Rabu, 31 Desember 2008

Untuk Direnungkan

Hidup di dunia tidak dapat diramalkan dan dipastikan,
Kehidupan ini singkat dan penuh penderitaan,
Ada kelahiran, usia tua, sakit dan kematian,
Inilah sifat dunia dan sifat segala hal!

Ketika buah telah masak dapat terjatuh kapan saja,
Demikian pula sesuatu yang terlahir dapat mati setiap saat.
Bagaikan sebuah periuk akan berakhir pecah,
Begitu juga kehidupan dari semua yang terlahirkan.

Baik muda maupun tua, bodoh maupun bijaksana,
Semuanya akan berakhir dengan kematian.
Orang tua kita pun tidak bisa menolong dalam hal ini,
Semua akan melanjutkan perjalanan ke dunia lain.

Lihatlah! Dengan disaksikan oleh sanak keluarga,
Disertai dengan airmata, manusia dibawa satu persatu,
Bagaikan sapi menuju ke penyembelihan.

Kehidupan dan kematian adalah hal yang alami di dunia ini,
Orang bijaksana tidak akan berduka cita melihat sifat dunia!


Sutta Nipata 574 s/d 581




Baca selengkapnya...

Ekonomi Ponzi vs Ekonomi Nurani

Pada masyarakat yang sederhana, uang memiliki dua fungsi utama, sebagai satuan hitung (unit of account) dan perantara pertukaran (medium of exchange). Ketika masyarakat berkembang menjadi kompleks, uang memiliki fungsi tambahan, yaitu sebagai penghimpun nilai (store of value) dan simbol kekayaan (symbol of wealth).
Pada masyarakat dengan tingkat monetisasi yang tinggi-suatu ciri masyarakat modern-uang menjadi komoditas yang paling banyak diperdagangkan. Jadi telah terjadi pergeseran, uang yang semula merupakan alat pembayaran, telah menjadi objek yang diperdagangkan itu sendiri.
Pada masyarakat yang sederhana, orang berjual-beli untuk produk yang sederhana seperti tanah, rumah, atau ternak. Orang juga menyimpan uang dalam bentuk tunai di bawah kasur atau di kotak penyimpanan. Ketika masyarakat berkembang, pilihan-pilihan untuk menyimpan uang semakin bervariasi. Berbagai lembaga keuangan tumbuh untuk menghubungkan pihak yang memiliki uang berlebih dengan pihak yang membutuhkan lebih banyak uang.
Pokoknya, uang tidak boleh dibiarkan diam, karena dalam uang berlaku prinsip "a dollar today is worth more than a dollar tomorrow". Ekonomi modern tumbuh seiring dengan ledakan variasi dalam instrumen pembayaran dan investasi. Orang merasa ketinggalan zaman apabila belum bertransaksi menggunakan kartu kredit atau cek pelawat. Orang merasa terbelakang apabila dalam portofolio investasinya belum memasukkan komponen surat berharga.
Dan yang menarik, dalam investasi ini orang berlomba-lomba mendapat keuntungan yang paling tinggi. Prinsip yang berlaku adalah semakin tinggi risiko, semakin tinggi imbal hasil (high risk high returns). Roger Ibbotson, profesor ekonomi keuangan di Universitas Yale, memang rajin mempelajari tingkat imbal hasil berbagai pilihan investasi. Bila kita menempatkan satu dolar hari ini ke dalam ragam investasi seperti tanah, emas, deposito, obligasi dan saham, tingkat imbal hasil untuk saham dalam jangka panjang terbukti paling tinggi.
Dengan demikian, Ibbotson membuktikan diktum semakin tinggi tingkat risiko, semakin tinggi tingkat imbal hasil. Karena risiko merupakan fungsi dari ketidakpastian, dunia investasi sesungguhnya menjualbelikan ketidakpastian. Yang menarik, semakin tinggi ketidakpastian yang dijual, semakin besar harapan orang untuk menarik keuntungan darinya. Pada tahapan ini ekonomi bergerak menuju ekonomi kasino, yaitu ekonomi berbahan bakar naluri spekulasi.
Orang menyukai produk-produk sarat spekulasi karena beberapa hal. Pertama, produk-produk spekulasi bersifat homogen. Kalau kita beli kerbau, kita harus tahu spesifikasi teknis kerbau seperti jenis, berat, usia, kesehatan, dan sebagainya. Kalau kita beli tanah, kita harus tahu lokasi, lingkungan, kemudahan akses, dan seterusnya. Pada produk yang abstrak seperti surat surat berharga dan derivatif, yang perlu kita tahu hanya tingkat risiko dan harapan imbal hasilnya. Jadi, pilihan investasi dapat direduksi ke dalam dua parameter saja: risiko dan tingkat imbal hasil.
Kedua, produk-produk investasi modern yang sarat spekulasi bersifat "bebas dari selera" (taste independence). Lukisan karya Affandi bisa dinilai berbeda oleh orang dengan tingkat selera dan pemahaman estetik yang berbeda. Tapi surat berharga yang menjanjikan tingkat keuntungan lebih besar akan diburu oleh semua investor, tak peduli berapa usia dan asal-usulnya.
Ketiga, berbeda dengan produk nyata seperti tanah, emas, dan ternak, produk-produk investasi modern yang sarat spekulasi bersifat "bebas lokasi" (location independence). Kita sering tak bersedia membeli tanah murah yang letaknya jauh di pelosok, tetapi kita sering tak ragu-ragu untuk membeli reksa dana yang dikemas oleh lembaga keuangan seperti Lehman Brothers atau Citibank, yang kantor pusatnya tak pernah kita lihat. Ekonomi spekulasi rentan terhadap penipuan.
Kita berkali-kali menyaksikan hal ini. Berita terakhir (12/12/2008) adalah penipuan besar-besaran yang melibatkan dana investasi sekira USD50 miliar yang dilakukan mantan Ketua Nasdaq Bernard Madoff di Wall Street. Madoff menjanjikan keuntungan besar kepada para investor dengan skema Ponzi, yaitu membayar keuntungan tinggi untuk investor lama dengan menggunakan dana investasi yang masuk belakangan. Jadi investor yang untung adalah mereka yang ikut duluan.
Lebih gila lagi, sebagai orang dengan pengalaman panjang bermain-main dengan pasar investasi yang paling modern, Madoff beranggapan bahwa bisnis risiko adalah "a giant Ponzi scheme". Jadi, Madoff menilai pasar adalah ajang bagi mereka yang licik untuk mengelabui mereka yang naif. Semakin canggih kita mengemas produk, semakin canggih kita mengelabui regulasi, semakin kita berjaya. Singkatnya, pasar adalah arena kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang terbuka lebar.
Sebentar lagi kita akan menutup tahun 2008 dengan kenangan tersendiri, karena inilah tahun yang penuh kisah paradoksal. Harga minyak dan sejumlah komoditas mencapai rekor harga tertinggi dan penurunan paling tajam sepanjang sejarah. Kapitalisasi pasar di bursa mengalami penurunan yang dahsyat.
Perusahaan-perusahaan yang semula menjadi simbol gengsi industri seperti General Motors dan Ford di Amerika Serikat, sempat goyah. Toyota Corporation, yang manajemen pabriknya dianggap terbaik di dunia, mencatat kerugian operasi pertama dalam 50 tahun terakhir. Sistem ekonomi kapitalisme global sedang menghadapi tantangan mahadasyat, yaitu mencari keseimbangan baru agar komponen nurani tidak terpingggirkan oleh naluri. (*)

PROF. HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Guru Besar FE UKSW, Salatiga
Alumnus Tinbergen Institute, Belanda




Baca selengkapnya...

