Selasa, 27 Januari 2009

Ternyata . . . Hidup Ini Sederhana . . .

Ada seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut.
Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik .

Ada seorang anak melakukan magang kerja di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tersebut. Selain memperbaiki sepeda tsb, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Pegawai-pegawai lainnya menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil sepedanya, anak tersebut di tarik untuk bekerja di perusahannya.
Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif sedikit saja.

Seorang anak berkata kepada ibunya: "Ibu hari ini sangat cantik."
Ibu menjawab: "Mengapa?"
Anak menjawab: "Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah. "
Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah .

Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah.
Temannya berkata: "Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, Tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur."

Petani menjawab: "Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku."
Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja .

Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya: "Jika sebuah bola jatuh ke dalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya?"
Ada yang menjawab: "Cari mulai dari bagian tengah."
Ada pula yang menjawab: "Cari di rerumputan yang cekung ke dalam."
Dan ada yang menjawab: "Cari di rumput yang paling tinggi."
Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat: "Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana ."
Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat.

Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan:
"Tempatmu terlalu berbahaya, tinggallah denganku."
Katak di pinggir jalan menjawab: "Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah."
Beberapa hari kemudian katak "sawah" menjenguk katak "pinggir jalan" dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat.
Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja.

Ada segerombolan orang yang berjalan di padang pasir, semua berjalan dengan berat, sangat menderita, hanya satu orang yang berjalan dengan gembira.
Ada yang bertanya: "Mengapa engkau begitu santai?"
Dia menjawab sambil tertawa: "Karena barang bawaan saya sedikit."
Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah dan memiliki secukupnya saja.

You are what you think about. Beware of your mind.






Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Januari 2009

Renungan Tiga Cara Melihat uang

Apakah Anda mengalami salah satu atau beberapa gejala berikut ini?

- Kesulitan mendapatkan uang yang Anda butuhkan?
- Merasa lelah bekerja keras dan membanting tulang untuk mendapatkan uang?
- Merasa telah mengerahkan segala cara namun uang yang Anda harapkan tak kunjung datang?

Jika jawaban Anda ‘ya’ terhadap salah satu, sebagian atau semua pertanyaan di atas, mungkin selama ini Anda melihat uang dengan cara yang salah. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kisah berikut ini.

Suatu ketika,seorang tukang pembuat taman mendapatkan pesanan untuk mengerjakan taman di sebuah rumah. Segera si pembuat taman menyampaikan rincian biaya yang termasuk pembelian bahan-bahan, pembelian taman dan upah kerja.setelah terjadi tawar-menawar singkat akhirnya harga disepakati dan keesokan harinya si tukang mulai bekerja. Namun sesungguhnya si pemilik rumah belum melakukan survei harga sehingga ia tidak mengetahui berapa harga yang wajar untuk pekerjaan tersebut. Setelah pembuatan taman selesai dan pembayaran dilakukan, si pemilik rumah akhirnya menyadari bila jumlah yang dibayarkannya jauh diatas harga wajar. Si tukang memperhitungkan jumlah bahan yang dibutuhkan hampir dua kali lipat dari jumlah yang sesungguhnya dipakai. Ia menghitung tenaga kerja tiga kali lebih banyak dari yang sesungguhnya. Yang lebih parah lagi, harga tanaman yang ditagihkan empat kali lebih tinggi dari harga yang sewajarnya. Mungkin si tukang akan berpendapat, ‘Salah sendiri, kenapa tidak teliti sebelum membeli.’ Atau mungkin malah ia berpikiran, ‘Dasar rejeki, dari mana aja dah datangnya.’ Sepintas, sepertinya si tukang diuntungkan karena kecerdikannya dan si pemilik rumah dirugikan karena kebodohannya. Tapi benarkah demikian?

