Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Oktober 2017

Integritas

Apa Gunanya Integritas?

Dua belas tahun lalu, seorang wanita pergi kuliah di Prancis. Dia harus sambil kerja dan sambil kuliah. Dia perhatikan bahwa sistem transportasi di tempat menggunakan sistem "otomatis", artinya anda beli tiket sesuai dengan tujuan melalui mesin. Setiap perhentian kendaraan umum pakai cara "self-service" dan jarang sekali diperiksa petugas. Bahkan periksa insidentil oleh petugas pun hampir tidak ada.

Setelah dia temukan kelemahan sistem ini, dengan kelicikannya dia perhitungkan kemungkinan tertangkap petugas karena tidak beli tiket sangat kecil. Sejak itu, dia selalu naik kendaraan umum dengan tidak membayar tiket. Dia bahkan merasa bangga atas kepintarannya. Dia juga menghibur dirinya karena dia anggap dirinya adalah murid miskin, dan kalau bisa irit ya irit. 

Namun, dia tidak sadar dia sedang melakukan kesalahan fatal yang akan mempengaruh karirnya... 

Setelah 4 tahun berlalu, dia tamat dari fakultas yg ternama dengan angka yang sangat bagus. Ini membuat dirinya penuh dengan keyakinan. Dia mulai memohon kerja di perusahan yang ternama di Paris dengan pengharapan besar untuk diterima. Pada mulanya, semua perusahan ini menyambut dia dengan hangat. 

Namun beberapa hari kemudian, semuanya menolak dia untuk berkerja. Kegagalan yang terjadi berulang kali membuat dia sangat marah. Dia mulai menganggap perusahan-perusahan ini rasis, tidak mau terima warga negara asing. Akhirnya, dia memaksa masuk ke departemen tenaga kerja untuk bertemu dengan managernya. Dia ingin tahu alasan apa perusahan menolak bekerja. 

Ternyata, penjelasannya diluar sangkaan dia... 

Berikutnya adalah dialog mereka... 

Manager: Nona, kami tidak rasis, sebaliknya kami sangat mementingkan mu. Pada saat anda mohon bekerja di perusahan, kami terkesan dengan pendidikan dan pencapaian anda. Sesungguhnya, berdasarkan kemampuan, anda sebenarnya pekerja yg kami cari-cari. 

Wanita : Kalau begitu, kenapa perusahan tidak terima aku bekerja? 

Manager : Karena kami periksa sejarahmu, ternyata anda pernah tiga kali kena sanksi tidak membayar tiket saat naik kendaraan umum. 

Wanita: Aku mengakuinya, tapi masa karena perkara kecil ini perusahan menolak pekerja yg mahir dan banyak kali tulisannya terbit di majalah? 

Manager: Perkara kecil? Kami tidak anggap ini perkara kecil. Kami perhatikan pertama kali anda melanggar hukum terjadi di minggu pertama anda masuk di negara ini. Petugas percaya dengan penjelasan bahwa anda masih belum mengerti sistem pembayaran. Diampuni, tapi anda tertangkap 2 kali lagi setelah itu. 

Wanita: Oh karena tidak ada uang kecil saat itu. 

Manager: Tidak, tidak. Kami tidak bisa terima penjelasan anda. Jangan anggap kami bodoh. Kami yakin anda telah melakukan penipuan ratusan kali sebelum tertangkap. 

Wanita : Itu bukan kesalahan mematikan kan? Kenapa harus begitu serius? Lain kali saya berubah kan masih bisa. 

Manager : Saya tidak anggap demikian. 
Perbuatan anda membuktikan dua hal: 
1. Anda tidak mengikuti peraturan yang ada. Anda pintar mencari kelemahan dlm peraturan dan memanfaatkan untuk diri sendiri. 

2. Anda tidak bisa dipercaya. Banyak pekerjaan di perusahan kami tergantung pada kepercayaan. Jika anda diberikan tanggung jawab atas penjualan di sebuah wilayah, maka anda akan diberikan kuasa yang besar. Demi ongkos, kami tidak sanggup memakai sistem kontrol untuk mengawasi pekerjaanmu. Perusahan kami mirip dengan sistem transportasi di negeri ini. Oleh sebab itu, kami tidak bisa pakai anda. Saya berani katakan, di negara kami bahkan seluruh Eropa, tidak ada perusahan yg mau pakai anda. 

Pada saat itu, wanita ini seperti bangun dari mimpinya dan sangat menyesal. Perkataan manager yang terakhir membuat hatinya gentar. 

Moral dan etika bisa menutupi kekurangan IQ atau kepintaran. Tetapi IQ atau kepintaran bagaimanapun tidak akan bisa menolong etika yang buruk.....

Baca selengkapnya...

Sabtu, 26 Maret 2016

Cuma Saya Yang Bisa?

Ada satu istilah bahasa Belanda yang cukup populer di tengah masyarakat kita: minderwardeg, yang seringkali diringkas menjadi minder.

Secara antropologis, konon, karena sejarah kemerdekaan negeri ini yang banyak diisi cerita penjajahan (tiga setengah abad oleh Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang), bangsa kita mesti menanggung sifat tak percaya diri, gampang kagum kepada bangsa lain, dan kurang menghargai kemampuan dan karya diri sendiri.

Inilah ciri-ciri sifat minder, yang secara ilmiah disebut sebagai inferiority complex.

Selain inferiority complex, ada juga yang mengidap superiority complex. Kebalikan dari mereka yang minder, penyandang superiority complex justru sangat yakin dengan kemampuan dirinya sendiri, merasa lebih hebat dari orang lain, bahkan tak bisa tertandingi atawa tersaingi oleh mereka.

Benak orang-orang seperti ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran seperti: “Cuma saya yang bisa!”, “Hasil sayalah yang terbaik!”, atau “Karya orang lain tidak akan sehebat punya saya!”.

Sesungguhnya, tipologi di atas bukanlah sekadar sebuah gambaran teoretis. Kita bisa menemukan orang-orang seperti itu dalam keseharian kehidupan, termasuk dalam konteks pekerjaan. Atau, jangan-jangan tanpa disadari kita juga memiliki sindrom serupa?

Seorang teman memberikan kiat praktis untuk mengidentifikasi kelompok ini. Katanya, jika bekerjasama ataupun memimpin sebuah tim, penyandang superiority complex tak akan mudah berbagi atau mendelegasikan pekerjaan. Bukan karena tak tahu manfaat dan cara melakukan delegasi, namun semata-mata ada mental-block yang menyelimuti pikirannya.

Ada tiga mental-block yang lazim menjadi penghalang seseorang melakukan delegasi.

Pertama, mental-block “I don’t have time to delegate!”. Karena merasa dikejar oleh pekerjaan yang serba penting dan mendesak, ia seolah tak punya waktu untuk melakukan diskusi dan delegasi kepada orang lain.

Merasa begitu sibuknya, yang bersangkutan dengan spontan berpikir: “Boro-boro mengurusi orang lain, menangani diri sendiri saja sudah kewalahan.”

Lebih hebat

Kedua, mental-block “I will lose my control and credit points”. Melakukan delegasi alias pembagian tugas dan tanggungjawab pada dasarnya memberi kesempatan pada orang lain untuk belajar lewat pengalaman dan penugasan langsung.

Itu sama artinya memberi peluang ke mereka untuk bertumbuh lebih cerdas, terampil, dan kompeten.

Bukannya tak mungkin, melalui proses pembelajaran seperti itu, orang lain atau bawahan bisa menjadi lebih hebat dari sang pimpinan. Akhirnya, dia sanggup bekerja secara mandiri dengan kualitas dan reputasi yang baik. Dan, kemandirian bekerja serta reputasi yang cemerlang, secara potensial bisa menjadi ancaman psikologis bagi seorang pimpinan yang tidak siap.

Mengapa? Karena ia akan merasa tidak dibutuhkan dan diakui lagi. Ia akan merasa kehilangan otoritas terhadap orang lain, dan credit-points yang lahir dari kerja tim seolah-olah akan diberikan ke bawahan atau rekan kerjanya, bukan kepada dirinya lagi.

Yang terakhir atau ketiga, sekaligus juga mental-block yang lazim muncul dengan diam-diam di kepala seorang pimpinan, yakni mental block “I can do it better!”.

Mental-block ini seringkali muncul secara naluriah (dan tanpa disadari) oleh para penyandang superiority complex. Kendala mental ini membuatnya merasa jadi superman yang sangat self-centric.

Para penyandang superiority complex dengan kendala mental ini menganggap dirinya sebagai satu-satunya orang yang mampu melakukan tugas pekerjaan dengan sempurna.

Hanya dirinya yang tahu segala informasi dan pengetahuan, sekaligus cuma dirinya yang cakap melakukan tugas dan tanggungjawab pekerjaan. Tidak ada orang lain yang sanggup mengikuti, apalagi menandingi kemampuan miliknya.

Kendala mental seperti ini membuat seseorang begitu bangga dengan kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Sekaligus dia sensitif terhadap ketidakmampuan dan wanprestasi dari orang lain.

Dalam bahasa pergaulan, mental block ini membuat orang cenderung menjadi narsistik, sekaligus juga ge-er alias gede rasa.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah posting seorang sahabat di media sosial. Begini bunyinya, “Even you have made the difference in life, it doesn’t mean that the world will depend on you. No one is indispensable.”