Tahun-Tahun Kegagalan Kapitalisme?

Mungkin tidak banyak yang menyangka bahwa kondisi ekonomi berubah begitu cepat pada 2008, ketika pada malam pergantian tahun banyak pihak yang merasa begitu optimistis tren booming perekonomian tahun 2007 akan berlanjut.

Terutama untuk perekonomian yang masuk dalam kategori emerging market seperti Indonesia. Para pelaku usaha di bidang perkebunan dan pertambangan umum menikmati masa jaya mereka dengan harga komoditas yang terus melambung dan permintaan dunia yang terus melaju kencang.

Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2007 jelas ditopang oleh ekspor komoditas tersebut, selain oleh konsumsi masyarakat yang menikmati daya beli cukup kuat. Surplus neraca perdagangan juga tercipta, sekaligus menyumbang untuk cadangan devisa yang terus menguat.

Ketika optimisme tersebut masih memuncak, tiba-tiba muncul kejutan dari kenaikan harga minyak bumi internasional yang perlahan tapi pasti menciptakan rekor baru harga komoditas tersebut.

Di saat banyak pihak masih berdebat apakah harga minyak bumi sekitar USD60-70 per barel, wajar atau tidak, harga tahu-tahu sudah mendekati USD100 per barel yang dianggap sebagai batas psikologis. Di atas itu dikhawatirkan harga akan lepas kendali dan bisa mencapai berapa saja. Ternyata batas psikologis itu pun dengan mudahnya dilewati dan akhirnya mencapai tingkat harga tertinggi, USD150.

Pada saat itu, dunia berspekulasi bahwa harga mungkin saja mencapai USD200. Tren kenaikan harga minyak di luar kebiasaan tersebut tentu sangat menguntungkan pelaku bisnis minyak terutama negara penghasil dan perusahaan yang terlibat. Indonesia juga punya potensi diuntungkan, tapi lenyap begitu saja karena ternyata bukan lagi negara pengekspor bersih minyak bumi, tapi sudah berubah menjadi negara pengimpor bersih. Jumlah impor minyak Indonesia sudah berada di atas ekspor.

Untuk negara seperti Indonesia yang tergolong kecil dalam konteks perdagangan internasional, kondisi 2008 terasa menyesakkan. Di satu sisi ada berkah dari ekspor komoditas yang kuat dan makin kuat lagi dengan tren kenaikan harga minyak yang juga menaikkan harga ekspor komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan kelapa sawit.

Di sisi lain, Indonesia harus menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang akan menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan yang sangat tidak populer tapi perlu, yaitu menaikkan harga BBM, akhirnya dilakukan pemerintah dan -seperti biasa- menuai protes yang tidak sedikit. Inflasi dengan sendirinya melambung karena kenaikan harga BBM tersebut hingga menembus batas psikologis 10 persen.
Tingginya inflasi membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang sebenarnya meneruskan tren 2007, yaitu sekitar 6 persen, menjadi tergerus maknanya dengan berkurangnya daya beli masyarakat secara relatif.

Semangat yang muncul bahwa tahun 2008 adalah dimulainya kebangkitan ekonomi Indonesia, seperti yang diharapkan dari peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, pupus sudah dan berganti dengan kekhawatiran terhadap kelangsungan ekonomi Indonesia maupun dunia.

Pada saat yang sama,di belahan dunia lain yang merupakan perekonomian adidaya dunia, yaitu Amerika Serikat, muncul bibit krisis yang ternyata jauh lebih serius dari yang muncul di permukaan. Krisis kredit perumahan (subprime mortgage) yang tadinya diperkirakan mempunyai dampak terbatas dan dianggap hampir selesai pada 2007 ternyata masih mempunyai kelanjutan dan memunculkan sisi gelap dari kapitalisme serta globalisasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya.

Para pelaku sektor keuangan di AS ternyata mempraktikkan kapitalisme yang kebablasan dengan konsep dasar "money creates more money" atau menjadikan uang sebagai komoditas untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan berbagai produk derivatif yang seolah-olah kreatif dan inovatif, tapi sebenarnya sangat berisiko, kredit macet perumahan tersebut telah menyebar ke berbagai institusi keuangan terkemuka.

Tidak hanya di AS, tetapi juga di Eropa dan Asia. Kegagalan menuntaskan kredit macet perumahan tersebut akhirnya menumbangkan para pelaku keuangan besar di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama sebenarnya AS dan Eropa sudah berada di ambang resesi ekonomi.

Kebangkrutan salah satu bank investasi terkemuka di AS,Lehman Brothers,menjadi pemicu awal krisis keuangan global yang kemudian memunculkan borok utama sistem kapitalisme, yaitu ketamakan yang tidak terkendali, bahkan oleh sistem pengawasan yang canggih sebagaimana dimiliki AS.

Karena sistem kapitalisme di AS sangat bergantung pada kegiatan sektor keuangan, runtuhnya sektor tersebut sama artinya dengan runtuhnya perekonomian AS yang sebenarnya dikenal sebagai perekonomian yang boros, konsumtif, dan mulai kehilangan daya saing. Kemungkinan resesi perekonomian AS berarti kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak hanya mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat AS,tetapi juga berdampak pada seluruh masyarakat dunia.

Globalisasi yang selama ini diagung- agungkan akan menularkan kemakmuran dari negara maju ke negara sedang berkembang,malah menularkan masalah yang harus diselesaikan dan dihadapi pemerintahan masing-masing negara tanpa kecuali. Yang amat sulit diprediksi adalah kapan krisis ini berakhir alias kapan perekonomian AS akan mengalami pemulihan.
Pendapat yang banyak muncul akhir-akhir ini adalah 2010 sebagai masa pemulihan krisis di AS yang artinya sepanjang tahun 2009 adalah tahun resesi atau tahun perlambatan ekonomi di berbagai penjuru dunia. Indonesia tentu bukan pengecualian dan kita semua harus segera menyiapkan jurus-jurus menangkal dampak terburuk dari krisis.

Di satu sisi, tampaknya segala elemen bangsa sepakat bahwa memperkuat dan melindungi pasar atau perekonomian domestik adalah langkah utama menangkal dampak krisis, memanfaatkan ukuran pasar domestik Indonesia yang sangat besar. Di sisi lain, belum ada kesepakatan tentang langkah luar biasa untuk dapat menciptakan pertumbuhan yang cukup lumayan (di atas 5 persen) pada 2009.

Di saat berbagai negara mengeluarkan paket stimulus perekonomian, Indonesia tampaknya masih kelihatan "tenang". Belum terlihat keluar paket yang jelas, kecuali berbagai insentif pajak untuk beberapa komoditas, wacana tentang percepatan pembangunan infrastruktur, serta alokasi APBN untuk mengurangi kemiskinan dan dampak pengangguran.

Sayangnya hal-hal di atas masih tercerai berai dan sukar untuk menjawab apakah Indonesia sudah punya paket stimulus perekonomian dan berapa besarnya. Di dalam arena perebutan modal yang sangat kompetitif dan terkadang kejam, Indonesia harus lebih proaktif dan berani. Kalau pihak lain sudah menawarkan penjaminan penuh dana simpanan masyarakat dan pinjaman antarbank, sudah selayaknya Indonesia tidak berbeda dengan mereka sekaligus memperkuat instrumen pengawasan untuk mencegah moral hazard.

