Senin, 30 November 2009

Menyelesaikan Kasus Bank Century Secara Elegan

Setelah kasus Bibit dan Chandra (pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif) sudah ada kejelasan karena tidak lagi dilanjutkan ke pengadilan, maka sekarang perhatian masyarakat akan lebih terfokus ke kasus Bank Century.

Apalagi setelah ada laporan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan adanya beberapa dugaan pelanggaran pada penyaluran dana talangan (bailout) sebesar Rp6,7 triliun.

Berdasarkan temuan BPK pengucuran dana sebesar Rp2,8 triliun dinilai tidak sah karena terjadi setelah Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak DPR. Di samping itu audit BPK juga menemukan beberapa tindakan Bank Indonesia yang patut diduga dinilai menyimpang.
Seperti ketidaktegasan sikapnya menghadapi Bank Century. Di samping itu BI dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) tidak mempunyai kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century yang menjadi dasar kebijakan penyelamatan. Semua didasarkan atas judgement semata. Berarti sudah banyak alasan untuk menggelindingkan kasus Bank Century baik melalui langkah politik maupun terutama hukum.
Penyelesaian politik lewat hak angket yang digalang DPR hampir dipastikan terwujud setelah Partai Demokrat (partai yang berkuasa) juga mendukung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mempersilakan pengusutan tuntas kasus tersebut agar segala sesuatunya menjadi jelas, walaupun kasus itu terkait langsung dengan dua orang kepercayaannya, yakni Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tampaknya SBY yakin tidak ada masalah yang perlu ditutup-tutupi. Sekaligus membantah rumor yang menyudutkan dirinya maupun Partai Demokrat.
Tampaknya penyelesaian politik yang akan didahulukan sebelum ada proses hukum yang lebih mengarah pada masalah pengambilan kebijaksanaan. Namun ibarat bola liar, arah penyelesaian kasus ini masih belum jelas. Langkah politik tentu bisa menimbulkan dinamika luar biasa.
Kini masyarakat menunggu dengan tidak sabar untuk segera mengetahui bagaimana duduk perkara yang sebenarnya. Apakah benar ada rekayasa keuangan dan juga aliran dana untuk kepentingan politik. Sejauh ini semua membantah, namun tentu tidak selesai hanya dengan bantahan. Target yang tidak kalah penting, kembalinya dana talangan sebesar Rp6,7 triliun karena itu diambil dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Secara nurani tentu disayangkan bahwa momentum 100 hari pemerintahan baru ini harus diwarnai oleh masalah-masalah yang sangat menyita energi dan perhatian. Praktis program 100 hari sudah terkurangi waktunya dan tinggal dua bulan lagi. Sementara fokus penyelesaian kasus Bank Century masih akan membuat sibuk dalam beberapa waktu mendatang.
Semua berharap agar penggunaan hak angket dan juga langkah penyelesaian kasus ini tidak memakan waktu terlampau lama dan diselesaikan secara transparan dan adil. Yang terpenting kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan.
Di tengah sorotan tajam atas tindakan pemerintah menyelematkan Bank Century, ada baiknya publik dengan kepala jernih juga melihat dengan jeli proses diambilnya keputusan itu. Dalam berbagai kesempatan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai Menkeu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I berulang kali menekankan bahwa proses pengambilan keputusan untuk menalangi bank bermasalah secara sistemik itu berdasarkan data, informasi, analisa makro dan mikro ekonomi serta didukung oleh proffesional judgement yang kuat.
Pada waktu itu terdapat 23 bank yang kadar ukurannya setara dengan Bank Century sehingga apabila Bank Century tidak diselamatkan segera sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, maka akan berpotensi menimbulkan efek domino ke-23 bank yang lain sebagai respon atas efek psikologis yang terjadi waktu itu.