Sekalipun kita sudah begitu hebat dan banyak berjasa dalam kehidupan, bukan berarti bahwa kehidupan di seluruh dunia akan bergantung kepada kita. Mengapa? Karena, dalam hidup memang tak ada orang yang tak tergantikan.

Alam semesta memiliki kearifannya sendiri.


Ekuslie Goestiandi

Baca selengkapnya...

Selasa, 14 Januari 2014

Dunia Separuh Separuh...

Ya Chun pelajar di Tsung Lin University Fo Guang Shan tidak suka dengan dosen pembimbingnya. Dia selalu menolak instruksi dan nasehat gurunya itu. Suatu hari Master Hsing Yun, pimpinan universitas, memanggilnya. 

“Dengar-dengar kamu ada masalah dengan dosen pembimbingmu. Apakah yg membuatmu kurang puas terhadap beliau ?". 

Ya Chun tidak melewatkan kesempatan ini, setengah jam lamanya dia mengutarakan kejelekan dosennya. Master Hsing Yun mendengarkan dan tiada hentinya minta dibeberkan fakta kejelekan dosennya dan saran-sarannya. Setelah Ya Chun kehabisan ide tentang saran-saran perbaikan untuk sang dosen, akhirnya Master Hsing Yun berkata, “Kalau sudah selesai, sekarang ganti saya yang bicara, ya ?” Ya Chun manggut-manggut. 

Master Hsing Yun berkata, “Kamu ini adalah orang yang berkarakter membedakan hitam putih secara jelas, memandang perbuatan buruk layaknya musuh” Ya Chun mengangguk dan berkata dengan bangga, “Shifu, Anda benar. Saya memang orang seperti itu !” Master Hsing Yun melanjutkan, “Kamu tahu, dunia ini adalah dunia yang separuh separuh. Langit separuh, bumi separuh. lelaki separuh, perempuan separuh, bajik separuh, jahat separuh, jernih separuh, keruh separuh. Sangat disayangkan, apa yang kamu miliki adalah dunia yang tidak utuh”. 

Ya Chun tercengang sekian saat, lalu bertanya, “Kenapa Shifu mengatakan yang saya miliki adalah dunia yang tidak utuh ?". 

Master Hsing Yun menjawab, “Karena yg kamu cari adalah kesempurnaan, hanya bisa menerima sisi sempurna yg hanya separuh saja, tidak bisa menerima ketidak sempurnaan yg merupakan sisi separuhnya lagi. Oleh karena itu, yg kamu miliki adalah dunia yg tidak utuh, tidak akan pernah menjadi bulat utuh”.

Ya Chun seketika itu juga merasa limbung, tidak tahu harus bagaimana. Dia lalu bertanya, “Lantas, saya harus bagaimana ?”. 

Master Hsing Yun dengan welas asih menjawab, “Belajar toleran terhadap dunia yang tidak sempurna, maka kamu akan memiliki sebuah dunia yang utuh”.

Baca selengkapnya...

Sabtu, 04 Januari 2014

Sudut Pandang

Di sebuah kantor Anne dan Stella terlibat dalam pembicaraan berikut: 

Anne: Hi Stella, apa kabar? Kemarin merupakan malam yang sempurna bagi saya bagaimana dengan dikau sahabatku? 

Stella: Aduh Anne, semalam itu bencana. Suami saya telat pulang kerja, makan malam terburu-buru dan dua menit kemudian dia tertidur di depan TV. Bagaimana dengan kamu Anne? 

Anne: Wah kalo saya sih semalam mengalami pengalaman yang luar biasa. Suami saya pulang kerja lalu mengajak saya keluar untuk makan malam yang romantis. Setelah makan malam, kita berjalan selama sejam. Ketika pulang dia nyalakan lilin-lilin di sekeliling rumah. Sungguh seperti cerita di dongeng. 

Disaat yang bersamaan suami mereka juga terlibat dalam pembicaraan. 

Suami Anne: Hi Steve, apa kabar? Gimana keadaanmu semalam? 

Suami Stella: Luar biasa Andy. Kemarin malam setibanya saya di rumah, makan malam sudah tersedia di meja makan, saya makan dengan lahapnya lalu jatuh tertidur sesudah itu. Kalo kamu gimana? 

Suami Anne: Malapetaka Steve. Ketika pulang, tidak ada makan malam, PLN memutuskan listrik rumah saya karena saya lupa membayarnya. Jadi saya ajak Anne makan diluar yang ternyata harganya mahal sekali sehingga uang saya tidak cukup untuk bayar taxi pulang. Kami pulang jalan kaki kurang lebih sejam. Ketika tiba di rumah karena tidak ada listrik, saya terpaksa harus menyalakan lilin di semua sudut rumah. Huh sungguh pengalaman yang buruk. 

Kejadian yang sama dikisahkan dua orang yang berbeda menghasilkan dua cerita berbeda. Tergantung bagaimana sudut pandang kita terhadap suatu masalah atau hal tersebut. 

Sudut pandang kita akan menentukan komunikasi kita. Komunikasi bisa positif dan bisa juga negatif, itu tergantung bagaimana kita memutuskan kemana sudut pandang kita akan membawa kita.

Baca selengkapnya...

Kamis, 05 September 2013

Kera dan Ikan

Pada suatu masa hiduplah 2 makhluk bersahabat, seekor kera dan seekor ikan. Sang kera hidup di atas sebatang pohon yang tumbuh di pinggir sungai, tempat hidup si ikan. Mereka sering meluangkan waktu untuk ngobrol dan bertukar pikiran bersama-sama. Sungguh persahabatan yang indah. 

Hingga pada suatu saat, kera melihat sesuatu di kejauhan. Ya! Banjir bandang di hulu sungai dan siap segera menerjang ke tempat yang lebih rendah! Tempat tinggal kera dan ikan! 

Segera sang kera melompat ke bawah, memanggil sang ikan seraya bekata, “Hoi ikan!! Dimana kau?” “Aku di sini kera”, jawab sang ikan. “Cepat kemari… Banjir bandang melanda dari hulu sungai sana. Cepatlah kau ikut aku. Biar kuselamatkan kau. Akan kuamankan kau bersamaku di puncak dahan tertinggi pohon ini”. 

“Tapi kera…” Jawab sang ikan… “Sudahlah!! Tak ada waktu untuk berdebat! Yang penting kau aman,” tegas sang kera tanpa menunggu penjelasan ikan. 

Tak lama, banjir bandang mendera semua benda di permukaan rendah di seputar sungai satu jam lamanya. Sampai akhirnya banjir surut. Selama itu pula kera memeluk erat ikan sahabatnya. 

Setelah reda, sang kera melompat kembali ke bawah, hendak mengembalikan sang ikan ke sungai. “Hai ikan, bangun!” serunya. Tapi ikan tetap diam, "Ikan… Ikan… bangunlah! Banjir bandang sudah berlalu. “IKAN!!!… IKAN!!” Kera berseru keras. 

Tersadarlah ia bahwa… Ikan telah mati. Mati akibat pelukannya. Manalah ada ikan biasa yang bisa hidup di luar air? Tapi kera tak memberi kesempatan sang ikan menjelaskan. Dengan cara pandangnya sendiri, ia hendak menyelamatkan ikan. Namun bukannya selamat, malah sang ikan malah mati kekeringan. 

Seringkali dalam kehidupan ini kita gegabah menentukan sesuatu yang terbaik bagi orang lain. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk orang lain. Mencoba menolong orang lain jika dilakukan dengan cara yang salah justru bisa menghancurkan orang yang kita tolong.

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Agustus 2013

Pelajaran Berharga Dibalik Mengantri

Seorang guru di Australia pernah berkata,“Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai MATEMATIKA. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai MENGANTRI."

Sewaktu ditanya,“Mengapa? Inilah jawabannya, 

1. Karena hanya perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk melatih anak bisa matematika. Sementara perlu waktu 12 tahun atau lebih untuk melatih anak agar bisa mengantri dengan baik dan benar. 

2. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika, kecuali TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari siswa yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak. 

Memang ada pelajaran berharga dari MENGANTRI? Ya ! Banyak sekali pelajaran berharganya, yakni : 

1. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, harus datang lebih awal dan itu butuh persiapan lebih awal; 

2. Anak belajar bersabar. Menunggu giliran tiba, terutama jika ia di antrian paling belakang; 

3. Anak belajar menghormati hak orang lain. Yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu dan tidak merasa dirinya yang paling penting; 

4. Anak belajar berdisiplin. Aturan mengantri adalah tidak menyerobot dan itu berarti tidak mengambil hak orang lain; 

5. Anak belajar kreatif. Untuk mengatasi kebosanan saat mengantri merangsang berpikir untuk melakukan suatu aktivitas (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri); 

6. Anak bisa belajar bersosialisasi. Menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian; 

7. Anak belajar tabah. Menjalani proses dalam mencapai tujuannya, sehingga tidak melegalkan cara-cara kotor dalam mencapai tujuan.

Baca selengkapnya...

