Selasa, 30 September 2014

Menikmati Angsa Hitam

Saat memutuskan untuk membeli saham, investor dianjurkan melakukan analisis fundamental. Mereka harus memprediksi arus kas perusahaan di masa depan agar bisa memperkirakan nilai perusahaan. Namun benarkah kinerja perusahaan bisa diprediksi?

Suatu ketika, di kelas investasi, saya mengusulkan kepada mahasiswa, "Bagaimana kalau kita undang juga seorang paranormal sebagai pengajar tamu?" Mahasiswa langsung tertawa karena membayangkan diajar oleh paranormal di mata kuliah yang penuh logika.

Tentu saya bercanda. Bagaimana mungkin mahasiswa program S-2 belajar hal-hal yang tidak scientific? Namun pesan yang ingin saya sampaikan ke mereka adalah hal tersulit dalam valuasi saham atau perusahaan bukanlah memahami metode valuasinya. Metode populer seperti discounted cash flows bisa mereka telan secara cepat. Tetapi untuk mendapatkan valuasi dengan akurasi tinggi dibutuhkan kemampuan untuk "menerawang" masa depan. Kita harus bisa memprediksi kondisi perekonomian dunia, nasional, industri atau sektor hingga perusahaan.

Puluhan pertanyaan sulit bermunculan saat kita melakukan valuasi. Apakah The Fed akan mengurangi stimulus ekonomi? Apakah krisis utang Eropa bakal kumat lagi? Berapa pertumbuhan ekonomi Indonesia jika subsidi BBM dikurangi? Apa dampak Masyarakat Ekonomi ASEAN? Apakah harga batubara akan segera naik? Bagaimana integritas manajemen perusahaan? Apakah margin laba dan pertumbuhan penjualan bisa ditingkatkan? Apakah…

Sampai di sini seorang mahasiswa menyela dengan wajah serius, "Stop Pak, tampaknya kita memang perlu belajar ilmu penerawangan dari Ki Joko Bodo…" Kelas kembali grrrr.

Valuasi tidak semudah yang kita bayangkan. Antara lain karena ada kejadian-kejadian yang tidak terduga. Kita pikir hal itu mustahil terjadi, namun kenyataannya bisa terjadi. Masalahnya, kejadian langka ini bisa membawa dampak besar.

Nassim Nicholas Taleb, pakar keuangan dari New York University dan mantan trader saham di Wall Street, menyebut kejadian yang hampir mustahil tersebut sebagai "Black Swan." Istilah ini diambil dari cerita tentang keyakinan bahwa angsa semuanya berwarna putih. Angsa hitam adalah mustahil karena mereka tidak sadar bahwa di Australia terdapat angsa hitam. Maka angsa hitam adalah kejadian yang tak umum (unusual), namun bukan tak mungkin (impossible). Karena probabilitasnya amat kecil, kejadian angsa hitam sulit diprediksi.

Banyak contoh kejadian angsa hitam. Di Piala Dunia 2014, dalam mimpi yang terburuk-pun orang tidak berani meramal bahwa Brazil bakal kalah 1-7 dari Jerman. Brazil adalah mbah-nya sepakbola. Main di kandang sendiri lagi. Kalah 0-1 saja sudah merupakan bencana. Kalah 1-7? Itu "hil yang mustahal", meminjam celetukan terkenal legenda Srimulat, Asmuni.

Dalam bukunya, The Black Swan: The Impact of Highly Improbable (2007), Nassem Taleb memberikan contoh kejadian angsa hitam. Mulai dari penggunaan internet, komputer pribadi, Perang Dunia I, pecahnya negara Uni Sovyet hingga serangan 11 September.

Di bidang ekonomi, beberapa contoh angsa hitam misalnya, market crash di Wall Street 1929, kebangkrutan Lehman Brothers, raksasa keuangan berusia 150 tahun, Long Term Capital Management (LTCM), hedge fund terkenal di AS. LTCM awalnya sukses dan mustahil jika bangkrut karena dikelola oleh dua pemenang Nobel bidang ekonomi, Myron Scholes dan Robert Merton. Namun akhirnya gulung tikar juga akibat gagal bayar obligasi pemerintah Rusia.

LTCM gagal memprediksi default pemerintah Rusia beserta dampaknya. Ini mirip dengan kejadian 11 September di New York. Pemerintah AS tidak mampu membaca kemungkinan serangan ke gedung tinggi menggunakan roket pesawat komersial.

Di bursa saham kita, kejadian mana yang bakal termasuk angsa hitam dan mana yang termasuk mustahil? Apakah perusahaan blue chip seperti Astra International, Semen Indonesia dan Bank Mandiri tidak mungkin bangkrut? Apakah harga saham Bumi Resources bisa kembali ke level Rp 8.000 per saham? Apakah Tiga Pilar Sejahtera bisa lebih hebat daripada Indofood?

Dalam bukunya, Nassem Taleb tidak mengajarkan bagaimana memprediksi kejadian Black Swan. Namun ia menasehati agar pembaca membangun pertahanan yang solid terhadap dampak negatif yang ditimbulkan angsa hitam dan mampu memanfaatkan dampak positifnya. Dampak kejadian angsa hitam tergantung pada observer-nya. Kejutan angsa hitam bagi seekor ayam kalkun berbeda dari kejutan untuk si pemotong ayam kalkun. Keberhasilan iPhone adalah angsa hitam bagi kompetitor, namun pasti tidak untuk pemegang saham Apple. Maka, pembaca harus menghindari posisi sebagai ayam kalkun dengan cara mengidentifikasi kelemahan-kelemahan sehingga bisa menjadikan angsa hitam menjadi angsa putih.

Jika kita siap menghadapi kejadian angsa hitam, kita tidak mudah panik ketika ia tiba-tiba muncul di antara kerumunan angsa putih. Kejadian angsa hitam tidak bisa dihindari, namun bukan berarti tidak bisa dinikmati.

Oleh : Lukas Setia Atmaja