Di saat pihak lain menciptakan stimulus untuk mencegah pertumbuhan lebih rendah, Indonesia juga tidak boleh ketinggalan karena pasar modal dan pasar uang juga akan sangat terpengaruh dengan kesiapan pemerintah mendorong pertumbuhan tahun 2009.

Bagi masyarakat, paket stimulus akan menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah yang dianggapnya peduli dengan kemungkinan terburuk yang dapat menimpa mereka, dan berusaha dengan segala cara agar krisis tidak terlalu menghancurkan perekonomian rumah tangga masyarakat.

Satu hal yang pasti, tahun 2009 adalah masa introspeksi bagi semua pelaku perekonomian Indonesia untuk bertindak lebih bijaksana dan tidak terbawa ambisi berlebihan atau ketamakan yang menjadi penyakit utama kapitalisme. Good governance yang akhir-akhir ini banyak digembar- gemborkan harus dilaksanakan dengan baik dan prinsip dasar etika dalam berbisnis dan melakukan kegiatan ekonomi.

Misalnya ditunjukkan oleh prinsip ekonomi Islam,akan sangat membantu menjauhkan para pelaku dari kegiatan derivatif yang cenderung menciptakan bahaya apabila tidak dilindungi sistem pengawasan yang kuat. Tahun 2009 masih memberikan harapan bagi perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan di atas 5 persen dan inflasi sekitar 6 persen.
Namun, bila itu ingin diwujudkan, harus ada kegesitan pemerintah menghadapi dampak krisis dan kesungguhan pelaku ekonomi untuk tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Lalu, menciptakan peluang dari krisis hendaknya dijadikan motivasi utama para pelaku bisnis di Indonesia sehingga dunia usaha terus bergerak dan PHK bisa dihindarkan. (*)

Bambang PS Brodjonegoro
Guru Besar dan Dekan FEUI




Baca selengkapnya...

Catatan Akhir Tahun

Kita sudah mendekati penghujung 2008. Tahun yang ditandai dengan turbulensi besar dalam perekonomian global. Dalam menutup 2008 ini,sedikit refleksi diperlukan untuk membawa kita lebih mensyukuri apa yang kita capai tahun ini.

Masih sangat segar dalam ingatan kita betapa kekhawatiran dirasakan memuncak pada bulan Oktober lalu di mana krisis finansial global sudah mengarah pada disrupsi perekonomian secara luas.

Keadaan tersebut diperburuk oleh perkembangan yang sebetulnya bersifat lokal, tetapi kebetulan terjadi bersamaan dengan krisis global, yaitu kekeringan likuiditas yang sangat serius sehingga memunculkan kekhawatiran yang besar terhadap keamanan sistem perbankan kita.

Sementara itu sebuah kecelakaan juga terjadi secara bersamaan, yaitu ditutupnya Bank Indover oleh Otoritas Pengawasan Bank Belanda. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap USD serta indeks harga saham juga terjerembab ke tingkat yang mulai mengkhawatirkan.

Berbagai hal tersebut secara objektif memang pantas membuat banyak pihak khawatir dengan apa yang terjadi sesudahnya. Oleh karena itu kita sungguh bersyukur bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas bisa dilakukan dengan sangat cepat sehingga dapat mengurangi kekhawatiran yang tidak perlu.

Demikian juga dengan langkah untuk meningkatkan penjaminan simpanan sampai dengan Rp2 miliar merupakan langkah strategis yang patut dihargai karena pada akhirnya masalah kepercayaan nasabah merupakan hal yang sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.Pengalaman krisis tahun 1997 mengajari banyak hal mengenai hal tersebut. Pada akhirnya, orang harus pintar untuk tetap menjaga kepercayaan publik. Semacam confidence game memang merupakan bagian dari penanganan krisis yang harus dilakukan.

Perekonomian Domestik sebagai Motor

Mendekati penghujung 2008 ini, kita melihat apa yang terjadi di Indonesia umumnya berada dalam kendali yang cukup kokoh. Pada saat second round effect dari krisis subprime sudah semakin menemukan bentuknya, kita melihat resesi yang sudah terjadi di Amerika Serikat diikuti dengan Jerman, Italia, bahkan Jepang.

Di kawasan kita, Singapura mengalami pukulan yang cukup tajam. Begitu juga dengan Malaysia. Kedua negara tersebut memiliki rasio ekspor terhadap perekonomian (PDB) yang sangat besar. Di samping itu, komposisi ekspor mereka juga berat pada produk elektronik yang permintaannya bisa ditunda. Ini berakibat krisis yang terjadi secara global tersebut serta-merta memukul sektor yang menjadi pilar penting negara tersebut.

Sementara itu, dalam keadaan seperti itu, pandangan banyak pihak berpaling ke negara-negara Asia, terutama Cina dan India, termasuk Indonesia. Saya merupakan orang yang memiliki kedekatan yang sangat tinggi terhadap dunia usaha di bidang perbankan, industri makanan, dan keperluan rumah tangga (personal care and household care) serta industri lain yang berkaitan dengan elektronik, tembakau, dan sebagainya.

Dari informasi yang terkumpul sampai saat ini, suatu anomali justru terjadi. Berbagai perusahaan tersebut justru menunjukkan kinerja yang sangat positif, bahkan bisa dikatakan memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.

Demikian juga dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang paling dikhawatirkan akan paling terkena dampak krisis global tersebut. Meskipun berbagai kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup (serta kelangsungan tersedianya lapangan kerja) adalah "bisa diterima akal", pada akhirnya semua hal tidaklah berlangsung secara linier.

Khusus untuk industri TPT ini, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan bahwa banyak prinsipal yang memindahkan ordernya dari China ke Indonesia. Perpindahan ini terjadi karena upah tenaga kerja yang jauh meningkat di China.

Pernyataan ini didukung pula oleh cerita yang saya peroleh dari Alain Piere Mignon, Ketua Kamar Dagang Prancis di Indonesia yang menyuplai teknologi untuk industri TPT. Ternyata sampai hari ini masih terjadi pemesanan mesin baru untuk industri garmen karena adanya order yang datang ke perusahaan mereka.

Beberapa investor Korea membuka pabrik baru di Sukabumi, sedangkan pesanan mesin baru tersebut datang dari pengusaha di Ungaran. Sementara itu, informasi dari daerah menyebutkan bahwa untuk produk perkebunan seperti karet dan kelapa sawit, penyesuaian dengan harga yang ada sekarang ini telah terjadi sehingga memungkinkan mereka bergerak lagi.
Petani karet mulai menoreh getah setelah harga karet per kilo naik menjadi Rp. 8.000. Adapun di bidang pertambangan masih banyak pula berbagai berita positif yang masuk. Bahkan Bumi Resources yang sahamnya hancur-hancuran sebetulnya merupakan perusahaan yang tetap bisa menangguk untung besar.Harga rata-rata produksi mereka mencapai USD75 per ton, sedangkan biaya produksinya hanya sekitar USD30 per ton.

Dengan berbagai informasi tersebut, perekonomian Indonesia sampai dengan penghujung tahun 2008 masih bisa dikatakan cukup aman. Saya bahkan merasa yakin bahwa PDB kita di kuartal IV 2008 ini masih memungkinkan untuk menghasilkan PDB sepanjang 2008 untuk tumbuh sedikit di atas 6%. Ini berarti kuartal IV menghasilkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,5%.

Sektor Pertanian yang Menjadi Penyelamat

Pada waktu krisis 1997, saya senantiasa memperhatikan persawahan kita sebelum mendarat di Cengkareng. Jika warnanya hijau, saya merasa tenang bahwa sektor pertanian kita tidaklah dilanda kekeringan yang menghancurkan perekonomian di akar rumput. Dewasa ini ternyata keadaan yang sama juga berlangsung. Tahun 2008 ternyata terjadi swasembada beras.

