Pertimbangan utama investor dalam menentukan alokasi asetnya adalah return. Soal ini, banyak investor kurang menyadari kalau ilmu keuangan mengenal belasan istilah return. Sebagai contoh sederhana, sebuah reksa dana saham dapat meningkatkan nilai aktiva bersih (NAB) per unitnya dari Rp2.000 menjadi Rp4.000 setahun kemudian dan tetap sebesar ini setahun berikutnya. Berapa return tahunan kinerja reksa dana saham ini dan berapa yang akan dituliskan dalam prospektusnya? Bagaimana jika NAB pada akhir tahun kedua balik menjadi Rp2.000 lagi?
Penghitungan return menjadi sangat mudah jika kita hanya bicara satu periode, misalkan 3 bulan atau 1 tahun. Kita hanya mempunyai istilah return nominal untuk ini. Jika return itu sudah diperoleh disebut actual return atau realized return, dan kita menamakannya expected return jika return belum terjadi. Dalam CAPM masih ada istilah required return yaitu return minimum yang diharapkan investor.
Jika kita menyesuaikan return nominal di atas dengan inflasi, kita akan memperoleh return riil yang menunjukkan peningkatan daya beli sebuah portofolio.
Return aritmetik vs geometrik
Sampai di sini belum ada kesulitan. Permasalahan mulai timbul jika investasi dilakukan dalam beberapa tahun seperti contoh pada awal. Para manajer investasi (MI) akan melaporkan return tahunan investasinya sebesar 50% untuk kasus pertama dan 25% untuk kasus kedua. Inilah yang disebut return aritmetik. Tidak ada yang salah dengan penggunaan ukuran return ini untuk proyeksi ke depan. Namun, untuk mengukur kinerja, ukuran yang tepat adalah return geometrik yang sebesar 41,4% dan 0% untuk kedua kasus di atas. Bukankah NAB Rp2.000 yang kembali menjadi Rp2.000 2 tahun kemudian hanya memberikan return 0%?
Persoalan menjadi lebih rumit jika ternyata investor melakukan setoran atau penarikan dana. Dalam kondisi ini, ada ukuran return lain yaitu return berdasarkan uang, secara kasar dan secara akurat (IRR).
Return berdasarkan uang
Untuk menjelaskan return ini, saya kembali harus menggunakan contoh paling sederhana yaitu hanya satu kali penambahan dana dengan periode investasi hanya 2 tahun. Seorang investor saham menanamkan Rp100 juta pada awal 2007 yang berkembang menjadi Rp200 juta setahun kemudian. Karena puas dengan return 100%, dia pun menambah Rp800 juta ke dalam portofolionya menjadi Rp1 miliar pada awal 2008. Sayangnya, portofolionya hanya menjadi Rp1.060 juta pada tahun berikutnya. Berapa return tahunan yang diperolehnya?
Berdasarkan waktu, return tahunan aritmetik adalah 53% dan secara geometrik 45,6%. Namun, return berdasarkan uang secara kasar hanya 14,6% dan menjadi 15,8% secara akurat. Return mana dari empat ukuran ini yang sebaiknya digunakan? Bergantung pada tujuannya. Untuk mengukur kinerja investor institusi, return geometrik yang paling tepat.
Adapun, untuk kinerja investor individual, kita sebaiknya menggunakan return berdasarkan uang secara akurat. Sementara itu, MI akan menggunakan return aritmetik dalam prospektus reksa dananya.
Kelemahan empat ukuran return di atas adalah semuanya belum memperhitungkan risiko padahal risiko dan return adalah dua sisi dari koin mata uang yang sama. Jika risiko diperhitungkan, kita akan memperoleh risk-adjusted return. Dalam statistika, ukuran risiko adalah standar deviasi, dinotasikan ? yang dihitung dari gejolak turun naiknya atau volatilitas harga. Total risiko ini terdiri atas dua komponen utama yaitu risiko sistematis (?) dan risiko nonsistematis. Risiko yang terakhir dapat dihilangkan dengan dilakukannya diversifikasi.
Risk-adjusted return
Karena ada dua ukuran risiko yang utama yaitu total risiko dan risiko sistematis, maka kita mengenal dua ukuran populer risk-adjusted return yaitu rasio Sharpe untuk excess return per satuan total risiko dan rasio Treynor untuk excess return per satuan risiko sistematis. Jika bunga bebas risiko dalam persamaan Sharpe/ Treynor diganti dengan target return investor, kita mendapatkan rasio safety first dari A.D. Roy.
Ukuran risk-adjusted return mana yang lebih baik? Jones (2007) mengatakan kalau rasio Sharpe sebaiknya digunakan jika portofolio investor seluruhnya (atau sebagian besar) dalam sekuritas. Untuk investor yang portofolionya terdiri dari banyak aset sehingga sekuritas hanya sebagian kecil saja, rasio Treynor yang lebih tepat.
Selanjutnya, untuk identifikasi kinerja reksa dana saham yang superior, ada ukuran lain yaitu alpha Jensen. Alpha (a) yang positif menunjukkan kinerja yang superior. Kinerja superior dan inferior didapat setelah dibandingkan dengan kinerja bursa saham (IHSG) tentunya.
Sayangnya, a Jensen ini tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai sumber kemampuan superior itu. Pada prinsipnya, superioritas berasal dari dua sumber yaitu kemampuan pemilihan saham (stock selection) dan kemampuan antisipasi waktu (market timing). Manajer reksa dana dikatakan mempunyai kemampuan market timing yang tinggi jika dia keluar dan masuk pasar pada saat yang tepat. Maksudnya adalah, dia menjual saham portofolionya sebelum IHSG merosot dan membeli saham setiap kali IHSG akan meroket.
Untuk memisahkan kedua jenis kemampuan manajer investasi di atas, Treynor-Mazuy dan Henriksson-Merton melakukan modifikasi atas model alpha Jensen menjadi y = a +s1x + b2x2 + error. b1 adalah risiko sistematis dan b2 adalah kemampuan antisipasi waktu.
Setelah mengetahui ukuran a dan b2 untuk identifikasi adanya kemampuan superior MI, Anda tentunya ingin tahu kinerja mereka mengelola reksa dana saham di Indonesia. Dari penelitian yang sudah dipublikasikan, ada satu dua MI yang mampu memberikan a positif tetapi sesuai dengan prediksi literatur investasi, nyatanya tidak ada MI yang mempunyai b2 positif signifikan.
oleh : Budi Frensidy
Staf pengajar FEUI dan penulis buku
oleh : Budi Frensidy
Staf pengajar FEUI dan penulis buku