Minggu, 18 Agustus 2013

Merdeka Dari Korupsi

Selalu ada kebanggaan yang datang menyelinap setiap merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah 68 tahun kita rayakan ini, pasti bukanlah harga yang murah. Bahkan di setiap tarikan napasnya, ada jejak pengorbanan, yang setiap saat pula mampu membangkitkan detak-detak nasionalisme. Tetapi sesungguhnya, arti kemerdekaan ini tidak hanya bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga memuat cita-cita luhur untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negeri ini dilahirkan untuk melindungi, mencerdaskan, dan mensejahterakan rakyatnya. 

Nikmat dari kemerdekaan sejatinya adalah adanya penghargaan terhadap hak yang sama bagi setiap warga negara untuk menghirup kebebasan, sekaligus memeroleh jaminan pendidikan, jaminan sosial, dan penghidupan yang layak. Publik juga berhak menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berpolitik tanpa disertai rasa takut. Dan yang tidak kalah pentingnya, negeri ini harus bebas dari korupsi. Korupsi yang telah sedemikian rupa menjajah kita, telah merampas hak-hak bangsa ini untuk sejahtera bersama-sama. 

Sungguh demokrasi yang kita bangun sebagai manisfestasi kemerdekaan, justru melupakan tujuan dasar filosofi yang telah ditanamkan pendiri bangsa ini, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akibatnya ketika keran keterbukaan dibuka lebar, yang terjadi adalah kebebasan yang melupakan kewajiban. Demokrasi dipahami sebatas prosedural untuk memburu kekuasaan dan kekayaan. 

Soal nilai inilah yang kita lupa. Kita tidak mengembangkan kultur dan etika demokrasi, karena kita hanya cenderung mengubah undang-undang, struktur, dan lembaga. Akibatnya bukan kultur yang membaik, tetapi justru budaya korupsi yang beranakpinak. Sungguh ironis, demokrasi yang dibangun untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan memberikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat negeri ini, justru melahirkan koruptor-koruptor yang datang silih berganti. 

Perayaan kemerdekaan ini semestinya memang tidak sekadar membangun nasionalisme, tetapi juga peneguhan tekad bersama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan tidak terus menerus merusak diri sendiri. Berhentilah korupsi. Karena korupsilah yang membuat Indonesia semakin miskin. Dan Indonesia tidak sepenuhnya merdeka jika korupsi belum benar-benar tumpas. Sungguh akan sangat membanggakan jika melihat negeri ini merdeka dari korupsi, dan kemerdekaan yang kita peringati ini membawa semua rakyat Indonesia sejahtera. 


smartfm jakarta

Baca selengkapnya...

Sabtu, 10 Agustus 2013

Menjadi Ayah yang Sebenarnya

Ronny, 12 tahun, baru saja lulus sekolah dasar. Ia ingin sekali bercerita tentang sesuatu, tetapi bukan pada ibunya. Ia pun mencari pamannya, adik dari ibunya. Ronny bukan tidak punya ayah, tapi belakangan ayahnya jarang pulang dan sudah hidup lama terpisah dengan keluarganya. 

Ternyata, Ronny hanya sekadar ingin curhat tentang cewek yang lagi ditaksirnya. Mungkin dia risau karena setelah lulus sekolah dasar mereka tidak akan lagi bersama karena akan melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pilihannya masing-masing. 

Tapi, sang Ibu gusar ketika mengetahui anak sulungnya itu memilih bercerita kepada pamannya ketimbang dirinya. Fenomena apa ini? 

Menurut psikolog Tika Bisono, Ronny tengah tumbuh dan butuh sosok ayah untuk bercerita apapun tentang masalah-masalah pria. “Ronny menganggap hanya pria lah yang bisa diajak bicara soal lelaki. Sekali pun ada ibu, dia tetap membutuhkan pria, walaupun akhirnya dia mau membagi curahan hatinya pada pamannya. 

Sosok ayah memang penting berperan dalam diri seorang anak terutama yang sedang tumbuh dan berkembang,” ujarnya. Tika mengatakan seiring dengan kehidupan modern yang membuat manusia makin sibuk, banyak anak mengalami perasaan seperti Ronny, tidak merasa memiliki ayah karena ayahnya terlampau sibuk di luar. Jika pun ayah ada di rumah, mereka tidak sempat bermain atau berkomunikasi. “Padahal anak, selalu ingin mengikuti gaya ayahnya sebagai tokoh panutan,” sambung Tika. 

Ungkapan senada dilontarkan Irwan Rinaldi, seorang pendamping Fathering Skill dan sudah mendedikasikan pilihan hidupnya untuk mensosialisasikan peran ayah atau fathering. Menurut dia, peran ayah dibutuhkan manakala anak mencari jati diri. “Biasanya ayah dijadikan hero oleh anak lelakinya,” tegas dia. Melalui Sahabat Ayah, Irwan bersama Bendri Jaisyurrahman dan Yully Purwanti berupaya mensosialisasikan ‘keayahan’ yang dilakukannya setiap waktu, baik di dalam maupun luar kota, bahkan sampai ke luar negeri di berbagai komunitas ayah. 

Namun, kata Irwan, persoalan keayahan menjadi lintas segmen. Artinya, ini tidak mengenal kaya atau miskin, berpendidikan ataupun tidak. “Peran ayah demikian besar dalam membina watak anak sejak usia dini,” katanya. 

Bagian Ayah 

Berdasarkan sebuah penelitian, peran ayah sangat penting dalam membangun kecerdasan emosional anak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga, sekaligus pengambil keputusan utama dalam keluarga memiliki posisi penting mendidik anak. 

Seorang anak dibimbing ayah yang peduli, perhatian dan menjaga komunikasi akan cenderung berkembang menjadi anak lebih mandiri, kuat, dan memiliki pengendalian emosional baik dibandingkan anak yang tidak memiliki ayah seperti itu. 

Hal ini bukan berarti mengabaikan peran sama yang dimiliki oleh seorang ibu. Secara natural biasanya seorang ibu akan terlibat aktif dalam membesarkan anaknya, sedangkan seorang ayah belum tentu mengambil peran yang sama. 

Dalam masyarakat kita, disadari atau tidak ada semacam perbedaan antara peran ayah dan ibu. Sering kali seorang ayah dipersepsi cukup baik jika telah bertanggung jawab untuk pemenuhan urusan keuangan keluarga. Adapun urusan -pengasuhan dan pendidikan anak lebih banyak dipegang oleh seorang ibu. 

Secara umum tugas-tugas tadi dianggap sebagai kewajiban alami seorang ibu. Sedangkan ayah, cukup melakukannya sesekali dan itu pun kalau dia punya waktu di tengah kesibukan pekerjaannya. Tak jarang seorang ayah yang kelelahan dan tertekan di -pekerjaan malah membawa kemarahan dan ketidaknyamanan bagi anak-anaknya di rumah. 

Anak yang ingin mengajak bermain dianggap mengganggu istirahat, anak yang ingin dekat secara emosional dianggap terlalu manja, atau anak yang bertanya dijawab seadanya sehingga akhirnya akan timbul jarak antara seorang ayah dengan anaknya. 

Kampanye 

Yully Purwanti, Public Relations PT Mitra Adiperkasa, merasa terpanggil untuk mengampanyekan peran ayah. Di luar tugasnya sebagai sorang humas, ia keliling bersama dua rekannya Iwan Rinaldi dan Bendri Jaisyurrahman aktif mendekatkan diri ke berbagai komunitas. 

Ketiganya bahkan sempat ikut workshop tentang keayahan di Singapura. Irwan juga aktif menerbitkan buku-buku yang erat kaitannya dengan peran ayah di keluarga. Menurut Yully, beragam yang bisa dilakukan ayah untuk mempererat hubugan keluarga. Misalnya ayah dapat memberikan stimulasi keingintahuan anak. 

“Bantulah anak untuk berpikir tidak biasa (out of the box) dalam mengerjakan tugas sekolah atau non sekolah lebih kreatif dan menarik,” ungkapnya. Sebagai orang tua, ungkap dia, jangan terlalu mengatur kehidupan mereka. Orang tua sebaiknya mengajak anak berimajinasi dan membatasi waktu menonton televisi karena media tersebut dapat membatasi perkembangan imajinasi. 

“Ajaklah anak-anak lebih banyak membaca. Misalnya dengan melakukan kegiatan membaca bersama keluarga,” tutur Yully yang senang membaca buku-buku perkembangan anak ini. 

Selain itu, perhatikan passion mereka. Minat yang kuat, datang dari hati pada suatu aktivitas atau hobi. “Orang tua tentu tahu bahwa ada banyak bentuk passion, tapi bagi seorang anak, passion umumnya hadir dalam bentuk kecintaan pada hobi tertentu saja seperti olah raga, permainan atau aktivitas,” katanya. 

Sementara orang tua, kata Yully, belum bisa menduga atau menentukan apa yang menjadi passion anak. Maka, tugas orang tua menemukannya dengan memberikan kesempatan beraktivitas bersama. Yully menambahkan bahwa anak juga perlu dukungan. Anak-anak membutuhkan dukungam ayah dan ibu. 