Si pemilik rumah, setelah menyadari bahwa dia dikerjai oleh si tukang, dengan segera mengurungkan niatnya untuk menyerahkan pekerjaan lain kepada si tukang. Si pemilik rumah bermaksud membuat tanaman yang lebih besar dari rumah lainnya. Namun kali ini dia lebih hati-hati. Selain ia melakukan survey harga, ia pun mencari tukang lain yang memberi harga lebih pantas dengan kualitas yang relative sama. Bahkan, ketika salah satu tetangganya tertarik untuk memakai jasa si tukang, si pemilik rumah langsung mengingatkan si tetangga dengan menceritakan kejadian yang dialaminya. Segera tetangga-tetangga di sekitarnya mengetahui kejadian tersebut dan akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk menggunakan jasa si tukang. Bulan-bulan berikutnya, si tukang sepi order dan harus mangkal ditempat lain di mana belum ada orang yang menyadari taktik dagangnya. Tapi, segera satu orang di tempat tersebut menyadari dan menceritakannya, maka si tukang harus kembali harus berpindah tempat. Demikian seterusnya ia akan bekerja semakin keras untuk memburu penghasilan.

Pada umumnya kita semua melihat uang dengan mata kita. Namun sesungguhnya ada dua cara lain untuk melihat uang. Selain melihat uang dengan mata, manusia juga sebenarnya bisa melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati. Namun karena sebagian besar dari kita sejak kecil telah terbiasa melihat uang dengan mata maka kemampuan kita untuk melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati menjadi menurun bahkan hampir hilang. Sampai disini mungkin para pembaca bertanya-tanya, apa sebenarnya perbedaan antara melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati? Semoga ilustrasi berikut membantu Anda.

Seorang pengamen masuk ke sebuah rumah makan. Segera ia mendatangi salah satu meja di mana sebuah keluarga sedang asyik menyantap ikan bakar. Pengamen itu pun segera memainkan gitarnya dan mulai menyanyi di dekat keluarga tersebut. Baru satu baris lagu dinyanyikan, si pengamen segera menyodorkan kaleng kosong kepada salah satu anggota keluarga tersebut. Sang Ibu yang sedang asyik menyantap hidangan dan tangannya masih berlepotan dengan kecap dan sambal dengan sangat berhati-hati dan bersusah payah merogoh uang receh dari tasnya. Kehadiran pengamen ini bukannya memberikan keceriaan tetapi sungguh mengusik ketenangan pengunjung yang hadir. Selain suara sang pengamen fals, gitar tak berirama, ia pun mendesak pengunjung untuk segera menyodorkan uang. Sebelum ada tanda-tanda pengunjung akan mengeluarkan uang, si pengamen akan mulai mengetuk-ngetukkan kaleng kosong tersebut ke meja makan. Dan sebaliknya, begitu uang diterima, si pengamen pun langsung pindah ke meja lain. Pengamen tersebut melihat uang dengan mata. Dan berapa uang yang dia dapat? Mungkin seratus perak per pengunjung. Sesekali mereka mungkin mendapatkan pengunjung yang memberi mereka lima ratus atau seribu perak.

Di tempat makan yang lain, dengan menu yang sama yaitu ikan bakar, seorang pengamen lain mengambil tempat salah satu sudut. Ia sudah melengkapi dirinya dengan microphone, gitar dan harmonica. Pada saat pengunjung mulai berdatangan, maka pengamen inipun mulai melantunkan lagu-lagu yang digemari oleh para pengunjung. Ia sangat terampil memainkan gitar dan harmonikanya di samping suara yang merdu ia lantunkan. Setiap kali ia menyelesaikan satu lagu, ia tidak pernah meminta pengunjung untuk mengumpulkan uang. Bahkan ia sebenarnya tidak pernah meminta uang sama sekali selain meletakkan sebuah kotak persis di samping ia berdiri. Apa yang terjadi? Para pengunjung yang merasa terhibur oleh kehadiran sang pengamen satu per satu mulai memasukkan uang ke dalam kotak itu. Biasanya, uang yang dimasukkan adalah uang kembalian dari membayar makanan mereka. Karena pada saat mereka memasukkan uang tersebut mereka tida direpot kan oleh tangan yang kotor karena makanan serta mereka sedang memegang uang pecahan satuan besar plus merasa terhibur dengan performance si pengamen maka pengamen kedua ini pun mendapatkan pemberian yang lebih besar dibandingkan pengamen pertama sebelumnya. Rata-rata para pengunjung memberi kan seribu perak bahkan cukup banyak yang memberikan lima ribu perak. Pengamen yang satu ini melihat uang dengan pikiran. Ia telah memikirkannya dengan teliti bahwa bila ia menyodorkan kotak uangnya pada para pengunjung, maka pengunjung akan memberi dalam terpaksa. Dan uang yang diberikan secara terpaksa biasanya kecil jumlahnya.

