Jumat, 06 November 2009

Ilusi Pertumbuhan Ekonomi

Pada Februari 2008, total angkatan kerja (labour force) Indonesia mencapai 111,48 juta orang. Pada Februari 2009, total angkatan kerja melonjak menjadi 113,74 juta orang. Dengan demikian berarti, dalam dua rentang waktu itu angkatan kerja bertambah sebesar 2,26 juta orang. Ketika pada Oktober 2009 lantas terbentuk formasi baru pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah barang pasti jumlah total angkatan kerja lebih dari 113,74 juta orang. Penting pula dicatat, bahwa dari angkatan kerja sebesar 113,74 juta orang itu saja jumlah pengangguran berada pada kisaran 9,25 juta orang.

Pertanyaannya kritikalnya kemudian, bagaimana penambahan angkatan kerja serta besarnya jumlah pengangguran itu dimengerti hakikatnya oleh pemerintahan yang baru terbentuk? Mungkinkah penambahan angkatan kerja dan pengangguran dapat dikompensasi oleh pemerintahan baru melalui penyediaan lapangan kerja secara memadai? Apa yang kemudian niscaya dilakukan oleh jajaran pemerintahan baru demi mengatasi pengangguran?
Seakan hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa berbicara tentang prospek pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Jika target pertumbuhan sebesar itu bisa dicapai, maka pemerintahan yang tengah berkuasa menorehkan sebuah prestasi. Pertumbuhan ekonomi 7% itulah yang, menurut Hatta Radjasa, mampu mengatasi masalah pengangguran. Sayangnya, target pertumbuhan ekonomi sebesar itu tidaklah mudah mencapainya. Pemerintah dituntut melakukan berbagai macam terobosan jika target pertumbuhan ekonomi sebesar itu hendak dicapai. Artinya, upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi tidak pernah berada dalam ruang vakum.
Sulit dibantah, pertumbuhan ekonomi merupakan akibat logis dari investasi langsung (direct investment). Sementara, direct investment mencakup belanja modal pemerintah, investasi swasta asing dan investasi swasta domestik.
Direct investment inilah yang kemudian menjadi motor penggerak sektor riil dan memegang peran signifikan mengondisikan terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dengan sendirinya, direct investment merupakan prasyarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Ancangan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, misalnya, mutlak ditopang oleh direct investment sebesar Rp2.885 triliun hingga Rp2.910 triliun. Di sini ada semacan hubungan kausalistis antara direct investment dan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi tragisnya, kemampuan pemerintah hanya berada pada kisaran 13% dari total kebutuhan untuk melakukan direct investment. Dengan demikian berarti, 87% kebutuhan direct investment mutlak dipenuhi oleh swasta asing dan swasta domestik. Pada titik ini, ancangan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% membuncah menjadi beban yang teramat berat. Itu karena, direct investment merupakan prasyarat yang muskil pemenuhannya. Kehendak pemerintah mengatasi masalah pengangguran dengan sendirinya terbentur persoalan diskoneksi antara direct investment dan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dapat dirasakan selama ini, pada kancah perekonomian nasional tersembul persoalan laten yang sungguh-sungguh merintangi direct investment swasta asing dan domestik.
Pertama, kacaunya tata kelola perekonomian nasional.
Fakta tentang hal ini tampak terang benderang pada buruknya kualitas infrastruktur dan ketidaktercukupan energi. Sulit ditepiskan kenyataan, dari waktu ke waktu degradasi menghantam keberadaan infrastruktur. Rezim-rezim kekuasaan yang muncul selama kurun waktu pasca-Orde Baru tidak mampu mengawal keberadaan infrastruktur serta gagal melakukan upaya peningkatan mutu infrastruktur. Juga sejak berakhirnya Orde Baru, rezim-rezim kekuasaan tidak mampu mengarahkan pendayagunaan sumber-sumber energi untuk sepenuhnya meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Bukan hal yang aneh jika defisit pasokan listrik, misalnya, hingga kini tidak terselesaikan. Kacaunya tata kelola perekonomian ini merupakan faktor penghambat perluasan direct investment.
Kedua, ketidakjelasan rasionalitas perbankan tidak memungkinkan melakukan direct investment.

Sudah menjadi pengetahuan umum, investasi mutlak didukung pembiayaan bank. Tragisnya, demi mencetak keuntungan, perbankan lebih memilih opsi pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan berbagai alasan, perbankan tidak memperhatikan secara saksama keberadaan sektor riil. Penguatan sektor riil melalui strategi direct investment lalu tidak memiliki kejelasan konteks dengan pelaksanaan fungsi bank. Apa boleh buat, perbankan mengalami kemandulan peran menjalankan fungsi intermediasi demi mengukuhkan keberadaan sektor riil. Perbankan lalu mengenyampingkan hakikat direct investment sebagai faktor fundamental tercapainya target pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, komitmen pemerintahan di berbagai lini berada dalam situasi yang begitu compang-camping.
Seharusnya, pemerintahan pada berbagai lini memfasilitasi perluasan dan pembesaran magnitude investasi. Ternyata, pungli dan rumitnya perizinan menghantam prospek investasi. Pemerintahan pada berbagai lini gagal memfasilitasi perluasan dan pembesaran investasi.
Dengan masih berkerumuknya persoalan-persoalan itu mustahil pertumbuhan ekonomi sebesar 7% bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Sejauh tiga persoalan yang dibentangkan di atas tidak terselesaikan, maka sejauh itu pula harapan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi hanyalah ilusi belaka. Sebagai akibatnya, pengangguran dalam jumlah besar masih akan terus mewarnai perekonomian bangsa ini ke depan.


BusinessNews