Pengalaman program rekapitalisasi perbankan pascakrisis tahun 1997/1998 lalu menunjukkan bahwa pengambil keputusan itu dilakukan melalui kalkulasi yang matang. Terbukti kini bank-bank yang dulu diselamatkan melalui program rekapitalisasi sudah mampu menunjukkan perbaikan kinerja. Cerita akan menjadi sama sekali berbeda apabila pemerintah waktu itu tidak menyelamatkan ban-bank yang memiliki modal negatif (termasuk bank BUMN). Barangkali depresi yang meluas bisa terjadi waktu itu karena erosi kepercayaan yang meluas dan akut.
Jadi, terkait penyelamatan sebuah bank, intinya adalah kalau waktu itu Bank Century tidak diselamatkan, maka akan terjadi gangguan serius terhadap sistem perbankan nasional yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup perekonomian nasional. Maklum, situasi waktu itu tengah terjadi gejolak krisis keuangan global yang hebat menyusul krisis subprime mortgage di Amerika yang nyaris menamatkan riwayat sejumlah perusahaan keuangan skala besar yang memaksa pemerintah AS di bawah Presiden Barack Obama menyelamatkannya dengan dana bailout sekitar USD800 miliar.
Keputusan pemerintah AS untuk menyelamatkan sektor keuangan (juga ditambah penyelamatan sektor otomotif) dilakukan melalui analisa data dan informasi yang menghasilkan suatu proffesional judgement untuk keputusan final, yakni program penyelamatan.
Dalam kasus Bank Century, muncul pro dan kontra antara dampak apabila bank ini diselamatkan dan dibiarkan mati. Konon, saat Bank Century nyaris collaps, jumlah simpanan milik nasabah kecil (di bawah Rp 2 miliar) mencapai Rp 5,2 triliun. Artinya, jika bank dilikuidasi, jumlah itulah yang harus dibayar LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Jika itu dibayarkan, maka dana LPS akan hilang.
Pada akhirnya LPS memang harus menyuntikkan dana hingga Rp6,7 triliun. Namun, dana LPS tersebut tidak serta merta hilang karena dihitung sebagai penyertaan modal. Selain itu, dana sebesar Rp2,3 triliun di antaranya masih utuh dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Karena itu, biaya yang sebenarnya digunakan adalah Rp4,3 triliun. Perlu dicatat, inipun bukan bailout, tetapi Penyertaan Modal Sementara (PMS). Dananya pun bukan dari pemerintah (APBN), tetapi hasil pembayaran premi perbankan nasional.
Dari konstruksi penjelasan di atas, mudah-mudahan dapat menjawab duduk perkara dari mencuatnya kebijakan penyelamatan bank bermasalah secara sistemik. Parameter secara ekonomi bisnis yang diambil oleh para pengambil kebijakan waktu itu hendaknya bisa diselaraskan dengan parameter para hamba hukum dalam memotret kasus ini secara jernih. Tidak boleh ada kesenjangan pandangan karena akan menyulitkan pengambilan keputusan hukum secara adil.
Hal ini perlu dikemukakan mengingat kerap kali tindakan dan kebijakan yang diambil oleh para pelaku bisnis maupun regulator yang terkait dengan kegiatan perekonomian mendasarkan pada proffesional judgement yang mengacu kepada analisa data, informasi serta situasi yang terjadi saat ini. Yang penting ditekankan di sini adalah pengambilan keputusan atas dasar proffesional judgement tersebut tidak dilakukan secara perorangan atau individual, melainkan kolektif atau lokegial, serta diperkuat dengan dokumen yang otentik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam situasi krisis, genting dan mendesak, sebuah keputusan harus diambil dengan segala ongkosnya. Tentu dengan ongkos sosial, ekonomi dan politik yang paling minimal. Pakar manajemen terkenal, Warren Bennis, pernah mengatakan bahwa dalam situasi kritikal seorang pemimpin sejati harus mengambil keputusan dengan ketersediaan data dan informasi yang ada saat itu.
Menurutnya, lebih baik seorang pemimpin mengambil keputusan salah, namun di kemudian hari keputusan itu bisa diperbaiki, ketimbang seorang pemimpin tidak pernah atau tidak berani mengambil keputusan apapun karena justru hal ini akan berdampak lebih buruk pada perusahaan atau lembaganya.


Business News