Jumat, 09 September 2011

Inspirasi Steve Jobs dan ‘pesan Idul Fitri’ SBY

Sekembali dari menghadiri undangan buka puasa bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jumat malam (26 Agustus 2011), saya merasa surprise tatkala di meja kerja teronggok sebuah buku baru yang judulnya bagi saya teramat menarik: American Wheels Chinese Road.

Judul kecilnya adalah The Story of General Motors in China, yang ditulis oleh Michael J. Dunne, seorang konsultan investasi yang terutama fokus pada pasar mobil di Asia. Mike, panggilan Michael, adalah sosok komplit, karena berasal dari Detroit –Anda tentu tahu, wilayah itu adalah pusat industri otomotif Amerika Serikat—dengan bisnis berbasis di Hong Kong, fasih berbahasa China dan Thailand, serta tinggal di Jakarta.

Saya tentu berterimakasih kepada Mike, yang menepati janji mengirim buku itu ketika kami bertemu pekan lalu dalam sebuah acara di Jakarta. Tentu saya belum sempat membaca lengkap isi buku itu ketika harus menulis kolom ini untuk Anda menjelang Idul Fitri ini.

Sepintas dari ringkasannya, buku itu sangat menarik. Antara lain kisah tentang keberhasilan mengawinkan dua karakter bisnis dan dua karakter politik serta gaya kebijakan yang berbeda antara Amerika, negeri asal GM, serta China, di mana General Motor berhasil investasi dan masuk dengan cemerlang ke pasar terbesar di dunia itu.

Salah satu simpulannya, ketika GM di Amerika nyaris bangkrut pada 2009, anak perusahaan GM di China justru mencetak rekor penjualan dan profit. Mike menjelaskan dalam bukunya itu, bahwa orang-orang yang luar biasa (extraordinary people) serta keputusan-keputusan yang bagus dan kuat (remarkable decisions) merupakan kunci sukses luar biasa bagi GM di China.



Padahal, sambil bermitra dengan produsen mobil China, GM juga sekaligus berkompetisi pada samudera yang sama. Pemerintah China membuat aturan yang memungkinkan tidak saja investor Amerika bermitra –dalam kasus industri otomotif—tetapi juga sekaligus bersaing. Maka Mike memperkirakan dalam 10 tahun ke depan, China akan mengekspor jutaan mobil dan truk ke pasar global, termasuk ke Amerika Serikat, di mana GM berasal.

***

Maka, goresan Mike itu menambah keyakinan tentang kisah sukses berkat apa yang disebut karakter dan keteguhan akan sebuah tujuan.

Karena itu pula, saya merasa mendapatkan surprise yang lain tatkala mendengar bahwa Steve Jobs, sang arsitek sekaligus Chief Executive Officer Apple Inc, lengser keprabon, meski gosip itu sebenarnya sudah muncul sejak Januari lalu. Jobs digantikan Timothy Cook, yang sehari-hari adalah Kepala Operasi atau Chief Operating Officer di Apple.

Tak urung, pertanyaan pun muncul dari banyak kalangan, bagaimana nasib Apple sepeninggal sang arsitek itu? Apakah Tim Cook mampu menggantikan peran Steve Jobs dan bahkan mengangkat Apple ke level bisnis yang lebih tinggi lagi?

Bahkan kemudian respons pasar bergerak secara instan. Harga saham Apple Inc. terkoreksi lebih dari 5% dalam perdagangan Rabu.

Tentu tanda tanya yang muncul maupun respon pasar itu tak mengherankan. Pasalnya, Jobs dipersepsikan sebagai yang paling berjasa menyelamatkan Apple dari kebangkrutan sekitar 10 tahun lalu dan membaliknya menjadi sukses besar. Belakangan Jobs pulalah yang menjadi arsitek utama di balik revolusi perangkat genggam dan teknologi layar sentuh, yang keluar dengan iPod, iPhone dan iPad.

Keteguhan hati dan daya kreatifnya mengantarkan Jobs pada tempat yang kerap disetarakan dengan penemu bohlam Thomas Alfa Edison dan penemu telepon Alexander Graham Bell.

