Minggu, 04 Oktober 2015

Orang yang Suka Menakut-nakuti

Sejak kecil kita sering mendengar orang dewasa menakut-nakuti dengan setan. Dan akhirnya kita jadi urung melangkah. Malam hari kita bisa dicekam ketakutan, dan bermimpi yang aneh-aneh.
  
Sewaktu remaja, hal serupa juga berulang. Saat akan mendaki gunung misalnya, selalu ada saja yang mengatakan itu berbahaya, akan tersesat, kelaparan, dirampok, tersedak asap belerang, tergelincir dan seterusnya. Nyatanya, kita malah melihat puncak yang indah, dan hamparan bunga edelweis yang menakjubkan. 

Memang kaki kita babak belur, dan sepanjang perjalanan ada jalur yang licin dan membuat Anda terjatuh. Tetapi semuanya bisa diatasi. 

Sewaktu memasuki SLTA saya juga ditakut-takuti. Maklum ini SMA elit di tengah-tengah Menteng – Jakarta Pusat, yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan atas. Selain mahal rata-rata alumnusnya diterima di kampus-kampus elit menjadi dokter, insinyur atau ekonom. Dan bahkan banyak yang keluar negeri. Namun sewaktu diterima, semuanya terbelalak. 

Demikian juga sewaktu penentuan uang sekolah, tergantung pada kemampuan masing-masing. Dan orang tua saya hanya bisa mengatakan tak semenakutkan yang dikatakan banyak orang. 

Krisis Ekonomi? 

Demikianlah dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan orang-orang yang gemar menakut-nakuti yang tujuannya mungkin baik, tetapi mungkin juga tidak. Siapa yang akan mempercayai mereka?

Tentu orang-orang yang belum berpengalaman, yang punya harta banyak, yang takut kehilangan dan mereka yang tidak mau. Tidak mau apa? Ya tak mau kerja, tak mau berpikir. 

Ada pepatah mengatakan, “If you want to, you’ll find the way. If you don’t want to, you’ll find excuses.” Artinya, hanya orang-orang yang mau bergerak yang akan menemukan jalannya. Sedangkan yang tak menginginkannya, akan terus membuat-buat alasan, merangkai cerita dan mengirim berita negatif. 

Kehidupan ini sesungguhnya bukanlah kumpulan dari ramalan-ramalan perorangan yang berisi khayalan dan ocehan, melainkan sebuah akibat dari perbuatan jutaan manusia yang saling berinteraksi. Ada yang mengambil tindakan, dan ada yang bereaksi. Semua terpulang pada apa yang dipikirkan dan yang dipercayai. 

Semua gagasan dan opini bertarung untuk meyakinkan sesuatu sambil berharap menjadi langkah yang masif. 

Ekonomi adalah sebuah kumpulan perilaku yang outcome-nya akibat dari perbuatan manusia, yang akhirnya membentuk sebuah pola. Pola itu bisa bergerak ke atas, bisa juga ke bawah. Bila itu bergerak ke bawah, bisa saja ia menukik balik ke atas, menjadi anomali karena manusianya berpikir positif. 

Sebaliknya ia bisa bergerak makin liar, jatuh ke jurang (kendati fundamental ekonominya bagus), karena kita saling menyepak, menyalahkan, menakut-nakuti, dan menolak untuk bekerjasama karena mempercayai yang negatif. 

Sikap suatu bangsa terhadap krisis sesungguhnya tercemin dalam apa yang mereka definisikan pada kata krisis itu sendiri. Di Barat, krisis dimaknai sebagai “Sebuah titik belok” for better or for worse

Di China ia sebagai wei-ji yang artinya “kesempatan” atau ”peluang” dalam bahaya. Tetapi di sini, di Indonesia, John Echols dan Hassan Shadily (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan: krisis adalah sebuah situasi yang gawat, genting atau kemelut. 

Krisis akan benar-benar membuat para penakut kecut saat media sosial dan media massa ramai-ramai melaporkan suasana yang genting. Hanya karena dollar melambung seribu – dua ribu perak dalam sebulan ini. Pokoknya mencekam. Padahal pengusaha tahu, PHK butuh proses dan makan waktu berbulan-bulan dan amat mahal. Mana mungkin begitu dolar melambung pengusaha langsung PHK minggu depannya. 

