalah caranya bersyukur, subhanallah. Saat ini, Pak Mahmud menjabat sebagai Komisaris Utama PT. PGN Persero (Tbk) dan masih menyempatkan mengajar paruh waktu sebagai panggilan hidupnya untuk terus berbagi.

Sekali lagi, terhadap pertanyaan yang sama Pak Mahmud juga menyatakan kebahagiaannya adalah saat menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur, merasa memperoleh limpahan nikmat yang tiada hentinya dalam menghadapi semua rangkaian ujian kehidupan.

Satu hal yang sama antara Pak Husodo dan Pak Mahmud, kebahagiaan keduanya dijalani bersama dengan istri yang dicintainya puluhan tahun. Mereka juga bersyukur karena ditemani pendamping hidup yang luar biasa.

"Selalu ada perempuan yang luar biasa di samping pria yang hebat", demikian kata seorang bijak belasan tahun lalu saat penulis menghadiri orasi Profesor AM Saefudin di Bogor. Saya tidak tahu, siapa yang pertama mengucapkan kalimat inspiratif itu.

Teman, saya yakin banyak para orang tua di sekitar kita. Tentu saja, terutama para orangtua yang telah susah payah membesarkan kita dengan kasih yang luar biasa. Sangat baik, salah satu doa yang sering kita panjatkan adalah agar mereka dikasihi Sang Pencipta, sebagaimana mereka mengasihi kita pada masa kanak-kanak.

Kasih mereka kepada anak-anaknya sepanjang masa. Belajar kehidupan dari mereka niscaya membuat kita akan semakin meyakini makna kata syukur terhadap apa pun keadaan yang kita tengah jalani hari ini dan esok. Semuanya adalah testimonial tak terbantahkan, sebab mereka telah mengalami, meski tak terungkap dengan kata-kata.

Banyak testimonial para orang tua yang menegaskan bahwa persoalan terbesar dalam kehidupan adalah mengelola keyakinan dan pikiran diri kita sendiri, ketimbang harus menyalahkan orang lain atau lingkungan.

Persoalan seberat dan sebesar apa pun akan kembali pada bagaimana kita menyikapinya. Bila hari ini kita mengeluh dan merasa tidak bahagia, haruskah kita menyalahkan lingkungan sebagai penyebab ketidakbahagiaan itu?

Teman, boleh jadi benar, masalah terbesar kita sebenarnya lebih banyak terjadi karena diri kita sendiri, karena kita kurang bersyukur? Padahal para orang tua telah mengajarkan hal itu dengan bijak meski terkadang kita lupa menimba pengalaman mereka. Wallahu'alam.


Ahmad Mukhlis Yusuf - Antara

Baca selengkapnya...

Rabu, 25 November 2009

How to Survive in an Unhappy Workplace

When you don't like your job, going to work every day can be a challenge. Your problem might be with a bad manager, that you constantly feel stretched to the breaking point, or that you are resentful about taking a pay cut. Or, the whole environment may just feel toxic. You might need to stay in your job because it provides health benefits, or maybe you're only staying while you look for another position. Whatever your reasons for being unhappy, you need to maintain your professionalism and prevent a bad attitude from sabotaging you.

What the Experts Say
Timothy Butler, Senior Fellow and Director of Career Development Programs at Harvard Business School and author of Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths, believes there's something elemental about the statement 'I'm unhappy at work.'" Butler, whose research focuses on personality structure and work satisfaction, says that to understand your unhappiness, you need to turn towards that feeling of unhappiness, experience it in a deep way, and not try to solve things too quickly. He suggests observing the feelings and not expecting anything. You may just find yourself at a frontier, considering what you're going to do next. "The existential nature of unhappiness is a wake-up call," Butler says. "There's some part of the self that is not being heard, that wants your attention, and that's the issue."