Namun, sering kali mereka takut untuk meminta. Dalam kondisi ini, tugas orangtua menjelaskan bahwa sekecil apapun mampu membuat perbedaan yang sangat besar pada kehidupan seseorang. “Contohkan kepada anak-anak untuk memberikan dukungan pada orang-orang di sekitarnya,” ujarnya. 

Terakhir agar orangtua bisa lebih dekat dengan anak adalah mengucapkan kata maaf. Mengatakan kata maaf memang tidak mudah dilakukan siapapun, khususnya anak-anak. “Sebagai orangtua, tentu dapat mengajarinya meminta maaf dengan memberi contoh,” kata dia. 

 
Sulha Handayani

Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Agustus 2013

Moment of Truth

Di sebuah resto di San Francisco, ada seorang konsultan yang heran melihat keramaian Chinese Restaurant Lie Po. Dia mencoba makan di sana pada sebuah siang yg ramai sekali. 

Pelayan dengan ramah melayaninya dengan bahasa Inggris yang masih saja tidak fasih. Sang konsultan memesan Orange Chicken with rice dan meminta minuman Coke Zero. 

Pelayan berkata, “Maaf, kami kontrak dengan Pepsi dan tidak menjual produk Coca Cola. Apakah dapat kami tawarkan Diet Pepsi?” Sang konsultan menolak dan meminta air putih saja. 

Ketika dia sedang makan, tiba-tiba ada seorang berpakaian rapi membawa Coke Zero dan es batu dan menaruh di depan pelanggan itu dan berkata sambil tersenyum, “Tadi anda menginginkan Coke Zero kan?” Lalu berlalu. 

Sang konsultan meminum dengan puas dan memanggil pelayan yang tadi melayaninya. Pelayan datang dan tersenyum melihat Coke Zero ada di sana. Pelayan: “Nah sudah ada minuman kesukaan Bapak kan?” Pelanggan: “Tadi katanya tidak ada? Ini kok ada?” 

Pelayan: "Benar, baru saja kami belikan di pasar swalayan seberang.” “Restoran lagi ramai, siapa yang membelikan?” “Manager kami, dia tidak terlalu sibuk di belakang.” 

“Lho, katanya kontrak dengan Pepsi?” “Ya, kalau menjual Coca-Cola tidak boleh, tapi kalau memberi gratis kepada pelanggan, saya kira boleh,” jawabnya sambil tersenyum. 

Memberi pelayanan yang baik adalah hal yang umum dan dilakukan semua perusahaan. Memberikan hal yang lebih, yang tidak terduga bisa menjadi kunci sukses di jaman ini. Ciptakan “Moment of Truth”, yang memberikan impresi luar biasa, yang akan selalu diingat oleh pelanggan anda, sehingga dia akan setia pada perusahaan anda dan merekomendasikan produk anda kepada orang lain. 

Moment of Truth tidak hanya berlaku pada pelangan penjualan saja. Hal yang sama berlalu untuk sebuah kepemimpinan, teamwork ataupun dalam kehidupan sosial kita. Melakukan hal lebih yang menyentuh adalah kesempatan kita unttk diingat, dicinta, dihormati dan diikuti oleh orang lain.

Baca selengkapnya...

Sabtu, 27 April 2013

RENUNGAN UNTUK MANULA (Manusia Lanjut Usia) . . .

Hal-hal yang perlu direnungkan oleh orang-orang yang berusia 60 -70 tahun. 

Diatas gunung ada pohon yang berumur ribuan tahun, didalam dunia sulit menemukan oang yang berusia ratusan tahun. Batas maksimal, kita hanya dapat hidup seratus tahun lebih (itupun hanya ada satu diantara seratus ribu orang). 

Dalam hidup hingga usia 90, itu hanya tinggal 20 tahun lagi. Dapat hidup hingga 80 tahun, itu hanya tinggal 10 tahun lagi. Karena pada hari-hari yang tersisa ini sewaktu-waktu kita dapat jatuh sakit, maka kita harus menyisakan uang yang cukup untuk biaya berobat dan biaya layanan suster. 

Karena hari yang tersisa tidak banyak lagi, apalagi sewaktu kita meninggalkan dunia ini, apapun juga tidak ada yang dapat dibawa, maka kita tidak usah terlalu berhemat. Uang yang harus dikeluarkan keluarkanlah, apa yang dapat dinikmati nikmatilah, jika memiliki niat untuk beramal lakukanlah. 

Hanya satu hal yang jangan dilakukan, yaitu mewariskan harta kita pada anak cucu, karena akan membiasakan mereka menjadi “BENALU”... 

Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan yang akan terjadi setelah kematian. Karena saat kita telah menjadi abu, kita sudah tidak dapat lagi merasakan segala pujian dan kritikan orang lain. Tidak usah terlalu banyak memikirkan urusan anak anak, ”Anak cucu kita mempunyai rejeki mereka sendiri, berhentilah menjadi kuda tunggangan dan sapi perahan bagi anak cucu kita”. Setelah mereka mempunyai anak, biarkanlah mereka mengurus sendiri atau menggunakan uang mereka sendiri untuk mengundang suster guna mengurus anak- anaknya, jangan biarkan mereka merampas lagi Hak kesehatan, Hak istirahat, Hak kesenangan dan Hak liburan orang tua nya. 

Jangan terlalu banyak berharap pada anak anak kita. Anak yang berbakti, mememiliki niat untuk berbakti. Akan tetapi karena pekerjaannya terlalu sibuk, maka tidak akan dapat membantu kita juga. Anak yang tidak berbakti, sewaktu kita masih hidup saja sudah mengharapkan agar kita cepat mati, supaya mereka dapat cepat cepat mewarisi harta kita. Anak-anak beranggapan bahwa jika harta kita diberikan pada mereka itu adalah hal wajar. Tapi uang anak anak bukanlah uang kita, jika kita ingin minta uang itu akan sangatlah sulit. 

Kita yang berusia 70 tahun, jangan lagi menukarkan kesehatan kita dengan benda lain, karena saat ini, belum tentu kita dapat membeli kesehatan dengan harta kita. Mencari uang sampai kapan, sampai berapa banyak (seratus ribu, sejuta, sepuluh juta …....) baru dianggap cukup?. Memiliki sawah puluhan ribu hektar, sehari hanya dapat makan tiga liter saja. Memiliki ribuan buah gedung, untuk tidur dimalam hari hanya membutuhkan tempat dua setengah meter saja. 

Maka cukup makan, cukup uang ya sudahlah. Kita harus menjalani hidup ini dengan gembira, meskipun setiap keluarga mempunyai problem rumah tangga masing masing. Kita jangan lagi berebut nama dan kedudukan dengan orang lain, memikirkan bagaimana masa depan anak cucu kita dan hal lain-lain. Tetapi harus membandingkan dengan orang lain bahwa siapa lebih yang hidupnya lebih gembira, lebih berumur panjang. 

Untuk hal yang tidak mampu kita rubah, janganlah terlalu dicemaskan, karena cemas juga tidak ada gunanya, malah akan menpengaruhi kesehatan diri sendiri. Menciptakan kebahagiaan tergantung pada usaha keras kita sendiri, harus diupayakan untuk mencari kesenangan. Asalkan suasana hati kita bagus, setiap hari dengan mencari kesenangan sendiri, setiap hari kita pasti dapat menjalani hidup ini dengan perasaan gembira. Lewat sehari, berkuranglah sehari, lewat sehari, bergembiralah sehari, bergembira sehari, untunglah sehari. 

Memiliki semangat yang tinggi tidak akan jatuh sakit. 
Memiliki semangat yang tinggi penyakit dapat disembuhkan. 
Memiliki semangat yang tinggi akan cepat sembuh dari sakit. 

Suasana hati yang gembira, olahraga yang cukup, sering terkena sinar matahari, makan jenis makanan yang beragam, menyerap bermacam-macam vitamin dan sedikit elemen logam yang seimbang diharap dapat hidup sehat sampai dua, tiga puluh tahun lagi.

Baca selengkapnya...

Jumat, 15 Maret 2013

Doa dalam Sepiring Nasi

Hubungan nasi dengan kehidupan manusia Indonesia sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan. Nasi hadir sebagai bahan makanan pokok untuk mencukupi kebutuhan gizi manusia Indonesia. Nasib nasi memang baik. Sejak mula, nasi mendapat tempat yang lebih baik dari kawan-kawannya, yang memiliki kandungan gizi yang mirip: umbi-umbian, tales, sagu dan jagung. Ketika masih menjadi padi selalu dijaga oleh seorang Dewi Sri. 

Mitos Dewi Sri ini sangat memiliki kaitan yang erat dengan padi daripada tumbuhan-tumbuhan lainnya. Nasib nasi terus bergerak mengiringi kisah kehidupan kita. Nasi begitu diagungkan, sedangkan bahan makanan lain menjadi begitu minor nasibnya. Mungkin sudah nasib padi yang menjadi cikal bakal nasi itu begitu baik. Selain dijaga oleh seorang dewi, padi juga dihubungkan dengan hal-hal yang dianggap baik bagi kehidupan. Padi menjadi simbol kebijaksanaan bagi manusia. Bentuknya yang menunduk sepertinya telah memberikan ajaran kepada manusia tentang makna ketidaksombongan atau mawas diri. 

