Rabu, 11 November 2009

Belajar Dari Falsafah Monkey Business

Alkisah, seorang bos dan asistennya datang ke desa dan memberitahu penduduk bahwa mereka siap membayar US$10 untuk seekor monyet. Penduduk menyambut tawaran itu, mengingat hutan di tempat itu penuh dengan monyet.

Mereka pun masuk hutan, menangkapi monyet, dan sang bos dibantu asistennya membeli dan memasukkan monyet hasil tangkapan ke kandang. Namun karena populasi monyet berkurang, aktivitas perburuan menurun.
Melihat itu, sang bos menaikkan harga pembelian menjadi US$20. Penduduk terpicu untuk berburu ke seluruh hutan. Ketika nyaris tak ada lagi monyet tersisa, penduduk berhenti menangkap.
Lagi-lagi, sang bos menaikkan harga pembelian monyet menjadi US$50. Lalu, ia kembali ke kota dan menyerahkan bisnis jual-beli monyet pada asistennya.
Di tengah kebingungan penduduk mencari monyet, asisten sang bos memberi tawaran menarik,"Monyet yang dulu kalian tangkap kini ada di kandang. Bagaimana jika kujual monyet itu seharga US$30 per ekor, dan kalian bisa jual kembali ke bos seharga US$50 setelah aku pergi."
Tergiur uang gampang, penduduk desa menerima tawaran itu. Mereka menguras tabungan demi memborong seluruh monyet. Setelah itu, sang asisten berpamitan pergi dan itulah kali terakhir penduduk desa melihatnya.
Hari berganti pekan, sang bos yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Penduduk desa tak mendapatkan apa pun, selain warga yang stres dan ratusan monyet.
Kisah yang melahirkan istilah 'monkey business' itu kembali mengemuka ketika Lehman Brothers gulung tikar pada September tahun lalu. Adalah Aljazeera yang menampilkan kembali kisah tersebut pada 16 September 2008, menampilkan falsafah tentang pentingnya etika di pasar.
Selang 2 pekan setelah Aljazeera menampilkan program itu, kita menyaksikan bursa nasional anjlok. Bukan karena perilaku tak etis, melainkan lebih karena persoalan teknis berupa kegagalan bayar repo (repurchase agreement) saham emiten grup Bakrie.
Ada saham favorit sejuta umat, hingga keriuhan transaksinya mencapai 40%-50% nilai harian bursa, memberi pelajaran pahit para investor bahwa keriuhan transaksi tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kegagalan Bakrie melakukan top up jaminan repo memaksa para broker memaksa jual (forced sell) saham grup tersebut.
Pada Oktober itu, kita menyaksikan IHSG terbanting 5,96% ke level 2.367,7 hanya dalam 10 hari perdagangan. Jika dihitung dalam sebulan, indeks anjlok 31,42%, hingga menyentuh titik terendah 1.111,39 pada 28 Oktober.
Setahun setelah kejadian itu, kita menyaksikan turbulensi pada Oktober, tepat pada tanggal yang sama tahun lalu yakni 28 Oktober. Mengulang tahun lalu, IHSG anjlok 5,96% 2 pekan terakhir Oktober 2009 akibat ketakutan atas isu repo Bakrie.
"Fenomena ini seolah menyingkap trauma di pasar kita terhadap panic selling sama, yang membuat IHSG turun ke posisi terendah pada 28 Oktober tahun lalu," komentar analis PT Reliance Securities Tbk Gina Novrina Nasution pada hari itu (28 Oktober).
Begitu parahnya panic selling, lanjutnya, pasar tidak lagi rasional sehingga saham salah satu grup Bakrie di bidang migas, yakni PT Energi Mega Persada Tbk, tertekan 14% justru ketika harga minyak dunia stabil di level US$80 per barel.
Dalam sebulan itu, IHSG turun 4,05% menjadi 2.367,7. Aksi penjualan bersih (net sell) asing yang mencapai Rp3,12 triliun menciutkan kapitalisasi pasar BEI, dari Rp1.895 triliun (akhir September 2009) menjadi Rp1.807 triliun (per 30 Oktober).
Analis pasar modal Edwin Sinaga tidak terlalu kaget dengan turbulensi itu, karena telah memperkirakannya pada Agustus. Kala itu, dia menduga bursa akan menghadapi momen kritis pada Oktober, yang menentukan arah hingga akhir tahun.
Pola terulang
Kini, mengulang pola tahun lalu, Oktober terbukti diterpa koreksi dan potensi menembus level 2.800 pada akhir tahun pun mengecil. Irasionalitas pasar pada Oktober itu mengingatkan kita pada poin yang disampaikan Aljazeera tahun lalu.
Dalam tayangan bertajuk Market crash reveals monkey business, televisi internasional itu telah mengingatkan, bagaimana insting hewani (animal instict) tidak bisa dinafikan peran dan dampaknya di bursa saham.
Kisah monkey business menunjukkan bagaimana naluri beroleh laba mendorong penduduk desa bertransaksi. Semua berjalan normal dan wajar, hingga suplai menipis sedangkan ekspektasi gain di depan mata terus membesar.
Hal serupa terjadi di bursa kita. Investor jangka pendek menjalankan laku deterministik seragam, yakni beli saham likuid. Didorong ekspektasi gain tinggi, tetapi tak diimbangi suplai, mereka pun 'menciptakan' kutub transaksi di kelompok saham tertentu yang diyakini likuid, dalam hal ini grup Bakrie.
Ibarat air, naluri pasar bergerak mengikuti mediumnya, sehingga percuma jika dibendung . Yang lebih efektif adalah memberi medium untuk mengarahkan pergerakan naluri tersebut, dalam konteks ini berupa tambahan suplai saham yang likuid di bursa.
Keberadaan saham likuid alternatif itu, sedikit-banyak akan mengurangi dominasi saham grup Bakrie terhadap bursa. Di sinilah peran otoritas bursa menjadi kunci, untuk mencari suplai saham baru yang berpotensi likuid di pasar.
Direktur Utama BEI Ito Warsito paham betul dengan ini, sehingga memasukkan program tersebut sebagai prioritas utama, dengan membidik IPO BUMN dan debitur kakap bank pelat merah.
Pelajaran lain di kisah monkey business adalah munculnya potensi fraud di pasar, ketika tidak ada pengawasan.
Kasus PT Sarijaya Permana Sekuritas yang mengiringi repo grup Bakrie tahun lalu telah membuka mata otoritas pasar modal, sehingga diterapkanlah sistem baru yakni investor area. Inovasi ini memungkinkan pemodal memonitor langsung portofolionya, sehingga meminimalisasi potensi fraud oleh sekuritas.
Pelajaran terakhir dan terpenting, kisah monkey business menyentil falsafah paling mendasar yang sering dinafikan pelaku pasar, yakni jangan serakah. Mengutip Edward Abbey, dalam The Voice Crying in The Wilderness, "Greed is the ugliest of the capital sins."


oleh : Arif Gunawan S.