Similarly, Joe Mosca, an associate professor in the Leon Hess Business School at Monmouth University, who specializes in human resources management and organizational behavior, agrees that looking within is the first step. "That may be hard for some people to hear," he suggests, because while it's true that sometimes people just don't match well with their jobs, employees tend to rationalize their job dissatisfaction rather than consider that they may be part of the problem. But if you are part of the problem, you may be part of the solution, too.

Tammy Erickson, a workplace expert and author of Plugged In:The Generation Y Guide to Thriving at Work, advises that if you're unhappy, see if you can upgrade your contribution to the company, or find a way to be more creative about your job. She once performed very dull work in a book bindery but avoided becoming negative about the job by finding a way to make it less boring. Erickson was "interested in the process" and tried completing the tasks in a different order, which made the work quicker, easier, and less monotonous. "No work is uninteresting if you can think how to do it differently," she says.

That's not to say unhappy workers don't have valid complaints. One thing you don't want to do, however, is let your feelings boil over at work.

Signs That You Need to Take Action
Perhaps you've heard of someone who was so unhappy he quit on the spot or blew up at a boss. Losing control at work helps no one and may have repercussions in both your current job and in the future — you never know when you'll work with one of your current colleagues again.

Indications that you need to address your emotions may be physical or behavioral, explains Catherine McCarthy, a clinical psychologist and COO of The Energy Project, an organizational consulting firm. The signs include feeling distracted, sluggish, angry or irritable, not sleeping well or sleeping excessively, relying on alcohol or food to comfort yourself, and withdrawing from friends and activities. All may indicate underlying depression or anxiety, which you shouldn't ignore.

If you feel you have nowhere to turn, are about to burst, or are depressed, one option is to seek out your company's Employee Assistance Program (EAP) if it has one, adds McCarthy. Some EAPs will help you find a counselor, and all are bound by healthcare and workplace laws to keep your request confidential.

There are also things you can try to change in your approach to your job. Consider these solutions for surviving and even thriving in a job that's less than optimal:

1. Face the reality head-on. China Gorman, chief global member engagement officer of the Society for Human Resource Management (SHRM) reminds workers that during a recession or slow recovery, people at all levels experience the pain. Such an economic climate makes it more difficult to leave a job, but it doesn't mean you should feel stuck. Erickson advises that you "Accept that this job is not where you want to be, even if you can't make a change today. But begin taking steps to change things." McCarthy seconds this advice. "Practice radical acceptance," she says. "Tell yourself, 'This is where I am, this is where I'm going to be for a certain amount of time.' You have more control over how you think than you realize." Understand what you're feeling, and that if you show up to work irritated, it affects your performance.

2. Develop a plan. Be proactive. Brainstorm with trusted friends and family members about your ideas. If there's something you'd like to change, decide whether your boss is approachable and if so, the best tactics to use. If you have suggestions, discuss how they will improve your performance as well as others'. The Human Resources department may also be able to help in some way, suggests Gorman, from helping you find a job within the company you're better suited for, to assisting with work/life balance.

You could also try learning a new skill. At the very least, it may help you prepare for another job. It can also lift your spirits and lead to new possibilities at your current job. If your problem is with your boss, Gorman offers advice from personal experience. She once had a boss who was smart and a strategic thinker, but terribly lacking in people skills. Gorman decided to be the boss she wished she'd had. "I made a list of what not to say, for example, and developed skills I still use today," she says.

Finally, consider looking outside your job for fulfillment. Having an outside interest or two gives you another outlet and an activity to look forward to.

3. Find (or Accentuate) the positive. Make a list of the good points about your job, advises McCarthy. Gorman calls this a benefit log. You may be thankful to have healthcare and other benefits. You may like your coworkers, or the fact that you have a short commute. Maybe there's a great gym on-site, or you enjoy the opportunity for travel or the mentoring you do. Listing what you do like about your job will help shift your perception and keep you from feeling so trapped. If you don't take responsibility, "it will hurt your performance, erode your satisfaction further, and make your time at the job worse," she says.

