Senin, 02 November 2009

Surat terbuka untuk SBY

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang terhormat,
Salam sejahtera.
Pertama-tama perkenankan kami menyampaikan selamat atas pelantikan Bapak bersama Bapak Boediono sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 yang dijadwalkan berlangsung hari ini.
Kami turut berbahagia seraya mendoakan Bapak Yudhoyono senantiasa sehat wal afiat dan dapat menunaikan tugas dengan baik. Kami memahami tugas Bapak bersama kabinet periode 2009-2014 bukanlah tugas yang ringan, melainkan amatlah berat.
Masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab Pak SBY-izinkan kami memanggil dengan inisial seperti kebanyakan rakyat Indonesia menyapa Bapak-sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, di tengah situasi yang belum menguntungkan disertai berbagai tantangan.
Namun, kita beruntung karena bintang Indonesia sedang cemerlang. Dari sisi geopolitik, peran Indonesia dalam berbagai forum perdamaian dunia dan hubungan internasional begitu terang. Kita menjadi salah satu negara yang kerap diminta membantu sejumlah negara-langsung maupun tidak langsung-yang mengalami konflik internal.
Peran Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa juga semakin penting, dan diproyeksikan akan kian dominan pada masa-masa yang akan datang.
Dalam kancah ekonomi global, peran Indonesia yang kini menjadi anggota G-20 menggantikan G-8 sebagai kelompok negara super-elite, telah menorehkan catatan tersendiri.
Apalagi Indonesia menjadi sedikit dari banyak negara di dunia, yang tetap mampu menorehkan catatan positif atas kinerja perekonomian dewasa ini, di tengah banyak negara lain yang terseret krisis global.
Terlebih lagi, kami perlu mencatat, situasi keamanan relatif cukup kondusif, sekaligus upaya perang melawan teroris yang banyak mendapatkan pujian termasuk dari dunia internasional.
Di sisi lain, proses demokratisasi juga menunjukkan kematangan; meskipun tetap harus terus ditumbuhkembangkan hingga menjadi demokrasi yang kokoh, semakin jujur, adil dan kian bermartabat.
Tentu, ini tidak lepas dari kepemimpinan Bapak yang telah mengabdi sebagai Presiden selama periode 2004-2009. Ini kian memperkuat keyakinan diri sebagai bangsa, sehingga kita mampu dan sanggup berdiri dengan kepala lebih tegak.
Bapak Yudhoyono yang kami hormati,
Di tengah berbagai kinerja yang menggembirakan itu, tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan kami menyampaikan catatan atas sejumlah issue yang belum sempat selesai.
Kami merasa inilah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada Bapak, dalam memulai tugas untuk periode 2009-2014 ini.
Dari sisi perekonomian domestik, kita patut menghargai pencapaian kinerja ekonomi, tetapi kita juga pantas prihatin terhadap pencapaian kesejahteraan yang belum seperti harapan.
Potret pengangguran berikut angka kemiskinan, meskipun dilaporkan terus menurun, memperlihatkan situasi yang lain di lapangan. Artinya, profil kesempatan kerja dan kemiskinan masih terlihat buram, meskipun perekonomian mampu tumbuh positif.
Situasi "jobless growth" itu merupakan dampak dari pertumbuhan yang belum berbasis pada kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja. Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi lebih terlahir dari rahim 'daya tahan konsumsi' ketimbang hadir berkat 'geliat investasi langsung'.
Inti persoalan adalah kesenjangan iklim investasi akibat 'kemiskinan' infrastruktur. Ini menyangkut pasok dan distribusi energi, distribusi barang dan biaya transaksi antardaerah dan antarpulau yang begitu mahal, sehingga negeri ini tidak kompetitif.
Bahkan, hari-hari ini warga dan perusahaan di Ibu Kota pun harus mengalami nasib pemadaman listrik bergiliran, akibat kerusakan sistem transmisi yang barangkali sudah 'uzur'.
Lalu, sebuah tempat di kawasan selatan Jawa Barat yang hanya berjarak 180 km dari Jakarta, dan semestinya bisa menjadi destinasi wisata yang dapat mendatangkan devisa, harus ditempuh dalam waktu 4 jam karena infrastruktur jalan yang nelangsa.
Kami terus terang penuh harap ketika mendengar bahwa pemerintahan Pak SBY bersama Pak Boediono hendak memprioritaskan infrastruktur domestik untuk mengintegrasikan ekonomi nasional guna mengatasi biaya transaksi ekonomi yang tinggi tersebut.