Melihat hal tersebut, sepertinya sempurnalah nasib nasi di tangan kita. Secara kesehatan dan kedokteran, gizi nasi cukup. Nasi hadir dan kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang sempurna. Bahkan, pada wilayah spiritual, nasi menjadi simbol sebagai penghantar hubungan terhadap Tuhan, hal itu ada dalam tumpeng nasi. 

Makna

Padi yang menjadi cikal bakal nasi ditanam dengan ketulusan, sehingga ada upacara-upacara yang berhubungan dengan perjalanan padi tersebut. Para petani percaya apa yang ditanam akan ditumbuhkan oleh Tuhan dan ia hanya diberi kepercayaan untuk merawat tanaman tersebut dan menggunakannya dengan tidak berlebihan. Muncullah pesta-pesta panen yang merupakan ucapan syukur atas hasil yang telah diberikan Tuhan kepada petani. Dari hal ini ada kesadaran kosmis pada proses penanaman padi. Menanam padi menjadi ibadah untuk melanjutkan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan sekadar tercukupinya kebutuhan atau bahkan penggalian sebesar-besarnya pada alam. Manusia dan alam menyatu dalam laku dan saling memberikan kepercayaan kepada peran yang harus dijalankan. 

Masuknya revolusi hijau pada pertanian di Indonesia, secara tidak langsung petani mengikhlaskan dirinya untuk direnggut dan mengabdi pada kapitalisme global. Orientasinya sudah berbeda, pada awalnya mencukupi kebutuhan di dunia sebagai bekal untuk ibadah kepada Tuhan selaku makhluk yang telah diberi kehidupan di dunia ini, berubah menjadi penumpukan kekayaan sebesar-besarnya untuk mendapatkan kemakmuran versi kapitalisme. Sehingga, persoalan modal menjadi persoalan yang penting setiap kali hendak tanam kembali. Ketergantungan terhadap modal menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia pertanian modern di Indonesia. Meminjam istilah Marx, bahwa petani sudah diasingkan dari tanah dan tanamannya. 

Masuknya pupuk kimia dan bahan kimia lain, serta lahirnya berbagai benih padi yang merupakan hasil penelitian, mengubah pola pikir petani dalam menggarap sawah. Meningkatkan hasil pertanian dengan berbagai cara dengan melupakan kelestarian alam yang telah memberikannya penghidupan selama ini. Hal ini dipicu dari munculnya kebutuhan-kebutuhan yang mungkin bukan menjadi prioritas bagi dunia petani. Petani sudah masuk dalam kehidupan global di mana aktivitas yang dilakukan sudah ditentukan oleh pasar. 

Padi hanya menjadi komoditas pasar belaka. Petani hanya menjadi buruh yang bekerja di sawahnya sendiri. Petani masih merasa dan percaya bahwa apa yang dilakukan adalah kehendaknya sendiri, yaitu menanam padi di sawahnya sendiri. Petani tidak sadar bahwa apa yang dilakukan merupakan tindakan yang mesti dilakukan guna memenuhi kebutuhan pasar, yang sudah tidak lagi ditentukan oleh petani tersebut. Hari ini petani hanya menjadi obyek untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi saja. Padi dan maknanya telah lepas dari jagad religiusitas agraris. Padi ditanam tidak lagi dengan harapan dan doa, namun dengan modal dan perhitungan ekonomi belaka. 

Doa

Nasi yang tersaji di piring kita, ternyata memiliki sejarah yang lumayan panjang. Nasi dari awalnya telah membawa kepentingan, yang mempengaruhi bagaimana sikap kita dalam menghadapi nasi hari ini dengan kepentingan yang kita bawa. Sepertinya, kita tidak bisa lagi menikmati nasi dengan sikap-sikap kultural. Setiap agama telah mengajarkan bagaimana sikap dalam menghadapi makanan yang etis dan beradab. Ucapan syukur menjadi hal yang utama bahwa kita masih bisa makan dengan baik, sehingga doa-doa diucapkan bagi orang-orang yang telah menjadikan makanan itu hadir di hadapan kita. Perubahan nilai makanan yang kita hadapi mengindikasikan adanya perubahan makna dan sikap. Masihkah doa-doa itu layak diucapkan? Kita sulit mengimajinasikan, bahwa nasi di hadapan kita mengandung doa dari para petani sebagai sebuah rantai makanan yang saling menguntungkan. Nasi adalah harga yang harus kita bayar untuk hidup. 

Nasi dalam lingkaran kapitalisme merupakan komoditas. Tergambar dalam pamflet di pinggir jalan dan iklan televisi di tengah keluarga. Nasi bersanding dengan ayam Amerika ataupun nasi dalam bungkus instan. Instanisasi nasi hadir di tengah keluarga dalam berbagai bentuk dan rupa. Bahkan, hanya dengan menekan angka-angka di telepon, nasi yang kita inginkan akan mengetuk rumah kita setiap saat. Sakralitas nasi hilang dalam nilai efisiensi dan percepatan. 

Dulu nasi tumpeng hanya akan hadir dalam peristiwa yang penting dan sakral, serta tidak sembarangan orang untuk menikmatinya. Sekarang nasi tumpeng dapat kita pesan dalam hitungan detik pada restoran cepat saji dan bebas digunakan dalam peristiwa apapun. Masihkah doa-doa layak diucapkan di depan sepiring nasi di meja makan kita? Intinya, kita kehilangan nasi di piring, padahal itulah tanda kehidupan yang diharapkan. Kita telah mendustai nasi karena kerakusan dan kesombongan yang menyebabkan dunia hancur, serta kehidupan yang kita jalani terasa hampa.  


Salman Ali Masturi

Baca selengkapnya...

Jumat, 15 Februari 2013

Makna Imlek Yang Nyaris Terlupa

Imlek merupakan tradisi bersyukur yang dijadikan hari raya di masa kini. Budayawan Tionghoa di Indonesia Suma Mihardja menuturkan Imlek sesungguhnya merupakan perayaan musim semi. Sejarah menyebutkan masyarakat Tiongkok merupakan masyarakat agraris yang sangat bergantung pada perkembangan musim. Siklus musim dijadikan penanda waktu menanam dan waktu memanen.
“Imlek merupakan penanggalan bagi petani yang didasarkan pada penanggalan bulan dan matahari,” kata Suma. Masyarakat agraris percaya bahwa segala sesuatu yang ada di bumi itu beredar dan ada yang mengatur peredarannya. Perayaan musim semi erat kaitannya dengan peredaran alam, dilihat dalam hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal merupakan hubungan antara manusia dan sesuatu yang tak terlihat, sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan antarmanusia.
Kegiatan Utama
Masyarakat Tionghoa percaya ada dua jenis kegiatan untuk menyambut Imlek, yakni menutup tahun dan membuka tahun. Menutup tahun berlangsung selama satu pekan sebelum tahun baru atau tanggal 24, bulan 12 kalender Imlek. Di saat itu, keluarga mengevaluasi semua kegiatan selama satu tahun. Evaluasi ini berkaitan dengan laporan dewa-dewa kepada kaisar langit.
Persis malam tahun baru, keluarga berkumpul menikmati makan bersama. Kumpul keluarga ini merupakan reuni untuk menguatkan hubungan. Dalam syukuran itu, biasanya ikan menjadi makanan utama yang dihidangkan. Makan ikan berarti menambah untung atau menambah lebih.
Acara makan ini digelar sampai terbit matahari. Disaat matahari muncul itulah, pembukaan tahun berawal. Masyarakat Tionghoa lantas merayakannya dengan cara bersembahyang di meja leluhur serta menghormati langit dan bumi.
Tuntas menguatkan hubungan vertikal, masyarakat Tionghoa bersilaturahmi ke sanak keluarga. Sayangnya, makna Imlek yang kental dengan kesederhanaan itu bergeser pada masa kini. Salah satunya, ucapan selamat. Saat ini orang lebih mengenal dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai yang berarti selamat makmur dan kaya. Padahal, ucapan yang tepat adalah Xin Chun Gong Xi atau selamat merayakan musim semi baru.
“Kalimat Gong Xi Fa Cai itu mendoakan agar orang kaya material. Bagi orang yang tahu budaya Tionghoa, itu kalimat kasar. Sesungguhnya yang lebih penting adalah untung dan sehat,” tutur Suma.
Selain ucapan, pakaian yang dikenakan saat Imlek pun sudah berbelok dari tradisi. Ada yang merayakan Imlek mengenakan pakaian bergambar naga lima jari di cakarnya. Padahal, hanya kaisar yang boleh memakai pakaian bergambar itu. “Jika ada rakyat pakai pakaian lima jari, dia dianggap sombong,” ujar Suma.
Satu hal penting yang kerap dilupakan orang Tionghoa masa kini adalah memelihara meja abu. Tradisi Tionghoa menyebut sesiapa yang di rumahnya tersimpan meja abu leluhur, dialah yang disebut sebagai keluarga tertua. Karena itu, rumahnya pantas dikunjungi dan dijadikan tempat berkumpul saat Imlek tiba.
Kenyataannya, menurut Suma, tidak lagi banyak orang Tionghoa memelihara meja abu. Alhasil, saat Imek, sudah jarang orang Tionghoa berkumpul di rumah keluarga tertua yang punya meja abu. Mereka lebih sering merayakan Imlek di kawasan-kawasan komesial, seperti mal, restoran atau tempat wisata.“Pergeseran terjadi karena konsumerisme sudah sangat merasuki hidup banyak orang, orang mencari yang serba instan dan menyenangkan. Sebenarnya, Imlek itu upacara keluarga, bukan upacara umum,” kata Suma.
Gloria N. Dolorosa



Baca selengkapnya...