Di rumah makan yang lainnya lagi, dengan menu tetap ikan bakar, pengamen yang berbeda menggunakan pakaian yang rapi. Dia menyapa ramah para pengunjung dan menghampiri meja mereka satu per satu. Dengan sangat sopan dan bersahabat, ia menanyakan apakah ada lagu kesukaan pengunjung yang ingin ia nyanyikan. Bila ada, maka ia pun segera memetik gitarnya dan melantukan suaranya dengan merdu khusus untuk pengunjung tersebut. Pada setiap kesempatan ia selalu memastikan apakah para pengunjung bisa menikmati lagu yang ia nyanyikan dan apakah kehadirannya bisa menghibur dan menemani para pangunjung yang sedang menyantap hidangannya. Si pengamen di sini tidak menyiapkan kotak uang atau kaleng kosong seperti pengamen-pengamen sebelumnya. Ia hanya menggelar banner bertuliskan, “Marilah kita bersama-sama mengembalikan masa depan anak-anak yang putus sekolah.” Memang setengah dari uang si pengamen itu akan disumbangkan untuk membantu anak-anak putus sekolah disalah satu kampung. Hebatnya lagi, si pengamen tidak menetapkan harga untuk CD yang dijualnya itu. Bahkan bila ada pengunjung yang berminat membeli CD- nya namun kebetulan kehabisan uang untuk membayar makanan, maka si pengamen dengan senang hati bersedia memberikan CD-nya gratis. Para pengunjung pun beramai-ramai membeli CD si pengamen tersebut. Bahkan banyak diantaranya yang membeli lebih dari satu untuk diberikan kepada temannya sebagai hadiah. Uang yang diberikan kepada para pengunjung pun jauh lebih besar. Rata-rata mereka memberikan uang sepuluh hingga dua puluh ribu perak.

Pengamen yang ketiga ini melihat uang dengan hati. Ia tidak melihat uang sebagai penghasilannya namun sebagai ekspresi kepuasan dan keikhlasan para pengunjung rumah makan tersebut. Bahkan ia tidak memperhitungkan uang tersebut sebagai kepentingannya melainkan sebagai kepentingan orang-orang yang menggantungkan harapan kepadanya. Apakah Anda sudah melihat uang dengan hati atau pikiran? Ataukah Anda masih melihat uang dengan mata? Hati-hati! Ada julukan khusus untuk orang-orang yang selalu melihat uang dengan mata yaitu ‘mata duitan‘. Bila Anda mengalami kesulitan dalam mendapatkan uang sebagai penghasilan Anda, cobalah untuk menggunakan mata yang lain dalam melihat uang tersebut. Melihat uang dengan pikiran membutuhkan kecerdasan financial. Melihat uang dengan hati membutuhkan kecerdasan spiritual yang diantaranya meliputi keikhlasan dan kesabaran. Uang yang Anda harapkan mungkin tidak serta merta langsung Anda rasakan saat itu. Namun kalau sudah tiba saatnya, uang itu akan datang secara berkelimpahan. Jauh lebih banyak dari uang yang yang Anda peroleh secara instan. Cara melihat uang yang berbeda ternyata memberikan rejeki yang berbeda pula. Dunia ini memang mengajar kita dengan cara yang aneh. Bila kita terlalu bernafsu untuk mendapatkan uang, justru uang itu menjauh dari kita. Semoga Anda bisa mulai melihat uang dengan pikiran dan terlebih lagi dengan hati.


