Rabu, 31 Desember 2008

Tahun-Tahun Kegagalan Kapitalisme?

Mungkin tidak banyak yang menyangka bahwa kondisi ekonomi berubah begitu cepat pada 2008, ketika pada malam pergantian tahun banyak pihak yang merasa begitu optimistis tren booming perekonomian tahun 2007 akan berlanjut.

Terutama untuk perekonomian yang masuk dalam kategori emerging market seperti Indonesia. Para pelaku usaha di bidang perkebunan dan pertambangan umum menikmati masa jaya mereka dengan harga komoditas yang terus melambung dan permintaan dunia yang terus melaju kencang.

Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2007 jelas ditopang oleh ekspor komoditas tersebut, selain oleh konsumsi masyarakat yang menikmati daya beli cukup kuat. Surplus neraca perdagangan juga tercipta, sekaligus menyumbang untuk cadangan devisa yang terus menguat.

Ketika optimisme tersebut masih memuncak, tiba-tiba muncul kejutan dari kenaikan harga minyak bumi internasional yang perlahan tapi pasti menciptakan rekor baru harga komoditas tersebut.

Di saat banyak pihak masih berdebat apakah harga minyak bumi sekitar USD60-70 per barel, wajar atau tidak, harga tahu-tahu sudah mendekati USD100 per barel yang dianggap sebagai batas psikologis. Di atas itu dikhawatirkan harga akan lepas kendali dan bisa mencapai berapa saja. Ternyata batas psikologis itu pun dengan mudahnya dilewati dan akhirnya mencapai tingkat harga tertinggi, USD150.

Pada saat itu, dunia berspekulasi bahwa harga mungkin saja mencapai USD200. Tren kenaikan harga minyak di luar kebiasaan tersebut tentu sangat menguntungkan pelaku bisnis minyak terutama negara penghasil dan perusahaan yang terlibat. Indonesia juga punya potensi diuntungkan, tapi lenyap begitu saja karena ternyata bukan lagi negara pengekspor bersih minyak bumi, tapi sudah berubah menjadi negara pengimpor bersih. Jumlah impor minyak Indonesia sudah berada di atas ekspor.

Untuk negara seperti Indonesia yang tergolong kecil dalam konteks perdagangan internasional, kondisi 2008 terasa menyesakkan. Di satu sisi ada berkah dari ekspor komoditas yang kuat dan makin kuat lagi dengan tren kenaikan harga minyak yang juga menaikkan harga ekspor komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan kelapa sawit.

Di sisi lain, Indonesia harus menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang akan menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan yang sangat tidak populer tapi perlu, yaitu menaikkan harga BBM, akhirnya dilakukan pemerintah dan -seperti biasa- menuai protes yang tidak sedikit. Inflasi dengan sendirinya melambung karena kenaikan harga BBM tersebut hingga menembus batas psikologis 10 persen.
Tingginya inflasi membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang sebenarnya meneruskan tren 2007, yaitu sekitar 6 persen, menjadi tergerus maknanya dengan berkurangnya daya beli masyarakat secara relatif.

Semangat yang muncul bahwa tahun 2008 adalah dimulainya kebangkitan ekonomi Indonesia, seperti yang diharapkan dari peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, pupus sudah dan berganti dengan kekhawatiran terhadap kelangsungan ekonomi Indonesia maupun dunia.

Pada saat yang sama,di belahan dunia lain yang merupakan perekonomian adidaya dunia, yaitu Amerika Serikat, muncul bibit krisis yang ternyata jauh lebih serius dari yang muncul di permukaan. Krisis kredit perumahan (subprime mortgage) yang tadinya diperkirakan mempunyai dampak terbatas dan dianggap hampir selesai pada 2007 ternyata masih mempunyai kelanjutan dan memunculkan sisi gelap dari kapitalisme serta globalisasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya.

Para pelaku sektor keuangan di AS ternyata mempraktikkan kapitalisme yang kebablasan dengan konsep dasar "money creates more money" atau menjadikan uang sebagai komoditas untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan berbagai produk derivatif yang seolah-olah kreatif dan inovatif, tapi sebenarnya sangat berisiko, kredit macet perumahan tersebut telah menyebar ke berbagai institusi keuangan terkemuka.

Tidak hanya di AS, tetapi juga di Eropa dan Asia. Kegagalan menuntaskan kredit macet perumahan tersebut akhirnya menumbangkan para pelaku keuangan besar di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama sebenarnya AS dan Eropa sudah berada di ambang resesi ekonomi.

