Kamis, 01 Januari 2009

The 7 Laws of Happiness

Dua pertapa bertemu seorang wanita cantik jelita yang ingin menyeberangi sungai. Sayang, air sungai terlalu tinggi. Maka, salah seorang pertapa menggendong si wanita sampai ke seberang.

Pertapa yang lainnya menyaksikan peristiwa itu dengan penuh kemarahan. Dalam hati ia mencaci maki temannya habis-habisan. Ia tak habis pikir mengapa si kawan berani menyentuh wanita, bahkan menggendongnya menyeberangi sungai. Apakah ia lupa ajaran agamanya? Mengapa ia memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi?
Setelah hal itu berlangsung beberapa lama, akhirnya ia tak sabar lagi dan bertanya kepada sang kawan, “Mengapa kamu tega-teganya menggendong wanita itu?” Mendengar hal itu pertapa yang tadi menggendong wanita berkata keheranan, “Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita itu sejak dua jam yang lalu, tapi mengapa engkau masih terus membawanya?”
Apa sebenarnya perbedaan antara kedua pertapa tersebut? Pertapa yang menggendong wanita sesungguhnya hanyalah berniat membantu si wanita. Ia tidak memikirkan wanita itu. Begitu selesai membantu ia pun segera melupakan si wanita dan kembali berkonsentrasi pada apa yang ia lakukan. Sementara pertapa kedua selama dua jam memikirkan wanita itu dan merasa iri karena tidak berkesempatan menyentuhnya. Pertapa pertama merasa bahagia karena bisa membantu orang lain, sementara pertapa kedua diliputi rasa kemarahan yang sudah tentu menjauhkannya dari kebahagiaan.
Kebahagiaan memang berkaitan dengan kondisi pikiran kita. Kebahagiaan amat bergantung pada pikiran-pikiran yang kita pilih. Ini berbeda dari kesuksesan yang bergantung pada pilihan tindakan kita.
Ada banyak tindakan kebaikan yang tidak menghasilkan kebahagiaan. Anda dapat menolong orang, tetapi bila Anda menolong karena mengharapkan balasan, Anda tidak akan bahagia. Anda hanya akan bahagia bila Anda tulus dan ikhlas. Bila Anda tidak membalas orang yang memfitnah Anda, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda belum bahagia bila Anda masih memendam kemarahan. Anda hanya akan bahagia kalau Anda memaafkan. Bila Anda mengajarkan kebaikan kepada orang lain, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda tidak akan pernah berbahagia bila Anda melakukannya untuk pamer atau menyombongkan diri. Anda bisa saja sukses karena mengambil tindakan yang benar, tapi Anda tidak akan bahagia sebelum Anda memilih pikiran yang benar.
Kebahagiaan akan sangat tergantung pada pilihan pikiran di balik setiap tindakan kita. Saya menyebut pikiran ini dengan The 7 Laws of Happiness. Ini adalah pikiran-pikiran yang harus kita pilih agar menghasilkan kebahagiaan. Tiga pikiran pertama berkaitan hubungan dengan diri kita sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai: patience (sabar), gratefulness (syukur) dan simplicity (sederhana). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain: love (kasih), giving (memberi) dan forgiving (memaafkan). Adapun satu pikiran terakhir berkaitan hubungan kita dengan Sang Pencipta, yaitu surrender (berserah).
Sabar adalah menyadari bahwa segala sesuatu berproses. Karena itu sabar bukanlah mengurut dada, melainkan menikmati proses karena dalam hidup ini proses adalah yang terindah. Sabar menyatukan badan dan pikiran di satu tempat, masuk ke dalam kekinian dan menyatu dengan alam semesta.

Syukur adalah menyadari bahwa kita sudah memiliki ”modal” yang cukup untuk bahagia. Syukur mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang telah kita miliki, meresapinya, dan menikmati setiap detailnya.

Sementara sederhana merupakan kemampuan menangkap hakikat di balik setiap kerumitan. Sederhana bermakna menyadari bahwa segala sesuatu adalah sederhana, tapi kitalah yang sering kali membuatnya rumit. Jadi, bila syukur berfokus pada titik awal dan menyadari potensi kita sepenuhnya; sederhana berfokus pada tujuan dan masalah yang kita hadapi, serta menemukan hakikat di balik kerumitannya.
Sementara kasih adalah landasan kita untuk berhubungan dengan orang lain. Ini lebih dari sekadar menang-menang yang sebenarnya mengisyaratkan hubungan transaksional. Saya hanya mau berhubungan dengan Anda bila saya mendapatkan keuntungan yang setimpal. Kasih jauh lebih fundamental, sebab kasih tidak akan pernah menghitung-hitung kemenangan. Bukankah mengasihi saja sudah merupakan sebuah kemenangan tersendiri?
Namun, kasih hanya akan menjadi teori bila tak diwujudkan dalam bentuk memberi. Di lain pihak banyak orang yang memberi tetapi tidak dilandasi kasih. Mereka memberi karena maksud tertentu. Tentu saja bukan pemberian semacam ini yang saya maksud.

Sementara itu, memaafkan adalah bentuk pemberian yang tersulit, karena adanya mitos yang kita percaya bahwa memaafkan menunjukkan kelemahan dan hanya menguntungkan orang lain. Padahal memaafkan tidak yang diuntungkan dari memaafkan kecuali diri kita sendiri.
Pilihan pikiran terakhir adalah berserah yang berarti menyerahkan hal-hal yang tidak mampu kita kerjakan kepada Tuhan. Walaupun demikian, masih banyak orang yang salah kaprah. Mereka menyerahkan pekerjaan mereka kepada Tuhan. Padahal Tuhan tidak akan pernah melakukan apa yang kita sendiri bisa lakukan. Tuhan hanya akan melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Berserah merupakan pikiran penutup yang menjadikan kebahagiaan kita lengkap. Bukankah hakikat hidup ini struggle to surrender?

Oleh : Arvan Pradiansyah