Bahkan juga jagung dan kedelai yang mengalami kenaikan produksi yang cukup tinggi. Perkembangan tersebut memungkinkan mayoritas penduduk Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang mencukupi. Bahkan bukan tidak mungkin produksi yang ada, beserta kenaikan harga gabah yang dilakukan pemerintah, memungkinkan mereka memiliki daya beli untuk dibelanjakan pada produk-produk yang lain.

Ini berarti sektor pertanian memungkinkan terciptanya pertumbuhan perekonomian domestik yang cukup besar. Dengan perkembangan tersebut, tidaklah mengherankan bahwa berbagai produk industri yang saya ceritakan di atas memiliki pertumbuhan yang tetap tinggi, bahkan hingga akhir tahun 2008 ini. Untuk 2009, kita sangat mengharapkan suku bunga mulai turun kembali secara perlahan-lahan.

Penurunan suku bunga tersebut, yang disertai ketersediaan kredit yang lebih besar, akan memungkinkan industri automotif dan properti bergerak kembali. Pada akhirnya memang diperlukan suatu kepercayaan yang besar bahwa apa yang terjadi di Indonesia mungkin bisa dikatakan terlepas dari sumber krisis di Amerika Serikat. Bagi yang optimistis,siapa tahu tahun-tahun krisis ini justru menjadi turning point Indonesia untuk menjadi negara yang lebih patut diperhitungkan di perekonomian global. (*)


Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Rektor ABFII Perbanas






Baca selengkapnya...

Senin, 08 Desember 2008

Berani Berubah, Mengubah Dan Diubah

Bagaimana cara menjadi orang yang menarik untuk diajak bercakap-cakap? Edward De Bono dalam bukunya How to Have a Beautiful Mind mengemukakan dua cara untuk menjadi orang yang menarik.

Pertama, jangan selalu setuju dengan apa yang dikatakan lawan bicara Anda. Kedua, jangan selalu tidak setuju dengan apa yang dikatakan lawan bicara Anda. Selalu setuju bisa diartikan menjilat. Lebih jauh lagi kalau dua orang yang berbicara selalu setuju dengan apa pun yang dikatakan lawan bicaranya, maka sebetulnya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kondisi yang sebaliknya juga sulit. Kalau dua orang yang berbicara selalu tidak setuju mengenai topik apa pun, maka tak ada lagi yang bisa diperbincangkan.


Jadi bagaimana cara menjadi orang yang menarik? Menurut De Bono, Anda harus berada di antara kutub Selalu Setuju dan Selalu Tidak Setuju. Namun menurut saya, perbedaan pendapat bukanlah hanya bermanfaat untuk membuat percakapan lebih hangat dan menarik. Perbedaan pendapat dibutuhkan karena hanya dengan perbedaan pendapatlah kreativitas, ide dan pengetahuan baru akan bermunculan.


Ketika semua orang sepakat, maka tidak akan pernah lahir pengetahuan (knowledge) yang baru. Padahal, tantangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis senantiasa menghendaki kreativitas dan ide brilian. Sebuah ide akan benar-benar siap ketika ide itu telah diperdebatkan, dibahas, dan dijajaki secara sungguh-sungguh. Namun menjajaki sebuah ide bukanlah hal yang mudah dilakukan.


Hambatan utamanya terletak pada ego kita masing-masing, yaitu keinginan untuk menjadi yang paling benar dan paling hebat. Betapa banyaknya pembahasan ide yang kemudian berkembang menjadi ajang pertempuran antarego. Dan ketika ego kita terlibat, sebenarnya kita tengah mengebiri ide itu sendiri. Kita bukan lagi menjajaki ide, kita malah sibuk membuktikan bahwa kita benar dan orang lain salah. Ketika serang-menyerang terjadi tak ada lagi yang membicarakan ide. Ide itu sudah selesai, dan tak akan berproses menjadi lebih baik.


Untuk mencapai kemajuan, sebenarnya kita benar-benar perlu menggodok gagasan itu sendiri. Bukankah sebuah gagasan hanya merupakan hasil pemikiran satu orang? Hanya mewakili satu sudut pandang? Bukankah akan lebih lengkap bila ada orang lain yang dapat memberi masukan mewakili sudut pandang yang berbeda?


Lebih jauh lagi, kita sebenarnya perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat relatif. Yang mutlak hanyalah Tuhan. Karena itu, kebenaran yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah kebenaran relatif, kebenaran yang pasti tidak lengkap karena sebagai manusia kita memiliki kecenderungan untuk melihat dari sudut pandang kita sendiri. Maka, bila ada orang yang menyerang gagasan kita, sebetulnya orang ini sedang berusaha melihat gagasan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bila ini yang terjadi, bukankah berarti orang ini sedang melengkapi dan memperkaya gagasan kita?


Kalau demikian, ketika kita berlaku defensif terhadap ide orang lain, ada dua hal yang mungkin terjadi pada kita. Pertama, kita melihat bahwa kebenaran versi kita adalah kebenaran yang mutlak, kebenaran yang final sehingga tidak bisa dibicarakan dan dipersoalkan oleh siapa pun. Kalau ini yang terjadi, kita sebenarnya sedang mempertuhankan diri kita sendiri.


Kedua, kita mengidentifikasi diri dengan gagasan kita. Padahal keduanya sangatlah berbeda. Orang yang bijak adalah orang yang mampu melepaskan gagasan dari si pemiliknya. Orang yang bijak menyadari bahwa sebelum sebuah gagasan dilempar ke pasar, gagasan itu perlu diuji, diserang, dieksplorasi lebih dulu sampai benar-benar matang dan teruji.


Semakin kita mampu melepaskan diri dari gagasan kita semakin bebaslah kita. Dengan kemampuan ini kita dapat melakukan dialog dan diskusi tanpa beban apa pun. Keinginan kita untuk mendapatkan gagasan yang benar-benar brilian telah membuat kita mampu mengalahkan ego kita sendiri. Dan karena itu, kita akan siap untuk berubah, mengubah dan bahkan diubah.


Tanpa kemampuan seperti ini, tidak akan pernah terjadi sebuah diskusi yang menghasilkan pertukaran gagasan dan pemikiran. Tidak pernah ada peningkatan pemahaman terhadap topik yang dibicarakan ataupun pemahaman terhadap individu-individu yang terlibat. Ketika kita belum dapat melepaskan diri dari gagasan kita, maka yang akan tercipta adalah perdebatan, pertahanan diri, dan keinginan menjatuhkan pihak lawan.


Dalam situasi seperti ini kemenangan yang akan kita peroleh sebenarnya merupakan kemenangan semu, sebab ide kita tidak memperoleh pengayaan, pengembangan dan peningkatan apa pun. Maka, menang dalam hal ini sebenarnya tak jauh berbeda dari kalah.


Kemenangan yang hakiki baru bisa kita dapatkan bila kualitas ide yang berkembang jauh di atas kualitas ide ketika pertama kali dikemukakan. Akan tetapi, bila hal ini terjadi biasanya sudah tidak jelas lagi siapa yang paling banyak memberi kontribusi terhadap ide itu. Stephen Covey memberi ilustrasi menarik untuk menggambarkan hal ini, ”This is not my way, this is not your way, this is the better way.”