Padahal karir Jobs bukanlah mulus-mulus amat. Dia pernah setidaknya gagal melansir tujuh produk Apple ke pasar. Lalu pada masa awal-awal di Apple, Jobs terkenal sebagai pemimpin yang ringan tangan, terlalu peduli dengan detail, dan sering memaki rekan kerja. Karena itu dia dipaksa keluar pada 1985, sebelum akhirnya dipanggil kembali pada 1996, yang mengantarkan Apple Inc menjadi perusahaan teknologi paling dikagumi di Amerika.

Setelah itu, nilai perusahaan Apple bahkan mengalahkan raksasa minyak AS, Exxon Mobil. Nilai kapitalisasi pasar Apple melampaui Microsoft yang selama ini menduduki puncak perusahaan teknologi pada Mei lalu. Pada tahun 2000, nilai kapitalisasi pasar Apple ‘hanya’ US$5 miliar, saat ini mencapai US$291 miliar.

Apple juga disebutkan memiliki dana US$76,4 miliar, melampaui kas yang dimiliki Washington yang cuma US$73,7 miliar. Forbes malah mencatat, dalam era Jobs, saham Apple naik 6.681%.

Bagaimanapun Jobs telah menunjukkan kelasnya sebagai sang inovator, motivator, sekaligus inspirator. Cara dia mengundurkan diri pun menunjukkan kelasnya sebagai leader yang menginspirasi, meskipun banyak komentar menyebutkan dia sudah tak tahan lagi dengan kanker pankreas yang ditemukan sejak 2004 silam.

Coba simak deh penggalan surat pengunduran dirinya:

Kepada Board Director dan Komunitas Apple,

“… jika ada hari di mana saya tidak dapat lagi memenuhi tanggung jawab dan ekspektasi sebagai CEO Apple, saya akan menjadi orang pertama yang mengatakan hal tersebut. Sayangnya, hari itu telah tiba. Saya dengan ini mengundurkan diri sebagai CEO Apple…… Saya percaya bahwa hari paling bersinar dan paling inovatif Apple telah menanti. Dan, saya berharap bisa melihat dan berkontribusi pada kesuksesan itu dengan peran baru. Saya telah menjalin persahabatan di Apple dalam hidup saya, dan saya berterima kasih atas kesempatan bekerja bertahun-tahun dengan Anda.”


Pujian kepada Jobs tidak hanya datang dari kelompok ‘sekte’ Apple, yangmemburu produk Apple setiap diluncurkan. Chairman Google Eric Schmidt juga memuji Jobs sebagai CEO paling sukses di AS dalam 25 tahun terakhir. Bahkan Presiden Barack Obama mempersonifikasi Jobs sebagai contoh dari “mimpi Amerika”.

***

Karakter juga menjadi cirikhas si empunya Microsoft Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia yang juga banyak disanjung orang. Presiden SBY bahkan pernah mengundang Gates sebagai pembicara dalam Presidential Lecture beberapa waktu silam.

Satu hal, bahwa top leader sukses macam Jobs dan Bill Gates ini ternyata punya ciri khas yang sama: humble. Maka sampailah ingatan pada satu kejadian yang bagi saya luar biasa, yang dipertontonkan tidak hanya oleh Bill Gates melainkan juga oleh Presiden SBY.

Sebelum acara dimulai, sebetulnya Presiden SBY telah lebih dahulu memasuki ruang tunggu “orang sangat penting”, yang dapat dipantau hadirin dari layar lebar di depan panggung. Ketika itu, Presiden mengenakan busana formal lengkap dengan jas dan dasi, sesuai dengan dress code yang dianjurkan untuk tamu undangan.

Sesaat kemudian, tampak Bill Gates tiba di Balai sidang, mengenakan busana batik krem kecoklatan yang sangat pas di tubuhnya.

Maka saya pun berharap setelah Gates tiba, acara bisa dapat segera dimulai. Ternyata panitia kemudian menyampaikan pengumuman bahwa acara mundur dari jadwal. Baru sekitar 15 menit kemudian, pembawa acara mengumumkan Presiden dan Bill Gates akan memasuki ruangan. Saya kaget karena ternyata Presiden SBY sudah berganti busana batik yang serasi di tubuhnya yang tinggi besar.

