Jumat, 18 Januari 2013

Silakan Membayar dengan Separo Doa dan Separo Uang

Di tengah hujan yang mengguyur kota Bandung kemarin, saya menyempatkan makan bersama keluarga. Sebuah restoran kecil yang menyediakan hidangan ikan-dan-sekawannya menjadi pilihan. Tempat parkir kendaraan ternyata sudah penuh. Jadilah saya menitipkan kunci kendaraan ke petugas parkir—valet parking, begitu katanya. Dengan ramah mereka mempersilakan kami masuk. Begitu duduk setelah memilih tempat yang pas, karyawan menyodori kami daftar menu dan secarik kertas. Mula-mula kertas ini tidak menarik perhatian kami yang sudah merasa lapar. Usai memesan makanan dan minuman, barulah kertas ini kami tengok. Tulisan yang tertera di kertas ini sederhana tapi sungguh menarik perhatian: “Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang.” Aturan mainnya seperti ini: jika pengunjung bersedia menuliskan doa pendek di secarik kertas tadi, pengunjung tersebut cukup membayar tunai separo dari harga hidangan yang seharusnya mereka bayar. Tidak ada permintaan agar pengunjung mendoakan supaya restoran ini bertambah maju dan kian banyak pelanggannya. Mau doa apa saja, terserah pengunjung. Juga tidak ada batasan hingga berapa rupiah pengunjung bisa memperoleh diskon 50% dan sisanya diganti dengan doa. Saya mula-mula menduga bahwa ini sekedar trik marketing belaka, sebab hingga berapa banyak sih orang sanggup menampung makanan ke dalam lambungnya? Secara matematis, pengelolan restoran rasanya tidak merugi pada hari itu, tapi mungkin marjin keuntungannya berkurang. Tapi, bila dilihat dalam jangka panjang, apa yang mula-mula saya duga sebagai trik marketing belaka ini merupakan investasi untuk mempertahankan pelanggan. Berbagi dengan pelanggan memang selalu menjadi pilihan bagi sebagian pelaku usaha. Mereka bermaksud mengungkapkan rasa terima kasih atas loyalitas pelanggan. Cara yang lazim dipakai biasanya berbagi hadiah. Tapi restoran ini memilih cara yang khas, dan setelah saya pikir-pikir barangkali ini bukan trik marketing, melainkan sebuah ekspresi cara pandang yang berbeda terhadap bisnis. Dengan meminta pengunjung restoran menuliskan doa pendek di secarik kertas, pengelola restoran mungkin ingin berbagi semangat bahwa di dalam bisnis terkandung unsur spiritualitas. Saya juga percaya bahwa dengan menuliskan ‘Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang’, ini tidak berarti bahwa pengelola restoran menyamakan doa dengan uang. Pikiran saya positif saja, bahwa ia ingin mengajak pengunjung untuk mengingat bahwa di dalam setiap hidangan yang disantap terdapat unsur spiritualitas; bahwa ia mengajak kami (saya) yang sudah lama tidak berdoa. Bisnis dan spiritualitas mungkin dianggap jauh oleh sebagian orang. Namun sesungguhnya banyak pebisnis besar yang tidak melupakan unsur ini dalam praktik bisnis mereka. Masih banyak pebisnis yang tidak melihat bisnis dan spiritualitas sebagai dua entitas yang sama sekali tak bisa diakurkan. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu dari konsumennya karena percaya bahwa dengan berbisnis secara jujur, bisnis mereka akan subur. Seusai menuntaskan rasa lapar, akhirnya kami pulang. Saat mengambil kunci kendaraan, saya bertanya, berapa tarif valet parking-nya? “Seikhlasnya saja,” jawab petugas parkir. Jawaban itu semakin menegaskan spirit yang disampaikan di secarik kertas tadi: “Silakan membayar dengan separo doa dan separo uang.” *** Tempo