Principles to Remember

Do:
•Differentiate between what you can change and what you can't.
•Take responsibility for making a change.
•Focus on making the best of a bad situation.
Don't:
•Assume nothing will ever change.
•Allow negative thoughts to rule you.
•Go it alone.
Case Study #1: Finding Satisfaction in Some Part of Your Job
Elizabeth Roman (not her real name) had been head of marketing at a professional services firm in New York for four years when she fell out of favor with her boss. He had always given her good performance reviews, so she was stunned the day he let her know that he had little respect for her work.

After that conversation, Roman "hated going to work every day." She resolved to find a new job, but in the meantime, she wanted to find some ways to make her job bearable. "First, I pushed myself to perform at the highest level possible after that conversation so he'd have no further ammunition against me," she said. Along with that, she came up with a creative project for attracting clients, suggested it to her boss, and threw herself into organizing it with her staff. Roman also contacted a mentor at another firm who served as a sounding board and lifted her spirits. She never betrayed her boss and never let her feelings affect her relationship with her employees. When she finally found another position and resigned, she mustered the grace to thank her boss for all he had taught her.

Case Study #2: Finding Satisfaction Outside of Work
Allen Smith (not his real name) is a technologist at consulting giant Bain who became frustrated with what he saw as a lack of a career path. "I also felt like my manager didn't understand what I needed day to day to do my job," he says.

But he liked the people he worked with, so he did some soul-searching, asking himself whether he was unhappy because of someone else or because of his own attitude. He decided it was the latter. Smith had been toying with the idea of starting a business, and he thought if he could do it on the side, it would affect his outlook. He was right.

He was given permission to work three days a week, which allowed him to start the part-time property management business he envisioned. "With a reduced work week, regular chats with my manager, and a focus outside of work, I've become much happier about my time here," he says. In turn, working fewer hours helped reduce his department's budget.


by Pat Olsen

Baca selengkapnya...

Kamis, 19 November 2009

How Do You Lead When All The News Is Bad?

If you are anybody's boss, you've probably given out a lot of bad news lately. Layoffs are coming. Anyone who doesn't lose their job will have a much heavier workload. The fourth-quarter numbers are looking bad. Did someone say holiday party? Since there's no budget this year, forget the annual blowout at that upscale restaurant. Eggnog will be served in the conference room at 4 p.m. on Dec. 23.

How in the world are you supposed to inspire your workers when you're carrying around the burden of ever-worsening balance sheets and the guilt of having to let longtime loyal employees go? Is there a good way to deliver bad news?
According to staffing, career and crisis communications pros, openness, honesty and empathy are absolutely essential and go a long way.
Beth Banks Cohn, who runs a leadership and executive coaching firm in Manalapan, N.J., says you must be decisive about your company's business plan and communicate that plan clearly to the staff. That's especially important when the plan involves major staff and workload shifts.
At a pharmaceutical business where Cohn consulted, management abruptly split the research and development department into two pieces, hoping that would help development of a new drug to keep up with a competitor. But no one sat down with the staff and spelled out the reason for the split. Rather, management barreled ahead without communicating at all, and the two departments were soon duplicating each other's work. "It wound up we had to undo the split," Cohn recalls. "You always have to communicate your plan. Even if what you say is, 'Part of this will be pretty, but part of it is going to be ugly.'"
Another reason for clear communication: "In the absence of information, people make stuff up," Cohn observes. "Managers always tend not to want to give specifics, especially about downsizing. But information is an important part of getting people to understand and accept what's happened. As a leader, you have to err on the side of giving more, rather than less, information."
How can you as a boss keep your staff focused in the midst of great turbulence--say, during a week when employees are being laid off? Start with empathy, Cohn says: "A manager can say, 'I know this is very distracting, but we have a job to do. I'm here to support you and to help you be as undistracted as possible. Whatever you need from me, I want to be able to provide it for you.'"
What not to do: tell employees they should feel good when they have every reason to feel rotten. Cohn recalls one company where she worked that laid off 30% of its staff. A manager got up and said to the survivors, "It could be worse. It could have been 50%." Cohn recalls, "Every single person in that room wanted to kill her. During a trying time you have to let people know you're still human."
Richard Levick, of Levick Strategic Communications, in Washington, says that after layoffs leaders need to reassure their workers that the remaining jobs are safe. "Let people know that this is as far as the cuts are going to go this quarter, or this year."
He says it's also important, during hard times, for bosses themselves to show sacrifice. Whether it's giving up a bonus, taking a pay cut, or relinquishing the privilege of first-class travel, sharing in your employees' pain helps earn their trust. "It's critically important, if the messenger is to be credible," he says.
Finally, Levick reminds managers how important it is to share information when the news starts improving. "Once your market starts coming back, you've got to flog your internal communications with the good news," he says.


