Selasa, 13 September 2011

Mengendors Ekonomi Kerakyatan

Untuk yang kesekian kalinya dukungan kepada ekonomi kerakyatan dilontarkan. Kali ini, urgensi ideologi yang mendapat tempat terhormat di dalam UUD 1945 itu dikaitkan dengan pendidikan. Baru-baru ini sebuah media cetak nasional menurunkan berita yang merangkum pendapat sejumlah kalangan yang mengatakan bahwa anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari APBN/APBD tidak akan efektif tanpa dibarengi pembangungan ekonomi rakyat berbasis pertanian. Sektor pertanian dianggap begitu penting antara lain karena dapat membuka banyak lapangan pekerjaan. Dikatakan, tingginya angka ­pengangguran terbuka dari kalangan terdidik disebabkan minimnya lapangan perkerjaan yang tersedia (www.koran-jakarta.com, 7/9/2011).

Kalangan akademisi sejauh ini mencoba membangkitkan kesadaran pemerintah, pengambil kebijakan, dan pelaku ekonomi akan peran yang dapat dimainkan ekonomi kerakyatan dalam rangka mewujudkan apa yang disebut kedaulatan pangan secara nasional. Kalau dicermati, ekonomi kerakyatan rupanya mencakup wilayah yang sangat luas. Kalangan akademisi mengaitkan ekonomi kerakyatan dengan ikhtiar pembangunan kedaulatan pangan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak hanya itu. Ekonomi kerakyatan dikaitkan pula dengan upaya pengelolaan BUMN. Dan lain-lain.

Dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya ada dua inti dari semua perspektif tentang ekonomi kerakyatan itu.
Pertama, bahwa ekonomi kerak­yatan menjadikan seluruh rakyat Indonesia sebagai subyek-sentral dalam pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Sebagai subyek-sentral, kepen­tingan rakyat menjadi indikator untuk menentukan perlu-tidaknya sebuah kebijakan ekonomi diendors/disokong atau sebaliknya. Dengan kata lain, jika ada sebuah kebijakan ekonomi yang terbukti merintangi upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka kebijakan itu mesti ditolak.

Kedua, ekonomi kerakyatan menunjukkan keberpihakan secara legal dan terang-terangan kepada rakyat dan seluruh kepentingan terkait rakyat. Dalam kaitan ini, ekonomi kerakyatan sebetulnya merupakan nama lain dari demokrasi ekonomi di mana elemen terbesar mendapatkan hak yang lebih besar pula.

Inilah yang disebut keberpihakan, meski harus ditambahkan bahwa keberpihakan dimaksud tidak untuk menegasi dan mematikan yang lain. Yang me­narik adalah bahwa setiap kita berbicara soal ekonomi kerakyatan, maka perhatian langsung tertuju kepada UKM dan koperasi. Unit usaha ini kecil dalam ukuran, permodalan dan lain-lain, tetapi memiliki kemampuan kolektif yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja dan tersebar di seluruh Tanah Air.

MPR pada 1998 membuat Keputusan No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi yang menegaskan dukungan kepada ekonomi rakyat, UKM, dan koperasi. Salah satu wujud tindak lanjut dari keputusan itu adalah dijadikannya 17 Oktober 1998 sebagai Hari Kebangkitan Ekonomi Rak­yat. Rakyat pun berharap Keputusan MPR dan pencanangan Hari Kebangkitan Ekonomi Rakyat menjadi momentum dimulainya pembangunan ekonomi nasional dalam kendali ekonomi kerakyatan. Akan tetapi, optimisme dan harapan itu tidak kunjung terwujud sampai kemudian muncul gerakan perlawanan terhadap dominasi faham neolib di dalam desain pembangunan ekonomi nasional. Realitas yang dapat disaksikan saat ini adalah bahwa pendulum ekonomi tetap saja berpihak kepada konglomerat yang selama Orde Baru juga tampil sebagai subyek-sentral pembangunan nasional.

Gerakan yang digalang berbagai kalangan untuk mengendors ekonomi kerakyatan tak pernah surut. Gerakan ini dipastikan akan terus menggema karena ditopang oleh keyakinan bahwa ideologi ekonomi kerakyatan mewakili kepentingan rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan the founding fathers. Penting dicamkan, ekonomi kerakyatan mendorong lahir dan berkembangnya ekonomi rakyat yang tersebar di berbagai daerah.

Jika kini ekonomi kerakyatan dikaitkan dengan pendidikan, itu karena ekonomi kerakyatan diyakini dapat mengatasi persoalan pengangguran terbuka. Angka pengangguran terbuka yang terus membesar merupakan akibat dari lebarnya kesenjangan antara produktivitas lembaga pendidikan dalam menghasilkan kaum terdidik dengan ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan baru.


BusinessNews