Selasa, 22 November 2011

Menunggu Industri Peternakan yang Peduli Animal Welfare

Animal welfare dimaknai sebagai upaya kita memperlakukan ternak dengan menimbang aspek kenyamanan dan sikap natural ternak tersebut.

Teman saya yang berasal dari Vietnam menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya. Pasalnya, ketika kami melakukan penelitian untuk penyelesaian studi, kami diharuskan mempresentasikan proposal kami dihadapan “Animal Ethic Committee”. Kami dicecar pertanyaan sekitar animal welfare (kesejahteraan ternak), mulai dari jumlah ternak yang digunakan hingga masalah penanganan dan pemotongan ternak. Bagi tim animal ethic, semakin banyak ternak yang kita gunakan, akan semakin banyak ternak/ binatang yang kita sakiti dan dibuat tidak nyaman.

Logika ini jelas bertolak belakang dengan orang – orang statistik yang menghendaki sampel lebih banyak dalam penelitian. Output dari seminar ini adalah rekomendasi dan izin penelitian yang dikeluarkan oleh animal ethic committee bahwa kita berhak dan mendapatkan izin penelitian dengan melibatkan ternak atau binatang. Saya kira, model regulasi seperti ini seragam diberlakukan di negara – negara yang peduli akan animal welfare.

Saya juga geleng kepala, ketika menyaksikan teman saya sampai bersedih dan meneteskan air mata menyaksikan anjingnya yang mengalami kecelakaan hingga patah tulang. Bukan cuma itu, dia sengaja merogoh koceknya sekitar ribuan dolar untuk operasi penyembuhan anjing kesayangannya. Padahal, uang ribuan dolar tersebut, bagi saya, sudah seharga mobil bekas yang saya gunakan untuk keperluan kuliah dan keperluan sehari – hari. Baginya, rasa peduli terhadap hewan tersebut lebih tinggi nilainya dari uang ribuan dolar yang dia keluarkan. Ini sebuah pola pikir dan pola bersikap yang tidak lahir dengan instan. Ada kultur dan sistem yang membentuk pola sikap seperti itu.

Di negeri teman saya, Vietnam dan di negeri ini, kosa kata “animal welfare” masih terasa aneh. Memperlakukan ternak/ binatang semanusiawi mungkin masih sulit dipahami apalagi dilakukan. Animal welfare dimaknai sebagai upaya kita memperlakukan ternak dengan menimbang aspek kenyamanan dan sikap natural ternak tersebut. Bagi kita, ternak tetap binatang yang mesti diperlakukan seperti budak. Kita dapat memperlakukan ternak/binatang sesuka hati. Tengok keseharian yang terjadi di masyarakat kita, ternak dijejal dan digantung dibelakang sadel motor untuk dijajakan di pasar tradisional. Luas kandang yang nyaman buat ternak unggas yang dipelihara secara komersial juga belum diperhitungkan. Manajemen waktu gelap dan terang bagi ternak unggas pedaging belum menjadi program yang mesti diberlakukan. Penanganan kesehatan untuk ternak juga masih minimal untuk diaplikasikan. Inilah sebagian kecil contoh tentang perlakuan dan sikap kita terhadap animal welfare. Ternak/binatang, sekali lagi, masih kita anggap budak yang tidak berhak mendapatkan hidup layak apalagi rasa nyaman.

Kita kemudian kaget ketika ada pelarangan ekspor sapi hidup dari Australia ke Indonesia. Hal ini dipicu dari protes LSM dan masyarakat pencinta binatang di Australia terhadap perlakuan pemotongan sapi di rumah potong hewan tradisional. Bagi mereka perlakuan dengan cara membanting dan meletakkan sapi di atas lantai yang licin merupakan perlakuan barbar yang sadis. Video yang jadi rujukan sebagian masyarakat Australia memang sangat dramatis, karena ada sapi yang sudah disembelih masih dapat berdiri dan berjalan. Jiwa pri “kemanusiaan” mereka terhadap ternak tidak dapat menerima perlakuan seperti itu. Mereka pun berteriak untuk menghentikan ekspor sapi ke Indonesia. Dan regulasi pun keluar, untuk sementara, Pemerintah Australia melarang ekspor sapi ke Indonesia.

Kita semua bereaksi. Peternak sapi lokal melakukan syukuran karena ini berdampak pada kenaikan harga daging sapi yang dalam jangka lama akan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pengamat melihat ini momentum tepat untuk secara mati – matian menggalakkan upaya swasembada daging sapi yang selama ini selalu gagal dieksekusi. Tetapi pihak legislatif bersuara lain. DPR menggertak pemerintah Australia : untk mau segera mengekspor sapi ke Indonesia atau kita embargo!. Tuntutan juga datang dari asosiasi peternak sapi di Australia untuk segera mengekspor sapi ke Indonesia. Hal ini dikarenakan 60% pangsa pasar sapi Australia ke Indonesia. Pemerintah Australia terpaksa berkompromi, kesepakatan kemudian dibangun. Australia mempercepat pencabutan pelarangan ekspor sapi ke Indonesia dengan syarat Indonesia harus membenahi sistem dan prosedur pemotongan hewan di rumah potong hewan.

Kondisi ini menggambarkan betapa issue animal welfare telah masuk ke ranah publik dan politik. Issue tentang pemotongan hewan baru sebagian kecil dari issue besar di bidang animal welfare. Padahal, baru issue sekecil ini saja kita kelihatannya sudah mulai kelimpungan. Bayangkan, jika negara – negara produsen strain ayam tertentu (misalnya strain Cobb dan Ross) melakukan hal yang sama ke Indonesia, dengan alasan yang sama yakni animal welfare.

Uni Eropa juga telah menegaskan akan melarang impor produk ternak yang masuk ke Eropa yang tidak mempertimbangkan aspek animal welfare dalam proses pemeliharaan dan penanganan pemotongan. Ini semua menegaskan kepada kita bahwa era animal welfare telah berada di gerbang depan yang cepat ataupun lambat dan kita setuju atau pun tidak, perlahan mesti kita lewati.

Regulasi animal welfare secara lebih detail baik untuk sektor perunggasan maupun ternak potong besar mesti segera dirumuskan. Perlahan kita harus segera belajar untuk memperlakukan ternak lebih manusiawi. Kalkulasi ekonomis memang merepotkan dan membengkakkan biaya produksi. Tetapi, roda dan gagasan “animal welfare” sedang berputar bak bola salju yang akan terus membesar. Bola ini akan menabrak siapa saja yang mencoba menghadangnya. Saatnya proses edukasi mulai digelindingkan agar ketika bola itu tiba, kita telah siap menghadapinya.


Sumer : Poultry Indonesia