Susan Adams, Forbes.com

Baca selengkapnya...

Rabu, 18 November 2009

Belingsatan karena "Kiamat" 2012

Tuhan sudah mati, kata filsuf Friedrich Nietzsche yang disebut-sebut punya palu godam bagi kebekuan kepala manusia beriman sejaman. "Kiamat 2012", kata Hollywood, yang nota bene terlanjur kondang diproklamasikan sebagai pabrik imaji manusia kontemporer.

Keduanya sama-sama belingsatan dengan tonil Homo Sapiens berjudul "jagat gede" dan "jagat cilik".

Lewat tokoh Zarathustra, Nietzsche membuat sidang pembacanya lari terbirit-birit alias ngacir. "Sesungguhnya Tuhan tidak pernah ada karena tidak mampu ada. Tuhan ditemukan oleh jiwa yang lemah, jiwa yang sakit, yang diracuni perasaan-perasaan luhur melawan orang-orang yang benar-benar kuat, sehat dan berkuasa. Tuhan adalah hasil kreasi manusia sebagaimana dewa-dewa yang lain pula," katanya. Waspadalah, waspadalah dan waspadalah.

Cuap-cuap sang filsuf seakan digenapi oleh heboh yang dikreasi oleh kalangan jenial Hollywood dengan diluncurkannya film 2012 ke mata publik. Sutradara film fiksi-sains Roland Emmerich mengangkat isu "hot" dunia yang nota bene sedang meronta dari pagutan krisis global. Topik yang diangkat soal Kiamat atau Akhir Jaman.

Jelas, Emmerich menangkap dentuman besar (Big Bang) keprihatinan manusia yang terus bertanya dengan masa depannya di planet bumi. Dengan mengusung kata spektakuler, sang sutradara memanjakan mimpi-mimpi manusia yang mempertanyakan hendak ke mana jagat raya kelak. Lebih mendekati jelas, efek visual manusia terus bergetar karena dua film telah beredar, Independence Day dan The Day After Tomorrow.

Dengan mengusung berakhirnya siklus sistem penanggalan kuno bangsa Maya pada 21 Desember 2012, sang sutradara menjejalkan tema demi tema dari kematian, kerusakan dan kekacauan alam semesta. Mata publik diledakkan oleh aneka melodrama kehidupan yang serba sementara. Tiada yang abadi bagi perjalanan waktu planet bumi ini.

Lakon Hollywood sinonim dengan mitos kepahlawanan. Emmerich yang memerankan John Cusack sebagai pria dari keluarga biasa Jackson Curtis, bersama para pemain berbakat lainnya seperti Amanda Peet, Chiwetel Ejiofor, Oliver Platt, Thandie Newton, Jimi Mistry, Thomas McCarthy, Danny Glover dan si mata liar Woody Harrelson, tampil sebagai pahlawan. Mereka hendak memutar terus jam waktu alam semesta.