Disalin kembali oleh : Livia Indrawan








Baca selengkapnya...

Kamis, 22 Januari 2009

Ukuran Kaya

”Untuk memulai perjalanan menuju suatu tempat, Anda sebaiknya tahu di mana posisi Anda saat ini.” ~ Pandir Karya

”Seberapa kaya Anda sekarang?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Cukup kaya untuk ukuranku,” kata Iin.
”Masih jauh dari kaya,” jawab Toni.
”Tergantung definisi kaya itu apa dulu,” kata Herlina.
”Yah, sedang-sedang saja,” ujar Didi
. ”Kalau tabungan sepuluh jutaan sih punya,” jelas Diah.
”Dibanding Ciputra aku miskin banget,” kata Rudy.
”Di antara kawan-kawan se-SMA dulu, aku paling kaya,” gagas Yuyun.
”Sedikit lebih kaya dibandingkan ayahku ketika seusiaku,” ujar Lilik.
”Aku sih nggak kaya, tapi suamiku yang kaya,” papar Dewi.
”Cukuplah untuk hidup tanpa bekerja 20 tahun ke depan,” kata Indra.

***

Seorang perempuan dengan tinggi badan 170 sentimeter, bisa diterima umum kalau disebut ”tinggi”. Sementara seorang lelaki dengan tinggi badan yang sama, mungkin masih belum dianggap cukup ”tinggi”. Lelaki bisa dianggap ”tinggi” kalau ukurannya 175 sentimeter ke atas. Itu pun kalau di Indonesia. Di Amerika Utara, Eropa Barat, Afrika Selatan, atau di Asia Timur boleh jadi patokan untuk disebut berbadan tinggi itu berbeda-beda lagi angkanya. Jadi yang disebut ”berbadan tinggi” meski sudah terukur secara kuantitatif, tetap saja bisa dianggap relatif (tidak mutlak pasti sama 100 persen). Paling tidak batas minimum untuk disebut ”tinggi” itu masih bervariasi antar wilayah di berbagai belahan dunia ini.

Hal yang sama berlaku bila kita berbicara soal ”orang kaya”. Pengertian ”kaya” menjadi sangat relatif, kecuali kita sepakat menetapkan suatu ukuran kuantitatif sebagai kriteria atau indikator utama untuk menilai. Misalnya, kita bisa menggunakan jumlah penghasilan tahunan untuk menentukan kaya tidaknya seseorang. Dengan indikator ini, data yang pernah dikutip Handi Irawan cukup menarik untuk disimak. Sebab Konsultan Pemasaran terkemuka yang sukses mengembangkan Frontier Consulting Group itu menunjukkan data bahwa 85 persen penduduk dunia mengumpulkan penghasilan tahunan sekitar Rp 21.820.000,- (atau Rp 59.800,- per hari). Mereka yang berpenghasilan di atas Rp 254 juta per tahun (atau 695.000,- per hari), sudah termasuk dalam kelompok top 10 persen. Jika penghasilan per tahunnya naik menjadi Rp 337 juta (atau Rp 923.300,- per hari), maka orang tersebut akan masuk kelompok 5 persen yang teratas. Dan hanya sekitar 1 persen penduduk dunia yang mampu mengumpulkan penghasilan di atas Rp 475 juta per tahun (atau Rp 1.301.400,- per hari).

Jika jumlah penghasilan tahunan hendak kita jadikan indikator untuk menentukan kaya tidaknya seseorang, maka angka manakah yang akan kita pergunakan sebagai penghasilan minimum dari mereka yang kita kelompokkan sebagai ”orang kaya”? Lalu, berdasarkan angka tersebut, seberapa kayakah Anda (dan saya)?