Hal ini sudah tentu bertentangan dengan kemauan ego. Bukankah ego ingin dikenal, dianggap lebih pandai dan lebih hebat? Padahal ketika seseorang sudah meniti tangga kearifan, faktor “apa” akan jauh lebih penting ketimbang faktor “siapa”? Dan bukankah kebahagiaan yang tertinggi hendak kita peroleh ketika kita berhasil meninggalkan kebaikan di dunia ini? Adapun mengenai faktor “siapa”, bukankah sebaiknya kita serahkan saja pada perhitungan Tuhan?


Oleh : Arvan Pradiansyah, Direktur Pengelola ILM






Baca selengkapnya...

Minggu, 07 Desember 2008

Di Zaman Yang Meleset

Kata sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.

Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—dengan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indonesia orang menyebutnya ”zaman meleset”.

Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.

Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para pakar—tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri. Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti tentang kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri dari proses jangka pendek, short runs.
Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis bahwa kesukaan Keynes akan jangka pendek hanya akibat ketakmampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa generasi. Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes seorang gay.
Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih bersekolah di Eton, Keynes hanya berpacaran dengan sesama pria, meskipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova, balerina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara tendensi seksual itu dan teori ekonominya—yang sebenarnya juga sebuah teori tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperkirakan, tapi dalam teori Keynes, manusia bukan peran yang pasif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang ”Tangan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan penawaran, para ekonom cenderung memberikan peran yang begitu dominan kepada Sang Pasar. Tapi Keynes ragu.
Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbesar, India, Keynes tak begitu percaya bahwa dengan mekanisme yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan problemnya sendiri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang perasaan optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah juga ketika tak ada dasar yang solid untuk sebuah perhitungan yang masuk akal”.
Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” adalah satu sisi dari manusia. Sisi lain adalah kapasitasnya untuk mengendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era stabilisasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian” dengan pengarahan dan kontrol atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar tercapai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya: kekuatan politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah hasil yang positif, dan perencanaan ekonomi sedikit banyak diperlukan.
Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang penulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata pengantar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theory, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepada kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Negara yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih mengemuka”.
Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah Nazi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berlebihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya. Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada mengagumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes tak ikut arus.
Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak keluarga istrinya di St. Petersburg. Mereka melarat dan menderita. Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedaluwarsa” tentang ekonomi.
Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatasan—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Manusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi kesalahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar biasa pada Keynes.
Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas warga elite masyarakat Inggris—lebih karena kepiawaian pikirannya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes lahir di Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian pucuk kehidupan intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup membuat John Maynard seorang pemuda cemerlang yang tertarik akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom. Ia kolektor seni rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak kehidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal dan valas yang, meskipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu rekan-rekannya yang satu lingkungan.
Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak jauh dari London, ia adalah tuan rumah untuk saat-saat minum teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat, semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal. Di sana secara teratur datang Leonard dan Virginia Woolf, Mary MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury Group” ini, ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; novel dan teori-teori terkenal ditulis.
Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi jiwa tumbuh pada Keynes. Ada sebuah kritik yang datang dari Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di London School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur dananya akan rudin terlanda inflasi. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya kritik yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan jangkauan tangan Negara akan mematikan kebebasan, dan akan membuat borjuasi terhambat.
Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya berbahaya, kalau dilakukan oleh satu lapisan elite yang progresif dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge, atau Harvard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan perekonomian ke arah terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidaknya, dengan kepemimpinan yang pintar dan bisa dipercaya, Negara sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk keadilan, tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang dilemparkan Keynes ke lantai itu bisa terus diingat: perlu keberanian para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di luar formula kapitalisme.
Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada 1980-an, formula kapitalisme kembali menguat. Para pemimpin tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara kesejahteraan”. Niat menyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahirkan sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara itu hampir mandek. Untuk kesejahteraan yang menyeluruh dan merata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara punya uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih hasil sendiri. Negara, sebagai lembaga publik, merasa wajib mengatur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi dengan demikian inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.
Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan Thatcher jadi Perdana Menteri Inggris. Kedua pemimpin ini memulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan, dan intervensi Negara praktis diharamkan.
Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmuran yang tampak di bawah perekonomian ala Reagan dan Thatcher, Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah ia pernah mengatakan hidup dan sejarah terdiri dari proses jangka-pendek? Ketika pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mujarab sepanjang masa, manusia lupa akan keterbatasan kecerdasannya sendiri.
Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menyebutkan di mana salahnya ”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi Reagan sesat jalan karena… ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bukan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara kesejahteraan.”
Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melanda dunia mengingatkan orang pada Keynes lagi dan bahwa ada keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan manusia.
Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para penganggur kian bertambah. Kita membaca angka-angka itu. Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat lain tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pahitnya hidup dilanda Depresi Besar dalam novel termasyhur John Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.
Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudaranya telah jadi orang-orang yang terusir, kehilangan tanah, kehilangan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya membangun murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang merajalela bersama putus asa.
Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit harapan. Menjelang akhir novel, Tom Joad menghangatkan hati kita karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam kekurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa makan, aku akan di sana….”
Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus datang dari atas.

Goenawan Mohamad








Baca selengkapnya...

Sabtu, 06 Desember 2008

Empati

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.

Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chicken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.


Oleh : Andy F. Noya








Baca selengkapnya...

Jumat, 05 Desember 2008

Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?

Empat murid yang sedang belajar meditasi saling berjanji untuk menjalankan tujuh hari dalam keheningan. Pada hari pertama dan kedua semuanya diam. Meditasi mereka berlangsung dengan khusyuk. Namun, ketika malam ketiga tiba dan nyala lampu menjadi remang-remang, salah seorang murid tidak bisa menahan diri dan berseru kepada pelayan, ”Tolong perbaiki lampu itu!”


Murid kedua heran mendengar suara temannya. ”Kita tidak boleh berbicara,” komentarnya. Melihat hal ini murid ketiga merasa jengkel, ”Kalian bodoh. Mengapa berbicara?” ia bertanya. ”Sayalah satu-satunya orang yang tidak berbicara,” murid keempat menyimpulkan.

Pembaca yang budiman, apakah yang menarik dari cerita di atas? Ternyata melihat ke luar itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan melihat ke dalam. Ini tentu saja tidak mengherankan, melihat ke luar hanya membutuhkan mata lahir, sedangkan melihat ke dalam membutuhkan mata batin. Melihat ke luar dapat kita lakukan di tengah kesibukan, sementara melihat ke dalam hanya bisa kita lakukan dalam keheningan, manakala kita melakukan dialog yang tak terputus dengan diri kita sendiri.


Yang menarik, karena kita hanya dapat fokus pada satu hal di satu waktu, maka ketika fokus ke luar, kita akan lupa untuk melihat ke dalam. Lantas, apa yang membuat kita sulit untuk melihat ke dalam?

Menurut saya, ada tiga alasan mengapa melihat ke dalam diri sendiri itu sulit. Pertama, karena kita sering merasa sudah benar. Kita tidak sadar bahwa kebenaran hanyalah posisi kita pada saat ini, dan sama sekali tidak ada jaminan bahwa kita tetap berada di posisi ini di masa mendatang. Kita lupa bahwa posisi kita bisa berubah seperti bandul yang berayun.

Selain itu, kita kerap menganggap diri kita berada di zona aman. Kita merasa diri kita baik dan bijak. Kita merasa mempunyai kedudukan yang menjamin kita berbuat baik seperti penegak hukum, aktivis antikorupsi, ahli agama, ilmuwan dan sebagainya. Semua posisi dan label ini menciptakan perasaan aman yang pada gilirannya menghasilkan sikap kurang hati-hati, lengah dan longgar. Tanpa disadari kita mengendurkan standar kita sendiri. Inilah yang membuat banyak penegak hukum melakukan aktivitas yang melanggar hukum, aktivis antikorupsi malah melakukan tindakan korupsi, ahli agama melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan agama yang diyakininya.

