Kamis, 29 September 2011

Menghitung Ulang Prognosis Pertumbuhan Ekonomi 2011 Dan 2012

Lembaga Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan memperkirakan munculnya dampak yang parah jika Eropa gagal mengatasi krisis utangnya atau rencana kebijakan fiskal Amerika Serikat menemui jalan buntu. Prediksi lembaga dunia ini disampaikan dalam laporan World Economic Outlook (20/9).

IMF menaksir pertumbuhan ekonomi dunia akan tumbuh 4% pada tahun 2011 dan 2012 atau lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang dikeluarkan pada Juni 2011 yaitu sebesar 4,3% dan 4,5% pada tahun 2012. Sementara pertumbuhan ekonomi AS akan menyusut dari perkiraan sebelumnya 2,5% menjadi 1,5% untuk 2011 dan 1,8% untuk 2012.
Aktivitas global semakin melemah dan makin tak pasti, kepercayaan telah runtuh dan risiko penurunan semakin berkembang. Singkat kata, IMF melihat kondisi ekonomi global saat ini berada dalam fase berbahaya dan terancam krisis. Kegiatan ekonomi global terus melemah. Kepercayaan masyarakat turun drastis saat ini, dan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi makin membesar.

Dalam kajiannya, IMF menyatakan, negara-negara ekonomi maju di dunia sedang mengalami hantaman ekonomi tahun ini. Jepang terhantam bencana gempa dan tsunami yang mengganggu perekonomiannya. Kemudian ekonomi AS juga kembali jatuh karena rendahnya konsumsi dalam negeri. Belum lagi kondisi ekonomi Eropa yang terguncang di sektor keuangan. Masalah struktural ini membuat dunia dihadapi oleh risiko krisis yang cukup besar.

IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia melamban menjadi 6,4% di tahun 2011, di bawah target pemerintah yang sebesar 6,5%. IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan negara ekonomi berkembang (emerging markets) mencapai 6,4% pada tahun ini dan 6,1% pada tahun depan.

Prediksi itu turun dari sebelumnya 6,6% dan 6,4%. Negara-negara kaya kemungkinan hanya akan mengalami pertumbuhan ekonomi 1,6% atau turun dari perkiraan sebelumnya pada Juni lalu sebesar 2,2%. Sementara tahun depan diperkirakan hanya tumbuh 1,9% dari sebelumnya 2,6%. Jepang merupakan salah satu anggota G7 yang mengalami revisi pertumbuhan ekonomi terbesar yaitu hanya tumbuh 0,5% dari sebelumnya 0,7%. Sementara pada tahun 2012, hanya tumbuh 2,3% atau turun 0,6% dari perkiraan sebelumnya.

Koreksi tajam di Eropa juga dipicu oleh penurunan peringkat outlook perbankan besar di Eropa karena terperangkap ke dalam jebakan likuiditas yang kering. Untuk itu IMF menyarankan suntikan modal perbankan dan restrukturisasi atau menutup bank sebagai langkah penting. Bank Sentral Eropa (ECB) juga diusulkan untuk menurunkan tingkat bunga jika ingin risiko pertumbuhan ekonomi berkurang. Saat ini ECB mematok suku bunga 1,5%. Dalam skenario penurunan pertumbuhan ekonomi, IMF berasumsi bank harus menyerap kerugian dengan dampaknya pengurangan modal sebesar 10%.

IMF berharap para pemimpin negara harus memegang prinsipnya untuk mengambil langkah apapun untuk menjaga kepercayaan terhadap kebijakan negaranya dan Eropa. IMF terus mendorong pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk mencari penyelesaian kolektif mengingat investor sudah mulai khawatir dengan kebangkrutan Yunani dan Bank Yunani terpaksa merugi dengan menjual surat utang di wilayah yang memiliki kondisi utang terbesar. Di luar skenario alternatif pertumbuhan ekonomi, Eropa dan AS diperkirakan akan masuk jurang resesi.

