Rabu, 16 November 2011

G7, E7 Dan Krisis Ekonomi Dunia

Krisis ekonomi yang melanda sebagian dunia dewasa ini telah menciptakan ketidakseimbangan baru (global imbalances) di mana kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat (Barat) telah bergeser ke kawasan Asia (Timur).

Episentrum krisis ekonomi di Kawasan Eropa dan AS terus berlanjut dengan tingkat penyelesaian yang minimal. Kendati proyeksi ekonomi Yunani, Itali, Spanyol, Portugal dan Irlandia sudah melemah, namun formula penyelesaian krisis secara komprehensif hingga detik ini belum ditemukan.

Bahkan ketika Perdana Menteri Yunani George Papandreau dan Perdana Menteri Itali Silvio Berlusconi dipaksa untuk mengundurkan diri dari pucuk pemerintahan, tetap saja ketidakpastian membayangi kawasan Eropa-17 (negara-negara pengguna mata uang tunggal euro).

Sebagian anggota G17 adalah anggota G7, yang sangat terkenal di era 1980-an. Pada waktu itu, kemampuan G7 dalam mengendalikan krisis keuangan global bisa diandalkan. Istilah G7 menjadi sangat populer dalam perbincangan di berbagai forum internasional maupun akademis.

G7 merupakan istilah untuk memberi nama kelompok 7 negara yang tergabung dalam sebuah kerja sama institusi guna memikirkan kestabilan perekonomian dan pertumbuhan ekonomi dunia. Ketujuh negara tersebut adalah AS, Jerman, Prancis, Jepang, Inggris, Itali, dan Kanada.

Awal mula ide terbentuknya G7 diawali oleh pertemuan yang digagas oleh Kanselir German, Schmidt dan Presiden Prancis Giscard di Prancis, di tahun 1975 yang dihadiri oleh 6 pemimpin negara. Kanada belum diundang pada pertemuan tersebut. Pertemuan pada waktu itu sebenarnya lebih bersifat pertemuan silaturahmi antar pemimpin negara yang sedang menghadapi perang dingin melawan Rusia.

Pada 1976, Ford dan Henry Kissinger, yang berpikiran lebih ke depan dengan melihat bahwa pertemuan itu dapat bersifat institusional dan menjadi forum kerja sama ekonomi dunia, menjadi tuan rumah pertemuan dengan mengundang satu anggota tambahan Kanada. Sejak saat itu istilah G7 dikenal masyarakat dunia.

Kiprah G7 sejak 1980-an bergeser ke arah koordinasi kebijakan ekonomi dan moneter, sehingga pertemuan-pertemuan dilakukan antara menteri-menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara yang tergabung.

Koordinasi G7 menjadi sangat penting perannya ketika mereka mampu melakukan koordinasi kebijakan ekonomi, koordinasi kebijakan untuk mengatasi krisis keuangan global yang diakibatkan oleh krisis minyak di 1980-an, mendorong kerja sama perdagangan internasional dan menyelenggarakan putaran Tokyo dan putaran Uruguay, serta membantu pemecahan permasalahan utang negara-negara yang sedang berkembang.
Pada 1990-an tantangan dunia menjadi berubah. Perang dingin telah usai. Rusia sudah membuka diri. Agenda pertemuan menjadi terbelah. Di satu sisi sekelompok anggota mulai terdorong kepada permasalahan dunia seperti masalah lingkungan, kemiskinan, tindak kriminal yang bersifat internasional, terorisme, korupsi, yang solusinya perlu melibatkan seluruh negara di dunia.

Kelompok lain tetap bersikukuh pada agenda lama berkaitan dengan koordinasi kebijakan ekonomi terutama agendanya difokuskan untuk membantu kebangkitan ekonomi negara Rusia.

Sejak 1980-an ketika harga minyak terus meningkat ada fenomena baru di dunia. Penerimaan minyak negara-negara eksportir minyak ditanamkan dalam investasi di luar AS. Karena investasinya terutama di bank-bank Eropa, maka dikenallah istilah Euro dolar.

Uang dolar AS tetapi ditanamkan di bank-bank di luar AS. Investasi itu dilakukan di luar AS, karena pemiliknya yang sebagian besar adalah bangsa Arab takut uang mereka dibekukan, jika terjadi masalah antar negara mereka. Uang minyak tersebut jumlahnya sangat besar.