Jumlah penghasilan tahunan bisa membantu kita mengukur seberapa kaya diri kita sekarang ini. Namun, jika indikatornya menggunakan jumlah dana likuid yang dimiliki—yakni dana yang mudah dicairkan seperti tabungan, deposito, dan produk perbankan lainnya—maka orang dengan penghasilan tinggi belum tentu pantas di sebuat ”kaya”. Sebab, jika penghasilan yang tinggi habis dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup mewah, atau untuk membantu sanak saudara yang banyak jumlahnya, atau habis untuk biaya pengobatan penyakit tertentu, maka jumlah dana likuid yang benar-benar tersimpan di bank boleh jadi tak terlalu besar.

Dalam hal ini, jika kita menyimak data-data yang sering disampaikan para praktisi perbankan, terutama yang menangani wealth management, sering disebutkan bahwa Indonesia saat ini memiliki sekitar 200.000 orang pemilik dana likuid di atas Rp 1 miliar (kurang dari 0,1 persen dari total penduduk yang 220 juta jiwa). Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 di antaranya memiliki dana likuid lebih dari Rp 5 miliar (kurang dari 0,02 persen penduduk). Dan 10.000 di antaranya bahkan memiliki dana likuid di perbankan di atas Rp 10 miliar (kurang dari 0,005 persen penduduk).

Jadi, jika dilihat dari dana likuid yang kita miliki, maka seberapa kayakah Anda sekarang ini? Selanjutnya, pada tingkat internasional, sejumlah literatur biasanya mendefinisikan orang kaya sebagai orang yang memiliki harta kekayaan bersih—bukan dana likuid—senilai minimum US $ 1 juta, atau sekitar Rp 9-10 miliar. Dengan indikator ini, lebih dari 10.000 orang Indonesia termasuk dalam kelompok orang kaya dunia (total jumlahnya 7,7 juta dari 6 miliar penduduk bumi).

Ketiga indikator di atas, yakni jumlah penghasilan, jumlah dana likuid yang dimiliki, atau jumlah harta kekayaan bersih, memang bisa dipergunakan untuk menilai seberapa dekat atau seberapa jauh kita (Anda) dari kriteria untuk disebut sebagai ”orang kaya”. Dan berdasarkan pemahaman terhadap posisi kita hari ini, bisa dipikirkan kemudian strategi yang bagaimana yang perlu ditempuh untuk meraih kekayaan yang dicita-citakan.

Namun demikian, masih ada cara lain yang mungkin lebih menarik untuk kita gunakan mengukur seberapa kaya diri kita (Anda) sekarang ini. Cara ini dipergunakan oleh Stanley dan Danko, penulis buku laris The Millionaire Next Door. Dengan menggunakan faktor umur, jumlah penghasilan tahunan, dan jumlah kekayaan bersih, kedua peneliti kaum kaya Amerika itu memberikan petunjuk dengan ”rumus” berikut : Kalikan Usia Anda dengan Penghasilan Tahunan sebelum Pajak dari semua sumber, kecuali warisan. Bagi dengan sepuluh. Angka ini, dikurangi kekayaan karena warisan, adalah kekayaan bersih yang seharusnya sudah Anda kumpulkan / miliki saat ini.

Misalnya, Indra berusia 40 tahun, berpenghasilan kotor Rp 100 juta per tahun—jumlah ini termasuk gaji, THR, bonus, bunga deposito, pendek kata semuanya. Jumlah harta kekayaan bersih Indra seharusnya adalah (40 x Rp 100 juta) dibagi 10 = Rp 400 juta. Atau bila Dewi berpenghasilan kotor Rp 80 juta per tahun, dan usianya 35 tahun, maka harta kekayaan bersih yang seharusnya dimiliki Dewi adalah (35 x Rp 80 juta) dibagi 10 = Rp 280 juta. Kekayaan bersih itu sendiri dihitung dengan menjumlah total aset (seluruh harta benda) di kurangi total hutang.

