Minggu, 20 November 2011

Kecap Nomor Satu

“Serahkan Jakarta Pada Ahlinya,” tulis spanduk yang bertebaran di ibukota. Entah sadar atau tidak, tim kampanye calon gubernur DKI saat itu sesungguhnya telah mengobral pernyataan. Klaim bahwa sang calon gubernur adalah ahli, pakar dalam mengurus ibukota yang pengap, riuh, macet dan banjir.

Klaim itu tentu saja terkesan arogan. Tapi begitulah kampanye politik. Ada dada yang dibusungkan di situ. Ada bangga diri. Ada ‘kecap nomor satu’. Semua calon gubernur, walikota atau pun calon presiden, menunjuk dirinya sebagai yang terbaik. Yang harus dipilih.

Kampanye atau promosi serupa sesungguhnya juga sering dilakukan perusahaan dalam memasarkan produk, jasa, atau brand-nya.

Bahkan penjual buku pun melakukan hal serupa. Pernahkah Anda perhatikan banyak buku dijual dengan tulisan besar-besar pada sampulnya: best seller?

Jika diperhatikan, ternyata itu hanya klaim sepihak penerbit buku, bukannya hasil audit pihak ketiga (independen) yang menguji tiras buku itu.

“Enak saja ulah mereka itu,” kata kita dalam hati.

Tapi begitulah pengusaha bersiasat, menjual klaim semaunya sendiri,demi mereguk untung sebesar-besarnya dengan cara semurah dan semudah mungkin. Klaim sebagai nomor satu.

“Kecap Nomor Wahid.” Lagi pula, kata sang penerbit, siapa mau peduli pada klaim itu? Siapa yang akan berkeberatan? Di negeri yang hukum belum terlalu tegak ini, siapa bakal menuntut pernyataan publik begitu?

Seperti disebutkan di atas, para tokoh politik juga sering membuat klaim serupa. Jakarta yang katanya diurus sang “ahli”-nya itu pun malah menjadi kian macet, kejahatannya makin meningkat, dan tetap saja dirundung banjir yang pantang bersurut.

Di tingkat nasional, jangan kaget bila kelak ada calon presiden yang mengumbar janji seperti, ”Mari sejahterakan bangsa bersama kami,” atau “Mari Berantas Korupsi Bersama,” – seolah ia paling ahli dalam teori dan praktek ekonomi untuk menyejahterakan rakyat, paling peduli pada orang miskin dan paling punya integritas dalam melawan korupsi.

Tapi itu semua memang wajar. Namanya juga kampanye. Seperti promosi produk atau jasa, kampanye dilakukan untuk mengubah persepsi audiens agar tertarik.

Kalau tidak sampai membeli (produk) atau mencoblos kandidat dalam pemilu, lewat kampanye dan promosi minimal persepsi konsumen atau audiens berubah dari negatif menjadi positif atau dari ‘anti’ menjadi netral atau (lebih baik lagi kalau bisa) ‘pro’ – berkat citra yang ditawarkan pengiklan.

Orang marketing selalu berusaha mengubah persepsi itu – sehingga dikatakan bahwa marketing itu ‘menjual nilai-nilai yang dipersepsikan’ oleh audiensnya.

Marketing itu adalah metode agar ‘dengan membayar harga yang sama sang pembeli ‘merasa’ mendapatkan nilai yang lebih ketimbang jika ia membeli produk lain’. Metode agar *audience* ‘menganggap’ dengan sedikit pengorbanan – seperti uang, pikiran dan waktu – akan diperoleh kepuasan yang tinggi.

Kata ‘merasa’, atau ‘menganggap’ perlu digarisbawahi, karena ia adalah soal emosi – soal persepsi; yang seringkali abstrak. Ada tapi sulit diraba. ‘Subconscious’, kata orang Inggris.

Tentu sah-sah saja orang berkampanye dengan menjual ‘kecap nomor satu’ itu. Tapi khalayak juga tidak bodoh. Orang tahu bahwa di dunia ini – berbeda dengan akhirat, yang promosi mengenainya tak akan mampu menggambarkan betapa agungnya keindahan akhirat -- semua promosi di alam ini pasti lebih indah dari aslinya.

Itu sebabnya di dunia ini yang harus dilihat adalah hasil setelah promosi. Puas tidakkah sang audiens, sang pembeli atau ‘voters’ tokoh politik, sesudah ‘membeli’nya?

Ahli komunikasi – praktisi marketing atau PR – berharap semua audiens itu puas, dan melangkah lebih jauh sehingga menjadi pelanggan, atau lebih baik lagi bila mereka bisa menjadi loyalis sejati.

