Kamis, 12 November 2009

Mau Kaya atau Mau Sehat?

Kasus pertama, saya pernah berjumpa dengan seseorang yang relatif kaya. Dia tidak perlu mencari uang lagi. Rumahnya besar dan bagus namun dia selalu sakit-sakitan.

Uang yang dia terima banyak dikeluarkan untuk mengobati penyakitnya. Dia juga tak dapat banyak bergerak. Jumlah makanan yang dapat dimakan amat terbatas. Penglihatannya tidak begitu jelas lagi, pendengaran terganggu, dan pikirannya sudah tidak jelas lagi. Kasus kedua. Saya juga pernah berjumpa dengan seseorang yang amat sehat. Makannya sederhana. Karena selain tidak mempunyai banyak uang, dia memang hanya saya senang makan buah, sayur, tempe, tahu, dan biji-bijian yang harganya relatif murah.

Dia masih bisa bebas bergerak. Pikirannya masih jelas dan tajam. Dia jarang sakit. Kalau pun sakit,dia hanya ke tukang pijat, yang lebih murah daripada ke dokter dan mengonsumsi antibiotik. Penglihatan relatif masih bagus dan pendengarannya relatif baik. Dia tidak kaya tetapi dia sehat. Kasus ketiga. Sering pula saya berjumpa dengan teman-teman berusia 40-an dan 50-an, yang begitu aktif bekerja untuk penghasilan dan karier mereka. Tidak mengenal istirahat, makan tidak teratur, dan bahkan yang dimakan pun tidak sehat. Tidak sempat olahraga.

Tidak mengejutkan, mereka pun sering sakit-sakitan. Dari sisi produktivitas, sakit-sakitan di puncak karier sangat merugikan. Dalam istilah ekonomi, biaya alternatif (opportunity cost) sakit pada puncak karier sangat tinggi, yaitu berapa banyak yang tertunda dikerjakan (atau tak jadi dikerjakan) gara-gara sakit. Apa yang kita cari? Anda pilih yang mana? Yang kaya atau yang sehat? Mungkin Anda berkata, bahwa tentu saja Anda akan memilih sehat dan kaya.

Yang paling merana tentulah bila kita miskin dan sakit-sakitan. Transisi demografi kita memperlihatkan bahwa kita telah mampu hidup lebih lama, tetapi tidak menjamin adanya hidup lama yang sehat. Kita telah mampu menunda kematian, tetapi sudah berhasilkah kita meningkatkan status kesehatan kita? Mengapa saya mengajukan pertanyaan ini? Karena saya seorang ekonom. Ekonom selalu bertanya ini atau itu? Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Buat yang bukan ekonom, pertanyaan itu mungkin tampak sebagai pertanyaan yang amat bodoh.

Mungkin, banyak orang memilih sehat walau miskin, daripada kaya tetapi sakit-sakitan sehingga tak dapat menikmati kekayaannya. Namun, dalam benak pikiran para ekonom arus-utama (mainstream), sehat itu tidak sepenting kaya. Buat mereka, kesehatan itu hanya penting karena sehat pangkal kaya. Dengan kata lain, sehat sekadar salah satu input agar jadi kaya. Buat para ekonom ini, kaya lebih penting daripada sehat. Yang penting kayanya. Sehat hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk menjadi kaya.

Kalau dapat menjadi kaya dengan cari lain, kesehatan menjadi tidak penting di mata para ekonom arus-utama. Untuk ekonom arus-utama, pertumbuhan ekonomi adalah ukuran utama keberhasilan pembangunan. Lihatlah semua laporan ekonomi, selalu bermula dengan laporan pertumbuhan ekonomi. Suatu contoh, para ekonom seperti ini akan melihat pentingnya industri rokok.

Industri rokok memberikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Mereka tidak mementingkan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Toh, kalau orang sakit, orang itu membutuhkan obat. Nah, orang sakit (asal tidak meninggal) akan menimbulkan bisnis untuk pelayanan kesehatan dan industri obat. Jadi, ekonomi akan tumbuh lebih cepat lagi. Mungkin dapat dikatakan, para ekonom itu lebih suka kaya tapi sakit-sakitan, daripada sehat tetapi miskin? Tentu saja tidak. Untuk diri mereka, mereka mungkin memilih sehat walau miskin.

Tetapi, ketika bicara secara makro, mereka dapat berpikir lain. Yang mengecap pertumbuhan ekonomi dan yang menderita sakit adalah dua kelompok orang yang berbeda. Namun, untuk mereka sendiri secara pribadi,mungkin para ekonom itu juga lebih mementingkan ekonomi daripada kesehatan. (Seperti dalam kasus ketiga yang saya sebut sebelum ini). Ini masalah paradigma pembangunan. Selama orientasi kita masih pada pertumbuhan (growth) ekonomi, maka kesehatan masyarakat bukanlah hal yang penting. Industri rokok masih akan terus berjaya.

Selama kita masih memakai paradigma pertumbuhan ekonomi, orang yang sakit-sakitan akan terus dilihat sebagai sumber bisnis (khususnya bisnis untuk jasa kesehatan dan obatan obatan). Memang lucu, tetapi itulah yang terjadi. Arus-utama pemikiran ekonomi kita memang memilih kaya daripada sehat. Akibatnya, akan banyak orang yang kaya tapi sakit-sakitan. Lebih parah lagi,kita juga menjumpai orang miskin yang sakit-sakitan. Inikah yang kita cari? Sudah saatnya kita mengubah paradigma pembangunan kita. Jangan memusatkan pada pertumbuhan ekonomi.

Indonesia dapat menjadi pelopor mempunyai paradigma pembangunan yang tidak terpusat pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tetap penting dan kita perlukan tetapi pertumbuhan ekonomi sekadar salah satu alat penting untuk tujuan pembangunan, seperti peningkatan kesehatan dan penurunan angka kemiskinan. Jadikanlah kesehatan sebagai salah satu tujuan penting pembangunan ekonomi.

Janganlah kesehatan sekadar dijadikan bisnis yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagai bonus, kalau orang Indonesia menjadi sehat walafiat, mereka pun akan dapat bekerja dengan lebih produktif, dan perekonomian juga akan tumbuh dengan pesat. Kebijakan yang prokesehatan sejalan dengan kebijakan yang propoor. Orang miskin akan sangat diuntungkan dengan adanya kebijakan yang prokesehatan.

Untuk mengukur keberhasilan ekonomi, pemerintah perlu melihat kemajuan dalam bidang kesehatan. Pemerintah dapat mengeluarkan statistik status kesehatan setiap tiga bulan sekali. Badan Pusat Statistik dapat ditugasi untuk mengumpulkan data dan mengeluarkan statistik ini.

Aris Ananta
Ekonom