Kedua, kita lebih mudah melihat ke luar karena kita senang menyalahkan orang lain. Kita acap kali merasa bangga bila kita dapat menunjukkan kesalahan orang lain. Seolah-olah dengan menunjukkan kesalahan orang lain itu kita menjadi lebih baik dan lebih besar. Secara diam-diam dan tanpa disadari, kita masih memiliki penyakit ini dalam diri kita. Kita ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Kita membangun ego kita dengan cara seperti itu.

Ada sebuah cerita inspiratif mengenai tiga orang anak yang dibawa penduduk kampung ke pengadilan dengan tuduhan mencuri buah semangka. Ketiga anak itu sangat ketakutan karena berpikir akan menerima hukuman yang berat.

Ketika sampai di hadapan hakim, hakim yang dikenal sebagai orang yang sangat keras sekaligus bijaksana itu mengatakan, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silakan tunjuk jari.” Ternyata tak seorang pun termasuk hakim yang mengangkat jari telunjuknya. Maka, hakim pun langsung berkata, “Perkara ditolak.”

Jadi, sebelum bicara apa-apa, lihatlah diri Anda lebih dulu. Walaupun melihat diri sendiri memang amatlah sulit. Analoginya seperti melihat telinga Anda sendiri. Telinga itu berada sangat dekat dengan diri kita, tapi bisakah kita melihatnya? Tidak bisa, Anda membutuhkan alat, yakni cermin.

Ketiga, kita sulit melihat ke dalam diri karena kita sering merasa bahwa masalah berada di luar, bukan di dalam. Padahal, bukankah semua masalah yang ada di luar itu sebenarnya bersumber dari masalah yang ada di dalam, seperti halnya orang lebih suka mengarahkan telunjuknya ke luar tetapi lupa untuk bercermin. Bukankah semua kejahatan, permusuhan, dan peperangan bersumber pada sesuatu yang ada di dalam – dan bukan di luar – diri kita?

Karena merasa bahwa masalah ada di luar bukannya di dalam, maka perilaku kita seperti perilaku orang yang membaca buku psikologi dan bukan buku kesehatan. Ketika membaca buku psikologi kita akan cenderung menganalisis perilaku orang lain yang ada di sekitar kita. Kita mengatakan, “Ya, saya tahu, rekan kerja saya memang seperti ini, begitu pula dengan pasangan hidup saya.” Ini tentu saja berbeda dari perilaku ketika membaca buku kesehatan. Bayangkan kalau Anda membaca tulisan mengenai gejala diabetes atau jantung koroner. Siapakah yang akan langsung Anda pikirkan? Tentu saja, kita akan melihat ke dalam diri kita sendiri.

Seorang bijak pernah mengatakan, “Orang yang tahu mengenai alam semesta tetapi tidak tahu apa-apa mengenai dirinya berarti belum tahu apa-apa.” Karena itu tepat sekali Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang terkenal mengatakan, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat...” Dalam lagu yang sama ia juga berpesan, ”Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum...”


Oleh : Arvan Pradiansyah





Baca selengkapnya...

Kamis, 04 Desember 2008

Untuk Para Orang Tua, mudah-mudahan bermanfaat:

Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebetulan mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai beberapa orang cucu.

Di sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para kakek yang masih aktif itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan keluarga di masa senja usia.

Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih mempunyai anak balita, mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan untuk itu saya merasa berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya tersebut. Mengapa? Inilah kira-kira kisah mereka.

Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk urusan bisnis, dan minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui Surabaya karena akan singgah kerumah anaknya yang bekerja di sana ..

Di situlah awal pembicaraan "menyimpang" dimulai. Ia mengeluh,

"Susah anak saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja sulitnya bukan main."

"Kalau saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata jangan datang sekarang karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja tiba-tiba, yang penting saya bisa lihat cucu."

Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain.

"Kalau Anda jarang bertemu dengan anak karena beda kota, itu masih dapat dimengerti," katanya.

"Anak saya yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian segala kalau ingin bertemu."

"Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu kesepian, karena kedua anak saya jarang berkunjung, paling-paling hanya telepon."

Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan istrinya mengengok anak laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah satu kota di Amerika.

Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya, sang anak sudah bertanya,"Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?"

"Bayangkan! Kami menempuh perjalanan hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah ditanya kapan pulang."

Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka, adalah rasa kegetiran dan kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua. Padahal mereka adalah para profesional yang begitu berhasil dalam kariernya.

Suami saya bertanya,

"Apakah suatu saat kita juga akan mengalami hidup seperti mereka?" Untuk menjawab itu, saya sodorkan kepada suami saya sebuah syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry Chapin. Beberapa cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia ..

Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai 'tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkah.

Namun aku tahu betul ia pernah berkata,

"Aku akan menjadi seperti Ayah kelak"

"Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama".

Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh; Ia berkata,

"Terima kasih atas hadiah bolanya Ayah, wah ... kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola"

"Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang"

Ia hanya berkata, "Oh ...."

Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku. Ya, betul aku akan sepertinya"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu aja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah; Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya, "Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar dengan Ayah"

Dia menengok sebentar sambil tersenyum,"Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam mobil, mana kuncinya?"

"Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan kawan"

"Nak, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Yah, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Aku sudah lama pensiun, dan anakku sudah lama pergi dari rumah;

Suatu saat aku meneleponnya.

"Aku ingin bertemu denganmu, Nak"

Ia bilang,"Tentu saja aku senang bertemu Ayah, tetapi sekarang aku tidak ada waktu. Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu, dan anak-anak sekarang sedang flu. Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah, betul aku senang mendengar suara Ayah"

Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang menyadari; Dia tumbuh besar persis seperti aku;

Ya betul, ternyata anakku "aku banget".

Rupanya prinsip investasi berlaku pula pada keluarga dan anak. Seorang investor yang berhasil mendapatkan return yang tinggi, adalah yang selalu peduli dan menjaga apa yang diinvestasikannya.

Saya sering melantunkan cuplikan syair tersebut dalam bahasa aslinya, "I'm gonna be like you, Dad, you know I'm gonna be like you", kapan saja ketika suami saya sudah mulai melampaui batas kesibukannya.


Sumber: Anonymous







Baca selengkapnya...

Rabu, 03 Desember 2008

Ayam dan Bebek

Berikut ini adalah cerita kegemaran guru saya, Ajahn Chah dari Thailand timur laut.

Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan: "Kuek! Kuek!"

"Dengar," kata si istri, "Itu pasti suara ayam."
"Bukan, bukan. Itu suara bebek," kata si suami.
"Nggak, aku yakin itu ayam," si istri bersikeras.
"Mustahil. Suara ayam itu 'kukuruyuuuk!', bebek itu 'kuek! kuek!' Itu bebek, Sayang," kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
"Kuek! Kuek!" terdengar lagi.
"Nah, tuh! Itu suara bebek," kata si suami.
"Bukan, Sayang. Itu ayam. Aku yakin betul," tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.
"Dengar ya! Itu a..da..lah.. be..bek, B-E-B-E-K. Bebek! Mengerti?" si suami berkata dengan gusar.
"Tapi itu ayam," masih saja si istri bersikeras.
"Itu jelas-jelas bue.. bek, kamu. kamu.."