Kenaikan harga minyak di satu sisi menyebabkan sektor riil terpuruk, di sisi lain bank-bank kelebihan likuiditas. Kelebihan likuiditas tidak mungkin disalurkan ke sektor swasta. Banyak usaha bangkrut karena mahalnya harga minyak. Salah satu kemungkinan adalah bahwa kelebihan likuiditas disalurkan dalam bentuk piutang kepada negara yang sedang berkembang dengan bunga murah. Piutang banyak diserap oleh negara-negara Amerika Latin, dan negara-negara Asia termasuk Indonesia.
Pada akhir 1980 an, negara-negara G7 sepakat terhadap kebijakan peningkatan suku bunga bank sentral AS (Fed Fund rate) dalam rangka meningkatkan likuiditas. Kebijakan tersebut berhasil menarik investasi balik ke AS. Di sisi lain kenaikan suku bunga ini berdampak pada meningkatnya suku bunga pinjaman dan depresiasi mata uang di negara-negara yang terlibat utang.

Dampaknya pembayaran bunga dan cicilan utang serta pokok utang meningkat dalam denominasi mata uang negara yang terlibat utang. Negara-negara Amerika Latin yang terbelit utang mengalami krisis utang (debt trap).

Lantas, pada 2000-an negara-negara G7 menghadapi paling tidak dua masalah besar. Yang pertama, kekuatan keuangan swasta yang semakin besar. Yang kedua, negara-negara emerging economy tumbuh menjadi semakin besar. Sejak 1990-an jumlah transaksi keuangan melebihi transaksi barang dan jasa. Banyaknya uang untuk investasi jangka pendek ini dan bebas keluar masuk antar negara mengancam kestabilan perekonomian.

Pada 1998, perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) terkena dampak kekuatan investasi jangka pendek yang tidak mengenal nasionalisme. Tahun 2008 giliran AS mengalami krisis keuangan yang dipicu oleh kredit perumahan (subprime mortgage) yang tidak terkendali.

Krisis merembet ke seluruh dunia. Menghadapi kekuatan ekonomi swasta yang begitu besar koordinasi di antara negara-negara G7 menjadi tidak efektif lagi.
Permasalahan lainnya adalah kekuatan ekonomi G7 menjadi relatif semakin kecil. Tahun 2000, kekuatan ekonomi G7 masih sebesar dua kali lipat kekuatan ekonomi 7 negara dalam kelompok emerging economy (E7), yaitu Cina, Brasil, India, Indonesia, Rusia, Turki, dan Meksiko.

Pada tahun 2010, keunggulan ekonomi negara G7 terhadap negara E7 sudah turun sebesar 35%. Pricewaterhouse Cooper meramalkan bahwa pada tahun 2019 kekuatan ekonomi negara G7 sudah seimbang dengan kekuatan ekonomi E7. Kekuatan koordinasi kebijakan ekonomi G7 semakin tidak efektif dalam mengatasi krisis ekonomi. Jadi sudah saatnya G7 bekerja sama dengan negara-negara lain di dunia termasuk utamanya dengan E7 untuk membahas isu-isu global, tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga isu lingkungan, kemiskinan, terorisme, korupsi, dan international crime.

Masalah-masalah kesejahteraan tersebut hanya bisa dipecahkan jika ada kerja sama antar negara-negara di dunia secara bersama-sama. Dengan demikian, masalah ketidakseimbangan global yang mengemuka akhir-akhir ini akan dapat dipecahkan apabila terjalin koordinasi dan komunikasi yang semakin intensif antara G7 dengan E7. lebih-lebih ada beberapa negara yang menjadi anggota G7 dan juga anggota E7 seperti Indonesia. Bahkan dalam forum G20 pun Indonesia juga menjadi anggotanya.

Kini pemulihan ekonomi dunia sangat bergantung kepada kiprah nyata E7, terutama Cina, untuk dapat membeli surat-surat utang (obligasi negara) yang dterbitkan oleh negara-negara Eropa yang terkena krisis utang. Hanya dengan kerelaan E7 untuk membantu, maka pemulihan ekonomi Eropa dapat bekerja lebih efektif untuk memperkuat kebijakan yang ditempuh Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) dan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait dengan paket dana talangan (bailout) ke Yunani.


Business News