Senin, 28 November 2011

Urgensi Peningkatan Efisiensi Operasional Bank

Sejak Oktober lalu dan berlanjut November, Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan atau BI rate secara agresif masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) dan 50 bps yang membawa BI rate pada level 6%.

Keberanian BI menurunkan BI rate 75 bps hanya dalam waktu dua bulan mengundang decak kagum kalangan ekonom dan pelaku usaha. Secara eksplisit BI ingin mengirimkan pesan bahwa sudah saatnya perbankan juga mengikuti langkah BI, yakni menurunkan suku bunga kredit.

Tujuannya pun jelas, agar sektor riil lebih bergairah. Apalagi dampak krisis utang Eropa dan krisis fiskal Amerika Serikat justru akan dirasakan di tahun 2012 nanti. Maka dari itu, agar dunia usaha bisa tetap ekspansif untuk bisa menangkap peluang bisnis di dalam negeri, kegiatan usaha dengan segala eskalasinya harus dipercepat. Dan untuk kebutuhan ini, penurunan suku bunga kredit menjadi salah satu upaya penting.

Harus dimaklumi bahwa percepatan penurunan BI rate memang belum sebanding dengan penurunan suku bunga kredit. Mungkin saja penurunan suku bunga sudah tercermin dari Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) atau Prime Lending Rate (PLR). Namun, SBDK itu sendiri belum merupakan suku bunga kredit yang riil, karena suku bunga kredit yang riil masih harus memasukkan premi risiko.

Ironisnya, ditengarai sejumlah bank masih mengenakan premi risiko yang tinggi, berkisar 1%-3% sehingga kalau besaran premi risiko ini ditambahkan dengan SBDK yang berkisar 10%-12%, suku bunga kredit riil menjadi berkisar 11%-15%. Kisaran suku bunga kredit yang masih di atas 10% itulah yang selama ini dikeluhkan oleh banyak kalangan pelaku usaha. Mereka maunya suku bunga kredit berada pada posisi single digit alias maksimal 10% saja.

Pertanyaannya: apakah harapan itu memungkinkan untuk bisa dipenuhi? Jawabannya: sangat memungkinkan, namun dengan syarat yang tidak mudah. Pertama, inflasi riil (yoy maupun ytd) dan ekspektasi inflasi harus berada dalam level yang rendah di bawah 4%. Dengan inflasi rendah, ada peluang BI rate turun lagi ke level 5%. Tentu ini bukan pekerjaan mudah, tapi kalau ada kemauan kuat dan koordinasi yang harmonis dari pemerintah dan BI untuk mengejar target inflasi 4%, tentu semua itu bisa dicapai.

Kedua, ada kemauan kuat dari perbankan untuk secara berkelanjutan meningkatkan efisiensi operasionalnya. Indikator untuk mengukur tingkat efisiensi bank ada dua, yaitu Cost to Income Ratio (CIR) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).

Saat ini rata-rata CIR berkisar 50% dan rata-rata BOPO berkisar 80%. Tidak bisa dikatakan tinggi dalam artian tidak efisien, namun masih terbuka peluang untuk diturunkan ke kisaran 45% untuk CIR dan 70% untuk BOPO. Pada kisaran inilah bisa dikatakan operasional bank sudah mendekati tingkat efisiensi yang optimal.
Masuk akal apabila secara konsisten BI terus meminta perbankan lebih mengedepankan efisiensi dalam melakukan ekspansi usaha pada tahun depan. Secara tidak langsung efisiensi akan menyokong pertumbuhan kredit karena dengan suku bunga kredit yang rendah memacu permintaan masyarakat.

Bank sentral diketahui mulai mengkonsolidasikan Rencana Bisnis Bank (RBB) pada tahun 2012. Dalam rencana tersebut BI meminta bank lebih fokus kepada efisiensi menyusul masih tingginya suku bunga kredit perbankan meskipun diterapkan SBDK. Bahkan, rasio BOPO pun meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu disebabkan peningkatan biaya dana seiring dengan perebutan likuiditas untuk ekspansi kredit.