Jumat, 18 Januari 2013

Silakan Membayar dengan Separo Doa dan Separo Uang

Di tengah hujan yang mengguyur kota Bandung kemarin, saya menyempatkan makan bersama keluarga. Sebuah restoran kecil yang menyediakan hidangan ikan-dan-sekawannya menjadi pilihan. Tempat parkir kendaraan ternyata sudah penuh. Jadilah saya menitipkan kunci kendaraan ke petugas parkir—valet parking, begitu katanya. Dengan ramah mereka mempersilakan kami masuk. Begitu duduk setelah memilih tempat yang pas, karyawan menyodori kami daftar menu dan secarik kertas. Mula-mula kertas ini tidak menarik perhatian kami yang sudah merasa lapar. Usai memesan makanan dan minuman, barulah kertas ini kami tengok. Tulisan yang tertera di kertas ini sederhana tapi sungguh menarik perhatian: “Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang.” Aturan mainnya seperti ini: jika pengunjung bersedia menuliskan doa pendek di secarik kertas tadi, pengunjung tersebut cukup membayar tunai separo dari harga hidangan yang seharusnya mereka bayar. Tidak ada permintaan agar pengunjung mendoakan supaya restoran ini bertambah maju dan kian banyak pelanggannya. Mau doa apa saja, terserah pengunjung. Juga tidak ada batasan hingga berapa rupiah pengunjung bisa memperoleh diskon 50% dan sisanya diganti dengan doa. Saya mula-mula menduga bahwa ini sekedar trik marketing belaka, sebab hingga berapa banyak sih orang sanggup menampung makanan ke dalam lambungnya? Secara matematis, pengelolan restoran rasanya tidak merugi pada hari itu, tapi mungkin marjin keuntungannya berkurang. Tapi, bila dilihat dalam jangka panjang, apa yang mula-mula saya duga sebagai trik marketing belaka ini merupakan investasi untuk mempertahankan pelanggan. Berbagi dengan pelanggan memang selalu menjadi pilihan bagi sebagian pelaku usaha. Mereka bermaksud mengungkapkan rasa terima kasih atas loyalitas pelanggan. Cara yang lazim dipakai biasanya berbagi hadiah. Tapi restoran ini memilih cara yang khas, dan setelah saya pikir-pikir barangkali ini bukan trik marketing, melainkan sebuah ekspresi cara pandang yang berbeda terhadap bisnis. Dengan meminta pengunjung restoran menuliskan doa pendek di secarik kertas, pengelola restoran mungkin ingin berbagi semangat bahwa di dalam bisnis terkandung unsur spiritualitas. Saya juga percaya bahwa dengan menuliskan ‘Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang’, ini tidak berarti bahwa pengelola restoran menyamakan doa dengan uang. Pikiran saya positif saja, bahwa ia ingin mengajak pengunjung untuk mengingat bahwa di dalam setiap hidangan yang disantap terdapat unsur spiritualitas; bahwa ia mengajak kami (saya) yang sudah lama tidak berdoa. Bisnis dan spiritualitas mungkin dianggap jauh oleh sebagian orang. Namun sesungguhnya banyak pebisnis besar yang tidak melupakan unsur ini dalam praktik bisnis mereka. Masih banyak pebisnis yang tidak melihat bisnis dan spiritualitas sebagai dua entitas yang sama sekali tak bisa diakurkan. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu dari konsumennya karena percaya bahwa dengan berbisnis secara jujur, bisnis mereka akan subur. Seusai menuntaskan rasa lapar, akhirnya kami pulang. Saat mengambil kunci kendaraan, saya bertanya, berapa tarif valet parking-nya? “Seikhlasnya saja,” jawab petugas parkir. Jawaban itu semakin menegaskan spirit yang disampaikan di secarik kertas tadi: “Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang.” *** Tempo

Baca selengkapnya...

Jumat, 07 Desember 2012

Belajar Kearifan dari Semut

Ketika memperhatikan gerak–gerik barisan semut yang tengah mengusung sebutir nasi putih, saya membayangkan kira-kira bagaimana percakapan Nabi Sulaiman dengan hewan lembut ini. Pasti telah terjadi perbincangan yang hebat, berpuluh abad yang lampau. Namun kemudian saya tercenung tatkala ingat bahwa E.O. Wilson mungkin juga “bercakap-cakap” dengan semut ketika ilmuwan itu mengamati perilaku hewan-hewan ini. Tentu saja, Wilson tak sehebat Sulaiman dalam memahami bahasa hewan. Namun ia mengonstruksi pengetahuannya menjadi apa yang disebut sebagai sosio-biologi, kira-kira semacam pemahaman tentang bagaimana hewan-hewan mungil itu hidup bermasyarakat. Ia mengamati bagaimana hewan-hewan ini bekerja sama, dan takjub. Mengapa semut demikian menarik? Beberapa orang yang mengamati perilaku semut mendapati sejumlah pelajaran menarik, yang rasa-rasanya sangat bagus bila diterapkan di dunia manusia, mungkin salah satunya agar organisasi berjalan efektif: 1. Semut bekerja sebagai sebuah tim. Nyaris sukar menemukan semut yang bekerja sendirian tanpa ditolong oleh semut-semut lain. Sebutir nasi pun digotong bersama. 2. Semut saling memercayai. Kerjasama yang baik hanya bisa dibangun di atas fondasi kepercayaan satu sama lain. Prasangka dan ketidakpercayaan melemahkan tim. 3. Semut bersikap terbuka. Ketika semut menemukan makanan, mereka menginformasikan kepada yang lain, yang kemudian datang dan berbagi. Ya, boleh dikata semacam networking dan sharing, kata yang popular saat ini. 4. Semut bermitra dan berperan sesuai kapabilitasnya. Pembagian peran yang tepat menjadikan masing-masing semut memahami apa yang harus ia lakukan untuk tim. Tidak ada yang merasa paling hebat. 5. Semut tekun dan fokus. Hewan-hewan ini bekerja begitu tekun dan tidak teralihkan perhatiannya kepada urusan yang lain sebelum satu urusan selesai. 6. Semut melakukan regrouping. Bila kita cermati akan terlihat bahwa semut kadang-kadang berganti peran ataupun berganti tim dengan begitu adaptif. Makhluk ini bersikap terbuka untuk mencoba gagasan baru dan bergabung dengan tim baru yang memerlukan perannya. Semut makhluk sosial yang hebat. Mereka sanggup membangun bukit yang tinggi berkat kerja kolektif yang saling memberi manfaat. *** Dian

Baca selengkapnya...

Selasa, 30 Oktober 2012

Kisah Seorang Pemuda di Gerbong Kereta

Di sebuah gerbong kereta api yang penuh, seorang pemuda berusia kira-kira 24 tahun melepaskan pandangannya melalui jendela. Ia begitu takjub melihat pemandangan sekitarnya. Dengan girang, ia berteriak dan berkata kepada ayahnya: ”Ayah, coba lihat, pohon-pohon itu… mereka berjalan menyusul kita”. Sang ayah hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan wajah yang tidak kurang cerianya. Ia begitu bahagia mendengar celoteh putranya itu. Di samping pemuda itu ada sepasang suami-istri yang mengamati tingkah pemuda yang kekanak-kanakan itu. Mereka berdua merasa sangat risih. Kereta terus berlalu. Tidak lama pemuda itu kembali berteriak: “Ayah, lihat itu, itu awan kan…? lihat… mereka ikut berjalan bersama kita juga…”. Ayahnya tersenyum lagi menunjukkan kebahagiaan. Dua orang suami-istri di samping pemuda itu tidak mampu menahan diri, akhirnya mereka berkata kepada ayah pemuda itu: “Kenapa anda tidak membawa anak anda ini ke dokter jiwa?” Sejenak, ayah pemuda itu terdiam. Lalu ia menjawab: “Kami baru saja kembali dari rumah sakit, anakku ini menderita kebutaan semenjak lahir. ia baru dioperasi, dan hari ini adalah hari pertama dia bisa melihat dunia dengan mata kepalanya”. Pasangan suami itu pun terdiam seribu bahasa. Setiap orang mempunyai cerita hidup masing-masing, oleh karena itu jangan memvonis seseorang dengan apa yg anda lihat saja. Barangkali saja bila anda mengetahui kondisi sebenarnya anda akan tercengang. Maka kita PERLU BERPIKIR SEBELUM BICARA...

Baca selengkapnya...