Kebangkrutan salah satu bank investasi terkemuka di AS,Lehman Brothers,menjadi pemicu awal krisis keuangan global yang kemudian memunculkan borok utama sistem kapitalisme, yaitu ketamakan yang tidak terkendali, bahkan oleh sistem pengawasan yang canggih sebagaimana dimiliki AS.

Karena sistem kapitalisme di AS sangat bergantung pada kegiatan sektor keuangan, runtuhnya sektor tersebut sama artinya dengan runtuhnya perekonomian AS yang sebenarnya dikenal sebagai perekonomian yang boros, konsumtif, dan mulai kehilangan daya saing. Kemungkinan resesi perekonomian AS berarti kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak hanya mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat AS,tetapi juga berdampak pada seluruh masyarakat dunia.

Globalisasi yang selama ini diagung- agungkan akan menularkan kemakmuran dari negara maju ke negara sedang berkembang,malah menularkan masalah yang harus diselesaikan dan dihadapi pemerintahan masing-masing negara tanpa kecuali. Yang amat sulit diprediksi adalah kapan krisis ini berakhir alias kapan perekonomian AS akan mengalami pemulihan.
Pendapat yang banyak muncul akhir-akhir ini adalah 2010 sebagai masa pemulihan krisis di AS yang artinya sepanjang tahun 2009 adalah tahun resesi atau tahun perlambatan ekonomi di berbagai penjuru dunia. Indonesia tentu bukan pengecualian dan kita semua harus segera menyiapkan jurus-jurus menangkal dampak terburuk dari krisis.

Di satu sisi, tampaknya segala elemen bangsa sepakat bahwa memperkuat dan melindungi pasar atau perekonomian domestik adalah langkah utama menangkal dampak krisis, memanfaatkan ukuran pasar domestik Indonesia yang sangat besar. Di sisi lain, belum ada kesepakatan tentang langkah luar biasa untuk dapat menciptakan pertumbuhan yang cukup lumayan (di atas 5 persen) pada 2009.

Di saat berbagai negara mengeluarkan paket stimulus perekonomian, Indonesia tampaknya masih kelihatan "tenang". Belum terlihat keluar paket yang jelas, kecuali berbagai insentif pajak untuk beberapa komoditas, wacana tentang percepatan pembangunan infrastruktur, serta alokasi APBN untuk mengurangi kemiskinan dan dampak pengangguran.

Sayangnya hal-hal di atas masih tercerai berai dan sukar untuk menjawab apakah Indonesia sudah punya paket stimulus perekonomian dan berapa besarnya. Di dalam arena perebutan modal yang sangat kompetitif dan terkadang kejam, Indonesia harus lebih proaktif dan berani. Kalau pihak lain sudah menawarkan penjaminan penuh dana simpanan masyarakat dan pinjaman antarbank, sudah selayaknya Indonesia tidak berbeda dengan mereka sekaligus memperkuat instrumen pengawasan untuk mencegah moral hazard.

Di saat pihak lain menciptakan stimulus untuk mencegah pertumbuhan lebih rendah, Indonesia juga tidak boleh ketinggalan karena pasar modal dan pasar uang juga akan sangat terpengaruh dengan kesiapan pemerintah mendorong pertumbuhan tahun 2009.

Bagi masyarakat, paket stimulus akan menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah yang dianggapnya peduli dengan kemungkinan terburuk yang dapat menimpa mereka, dan berusaha dengan segala cara agar krisis tidak terlalu menghancurkan perekonomian rumah tangga masyarakat.

Satu hal yang pasti, tahun 2009 adalah masa introspeksi bagi semua pelaku perekonomian Indonesia untuk bertindak lebih bijaksana dan tidak terbawa ambisi berlebihan atau ketamakan yang menjadi penyakit utama kapitalisme. Good governance yang akhir-akhir ini banyak digembar- gemborkan harus dilaksanakan dengan baik dan prinsip dasar etika dalam berbisnis dan melakukan kegiatan ekonomi.

Misalnya ditunjukkan oleh prinsip ekonomi Islam,akan sangat membantu menjauhkan para pelaku dari kegiatan derivatif yang cenderung menciptakan bahaya apabila tidak dilindungi sistem pengawasan yang kuat. Tahun 2009 masih memberikan harapan bagi perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan di atas 5 persen dan inflasi sekitar 6 persen.
Namun, bila itu ingin diwujudkan, harus ada kegesitan pemerintah menghadapi dampak krisis dan kesungguhan pelaku ekonomi untuk tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Lalu, menciptakan peluang dari krisis hendaknya dijadikan motivasi utama para pelaku bisnis di Indonesia sehingga dunia usaha terus bergerak dan PHK bisa dihindarkan. (*)

Bambang PS Brodjonegoro
Guru Besar dan Dekan FEUI