Sudah sepantasnya kekayaan alam dan sumberdaya di Indonesia bisa lebih kompetitif di negeri sendiri ketimbang mengonsumsi barang impor terutama banjirnya barang dari China dan Thailand. Sungguh mengenaskan ketika jeruk dari Pontianak maupun apel dari Malang terpinggirkan oleh buah-buahan sejenis asal Thailand atau China, untuk sekadar contoh.
Juga, merujuk perbandingan yang kerap dipakai sejumlah kalangan, biaya angkut Warsawa-Hamburg yang berjarak 750 km, cuma separuh ongkos transportasi dari Makassar ke Enrekang yang hanya berjarak 240 km.
Jelas bahwa infrastruktur-keras maupun lunak-merupakan prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang membutuhkan proses pengambilan keputusan ramping dan cepat.
Tantangan "de-bottlenecking" inilah yang rasanya perlu disegerakan, dengan mengurai masalah inti seperti keteguhan pemerintah dalam pembebasan lahan berikut aturan pendukung yang jelas dan tegas.
Tentu dalam kaitan itu, reformasi birokrasi yang Bapak janjikan juga amat kita tunggu-tunggu. Kami ingin melihat sebuah reformasi birokrasi yang sebenarnya, bukan sekadar kenaikan gaji pegawai, apalagi pegawai departemen tertentu saja, yang justru menimbulkan kecemburuan lintasdepartemen.
Reformasi birokrasi yang nyata, bukan virtual, inilah yang kami percaya akan mampu menopang janji kampanye Bapak mengenai perang melawan korupsi. Jika janji tersebut dapat diwujudkan, tentu ini akan menjadi landasan lebih kokoh untuk menjadikan birokrasi yang "transformasional" ketimbang "transaksional".
Terus terang, kami sudah capai dan bosan mendengar dan membaca bahwa Indonesia selalu menempati peringkat terburuk dalam persepsi sebagai bangsa terkorup di dunia. Apalagi, penilaian itu secara langsung memengaruhi persepsi pula sebagai negara tujuan investasi. Padahal, investasi amat didambakan untuk membantu pening-katan kesejahteraan rakyat yang telah memercayai Bapak dalam pemilu lalu.
Bapak SBY yang terhormat,
Perhatian terhadap kompetensi dan kualitas sumber daya manusia, terutama menyangkut kesehatan dan kecerdasan, tampaknya juga tak bisa ditawar-tawar lagi.
Khusus di sektor pendidikan, kami menghargai upaya pemerintahan Bapak beberapa tahun terakhir yang telah berhasil mewujudkan pagu anggaran pendidikan minimal 20%. Namun, bagi kami angka 20% tersebut tidak berbicara apa-apa, sepanjang pemerintah belum mampu mengoptimalkan dana yang besar tersebut untuk perbaikan kualitas dan outcome pendidikan.
Justru kami prihatin dengan pagu anggaran yang besar itu, mengingat masih sering kedengaran bisik-bisik bahwa departemen teknis 'sibuk' mencari cara agar pagu anggaran habis di setiap akhir tahun fiskal-suatu kecenderungan yang hampir umum terjadi di semua departemen-sebagai upaya agar jatah anggaran tetap dikucurkan pada tahun fiskal berikutnya.
Lebih dari itu, persoalan strategis lainnya adalah sejauh mana dunia pendidikan mampu menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas, memiliki kompetensi unggul, dan nyambung dengan pasar kerja. Bahasa yang keren adalah terdapat link and match yang kuat antara sektor pendidikan dengan industri penggunanya.
Bagaimana mungkin, sekadar ilustrasi, seorang sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi teknik ternama di Bandung, melamar untuk menjadi pramugari perusahaan penerbangan? Itulah mengapa kompetensi pendidikan kita lantas dipertanyakan. Ataukah memang begitu susah mencari pekerjaan di Indonesia saat ini?
Kami juga mencatat di setiap bursa kerja digelar di kota-kota besar seperti Jakarta, ternyata mereka yang lolos seleksi pada akhirnya gugur di tengah jalan karena dianggap tidak kompeten oleh perusahaan yang merekrutnya.
Angkanya, menurut data resmi yang pernah diungkap menteri terkait, mencapai 60% hingga 70%. Dengan kata lain, 60%-70% lulusan pendidikan di Indonesia tidak kompeten untuk bekerja alias masih harus dilatih lagi. Sungguh, ini adalah kenyataan yang menyedihkan selain merupakan pemborosan.