Laporan IMF ini mengacu pada pelemahan aktivitas ekonomi di sejumlah negara maju dan pertumbuhan makin melemah di negara-negara berkembang. Kondisi ekonomi tersebut mensyaratkan pembuat kebijakan di wilayah Eropa menjalankan penanganan ekonomi melalui mekanisme bailout yang disetujui pada Juli lalu.

Ekonomi Yunani diperkirakan akan mengalami kontraksi 5,5% tahun 2011 dan 2,5% tahun depan. Yunani masih harus memenuhi komitmennya untuk menurunkan defisit anggaran 2011 menjadi 7,6% dari produk domestik bruto (PDB). Untuk itu Yunani telah mengumumkan pajak tambahan atas properti dan listrik untuk menutupi kekurangan anggaran.

Atas tragedi AS dan Eropa itu, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012 sebesar 6,5% atau lebih kecil dibanding asumsi RAPBN 2012 sebesar 6,7%. Ini disebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia turun dari 4,5% menjadi 4%. Krisis ekonomi di AS dan Eropa akan semakin terasa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2012 terutama karena penurunan ekspor dan permintaan serta harga sejumlah komoditas. Sejauh ini dampaknya terhadap perekonomian nasional belum besar, kecuali di pasar saham dan pasar uang. Namun perkembangannya bisa saja tidak terlalu menyenangkan.

Meski begitu, perlu adanya strategi dan kebijakan ekonomi untuk mengantisipasi kemungkinan memburuknya dampak krisis ekonomi Eropa ini. Salah satunya diperlukan stimulus ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari dalam utamanya melalui investasi termasuk di dalamnya substitusi impor, serta melakukan penetrasi pasar luar negeri untuk mendorong ekspor khususnya ke negara “emerging market” seperti China, Brazil, India dan Afrika Selatan.

Di bidang moneter, BI telah melakukan reorientasi kebijakan suku bunga, nilai tukar, cadangan devisa dan kredit perbankan untuk mendorong pertumbuhan dengan tetap menjaga suistanabilitas melalui peningkatan penyerapan, efisiensi dan penciptaan ruang fiskal. Maklum, pelemahan nilai tukar rupiah dalam dua pekan ini juga disebabkan karena kekhawatiran para investor portofolio melihat krisis yang terjadi di Eropa.

Namun, jumlah cadangan devisa yang dimiliki Indonesia diyakini masih kuat untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak terlalu melemah akibat tekanan di pasar uang sebagai dampak krisis ekonomi di Eropa. Nilai tukar rupiah terus melemah dari posisi sebelumnya Rp8.550 per dolar AS menjadi Rp9.035 per dolar AS. Dengan cadangan devisa 122 miliar dolar AS, BI akan bersiap melakukan intervensi di pasar uang dengan menjual dolar AS dan menggunakan rupiah hasil penjualan itu dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

BI juga telah mengantisipasi dampak krisis keuangan itu dengan penguatan protokol manajemen krisis. Langkah yang diambil BI, sebagaimana telah diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur BI, yaitu mempertahankan BI rate pada 6,75%. Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas perekonomian di tengah meningkatnya ketidakpastian sistem keuangan global yang dipicu masalah utang AS dan Eropa.

Selain itu, BI juga akan mempererat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk mengantisipasi dampak penurunan ekonomi dan keuangan global itu. Respon terhadap krisis keuangan di AS dan Eropa tidak bisa hanya dilakukan dari satu institusi saja.
Selain BI, Kementerian Keuangan juga sudah mempunyai protokol manajemen kriris, tetapi belum ada integrasi protokol manajemen. Koordinasi kebijakan yang dilakukan BI dengan pemerintah yaitu kebijakan pengendalian inflasi, kebijakan untuk pengelolaan modal yang masuk, dan kebijakan untuk memperkuat respon sisi penawaran. Dari sisi pemerintah, penyerapan belanja modal tinggi merupakan stimulus yang diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tapi stimulus itu harus disesuaikan dalam APBN, terutama belanja modal. Salah satunya adalah memastikan belanja modalnya bisa di-disburse lebih cepat.