Terdengar lagi suara, "Kuek! Kuek!" sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya. Si istri sudah hampir menangis, "Tapi itu ayam.."

Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya, ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, "Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok."

"Terima kasih, Sayang," kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
"Kuek! Ku ek!" terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.

Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah: siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu.
Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele?
Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal "ayam atau bebek"?

Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita.
Banyak hal jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa kita benar, namun belakangan ternyata kita salah?

Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!


Oleh : Ven Ajahn Brahm



















Baca selengkapnya...

Selasa, 02 Desember 2008

Dua Pemancing Yang Hebat

Diceritakan tentang sebuah kejadian yang dialami dua orang pemancing yang sama-sama hebat, berinisial A dan B. Kedua pemancing itu selalu mendapatkan banyak ikan. Pernah kedua pemancing tersebut didatangi oleh 10 pemancing lain ketika memancing di sebuah danau. Seperti biasa, kedua pemancing itu mendapatkan cukup banyak ikan. Sedangkan 10 pemancing lainnya hanya bisa gigit jari, karena tak satupun ikan menghampiri kail mereka. Ke sepuluh pemancing amatir itu ingin sekali belajar cara memancing kepada kedua pemancing hebat tersebut. Tetapi keinginan mereka tidak direspon oleh pemancing berinisial A. Sebaliknya, pemancing berinisial A tersebut menunjukkan sikap kurang senang dan terganggu oleh kehadiran pemancing-pemancing amatir itu.

Tetapi pemancing berinisial B menunjukkan sikap yang berbeda. Ia bersedia menjelaskan tehnik memancing yang baik kepada ke-10 pemancing lainnya, dengan syarat masing-masing diantara mereka harus memberikan seekor ikan kepada B sebagai bonus jika masing-masing diantara mereka mendapatkan 10 ekor ikan. Tetapi jika jumlah ikan tangkapan masing-masing diantara mereka kurang dari 10, maka mereka tidak perlu memberikan apapun.
Persyaratan tersebut disetujui, dan mereka dengan cepat belajar tentang tehnik memancing kepada B. Dalam waktu dua jam, masing-masing diantara pemancing itu mendapatkan sedikitnya sebakul ikan. Otomatis si B mendapatkan banyak keuntungan. Disamping mendapatkan `bonus' ikan dari masing-masing pemancing bimbingannya, si B juga mendapatkan 10 orang teman baru. Sementara pemancing A, yang pelit membagi ilmu, tidak mendapatkan keuntungan sebesar keuntungan yang didapatkan oleh si B.

Pesan :
Kisah di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan akan jauh lebih bermanfaat bila diamalkan. "Hanya dengan cara kita mengembangkan orang lain yang membuat kita berhasil selamanya," kata Harvey S. Fire Stone. Karena tindakan tersebut disamping menjadikan kita lebih menguasai ilmu pengetahuan, kita juga mendapatkan keuntungan dari segi finansial, pengembangan hubungan sosial, dan lain sebagainya. "Jika Anda membantu lebih banyak orang untuk mencapai impiannya, impian Anda akan tercapai," imbuh Zig Ziglar, seorang motivator ternama di Amerika Serikat.
Bentuk pemberian tak harus berupa uang, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, melainkan juga dalam bentuk kasih sayang, perhatian, loyalitas, motivasi, bimbingan dan lain sebagainya semampu yang dapat kita berikan. "Make yourself necessary to somebody. – Jadikan dirimu berarti bagi orang lain," kata Ralph Waldo Emerson. Kebiasaan memberi seperti itu selain memudahkan kita memperluas jalinan hubungan sosial, tetapi juga membangun optimisme karena merasa kehidupan kita lebih berarti.


Sumber :
Dua Pemancing Yang Hebat oleh Andrew Ho. Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.

Baca selengkapnya...

Senin, 01 Desember 2008

Antara Kopi dan Cangkir

Oleh : Paulus Bambang W.S.

Sekelompok alumni sebuah universitas mengadakan reuni di rumah salah seorang profesor favorit mereka yang dianggap paling bijak dan layak didengarkan. Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni, diisi dengan menceritakan (baca: membanggakan) prestasi di tempat kerja masing-masing. Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya pada akhirnya bermuara pada berapa $ yang mereka punya dan kelola, mewarnai acara kangen-kangenan ini.
Jam kedua mulai muncul guratan dahi yang menampilkan keadaan sebenarnya. Hampir semua yang hadir sedang stres karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati mereka tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki. Bahwa dolar mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang mereka kendarai serta merek baju dan jam tangan yg mereka pakai. Namun di lain pihak, mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan, di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. They have money but not life.

Sang profesor mendengarkan celotehan mereka sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir. Ada yang terbuat dari kristal yang mahal, ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang dari mereka, dan ada pula gelas dari plastik murahan untuk perlengkapan perkemahan sederhana. “Serve yourself,” kata profesor, memecah kegerahan suasana. Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari bahwa sang profesor sedang melakukan kajian akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor yang senantiasa memiliki arti dan makna dalam setiap tindakannya.
“Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil cangkir yang paling mahal dan indah. Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan. Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar. Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?” sang profesor memulai wejangannya. “Now consider this: life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided,” kali ini kalimatnya mulai menekan hati. “So, don't let the cups drive you, enjoy the coffee instead,” demikian ia berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama.
Sewaktu membaca e-mail yang dikirim rekan saya Ucup, begitu panggilan akrabnya, saya ikut tertegun. Sesederhana itu rupanya. Profesor yang bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah, sedangkan politikus selalu membuat yang mudah jadi sulit. Betapa banyak di antara kita yang salah menyiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir. Tak jelas apa yang ingin kita nikmati, kopi yang enak atau cangkir yang cantik. Ada tiga tipe pekerja (baca: profesional dan pengusaha) yang sering kita lihat dalam menyiasati kopi dan cangkir kehidupan ini.
Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan, jabatan yang akhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan jumlah dan kualitas cangkir kehidupan. Paradigmanya sangat sederhana, semakin banyak cangkir yang dipunyai, semakin bercahaya. Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan mengubah rasa kopi menjadi enak. Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas cangkir. Ini yang menyebabkan terus terjadinya persaingan untuk menambah kepemilikan. Sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah, ia pun terpacu mendapatkannya. Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi dan tak ada waktu untuk membenahi kopi. Semua upaya hanya untuk bagian luar, sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan.
Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit -- artinya hidup yang terasa hambar; penuh kepahitan, dengki dan dendam; serta tak ada damai dan kebahagiaan -- mencoba menutupnya dengan menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi. Pikirannya juga sangat mudah, kopi yang tidak enak akan terkurangi rasa tidak enaknya dengan cangkir yang mahal. Rasa kurang dicintai rekan kerja, dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat. Tak merasa diperhatikan, dibungkus dengan memberikan perhatian pada korban gempa di Yogyakarta. Tak menghiraukan lingkungan, ditutup halus dengan program environmental development yang harus diresmikan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Tak memperhatikan orang lain dengan tulus, dibalut dengan program community development yang wah. Kalau tidak hati-hati, akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik bagai kubur bersih, tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau.
Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. Tipe ini tak terlalu pusing dengan penampilan cangkir. Pakaian yang mahal dan eksklusif tak mampu membuat borok jadi sembuh. Makanan yang mahal tak selalu membuat tubuh jadi sehat, malahan yang terjadi acap sebaliknya. Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan ia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras. Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang merusak martabat, sikap dan kebiasaan. Menyuap yang terus-menerus dilakukan hanya akan membuat dirinya tak mudah bersalah kala disuap. Fokus pada kopi yang enak, membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan, tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya. Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan.
Profesor hidup lain lagi pernah berpetuah, ”Take no thought for your life, what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on. Is not the life more than meat and the body than raiment?” Kalau kita tidak sadar, kita bakal terjerembap: mengkhawatirkan cangkir padahal seharusnya kita fokus pada kopi. Enjoy your coffee, my friend!