Apalagi jika kita berpikir lebih jauh mengenai sumberdaya manusia sebagai human capital, yang kini menjadi isu sangat penting di berbagai negara. Sumber daya manusia yang unggul, inovatif dan kreatif, serta tahan banting dan memiliki passion, tidak hanya menjadi tuntutan bagi daya saing bangsa, tetapi menjadi pre-dominant factor bagi kemajuan sebuah bangsa. Ini sekaligus menjadi prakondisi utama yang bakal menentukan apakah Indonesia, di luar sekadar survive, dapat memainkan peran proaktif dalam kancah global (offensive) maupun penguatan ketahanan domestik (deffensive).
Kami ingat kisah beberapa dekade silam tatkala masih memiliki kebanggaan ketika sejumlah negara tetangga terdekat dengan kita, mengirimkan banyak pelajarnya untuk belajar di sejumlah sekolah dan universitas di Indonesia.
Begitu pun, perusahaan pelat merah negeri itu juga kerap disebut banyak 'ngangsu kawruh' ke Pertamina, perusahaan perminyakan milik pemerintah, yang beberapa dekade lalu sungguh berjaya.
Saat ini, situasinya sudah berbalik sedemikian rupa. Begitu pun, berapa banyak anak-didik dan siswa sekolah menengah Indonesia yang begitu pintar, kini menjadi 'warga negara utama' di negeri sebelah pula, dengan berbagai iming-iming yang menggiurkan.
Kita telah kehilangan, selain harga diri, yang terpenting adalah sumber daya utama yang semestinya dibutuhkan untuk kemajuan negeri ini. Sungguh, inilah keprihatinan kami yang terutama.
Sebab, inilah modal terpenting kita untuk menjadi negara industri yang tangguh seperti Jepang dan Korea Selatan, yang bermodalkan human capital minus (relatif) sumberdaya alam.
Dengan kekuatan modal manusia yang berkualitas pula, besar harapan kekayaan sumber daya alam kita-minyak dan gas mineral dan bahan tambang-tidak mudah disedot begitu leluasa oleh operator asing, ketimbang untuk kesejahteraan rakyat sendiri.
Apalagi tantangan kompetisi global sudah di depan mata. Sebentar lagi Indonesia harus bertarung dengan negara tetangga untuk integrasi pasar Asean 2015, yang saat ini saja sudah begitu kedodoran.
Ketika sudah bersepakat untuk menjalin free trade agreement dengan negara lain, Indonesia hanya kebagian ampas-nya. Kita seperti merelakan pasar yang besar ini untuk 'jajahan' produk asing dan cuma mampu mengakses pasar mereka dengan bahan mentah yang bernilai tambah rendah. Kami sedih karena sering diolok-olok sebagai negeri "spesialis bahan mentah" abadi, bukan ahli produk bernilai tambah tinggi.
Bapak SBY yang budiman,
Menutup surat terbuka ini, perkenankan kami berharap bahwa kepemimpinan Bapak periode 2009-2014 dapat mengembalikan kejayaan Indonesia ke depan.
Kami bermimpi suatu saat Indonesia dikenang sebagai bangsa yang, tidak hanya bangga karena menjadi anggota G-20 karena ukuran ekonominya, tetapi memiliki kekuatan ekonomi riil yang sesungguhnya.
Kami juga bermimpi rakyat Indonesia kelak dikenal sebagai bangsa yang beretika, bermartabat, disiplin, dan memiliki karakter unggul sehingga disegani oleh bangsa-bangsa di dunia; bukan bangsa yang mudah cengeng terhadap kreativitas negeri tetangga.
Tentu kami dan kiranya seluruh rakyat Indonesia, juga menyimpan harapan besar terhadap kehidupan yang lebih sejahtera, damai, adil dan demokratis. Kami paham, mencapai itu semua tidak semudah membalik telapak tangan; tetapi keputusan harus dibuat sekarang. Dengan begitu, langkah pertama dapat dimulai.
Namun kami percaya, semuanya bisa dicapai, seperti keyakinan Bapak bahwa "kita harus bisa", yang berarti impossible is nothing. Apalagi, dengan bermodalkan kepercayaan mayoritas rakyat, Bapak memiliki keleluasaan untuk mengambil pilihan kebijakan terbaik untuk Indonesia.
Untuk itu, kami berdoa semoga Pak SBY beserta jajaran kabinet mendatang diberi kekuatan untuk menjalankannya, untuk Indonesia yang jauh lebih baik.


Hormat kami,
Arief Budisusilo
Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia