Rabu, 16 Juni 2010

Harapan & Kewajaran

Alkisah, seorang Biksu muda ditugaskan mengurus sebuah vihara tua. Letaknya terpencil di puncak gunung. Biksu muda itu merasa sangat gembira. Ia memang sedang sangat bersemangat. Membangun kembali vihara yang sudah usang merupakan kesempatan baik untuk membuktikan bahwa ia mampu mengurus sesuatu dengan baik. Ia mencurahkan segenap usahanya sehingga vihara itu kelak akan menjadi vihara yang sempurna, sesuai dengan idealismenya.

Di vihara tersebut juga tinggal seorang biksu tua. Biksu itu sudah sangat tua sehingga ia tidak lagi mengajar, dan hanya melewatkan waktunya dengan meditasi dan hidup penuh ketenangan. Wajarlah biksu muda itu pun membantu mengurus segala keperluan biksu tua. Mempersiapkan makanan dan lain-lain.

Suatu hari, ada berita bahwa guru biksu muda itu akan berkunjung ke vihara tersebut, bersama teman-teman biksu muda itu dari vihara yang dulu ditempatinya. Tentu mereka semua akan datang meninjau, sampai sejauh mana keberhasilan biksu muda melaksanakan tugasnya.

Sejak pagi biksu muda sudah bersiap menyambut rombongan gurunya. Semua sudut dibersihkannya dengan baik dan rapi. Ia ingin membuktikan kepada guru dan teman-temannya, bahwa ia mampu melaksanakan tugasnya.

Malam sebelumnya angin bertiup kencang sekali. Halaman vihara penuh dengan tumpukan daun yang berserakan dari pohon besar yang ada di tengah taman. Biksu muda menyapu dengan giat dan penuh semangat. Semua daun dikumpulkan, dimasukkan ke dalam tempat sampah dan diangkut lalu dibuang. Seluruh kegiatannya diperhatikan dengan cermat oleh biksu tua dari teras kamarnya.

Setelah selesai bekerja keras dan membersihkan semua, biksu muda menengok ke arah biksu tua dan menanyakan komentarnya.

"Bagus, bagus!" kata biksu tua itu. "Hanya tinggal satu lagi yang harus dilakukan supaya benar-benar sempurna."

Biksu muda itu bingung. Rasanya ia telah melakukan semuanya dengan baik dan benar.

"Tuntun saya ke halaman. Nanti saya tunjukkan." lanjut biksu tua itu.

Dengan sedikit ragu dan tidak mengerti biksu muda itu menuntun biksu tua ke halaman. Namun ia juga sudah cukup lama mengenal biksu tua itu sehingga ia yakin ada sesuatu yang tidak terduga yang akan dialaminya.

Biksu tua itu langsung menuju pohon dan dengan segenap sisa tenaganya yang rapuh, mengoyang-goyangkan pohon. Daun-daun berjatuhan, kembali berserakan di setiap jengkal halaman.

Tidak ada waktu lagi untuk membersihkannya karena ternyata rombongan guru biksu muda itu sudah tepat tiba di gerbang vihara.

Biksu tua itu berkata dengan puas : "Nah, sekarang segalanya sempurna!"

Kita semua mempunyai persepsi sendiri tentang kesempurnaan. Kita membawa gagasan sendiri tentang apa yang "seharusnya". Kita menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengatur agar keadaan menjadi "sesuai" dengan keinginan kita.

Kita ingin mengatur segalanya. Keluarga, teman-teman, rekan sekerja, umat se-vihara. Kita mengira bahwa kalau semua sesuai dengan "harapan" kita, kita akan bahagia.
Gagasan kesempurnaan terus menerus menghadapkan kita dengan kenyataan kehidupan.

Gagasan itu, harus kita sadari, hanyalah gagasan. Sebuah konsep yang bukan hanya tidak selalu bisa diterapkan "sebagai mana mestinya" karena hidup nyatanya selalu berubah. Bahkan gagasan kita sendiri atas "kesempurnaan" itu pun mungkin berubah seiring bertambahnya usia kita.

Bahagia mulai dan berakhir dalam diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat memberikannya kepada kita, tidak ada yang dapat mengambilnya dari kita. Kalau kita bergantung pada suatu keadaan tertentu untuk bahagia, maka kita bisa kehilangan kebahagiaan itu.

Tidak perlu ngotot menciptakan suatu dunia yang segalanya sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai "seharusnya". Berdamailah dengan segala sesuatu apa adanya.

Daun jatuh dari pohon? Tidak masalah.

Melihat daun jatuh dan berharap jangan ada daun di taman, menimbulkan masalah.

Orang lain boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat kita, bukan masalah.

Ge-er merasa bahwa kita harus membuat mereka setuju, itu menyebabkan masalah.


~Higher Than Happiness~