Senin, 01 Desember 2008

Kartu Nama

Kami baru melakukan reuni. Sudah 30 tahun tak bersua. Ada yang masih sering berhubungan karena jadi kolega, ada pula yang masih bersambut ria di dunia maya. Akan tetapi, banyak yang baru bertemu setelah masa pisah dulu.

Tak ada cerita masa kini apalagi masa depan yang sulit diprediksi, semua terhanyut pada kenangan masa lalu. Potret diri masa lalu diolah kembali, diproyeksikan dalam layar lebar perbincangan bak memutar rekaman video. Seakan-akan kejadian itu baru saja terjadi. Hampir tak ada yang merasa bahwa sekarang kami sudah punya anak sebesar kami dulu. Jasad jauh berbeda dari ketika pertama bertemu. Satu hal yang sama, jiwa dan semangat masih seperti yang dulu. Lucu dan lugu, tanpa sekat dan embel-embel yang memisahkan persahabatan gaya SMA.

Empat jam memang tidak cukup untuk mengetahui siapa masing-masing di dunia nyata yang bernama the present. Bahkan, banyak yang tak sempat bertukar kartu nama. Namun yang pasti, hampir semua bertukar nomor telepon seluler. Kartu nama tidak penting, nomor ponsel lebih penting. Mengapa?

Pertama, kartu nama membuat sekat persahabatan antara yang berkedudukan tinggi dan yang berposisi rendah. Ketika yang satu hanya mampu berkarier pada jabatan manajer dan yang lain sudah bergelar CEO, maka mendadak sontak strata itu muncul. Persahabatan seolah-olah berhenti pada sekadar teman SMA. Yang merasa ada di bawah akan miris untuk kontak lagi setelah reuni itu. Pagar sekretaris dan ajudan disertai satpam terlalu sulit ditembus. Akibatnya, pertemanan menjadi terhenti. Komunikasi hanya kalau terjadi reuni lagi. Mengapa? Embel-embel posisi di kartu nama yang kadang membuat kisruh hubungan antarmanusia sebagai teman. Padahal, tidak begitu maksud yang di atas dan tidak begitu kemauan yang di bawah. Persepsi terhadap posisilah yang membuat ada jarak antara atas dan bawah.

Kedua, kartu nama membuat sekat antara yang kaya dan miskin. Embel-embel semacam pengusaha dan pemilik atau bos dan CEO menjadikan pertemanan sedikit terganggu dengan tembok nilai deposito di bank. Ditambah lagi, gemerlap berlian di jari kanan dan arloji emas ”limited edition” di tangan kiri, plus diantar dengan mobil mewah dengan sopir dan ajudan, jurang itu semakin lebar. Padahal dulu, sama-sama ke sekolah dengan sepeda butut. Dulu, satu nasi bungkus dibagi dua terasa biasa. Sekarang, muncul tirai pembatas. Kepemilikan akan kebendaan membuat gaya hidup dan bicara sangat berbeda. Tanpa sadar, tutur kata dan tutur benda yang ditunjukkan dengan penampilan luar ini membatasi kedekatan hati. Padahal, ini juga soal persepsi bahwa disparitas pendapatanlah yang membuat terjadinya peperangan dan permusuhan. Antara the haves dan the have-nots tidak mungkin disatukan. Ilusi yang hanya ada di sinetron televisi. Dalam hidup nyata, banyak yang mampu bersahabat tanpa ada sekat kekayaan.

Ketiga, kartu nama membuat sekat yang terpelajar dengan yang kurang berpendidikan. Yang bergelar Dr., MBA dan MSC menjadi lebih percaya diri tatkala diskusi soal masa lalu dibandingkan dengan juara kelas tempo dulu yang karena kemampuan ekonomi hanya mampu menamatkan tingkat D-3. Kalau soal masa kini, mungkin masih bisa dimengerti. Namun kalau soal mengapa pak guru yang satu itu dulu suka memberi PR dan yang lain tidak, tentu tidak berkaitan dengan embel-embel gelar dan ilmu baru hasil pendidikan lanjutan. Dalam diskusi santai tersebut, yang merasa tanpa gelar hanya sedikit memberi masukan, padahal dulu ia ketua kelas. Mendadak tingkat kepercayaan diri hilang, apalagi kalau dalam cas-cis-cus itu terselip banyak bahasa asing yang tak gampang dimengerti orang awam karena sahabatnya ini sudah 20 tahun berada di negeri seberang.

Ketiga sekat itu nyaris ada walau acapkali tak terucap oleh yang merasa berada pada strata lain. Kesenjangan kata ”sukses” menurut kacamata banyak orang yang selalu dihubungkan dengan position, possession dan professionalism membuat dunia persahabatan menjadi terkotak. Padahal, di hati kecil yang disebut si sukses, tidak tebersit sedikit pun bahwa ia berbeda. Akan tetapi, gaya bicara dan penampilannya tanpa sadar membuat perbedaan itu semakin nyata. Apalagi kalau sudah cerita masa kini dengan anak-anaknya yang sekolah di negera seberang dan pengalaman hidupnya yang sudah mengelilingi dunia tujuh kali, tembok pemisah menjadi semakin lebar.

Cerita lucu dan lugu menjadi asing dan kaku bagi yang lain. Bila tidak disadari, reuni membuat persahabatan jadi sirna. Dari teman menjadi sekadar pernah kenal atau pernah satu sekolah. Kartu nama memang mampu membuat sahabat baru, tapi mampu pula meruntuhkan sahabat lama. Sahabat yang baru terbentuk setelah melihat kartu nama adalah sahabat yang bisa mendapatkan sesuatu dari kartu nama itu, entah hubungan bisnis atau hubungan transaksional lain, tapi bukan hubungan teman seperti ketika maih SMA dulu.

Kartu nama dengan embel-embel itu bisa dieliminasi pengaruhnya sampai pada tahap yang tipis tatkala yang berada di atas, alias yang dianggap lebih sukses, mau berucap, ”Nih, nomor ponsel pribadi saya. Kalau ke Jakarta, jangan lupa telepon saya, saya akan jemput. Saya undang untuk tidur di rumah agar kita bisa ngobrol lebih jauh lagi.” Jangan hanya berhenti pada kartu nama, lanjutkan pada kartu lama, yaitu kartu persahabatan.

Ketika emosi ditata masih seperti dulu, maka persahabatan akan kembali mengait. Tanpa embel-embel, hidup menjadi semakin mudah diterima di semua kalangan. Tanpa penampilan yang wah, sahabat menjadi semakin banyak. Makin mau ke bawah, makin sering bertemu orang yang merindukan disebut teman.

Inilah yang juga selayaknya dijalankan para pemimpin. Ketika mau berpakaian yang sama dengan karyawan, makan dengan menu yang sama dan berbicara dengan bahasa yang sama, maka tembok dan tirai pemisah akan semakin tipis. Tidak mungkin menghilangkannya karena memang secara faktual berbeda. Namun di dalam jiwa, kita sama-sama karyawan, sama-sama ciptaan Tuhan yang tidak akan membawa apa pun atribut dan embel-embel kita ke surga.


Sumber : Sidang pembaca SWA dan penulis buku Built to Bless