Senin, 22 Oktober 2012

Labu Kembar

Alkisah di China, terdapat dua orang kakak beradik yang berbeda ibu. Ibu si kakak sudah lama meninggal. Kini dia tinggal bersama ayah, ibu tiri & adik tirinya. Sang kakak menanam pohon labu dan dengan rajin memeliharanya hingga tumbuh besar. Suatu hari mereka mendengar kabar bahwa raja sedang sakit parah, tabib istana mengatakan bahwa labu kembar dapat menyembuhkan penyakit raja. Maka di adakan sayembara, barangsiapa yang memiliki labu kembar akan mendapat satu peti emas. Sang kakak segera memberitahu pada keluarganya. Pada hari keberangkatan sang kakak ke ibukota, ibu memanggil si adik ke dalam dapur, "Ada dua potong kue, yang polos dan bergambar bunga. Berilah kakakmu kue yang bergambar bunga, sebab ibu telah memberi racun di dalamnya." "Kenapa ibu ingin membunuh kakak? Bukankah ibu juga menyayangi kakak?" "Ibu memang menyayanginya, tapi kamu adalah anakku dan ibu tidak rela bila kakakmu mendapatkan emas itu, maka biarlah dia memakan kue beracun ini." Kemudian si adik membawa kue itu ke kakaknya, "Adikku, tunggu kakak ya, kakak janji akan segera pulang dan membeli banyak oleh-oleh untukmu dari kota dan uang emas hadiahnya untuk kita bersama !!" Sang adik terdiam, kemudian berkata pada kakaknya, "Kakak, ibu memberi kita berdua kue, makanlah tapi aku ingin kue yang bergambar bunga." Setelah itu si adik dengan lahap memakan kue beracun itu. Setelah kepergian kakaknya, dia berkata pada ibunya, "Ibu, kue beracun itu telah kumakan, kakak sangat baik kepadaku, mana mungkin aku tega membunuhnya. Setelah aku mati, sayangilah dia seperti ibu menyayangiku..." Ibunya yang mendengarnya kemudian memeluknya, "Anak bodoh, tidak ada racun sama sekali di kue bergambar bunga itu. Ibu hanya menguji rasa sayangmu pada kakakmu, ibu kuatir kamu menjadi iri dengan kemujuran kakakmu..." Pesan Moral, "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat."

Baca selengkapnya...

Kamis, 18 Oktober 2012

Bungkusan atau Isi ????

Hidup akan sangat melelahkan, sia-sia dan menjemukan bila hanya menguras pikiran untuk mengurus BUNGKUSAN-nya saja dan mengabaikan ISINYA. Bedakanlah apa itu Bungkusan dan apa itu Isinya!! Rumah yang indah hanya bungkusan, Keluarga Bahagia itu isinya. Pesta nikah hanya bungkusan, Cinta kasih, Pengertian dan Tanggung jawab itu isinya. Kecantikan hanya bungkusan, Kepribadian itu isinya. Jabatan hanya bungkusan, Pengabdian dan pelayanan itu isinya. Pergi ke tempat Ibadah itu bungkusan, Melakukan Firman Tuhan dalam hidup itu isinya. "Utamakanlah ISINYA...namun Rawatlah BUNGKUSNYA

Baca selengkapnya...

Rabu, 10 Oktober 2012

Kehidupan

Dalam hidup, kadang yang kita rencanakan bahkan impikan berjalan tidak seperti apa yang kita harapkan. Itulah kehidupan, kehidupan yang mengajarkan bagaimana kita menjadikan semua ini menjadi kebaikan bukan kesedihan … Saat tekanan datang, katakan pada hatimu “setelah ini, aku bisa lebih baik lagi”.. Setiap masalah di bumi ini semata-mata untuk menguatkan jiwamu menjadi sosok yang baik, bijak, dan teduh ... Berani mati tidaklah luar biasa.. Namun, berani tetap hidup pada saat tidak ada lagi yang kita miliki.. … itu baru luar biasa!. Hidup itu indah, dan masih akan banyak hal luar biasa yang belum kita temukan dalam hidup kita.... Jangan memandang rendah dan remeh orang lain, hanya karena tak lebih pintar, tak lebih kaya, tak lebih beruntung, dan tak mempunyai pangkat sepertimu.... Kadangkala batubara yang legam terlihat… lebih berkilau dibanding dengan permata yang mahal harganya ... Hidup adalah sebuah proses yang singkat. Penghuni bumi ini selalu saja berganti “hidup itu cuma sekedar mampir minum”. Seperti pengembara di perjalanan panjang ... Ia akan berhenti sejenak untuk minum sebelum Kembali melanjutkan langkahnya.. Gunakan proses hidup yg kita lalui ini dengan sebaik baiknya. Karna tidak ada yang menjamin bahwa kita bisa hidup sampai berapa lama didunia ini….

Baca selengkapnya...

Senin, 24 September 2012

Menyogoklah dengan kejujuran

Mungkin Anda pernah dengar, ada seorang sopir taksi begitu gemetar ketika menemukan sekantung berlian senilai sekitar Rp2 miliar yang ditinggalkan secara tak sengaja oleh penumpangnya. 

Anda barangkali akan mengira, di tengah lunturnya nilai-nilai etika dan moral yang banyak dikeluhkan akhir-akhir ini, si sopir akan menyimpan barang itu sebagai rejeki nomplok. 

Dalam realitas kehidupan, mungkin komentar seperti ini yang akan muncul: "Ah, bego [bodoh] amat kalau dikembalikan." "Hari gini," begitu kita-kira, "Kapan lagi bisa dapat duit sebanyak itu tanpa harus capek kerja, atau jadi menantu orang kaya." 

Itulah probabilitas yang barangkali kerap terdengar dalam pembicaraan di sudut-sudut warung kopi pinggir jalan. Toh, banyak alasan yang bisa dibuat, jika penumpangnyma mencari kantung berlian itu. Misalnya saja, si supir bisa berdalih kantung berlian diambil penumpang lain yang dilayani berikutnya. Dan tahukah Anda, pengemudi taksi itu mengembalikan kantung berlian tersebut. 

Kebetulan ia bekerja di Blue Bird, operator taksi terbesar di Indonesia, yang kini mengelola lebih dari 25.000 armada, dengan lebih dari 28.000 sopir. Kini bisnis Blue Bird terus bertumbuh dengan pesat. Bahkan manajemen mengaku kewalahan untuk merekrut tenaga kerja yang kompeten karena pesatnya pertumbuhan bisnis yang tidak seiring dengan ketersediaan tenaga kerja yang mumpuni. 

Seperti dikisahkan Noni Purnomo, salah satu arsitek inovasi dan "otak perubahan" dalam manajemen Blue Bird, satu nilai dasar yang menjadi pondasi sukses perusahaan itu adalah Kejujuran. Di Blue Bird, kisah sekantung berlian itu hanyalah sepenggal cerita yang bisa jadi memperkuat keyakinan pelangganannya, bahwa perusahaan itu mempekerjakan profesional, yang benar-benar jujur. 

Sedikitnya 800 item barang yang tertinggal di taksi setiap bulan dalam berbagai bentuk, entah telepon genggam atau yang lain, dikembalikan sang pengemudi kepada penumpangnya. Maka, Jaya Suprana pernah menganugerahkan rekor Muri kepada operator taksi itu untuk rekor jumlah barang yang dikembalikan. 

Dalam budaya organisasi, nilai dasar yang dipegang individu-individu anggota organisasi, akan membentuk agregat nilai perusahaan yang disebut sebagai budaya perusahaan. Maka dalam industri jasa angkutan seperti taksi, hal itu tidak hanya termanifestasikan ke dalam kejujuran sang sopir dalam mengembalikan barang penumpang yang tertinggal, tetapi juga tercermin dalam seberapa akurat argometer mobil taksi yang dipasang oleh perusahaan. Ilustrasinya sederhana saja. Jika Anda naik taksi, tetapi argometer atau alat ukur ongkos taksi bergerak terlalu cepat dalam menghitung nilai rupiah yang harus dibayar, Anda tentu akan komplain besar. "Kok pakai "argo kuda" sih?" Begitu kira-kira. Dan cerita tentang argo kuda, sebagai olok-olok untuk sopir taksi --atau operator taksi-- yang memanipulasi mesin penghitung ongkos itu, beberapa tahun lalu kerap terdengar. 

Taksi argo kuda pun kini telah tiada, dan terpaksa mati-matian berusaha memoles citra, karena ditinggalkan pelanggannya. Intinya jelas, kejujuran memiliki korelasi kuat dengan kelangsungan bisnis jangka panjang. 

Saya ingat pesan ibu ketika minta doa restu hendak mencari pekerjaan begitu lepas kuliah sekitar tahun 1992 silam. "Mas, kowe [kamu] kerja apa saja silahkan. Yang penting jujur." Kakek saya serupa meski tak sama. "Mas, kamu jangan sekali-kali mencari pekerjaan dengan membayar [menyogok]." Begitu kurang lebih pesan yang terngiang sampai sekarang. Kakek saya benar. 

Apabila mencari kerja saja sudah nyogok, hampir dapat dipastikan akan sulit bekerja dengan jujur. Saya memaknainya dengan lebih jauh lagi: ada hak orang terhadap pekerjaan yang seharusnya didapatkan, tetapi diambil orang lain dengan cara paksa lewat mekanisme "sogokan". 

Anda tentu tahu, di musim rekrutmen pegawai negeri seperti bulan-bulan ini, mekanisme sogok-menyogok atau prinsip "orang terdekat" bukan "orang terbaik" masih [atau bahkan makin] marak terjadi. Maka, bagi yang menyogok untuk mendapatkan pekerjaan, kurang lebih telah menghilangkan kesempatan orang lain mendapatkan pekerjaan, alias menafkahi keluarganya seumur hidup. Itu sama saja dengan merampas kemakmuran orang lain! 