Mereka hendak memerankan figur revolusioner abad ini dengan menulis diktat penyelamatan bagi spesies-spesies semesta alam dari kehancuran. Mereka hendak terus melihat fajar menyingsing di bumi ini. Pada 2012, ilmuwan memprediksi bahwa bakal terjadi badai matahari yang belum pernah ada sebelumnya.

Skenario buram semesta alam itu terinspirasi oleh kalender bangsa Maya. Diramalkan bahwa pada periode 1992-2012, bumi akan dimurnikan dan peradaban manusia akan "disempurnakan". Warga masyarakat Maya berdiam di wilayah selatan Mexico sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras.

Orang Maya memercayai bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total. Orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi. Dari masa 20 tahun antara tahun 1992-2012, bumi telah memasuki tahap terakhir dari fase Siklus Besar.

Selama periode ini, bumi akan mencapai pemurnian total. Setelah itu, bumi akan meninggalkan jangkauan sinar galaksi dan memasuki tahap baru yakni penyelarasan galaksi. Pada 21 Desember 2012, peradaban umat manusia menghadapi kata akhir, dalam perhitungan kalender Maya. Sesudah itu, umat manusia memasuki peradaban baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang.

Di bawah panji ambisi setiap manusia untuk menafsir kiamat 2012, kematian kosmos merujuk kepada data ilmiah tak terelakkan bahwa bumi nyatanya bisa "berakhir", karena ditabrak oleh asteroid raksasa. Tabrakan itu terjadi sekitar 65 juta tahun lalu yang telah membunuh hampir semua kehidupan di bumi, termasuk dinosaurus.

Di bawah tajuk pemikiran mendasar khas Yunani kuno berlabel "kosmos tanpa akhir", filsuf Parmenides menyatakan dunia tidak akan berakhir, tetapi bersifat kekal-abadi.

Filsuf Plato juga mengatakan kosmos berlangsung dengan tidak terbatas, tetapi pada waktu-waktu tertentu (setiap 1000 tahun?) terjadi pemulihan menuju keadaan asali, dengan terjadinya bencana banjir dan kebakaran-kebakaran besar.

Dan Aristoteles mengungkapkan bahwa adanya kosmos adalah tanpa akhir. Permukaan bumi akan dihancurkan dengan terjadinya banjir besar dan kekeringan. Gambaran serba mencekam dari sebuah kata belingsatan.

Seakan hendak tampil sebagai sosok yang belingsatan karena "kiamat" 2012, tokoh relativitas Einstein menunjuk bahwa Kosmos dengan huruf besar identik dengan keberadaan Tuhan yang berciri serba tidak terbatas dan tanpa batas waktu. Pemahaman ini bersesuaian dengan kosmos yang berbentuk bola (sferis) dalam teori relativitas.

Nah, bagaimana spektrum belingsatan karena Kiamat 2012 dapat dibaca bagi hidup manusia kontemporer yang kerapkali terengah-engah oleh deraan rasa ingin tahu?

Nietzsche punya jawaban. Katanya, "Manusia telah merasa lelah karena terus menari dengan loncat kaki tiada henti menuju akhir jaman. Kelelahan ini akibat manusia tidak memahami betul makna keinginan. Percayalah, bahwa tubuhlah yang menentukan seluruh langkah dan bukan jari telunjuk yang menujuk ke atas." Inilah drama dari manusia yang hendak selalu berkata "ya" kepada kehidupan.

Dan manusia mengarahkan kompas hidupnya kepada pulang menuju keabadian (eterno ritorno), yaitu "semua yang ada secara abadi akan kembali, karena kita sudah menyatu dengan semua". Meminjam istilah filsuf Jean Paul Sartre, inilah drama dari rasa gelisah dan rasa khawatir manusia yang membuat dirinya takut ("angoisse"). Inilah tonil "Kiamat" 2012!


A.A. Ariwibowo - Antara

Baca selengkapnya...