Berdasarkan data BI per Agustus 2011, BOPO meningkat menjadi 89,34% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 86,63%, padahal pada April-Mei sempat melorot pada posisi terendah 84,46%, setelah pada Januari melonjak 118,24%.
Mungkin saja perbaikan efisiensi operasional bukan bersifat fisik yang bisa dilihat secara nyata seperti pemakaian gedung, kendaraan operasional, sumber daya manusia dan logisktik lainnya, namun juga bisa perbaikan struktur organisasi bank yang lebih pro bisnis.

Ambil contoh, struktur organisasi yang terlalu tinggi mencerminkan rentang kendali yang lebar sehingga terkesan birokratis dan tentu saja tidak efisien. Atau struktur organisasi yang terlalu dominan formasi unit-unit fungsional atau pendukungnya ketimbang unit-unit bisnis yang berorientasi pada profit. Peninjauan ulang struktur organisasi ini menjadi penting agar jalannya roda usaha bank menjadi lebih lincah, dinamis dan profitable.

Saat ini ada satu momentum yang baik bagi perbankan untuk secara serius meningkatkan efisiensi operasional, yakni ketika ekspektasi krisis Eropa dan AS masih akan mendera perekonomian nasional pada tahun depan.

Dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi tahun 2012 di level 6,5%, maka kredit perbankan diproyeksikan mencapai 18%-22%. Hal itu akan lebih rendah dari target pada tahun ini sekitar 23,5%. Hingga kuartal III/2011 realisasi pertumbuhan kredit perbankan mencapai 23,8% atau secara nominal bertambah Rp394,88 triliun menjadi Rp2.054,1 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp1.659,2 triliun.

Kredit sektor produktif mendominasi pertumbuhan pembiayaan perbankan terutama realisasi dari proyek infrastruktur dan pertambangan. Kredit investasi tercatat tumbuh 30,1% menjadi Rp426,28 triliun.

Namun, kenaikan sebesar itu masih belum bisa menandingi portofolio Kredit Modal Kerja (KMK) dan kredit konsumsi (KK) karena secara outstanding lebih besar. Dengan pertumbuhan 20,8%, KMK menjadi Rp988,35 triliun dan KK naik 24,8% menjadi Rp640,62 triliun.

Sebenarnya perbankan sangat berkepentingan untuk menjaga kinerja bank tetap baik di tahun depan ketika krisis Eropa dan AS masih membayangi. Penyaluran kredit tetap bakal menjadi tumpuan untuk membukukan laba yang tinggi. Untuk itu, perluasan potensi debitur harus dilakukan, bukan saja melalui pembukaan kantor cabang baru atau relokasi kantor cabang, namun juga melalui penurunan suku bunga kredit.
Percuma saja kantor cabang diperbanyak, namun tidak ada debitur yang mengajukan kredit karena terkendala tingginya suku bunga kredit. Jadi, perbankan harus menurunkan suku bunga kredit secara bertahap, untuk memancing hasrat pengusaha mengajukan kredit.

Secara khusus penyaluran kredit sebaiknya diarahkan ke sektor padat karya dan padat modal terutama infrastruktur dasar. Sebagai sebuah strategi bisnis, hal ini sangat bernilai karena pembangunan infrastruktur ini akan menjadi penopang kenaikan daya saing Indonesia dalam menggaet investor asing.

Ketika perekonomian negara-negara maju sudah pulih dan berkehendak melakukan investasi ke emerging markets di Asia, Indonesia sudah siap menyambutnya karena kondisi infrastruktur dasarnya sudah jauh lebih baik. Harapan yang kelihatan bombastis ini akan menjadi kenyataan apabila suku bunga di Indonesia bisa lebih bersaing. Di situlah peningkatan efisiensi operasional bank menjadi salah satu faktor dominan untuk meningkatkan fungsi intermediasi karena suku bunga sudah melandai secara bertahap.


Business News