Itu filosofi moral, yang barangkali terdengar aneh bagi kebanyakan orang sekarang. Repotnya, perilaku menghalalkan segala cara tidak hanya merasuki jiwa individu, tetapi juga banyak organisasi. Ini tidak hanya organisasi bisnis, tetapi juga organisasi politik; bahkan yang mengklaim sebagai organsasi keagamaan. 

Maka, tidak heran jika "daftar tunggu" para tersangka di KPK atau komisi antikorupsi begitu panjang. Ada pejabat pemerintah yang sedang menunggu menjadi tertuduh kasus korupsi, atau pejabat partai politik yang diadili karena menjadi mafia proyek. Lalu ada lagi anggota DPR yang menjadi bandar anggaran, dan ada pula pelaku bisnis yang menjadi calon terdakwa. Sayangnya, itulah potret negeri ini. 

Kita belum sepenuhnya menjadi bangsa yang jujur. Padahal nilai kunci (key values) jujur, kerja keras dan disiplin, telah mengantarkan sukses tak hanyma korporasi tetapi juga negara. Tak perusahaan yang sudah tercatat di lantai bursa tetapi juga perusahaan keluarga. 

Di era modern sekarang, nilai dasar semacam itu banyak disebut sebagai prinsip good governance. Jiwanya adalah transparan dan akuntabel; patuh pada regulasi dan pajak, serta memiliki kepedulian dan tanggungjawab sosial yang tinggi.

Seandainya governance yang baik bisa menjadi gerakan nyata, saya percaya bangsa ini akan jauh lebih makmur dibandingkan dengan tingkat kemakmuran yang selalu dibangga-banggakan sekarang. Sebab masih banyak, dengan memakai analogi sopir taksi tadi, yang "tidak mengembalikan kantung berlian" kepada pemilik aslinya, atau bahkan "mengambil kantung berlian" milik orang lain secara sengaja. 

Masih banyak praktik sogok dan suap untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, proyek bisnis, yang pada gilirannya hanya mempertebal kantung segelintir orang yang punya jabatan atau otoritas yang mengambil keputusan atau membuat aturan. Itulah yang sesungguhnya mengancam "sustainabilitas" kita. Tentu tidak ada resep yang bisa menjadi penyembuh dengan cepat. Tetapi jika berkenan meresapi nasihat penggiat ekonomi syariah, Adiwarman A. Karim, barangkali ada manfaatnya. 

Izinkan saya mengutip tiga nasihat Karim sebagai pegangan profesional, birokrat ataupun pebisnis yang ingin sukses tanpa khawatir dicokok KPK. Pertama, keluarkan hal-hal yang buruk/ haram (jujur) dari kehidupan kita; lalu isi hidup dengan hal-hal yang baik alias proper dan ikuti aturan (cerdas), serta hiasi hidup dengan yang indah-indah (hubungan baik, jiwa besar, peduli). 

Kedengarannya puitis memang. Tetapi nasihat itu aplicable alias sangat bisa diterapkan jika Anda ingin berhasil, termasuk dalam menjalankan bisnis. Intinya, jujur saja tidak cukup, tetapi juga perlu lebih cerdas dan berhubungan secara baik dengan relasi kita. 

Maka seperti contoh kisah Blue Bird dan banyak perusahaan yang menjalankan filosofi itu, hasilnya Anda tidak hanya sukses "doing business", tetapi yang lebih penting adalah sukses "doing good business" yang berkesinambungan. Jadi, bolehlah Anda menyogok, tetapi sogoklah dengan kejujuran, kecerdasan, dan hubungan baik. Bukan dengan uang. Bagaimana menurut Anda? 


Arief Budisusilo

Baca selengkapnya...

Jumat, 03 Agustus 2012

Pulang Penuh Senyuman

Meminjam sebuah cerita fantasi, suatu hari seorang pria kaya yang memiliki tiga istri mau meninggal. Yang pertama dipanggil tentu saja yang ketiga karena paling muda, paling menarik, sekaligus paling banyak memperoleh perhatian. Tatkala istri ke tiga ini diberitahu bahwa suaminya akan meninggal, ia langsung lari, membanting pintu, sambil berteriak kasar: “mati saja sendiri!”. Melihat respon istri ketiga yang sangat mengecewakan, pria kaya ini kemudian memanggil istri kedua sambil menangis. Saat diberitahu bahwa ajal telah dekat, wanita setengah baya ini berucap lembut: “Kanda, saya hanya bisa menemanimu sampai di kuburan, setelah itu kanda mesti jalan sendiri”. Maka semakin menangislah pria kaya yang menyesali hidupnya ini. Dan karena tidak punya pilihan lain, terpaksa ia memanggil istri pertama yang lama ia lupakan serta diperlakukan secara tidak pantas. Dengan tangisan yang semakin dalam, lagi-lagi pria kaya ini mengungkapkan kematian yang sudah dekat. Di luar dugaan, istri pertama memegang tangan suaminya penuh kemesraan, tersenyum, mencium pipi sambil berbisik: “Jangan khawatir kanda, saya akan menemanimu kemana pun dan sampai kapan pun”. Bila boleh jujur, cerita pria kaya ini adalah cerita kita semua ketika menghadapi kematian. Istri ketiga adalah simbolik kekuasan dan kekayaan materi. Begitu menarik dan seksinya kekuasaan dan kekayaan, banyak orang bahkan melanggar agamanya agar bisa mendapatkan kekayaan. Tidak sedikit manusia bahkan mengejar kekayaan dan kekuasaan sampai ke alam mimpi. Titipan pesannya kemudian, jangankan setelah mati, ketika tubuh ini masih segar bugar kalau kekayaan dan kekuasaan harus berlalu, ia pasti berlalu. Sebagian orang kaya dan berkuasa bahkan didoakan cepat sakit dan mati oleh sejumlah manusia ambisius. Istri kedua tidak lain dan tidak bukan adalah tubuh fisik ini. Ia juga sangat dimanjakan oleh manusia kekinian. Makan yang enak, rekreasi yang mewah, tontotan menarik, kosmetik sampai dengan operasi plastik. Semuanya menelan dana dan tenaga hidup yang tidak sedikit. Namun sebagaimana sudah dicatat sejarah, tubuh ini hanya bisa menghantar sampai di kuburan. Dan istri pertama yang lama dilupakan, disepelekan dan ditinggalkan adalah pelayanan kita pada kehidupan. Mencintai istri, melayani suami, memfasilitasi anak-anak bertumbuh, menghormati atasan, menyayangi bawahan, menolong siapa saja dan apa saja yang membutuhkan, melaksanakan kerja sebaik-baiknya, itulah sebagian tugas-tugas pelayanan yang kerap dilupakan orang. Di dunia spiritual disebut spiritualitas dalam tindakan. Dan sebagaimana dipesankan agama-agama, ketika pulang ke rumah kematian kualitas pelayanan inilah yang menemani kita kemana saja manusia pergi. Ia serupa dengan bayangan tubuh, ke mana pun tubuh pergi ia senantiasa mengikuti. Di Amerika sana pernah terjadi seorang pria mengalami pencerahan. Esok harinya ia langsung melamar menjadi supir taksi. Tatkala ditanya kenapa, ia menjawab lembut: “Di jalan raya ada banyak sahabat stres, depresi yang memerlukan pertolongan”. Di Jepang, seorang kepala Biara zen mengalami pencerahan. Di hari berikutnya ia melepaskan baju sucinya. Saat ditanya, ia berbisik pelan: “Pelayanan saya tidak akan penuh dengan mengenakan baju suci. Tidak mungkin saya menyapu, mencuci piring, merapikan sandal orang bila mengenakan baju orang suci”. Dengan kata lain, tugas mahluk tercerahkan hanya satu yakni pelayanan. Dan sejujurnya, di setiap kesempatan kehidupan ada peluang pelayanan. Terutama jika kita mau membukakan tangan untuk membantu. Ia yang sudah melihat bahwa setiap gerak kehidupan adalah peluang pelayanan, sesungguhnya sudah terbimbing pulang. Setelah pulang tidak ada tugas lain terkecuali melaksanakan pelayanan. Karena pelayanan tidak saja menjadi energi hidup mahluk tercerahkan, tetapi karena pelayanan adalah hukum di balik kesempurnaan kehidupan. Awan, langit, air, api, udara, pepohonan, binatang, manusia, mineral semuanya ada untuk tugas-tugas pelayanan. Kapan saja manusia menyatu dengan pelayanan, ia sudah pulang penuh senyuman. Bahan Renungan: 1. Home alias rumah sejati, itulah kerinduan banyak sekali orang. Di rumah seperti ini, semua tanpa kecuali menjadi bahan-bahan kedamaian 2. Banyak yang mengira, tidak mungkin menemukan rumah di mana semua kejadian menjadi bahan-bahan kedamaian 3. Tapi bagi yang sudah pulang tahu, pelayanan itulah langkah terpenting untuk pulang ke rumah kedamaian Gede Prama

Baca selengkapnya...