Sekarang tampak betul adanya kelompok yang menakut-takuti masyarakat karena tidak ingin kita keluar dari kesulitan. Untuk keluar dari lembah terdalam, pertama-tama kita harus percaya pada kekuatan kita, lalu bekerjasama, saling membangun. Bukan saling mengejek dan menarik kaki mereka yang tangannya sudah menyentuh bibir jurang. 

Lantas siapa yang tidak mempan ditakut-takuti? Pertama, pasti kaum beriman. Mereka adalah orang yang percaya akan bantuan Allah dan terus berupaya. Kedua, mereka yang sudah berpengalaman, yang tahu bahwa susah tak akan berlansung selamanya. 


Konflik Etnis Kalbar 

Ini juga konflik yang mencekam. Saya teringat dengan konflik etnis di Kalbar 1999. Sebagai dosen terbang di Universitas Tanjung Pura, keluarga saya tentu terkejut ketika ada seseorang mengirimkan faksimili tentang kepala seorang petugas keamanan yang dipancung dan ditaruh di pagar hotel. 

Keluarga saya menjadi heboh dan minta agar saya tidak berangkat. Tapi saya katakan mengajar ini juga ibadah. Anak-anak gelisah karena tahu kalau soal pendidikan, ayahnya tak bisa menyurutkan langkah. Mereka menelfon Kampus. Mahasiswa yang menjawab berebut bicara. “Minta tolong agar ayahmu berangkat, kami sudah lengkap dan menunggu,” kata mahasiswa saya. 

Saya tak tahu percakapan selanjutnya, karena sudah harus segera berangkat. Di atas pesawat saya lihat bangku-bangku kosong ditinggalkan penumpang yang ketakutan. Purser yang bertugas, mengajak saya bicara dan bertanya-tanya mengapa saya nekat berangkat. Mereka menggunjingkan saya yang duduk di sudut jendela tanpa teman. 

Di Bandara Supadio, Pak Efi, pimpinan universitas menjemput saya dengan riang. Putra Melayu asli Kalbar itu bercerita panjang lebar tentang kejadian beberapa hari lalu. Tetapi selebihnya tak ada tanda-tanda kejadian yang mengerikan di sana. 

Pontianak aman dan mahasiswa saya bertepuk tangan saat menyambut saya karena kabarnya hanya satu dosen yang “berani” datang. Padahal mereka rata-rata berjuang 8 – 12 jam datang dari berbagai daerah pedalaman untuk mendengarkan kuliah saya. 

Saya pun memberi bonus waktu dan bermalam di sana bersama mereka. Esoknya kami menengok para pengungsi dan mereka mentraktir saya makan kwetiau Apolo yang terkenal itu. 

Saya katakan, sewaktu keadaan sulit kita justru harus belanja agar uang berputar. Mereka pun setuju dan pemilik warung gembira. Pegawainya pun bisa gajian. 

Kita Aktor Utamanya 

Belajar dari beragam peristiwa di atas, saya perlu mengajak Anda semua agar tidak tercekam dengan rasa takut yang berlebihan. Hidup bukanlah sebuah episode spekulasi seperti kita yang kini terperangkap menerka kurs dolar. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk meraih keberhasilan. 

Kita sudah membuktikan bahwa hasil yang kita capai adalah berasal dari kerja keras, kepercayaan dan kreativitas. Bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita semua sepakat. Tetapi kita perlu berusaha semaksimal mungkin. 

Benar, kita adalah aktor ekonomi, jadi hasil akhir dari episode kenaikan atau menguatnya dollar AS adalah juga karena peran kecil kita. Tetapi dalam usaha dan pekerjaan yang kita jalankan, kita adalah aktor utamanya. Mengapa ada pihak yang gemar menakut-nakuti? 

Tentu ada banyak jawaban. Ada yang terlalu sayang dengan anda, tetapi juga benar, ada yang tak mau anda berhasil. Bagi kaum pemalas ini adalah kesempatan untuk beristirahat. 

Bagi yang culas, setiap keberhasilan anda adalah tamparan besar bagi mereka. Itu sebabnya mereka akan terus menakut-nakuti, mencela, bahkan memasang perangkap dan beragam ranjau agar anda jatuh dan berhenti. Tetapi itu tak akan berarti kalau bangsa ini bukan penakut.  


Oleh : Rhenald Kasali