Baca selengkapnya...

Kartu Nama

Kami baru melakukan reuni. Sudah 30 tahun tak bersua. Ada yang masih sering berhubungan karena jadi kolega, ada pula yang masih bersambut ria di dunia maya. Akan tetapi, banyak yang baru bertemu setelah masa pisah dulu.

Tak ada cerita masa kini apalagi masa depan yang sulit diprediksi, semua terhanyut pada kenangan masa lalu. Potret diri masa lalu diolah kembali, diproyeksikan dalam layar lebar perbincangan bak memutar rekaman video. Seakan-akan kejadian itu baru saja terjadi. Hampir tak ada yang merasa bahwa sekarang kami sudah punya anak sebesar kami dulu. Jasad jauh berbeda dari ketika pertama bertemu. Satu hal yang sama, jiwa dan semangat masih seperti yang dulu. Lucu dan lugu, tanpa sekat dan embel-embel yang memisahkan persahabatan gaya SMA.

Empat jam memang tidak cukup untuk mengetahui siapa masing-masing di dunia nyata yang bernama the present. Bahkan, banyak yang tak sempat bertukar kartu nama. Namun yang pasti, hampir semua bertukar nomor telepon seluler. Kartu nama tidak penting, nomor ponsel lebih penting. Mengapa?

Pertama, kartu nama membuat sekat persahabatan antara yang berkedudukan tinggi dan yang berposisi rendah. Ketika yang satu hanya mampu berkarier pada jabatan manajer dan yang lain sudah bergelar CEO, maka mendadak sontak strata itu muncul. Persahabatan seolah-olah berhenti pada sekadar teman SMA. Yang merasa ada di bawah akan miris untuk kontak lagi setelah reuni itu. Pagar sekretaris dan ajudan disertai satpam terlalu sulit ditembus. Akibatnya, pertemanan menjadi terhenti. Komunikasi hanya kalau terjadi reuni lagi. Mengapa? Embel-embel posisi di kartu nama yang kadang membuat kisruh hubungan antarmanusia sebagai teman. Padahal, tidak begitu maksud yang di atas dan tidak begitu kemauan yang di bawah. Persepsi terhadap posisilah yang membuat ada jarak antara atas dan bawah.

Kedua, kartu nama membuat sekat antara yang kaya dan miskin. Embel-embel semacam pengusaha dan pemilik atau bos dan CEO menjadikan pertemanan sedikit terganggu dengan tembok nilai deposito di bank. Ditambah lagi, gemerlap berlian di jari kanan dan arloji emas ”limited edition” di tangan kiri, plus diantar dengan mobil mewah dengan sopir dan ajudan, jurang itu semakin lebar. Padahal dulu, sama-sama ke sekolah dengan sepeda butut. Dulu, satu nasi bungkus dibagi dua terasa biasa. Sekarang, muncul tirai pembatas. Kepemilikan akan kebendaan membuat gaya hidup dan bicara sangat berbeda. Tanpa sadar, tutur kata dan tutur benda yang ditunjukkan dengan penampilan luar ini membatasi kedekatan hati. Padahal, ini juga soal persepsi bahwa disparitas pendapatanlah yang membuat terjadinya peperangan dan permusuhan. Antara the haves dan the have-nots tidak mungkin disatukan. Ilusi yang hanya ada di sinetron televisi. Dalam hidup nyata, banyak yang mampu bersahabat tanpa ada sekat kekayaan.

Ketiga, kartu nama membuat sekat yang terpelajar dengan yang kurang berpendidikan. Yang bergelar Dr., MBA dan MSC menjadi lebih percaya diri tatkala diskusi soal masa lalu dibandingkan dengan juara kelas tempo dulu yang karena kemampuan ekonomi hanya mampu menamatkan tingkat D-3. Kalau soal masa kini, mungkin masih bisa dimengerti. Namun kalau soal mengapa pak guru yang satu itu dulu suka memberi PR dan yang lain tidak, tentu tidak berkaitan dengan embel-embel gelar dan ilmu baru hasil pendidikan lanjutan. Dalam diskusi santai tersebut, yang merasa tanpa gelar hanya sedikit memberi masukan, padahal dulu ia ketua kelas. Mendadak tingkat kepercayaan diri hilang, apalagi kalau dalam cas-cis-cus itu terselip banyak bahasa asing yang tak gampang dimengerti orang awam karena sahabatnya ini sudah 20 tahun berada di negeri seberang.

Ketiga sekat itu nyaris ada walau acapkali tak terucap oleh yang merasa berada pada strata lain. Kesenjangan kata ”sukses” menurut kacamata banyak orang yang selalu dihubungkan dengan position, possession dan professionalism membuat dunia persahabatan menjadi terkotak. Padahal, di hati kecil yang disebut si sukses, tidak tebersit sedikit pun bahwa ia berbeda. Akan tetapi, gaya bicara dan penampilannya tanpa sadar membuat perbedaan itu semakin nyata. Apalagi kalau sudah cerita masa kini dengan anak-anaknya yang sekolah di negera seberang dan pengalaman hidupnya yang sudah mengelilingi dunia tujuh kali, tembok pemisah menjadi semakin lebar.

Cerita lucu dan lugu menjadi asing dan kaku bagi yang lain. Bila tidak disadari, reuni membuat persahabatan jadi sirna. Dari teman menjadi sekadar pernah kenal atau pernah satu sekolah. Kartu nama memang mampu membuat sahabat baru, tapi mampu pula meruntuhkan sahabat lama. Sahabat yang baru terbentuk setelah melihat kartu nama adalah sahabat yang bisa mendapatkan sesuatu dari kartu nama itu, entah hubungan bisnis atau hubungan transaksional lain, tapi bukan hubungan teman seperti ketika maih SMA dulu.

Kartu nama dengan embel-embel itu bisa dieliminasi pengaruhnya sampai pada tahap yang tipis tatkala yang berada di atas, alias yang dianggap lebih sukses, mau berucap, ”Nih, nomor ponsel pribadi saya. Kalau ke Jakarta, jangan lupa telepon saya, saya akan jemput. Saya undang untuk tidur di rumah agar kita bisa ngobrol lebih jauh lagi.” Jangan hanya berhenti pada kartu nama, lanjutkan pada kartu lama, yaitu kartu persahabatan.

Ketika emosi ditata masih seperti dulu, maka persahabatan akan kembali mengait. Tanpa embel-embel, hidup menjadi semakin mudah diterima di semua kalangan. Tanpa penampilan yang wah, sahabat menjadi semakin banyak. Makin mau ke bawah, makin sering bertemu orang yang merindukan disebut teman.

Inilah yang juga selayaknya dijalankan para pemimpin. Ketika mau berpakaian yang sama dengan karyawan, makan dengan menu yang sama dan berbicara dengan bahasa yang sama, maka tembok dan tirai pemisah akan semakin tipis. Tidak mungkin menghilangkannya karena memang secara faktual berbeda. Namun di dalam jiwa, kita sama-sama karyawan, sama-sama ciptaan Tuhan yang tidak akan membawa apa pun atribut dan embel-embel kita ke surga.


Sumber : Sidang pembaca SWA dan penulis buku Built to Bless






Baca selengkapnya...