Penyerapan belanja yang tinggi dapat mendukung dan menjaga ketahanan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi potensi krisis yang masih berlanjut pada tahun 2012. Jadi stimulusnya harus dibayangkan dari hari ini, terutama dalam bentuk belanja modal yang lebih tinggi di tahun 2012.

Kementerian Keuangan mengungkapkan rea-lisasi penyerapan belanja modal hingga awal September 2011 baru mencapai 26,9% dari alokasi dalam APBN Perubahan 2011 sebesar Rp140,95 triliun. Penyerapan belanja modal yang masih rendah ini menjadi perhatian pemerintah karena terkait dengan lambatnya pembangunan dan pembenahan sarana infrastruktur. Apalagi, pembiayaan proyek pembangunan dengan keterlibatan swasta atau melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Atas perkembangan itu, tepat jika pemerintah Indonesia perlu mewaspadai pelemahan perekonomian global. Sebab, pengaruh langsung pelemahan ekonomi sudah terlihat dari kinerja ekspor pada Juni 2011 yang mengalami penurunan 5,2% dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara ekspor nonmigas pada bulan Juli juga turun 7,93% dibandingkan Juni.

Pelemahan ekspor nonmigas terutama dipe-ngaruhi oleh penurunan permintaan terhadap komoditas minyak sawit (crude palm oil). Hal itu karena permintaan CPO dunia melemah. Di tengah krisis finansial yang terjadi di AS dan Eropa, diversifikasi pasar tujuan ekspor, salah satunya ke Afrika, adalah solusi dan alternatif untuk terus meningkatkan kinerja ekspor.

Apalagi, perdagangan Indonesia dengan ne-gara-negara di Afrika masih rendah sehingga sangat mungkin ditingkatkan. Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, pada tahun 2010 ekspor Indonesia ke Afrika mencapai 3,5 miliar dolar AS, naik 29,63% dari tahun sebelumnya. Ekspor Indonesia ke Afrika kebanyakan barang jadi yang dikonsumsi sendiri. Jadi kemungkinan untuk terkena dampak tidak langsung dari krisis di Eropa dan AS sangat kecil.

Dari kalangan dunia usaha menilai dampak krisis keuangan yang kini melilit negara-negara di Benua Eropa dan AS bisa lebih parah dibanding krisis finansial yang terjadi pada periode 2008-2009. Maklum, dunia usaha kini sudah merasakan penciutan pasar karena menurunnya pesanan ekspor.

Dampak krisis yang terjadi sekarang bisa lebih buruk karena sudah menyeret perekonomian negara pada kebangkrutan seperti yang terjadi di Yunani. Krisis tidak hanya terjadi pada lingkup perusahaan yang bisa diatasi oleh penalangan utang atau pengambilalihan oleh negara. Sebab, masalah yang paling utama adalah negara mengalami krisis, bukan hanya sektor keuangannya saja. Jika krisis, perusahaan masih bisa ditutup semua, tetapi kalau negara-negara yang mengalami krisis, tentu tidak bisa ditutup begitu saja.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah menggerakkan dan menguasai ekonomi dalam negeri melalui investasi dan pengembangan dunia usaha. Selain itu, dibutuhkan pembangunan infrastruktur sehingga lebih banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan.
Menariknya, dunia usaha bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk menghindari dampak krisis keuangan global melalui investasi sehingga perekonomian dalam negeri bisa tetap tumbuh. Masalahnya, dunia usaha masih mengalami hambatan untuk berinvestasi seperti terbentur masalah pertanahan, tata ruang, serta infrastruktur.

Strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini mengandalkan sumber dana asing (outward) juga harus dialihkan ke sumber-sumber di dalam negeri (inward) untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi dunia. Sumber pertumbuhan ekonomi harus didorong dari dalam negeri, baik dari sektor industri ataupun perdagangan.


Business News