Lazimnya, pencapaian ke tahap itu dilakukan melalui penggarapan customer relationship yang baik. Bukan mustahil, berkat upaya itu, para konsumenatau pemilih akan menjadi ‘ambassador’ bagi *brand* yang dicintainya.

Pada saat ini, mereka justru yang akan *ngomong* ke sana ke mari, secara ‘getok tular’, menjadi duta *brand* tadi kepada orang-orang lain. Itulah ‘word of mouth’ yang diidamkan setiap praktisi komunikasi bagi sebuah brand.

Tetapi tidak semua brand memberi kepuasan. Sering terjadi, justru konsumen kecewa setelah melihat wajah asli dari sang ‘kecap nomor satu’ itu. Saat itulah, saat produk atau tokoh politik tadi mengecewakan audiensnya, maka citranya segera rusak. Bahkan, dalam jangka panjang bukan hanya citra (image), melainkan reputasinya bakal hancur.

Puas tidaknya audiens itu tergantung pada kualitas hubungan – quality of relationship –yang dibangun antara perusahaan atau pemilik brand dengan sang audience. Dan kualitas hubungan itu bergantung pada trust (kepercayaan), komitmen, dan integritasnya.

Nah, integritas itu yang penting pada tokoh politik. Ia menunjukkan tingginya kualitas prinsip-prinsip moral, khususnya yang menyangkut ‘jiwa’ sang tokoh atau *brand*: seberapa luhur eksistensinya, seberapa ‘sempurna’ dirinya, dan sekuat apa konsistensinya dalam menjunjung kejujuran, prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan atau moralitas.

Bila sang ‘kecap nomor satu’ tadi terbukti tidak punya integritas, tentu reputasinya akan meleleh. Yang penting diketahui adalah bahwa boleh jadi sang *brand* secara sepihak menganggap dirinya berprestasi, atau sukses atau ‘best seller product’, tapi bila persepsi *audience* mengatakan sebaliknya, maka yang apa yang dikatakan *audience* itulah yang berlaku.

Dengan kata lain, meski *brand* berusaha menciptakan citra positif sekuat tenaga, toh pada akhirnya, orang lain – *audience* –lah yang menentukannya.

Dalam jangka pendek penilaian salah satu kelompok audiens disebut citra. Secara jangka panjang, penilaian yang diberikan berbagai audiens terhadap brand secara luas, itulah reputasi. Banyak yang bilang, bahwa reputasi Anda adalah “apa yang dikatakan orang di belakang Anda,” atau “ketika Anda tidak ada di tengah mereka.”

Para pekerja di bidang komunikasi, PR dan marketing, tahu bahwa persepsi adalah kenyataan. Kita juga memahami bahwa orang berhubungan bisnis bukan dengan ‘perusahaan’, melainkan dengan sekumpulan manusia – dan organisasi adalah jumlah nilai-nilai yang diemban orang-orang itu. Segala sesuatunya saling berkelindan.Tidak satu pun yang berdiri sendiri.

Namun, usaha untuk meraih reputasi tidaklah mudah. Sebab, meski manusia pada dasarnya adalah makhluk moral, tetapi berhubung kita hidup dalam era konsumerisme materi, maka orang mudah menjadi rakus ketimbang berpegang pada aturan kejujuran. Mereka terjebak pada kecurangan dan kriminalitas demi kemenangan sementara dalam memperoleh keuntungan, dan lupa bahwa itu berarti kekalahan dalam jangka panjang.

Itu sebabnya, *brand* atau organisasi bukan saja mesti menetapkan nilai-nilai luhur dan kode etik bagi dirinya, melainkan juga harus memastikan integritasnya berjalan secara pasti, dan bahwa mereka mempertimbangkan keuntungan jangka panjang – yang erat kaitannya dengan reputasi – dan bukan sekadar rakus pada laba jangka pendek.

Banyak korupsi terjadi akibat orang mendasarkan dirinya pada asumsi bahwa, bila Anda menyembunyikan praktek-praktek etika sambil “menyatakan” bahwa Anda tidak berbuat salah dan mengulang pernyataan itu berkali-kali – artinya bahwa Anda tetap ‘kecap nomor satu” --; maka Anda bisa lolos dari investigasi (oleh badan semacam KPK) dan sorotan media.

Tentu saja itu salah. Organisasi, tokoh atau brand tidak cukup hanya‘ngecap’ – dan mengira audiesnya bodoh. Kata orang bijak, “Anda bisa membodohi seseorang terus menerus, atau mengelabui orang banyak (audiens) sekali-sekali. Tapi Anda tidak bisa membodohi orang banyak terus menerus.” Atau, meminjam dari Franklin D. Roosevelt, “pengulangan tidak bisa mengubah kebohongan menjadi kebenaran.”


Oleh: Syafiq Basri Assega