Maka kesimpulan saya satu. Para leader ini memiliki kerendahan hati yang sangat tinggi. Bill Gates terkesan begitu menghormati kultur Indonesia sehingga mengenakan batik dalam sebuah acara formal bersama Presiden; begitu sebaliknya Presiden SBY begitu menghormati tamunya sehingga merelakan berganti busana agar tampak serasi dan tidak mengesankan Gates salah kostum.

Itu bacaan saya.

***

Ringkasnya, karakter leadership, bagaimanapun adalah kunci bagi sukses organisasi.

Maka, meskipun banyak kritik terhadap kinerja pemerintah kita akhir-akhir ini, sebetulnya dalam hati kecil saya kok kembali punya harapan lagi jika menyimak oleh-oleh Pak SBY sepulang dari Safari Ramadhan yang dicupliknya menjelang buka puasa tadi malam.

Saya justru surprise ketika mendengar yang tidak biasa dari beberapa pernyataan Presiden –yang biasanya curhat tetapi kali ini tidak—dari perjalanan selama empat hari lima malam itu, khususnya concern tentang pendidikan dan isu yang membumi lainnya.

“Saya kecewa dan prihatin sebagian sekolah tak terawat, kotor, tidak rapi...Ini harus jadi atensi kita semua....Padahal ada yang lulusan terbaik dengan rata-rata nilai 8,3…Apalagi kalau kondisi sekolahnya bersih dan baik,” tutur Kepala Negara.

Presiden mengakui, infrastruktur sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, menurut catatan Kementerian Pendidikan Nasional, sebanyak 15% mengalami rusak berat. “Itu benar…karena itu saya tugaskan Wapres dan Mendiknas agar bikin crash program, supaya tiga tahun ke depan tak ada lagi sekolah tak layak......”

Maka, oleh-oleh Safari Ramadhan SBY buat saya menjadi semacam ‘pesan Idul Fitri’ dari Presiden. Dia pun menjanjikan akan membawa seluruh permasalahan dan masukan di lapangan ke Sidang Kabinet untuk ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh.

Satu pesan yang sangat mendasar, Presiden mengaskan tentang perlunya membangun karakter melalui, “Educating of mind.”

Tujuannya, agar Indonesia mampu menuju peradaban yang maju, unggul, dan mulia. Harapannya, pada 100 tahun kemerdekaan RI nanti, pada 2045, Indonesia tidak hanya memiliki demokrasi yang matang dan stabil, bukan hanya ekonomi yang kuat dan berkeadilan, tetapi juga peradaban yang berkembang.

Mulainya dari mana? Presiden pun mengajak perlunya sebuah “gerakan nasional” yang baru, untuk mendorong “hidup bersih, hidup hemat, dan hidup tertib”.

Kelihatannya klasik, tidak populer, tidak masuk kategori hot news bagi wartawan, tetapi saya kok begitu tertarik dengan isu ini: Pendidikan pola pikir, untuk membentuk karakter.

Maka, pikiran terus melayang kepada anggaran Rp280 triliun dalam APBN kita, yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, yang kini dipimpin Menteri Muhammad Nuh. Seandainya “educating of mind” ini dapat dibiayai menjadi kurikulum nasional dan perilaku inti dari sistem pendidikan kita, alangkah indahnya Indonesia.

Bolehlah menyitir kata-kata Presiden: “Kalau sehari-hari lingkungan anak didik kita jorok, kotor dan bau, tentu akan berpengaruh pada jiwanya.” Jika begitu, dikhawatirkan –sudah terbuktikah?—ketika anak-anak menjadi dewasa tidak sensitif untuk hidup bersih, disiplin, dan teratur.

Sebaliknya kalau lingkungan bersih, jiwa akan bersih, dan kehidupan sehari-hari akan ‘bersih’ pula, begitu keyakinan Pak SBY. Barangkali itulah embrio membangun karakter, agar kita punya orang-orang yang teguh macam Steve Jobs, Bill Gates, Eric Schmidt dan sederet pembuat inspirasi lainnya.

Ayuklah Pak Nuh, kita sambut ajakan Pak SBY. Mumpung lagi introspeksi Ramadan menuju hari yang suci, hari Raya Idul Fitri.


Oleh Arief Budisusilo