Dengan rumus di atas, apabila jumlah harta kekayaan bersih kita sekitar angka yang seharusnya, maka kita dianggap Average Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan Rata-rata). Jika harta kekayaan bersih kita dibawah angka yang seharusnya, maka kita dikelompokkan sebagai Under Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan yang Bodoh). Sementara jika harta kekayaan bersih kita ternyata jauh di atas angka yang seharusnya—setidaknya dua kali lipat dari itu—maka kita akan disebut sebagai Predigious Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan yang Luar Biasa).

Jadi, bisakah Anda mengukur seberapa kaya Anda sekarang?

Baca selengkapnya...

Sabtu, 10 Januari 2009

Kearifan segenggam garam

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal saleh dan bijak. Di suatu pagi yang basah, dengan langkah lunglai dan rambut masai, datanglah seorang lelaki muda, yang tengah dirundung masalah. Lelaki itu tampak seperti orang yang tak mengenal bahagia. Tanpa membuang waktu, dia ungkapkan semua resahnya: impiannya gagal, karier, cinta dan hidupnya tak pernah berakhir bahagia.

Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok, tenang, bibirnya selalu tampilkan senyum.

"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?" pinta Pak tua itu.
"Asin dan pahit, pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah ke tanah.
Pak Tua itu hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan beriringan, tapi dalam kediaman. Dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, masih dengan mata yang memandang lelaki muda itu dengan cinta, lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga, yang membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga tenang, dia pun berkata, "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah".
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?"
"Segar," sahut tamunya.
"Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?" tanya Pak Tua lagi.
"Tidak," jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki. Kepahitan itu anakku, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskan wadah pergaulanmu supaya kamu mempunyai pandangan hidup yang luas. Kamu akan banyak belajar dari keleluasan itu."
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat.
"Hatimu anakku, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar di hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.






Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Januari 2009

The 7 Laws of Happiness

Dua pertapa bertemu seorang wanita cantik jelita yang ingin menyeberangi sungai. Sayang, air sungai terlalu tinggi. Maka, salah seorang pertapa menggendong si wanita sampai ke seberang.

Pertapa yang lainnya menyaksikan peristiwa itu dengan penuh kemarahan. Dalam hati ia mencaci maki temannya habis-habisan. Ia tak habis pikir mengapa si kawan berani menyentuh wanita, bahkan menggendongnya menyeberangi sungai. Apakah ia lupa ajaran agamanya? Mengapa ia memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi?
Setelah hal itu berlangsung beberapa lama, akhirnya ia tak sabar lagi dan bertanya kepada sang kawan, “Mengapa kamu tega-teganya menggendong wanita itu?” Mendengar hal itu pertapa yang tadi menggendong wanita berkata keheranan, “Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita itu sejak dua jam yang lalu, tapi mengapa engkau masih terus membawanya?”
Apa sebenarnya perbedaan antara kedua pertapa tersebut? Pertapa yang menggendong wanita sesungguhnya hanyalah berniat membantu si wanita. Ia tidak memikirkan wanita itu. Begitu selesai membantu ia pun segera melupakan si wanita dan kembali berkonsentrasi pada apa yang ia lakukan. Sementara pertapa kedua selama dua jam memikirkan wanita itu dan merasa iri karena tidak berkesempatan menyentuhnya. Pertapa pertama merasa bahagia karena bisa membantu orang lain, sementara pertapa kedua diliputi rasa kemarahan yang sudah tentu menjauhkannya dari kebahagiaan.
Kebahagiaan memang berkaitan dengan kondisi pikiran kita. Kebahagiaan amat bergantung pada pikiran-pikiran yang kita pilih. Ini berbeda dari kesuksesan yang bergantung pada pilihan tindakan kita.
Ada banyak tindakan kebaikan yang tidak menghasilkan kebahagiaan. Anda dapat menolong orang, tetapi bila Anda menolong karena mengharapkan balasan, Anda tidak akan bahagia. Anda hanya akan bahagia bila Anda tulus dan ikhlas. Bila Anda tidak membalas orang yang memfitnah Anda, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda belum bahagia bila Anda masih memendam kemarahan. Anda hanya akan bahagia kalau Anda memaafkan. Bila Anda mengajarkan kebaikan kepada orang lain, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda tidak akan pernah berbahagia bila Anda melakukannya untuk pamer atau menyombongkan diri. Anda bisa saja sukses karena mengambil tindakan yang benar, tapi Anda tidak akan bahagia sebelum Anda memilih pikiran yang benar.
Kebahagiaan akan sangat tergantung pada pilihan pikiran di balik setiap tindakan kita. Saya menyebut pikiran ini dengan The 7 Laws of Happiness. Ini adalah pikiran-pikiran yang harus kita pilih agar menghasilkan kebahagiaan. Tiga pikiran pertama berkaitan hubungan dengan diri kita sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai: patience (sabar), gratefulness (syukur) dan simplicity (sederhana). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain: love (kasih), giving (memberi) dan forgiving (memaafkan). Adapun satu pikiran terakhir berkaitan hubungan kita dengan Sang Pencipta, yaitu surrender (berserah).
Sabar adalah menyadari bahwa segala sesuatu berproses. Karena itu sabar bukanlah mengurut dada, melainkan menikmati proses karena dalam hidup ini proses adalah yang terindah. Sabar menyatukan badan dan pikiran di satu tempat, masuk ke dalam kekinian dan menyatu dengan alam semesta.

