Rabu, 31 Desember 2008

Catatan Akhir Tahun

Kita sudah mendekati penghujung 2008. Tahun yang ditandai dengan turbulensi besar dalam perekonomian global. Dalam menutup 2008 ini,sedikit refleksi diperlukan untuk membawa kita lebih mensyukuri apa yang kita capai tahun ini.

Masih sangat segar dalam ingatan kita betapa kekhawatiran dirasakan memuncak pada bulan Oktober lalu di mana krisis finansial global sudah mengarah pada disrupsi perekonomian secara luas.

Keadaan tersebut diperburuk oleh perkembangan yang sebetulnya bersifat lokal, tetapi kebetulan terjadi bersamaan dengan krisis global, yaitu kekeringan likuiditas yang sangat serius sehingga memunculkan kekhawatiran yang besar terhadap keamanan sistem perbankan kita.

Sementara itu sebuah kecelakaan juga terjadi secara bersamaan, yaitu ditutupnya Bank Indover oleh Otoritas Pengawasan Bank Belanda. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap USD serta indeks harga saham juga terjerembab ke tingkat yang mulai mengkhawatirkan.

Berbagai hal tersebut secara objektif memang pantas membuat banyak pihak khawatir dengan apa yang terjadi sesudahnya. Oleh karena itu kita sungguh bersyukur bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas bisa dilakukan dengan sangat cepat sehingga dapat mengurangi kekhawatiran yang tidak perlu.

Demikian juga dengan langkah untuk meningkatkan penjaminan simpanan sampai dengan Rp2 miliar merupakan langkah strategis yang patut dihargai karena pada akhirnya masalah kepercayaan nasabah merupakan hal yang sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.Pengalaman krisis tahun 1997 mengajari banyak hal mengenai hal tersebut. Pada akhirnya, orang harus pintar untuk tetap menjaga kepercayaan publik. Semacam confidence game memang merupakan bagian dari penanganan krisis yang harus dilakukan.

Perekonomian Domestik sebagai Motor

Mendekati penghujung 2008 ini, kita melihat apa yang terjadi di Indonesia umumnya berada dalam kendali yang cukup kokoh. Pada saat second round effect dari krisis subprime sudah semakin menemukan bentuknya, kita melihat resesi yang sudah terjadi di Amerika Serikat diikuti dengan Jerman, Italia, bahkan Jepang.

Di kawasan kita, Singapura mengalami pukulan yang cukup tajam. Begitu juga dengan Malaysia. Kedua negara tersebut memiliki rasio ekspor terhadap perekonomian (PDB) yang sangat besar. Di samping itu, komposisi ekspor mereka juga berat pada produk elektronik yang permintaannya bisa ditunda. Ini berakibat krisis yang terjadi secara global tersebut serta-merta memukul sektor yang menjadi pilar penting negara tersebut.

Sementara itu, dalam keadaan seperti itu, pandangan banyak pihak berpaling ke negara-negara Asia, terutama Cina dan India, termasuk Indonesia. Saya merupakan orang yang memiliki kedekatan yang sangat tinggi terhadap dunia usaha di bidang perbankan, industri makanan, dan keperluan rumah tangga (personal care and household care) serta industri lain yang berkaitan dengan elektronik, tembakau, dan sebagainya.

Dari informasi yang terkumpul sampai saat ini, suatu anomali justru terjadi. Berbagai perusahaan tersebut justru menunjukkan kinerja yang sangat positif, bahkan bisa dikatakan memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.

Demikian juga dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang paling dikhawatirkan akan paling terkena dampak krisis global tersebut. Meskipun berbagai kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup (serta kelangsungan tersedianya lapangan kerja) adalah "bisa diterima akal", pada akhirnya semua hal tidaklah berlangsung secara linier.

Khusus untuk industri TPT ini, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan bahwa banyak prinsipal yang memindahkan ordernya dari China ke Indonesia. Perpindahan ini terjadi karena upah tenaga kerja yang jauh meningkat di China.

Pernyataan ini didukung pula oleh cerita yang saya peroleh dari Alain Piere Mignon, Ketua Kamar Dagang Prancis di Indonesia yang menyuplai teknologi untuk industri TPT. Ternyata sampai hari ini masih terjadi pemesanan mesin baru untuk industri garmen karena adanya order yang datang ke perusahaan mereka.

Beberapa investor Korea membuka pabrik baru di Sukabumi, sedangkan pesanan mesin baru tersebut datang dari pengusaha di Ungaran. Sementara itu, informasi dari daerah menyebutkan bahwa untuk produk perkebunan seperti karet dan kelapa sawit, penyesuaian dengan harga yang ada sekarang ini telah terjadi sehingga memungkinkan mereka bergerak lagi.
Petani karet mulai menoreh getah setelah harga karet per kilo naik menjadi Rp. 8.000. Adapun di bidang pertambangan masih banyak pula berbagai berita positif yang masuk. Bahkan Bumi Resources yang sahamnya hancur-hancuran sebetulnya merupakan perusahaan yang tetap bisa menangguk untung besar.Harga rata-rata produksi mereka mencapai USD75 per ton, sedangkan biaya produksinya hanya sekitar USD30 per ton.

Dengan berbagai informasi tersebut, perekonomian Indonesia sampai dengan penghujung tahun 2008 masih bisa dikatakan cukup aman. Saya bahkan merasa yakin bahwa PDB kita di kuartal IV 2008 ini masih memungkinkan untuk menghasilkan PDB sepanjang 2008 untuk tumbuh sedikit di atas 6%. Ini berarti kuartal IV menghasilkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,5%.

Sektor Pertanian yang Menjadi Penyelamat

Pada waktu krisis 1997, saya senantiasa memperhatikan persawahan kita sebelum mendarat di Cengkareng. Jika warnanya hijau, saya merasa tenang bahwa sektor pertanian kita tidaklah dilanda kekeringan yang menghancurkan perekonomian di akar rumput. Dewasa ini ternyata keadaan yang sama juga berlangsung. Tahun 2008 ternyata terjadi swasembada beras.

Bahkan juga jagung dan kedelai yang mengalami kenaikan produksi yang cukup tinggi. Perkembangan tersebut memungkinkan mayoritas penduduk Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang mencukupi. Bahkan bukan tidak mungkin produksi yang ada, beserta kenaikan harga gabah yang dilakukan pemerintah, memungkinkan mereka memiliki daya beli untuk dibelanjakan pada produk-produk yang lain.

Ini berarti sektor pertanian memungkinkan terciptanya pertumbuhan perekonomian domestik yang cukup besar. Dengan perkembangan tersebut, tidaklah mengherankan bahwa berbagai produk industri yang saya ceritakan di atas memiliki pertumbuhan yang tetap tinggi, bahkan hingga akhir tahun 2008 ini. Untuk 2009, kita sangat mengharapkan suku bunga mulai turun kembali secara perlahan-lahan.

Penurunan suku bunga tersebut, yang disertai ketersediaan kredit yang lebih besar, akan memungkinkan industri automotif dan properti bergerak kembali. Pada akhirnya memang diperlukan suatu kepercayaan yang besar bahwa apa yang terjadi di Indonesia mungkin bisa dikatakan terlepas dari sumber krisis di Amerika Serikat. Bagi yang optimistis,siapa tahu tahun-tahun krisis ini justru menjadi turning point Indonesia untuk menjadi negara yang lebih patut diperhitungkan di perekonomian global. (*)


Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Rektor ABFII Perbanas