Syukur adalah menyadari bahwa kita sudah memiliki ”modal” yang cukup untuk bahagia. Syukur mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang telah kita miliki, meresapinya, dan menikmati setiap detailnya.

Sementara sederhana merupakan kemampuan menangkap hakikat di balik setiap kerumitan. Sederhana bermakna menyadari bahwa segala sesuatu adalah sederhana, tapi kitalah yang sering kali membuatnya rumit. Jadi, bila syukur berfokus pada titik awal dan menyadari potensi kita sepenuhnya; sederhana berfokus pada tujuan dan masalah yang kita hadapi, serta menemukan hakikat di balik kerumitannya.
Sementara kasih adalah landasan kita untuk berhubungan dengan orang lain. Ini lebih dari sekadar menang-menang yang sebenarnya mengisyaratkan hubungan transaksional. Saya hanya mau berhubungan dengan Anda bila saya mendapatkan keuntungan yang setimpal. Kasih jauh lebih fundamental, sebab kasih tidak akan pernah menghitung-hitung kemenangan. Bukankah mengasihi saja sudah merupakan sebuah kemenangan tersendiri?
Namun, kasih hanya akan menjadi teori bila tak diwujudkan dalam bentuk memberi. Di lain pihak banyak orang yang memberi tetapi tidak dilandasi kasih. Mereka memberi karena maksud tertentu. Tentu saja bukan pemberian semacam ini yang saya maksud.

Sementara itu, memaafkan adalah bentuk pemberian yang tersulit, karena adanya mitos yang kita percaya bahwa memaafkan menunjukkan kelemahan dan hanya menguntungkan orang lain. Padahal memaafkan tidak yang diuntungkan dari memaafkan kecuali diri kita sendiri.
Pilihan pikiran terakhir adalah berserah yang berarti menyerahkan hal-hal yang tidak mampu kita kerjakan kepada Tuhan. Walaupun demikian, masih banyak orang yang salah kaprah. Mereka menyerahkan pekerjaan mereka kepada Tuhan. Padahal Tuhan tidak akan pernah melakukan apa yang kita sendiri bisa lakukan. Tuhan hanya akan melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Berserah merupakan pikiran penutup yang menjadikan kebahagiaan kita lengkap. Bukankah hakikat hidup ini struggle to surrender?

Oleh : Arvan Pradiansyah






Baca selengkapnya...